Dampak Ekonomi Dampak Lingkungan

e. Dampak Ekonomi

Kajian mencakup dampak ekonomi akibat perawatan yang dilakukandiharapkan, eradikasi penyakit, kehilangan pekerjaan akibat sakit, kehilangan perdagangan dan penjualan dan kerugian finansial jika suatu pangan yang mempunyai nilai ekonomis diketahui berisiko tinggi serta biaya-biaya lain yang berhubungan dengan terjadinya risiko seperti biaya inspeksi dan lain-lain. Peringkat dampak ekonomi dikelompokkan menjadi: A = Diabaikan: dampak kecil atau tidak ada terhadap biaya pengobatan atau biaya pembersihan, kehilangan pekerjaan atau perdagangan. B = Rendah: dampak minor terhadap faktor-faktor di atas. S = Sedang: dampak moderat terhadap faktor-faktor di atas. T = Tinggi: dampak berat parah terhadap faktor-faktor di atas.

f. Dampak Lingkungan

Dampak lingkungan merupakan akibat dari kemungkinan berpindahnya mikroba patogen ke ekosistem yang dikaji, misalnya pengaruhnya terhadap spesies lain. Potensi dampak negatif terhadap lingkungan akibat manajemen risiko misalnya penggunaan desinfektan, eradikasi penyakit, atau pembersihan serta hubungannya dengan peraturan perlindungan lingkungan yang berlaku juga perlu dipertimbangkan. Peringkat dampak lingkungan dikelompokkan menjadi: A = Diabaikan: tidak ada potensi merusak lingkunganmerubah ekosistem. B = Rendah: potensi dampak terbatas terhadap lingkungan. S = Sedang: berpotensi menyebabkan dampak yang moderat pada lingkungan. T = Tinggi: berpotensi menyebabkan kerusakan berat pada lingkungan dengan kerugian yang nyata pada ekosistem. Masing-masing kemungkinan peringkat dari keenam unsur peluang dan dampak di atas memiliki simbol dan nilai, yaitu peluang atau dampak yang diabaikan diberi simbol A bernilai 1, peluang atau dampak rendah diberi simbol R bernilai 2, peluang atau dampak sedang diberi simbol S bernilai 3, dan peluang atau dampak tinggi diberi simbol T bernilai 4. Sementara itu, masing-masing unsur tersebut juga memiliki bobot sebagai berikut: 1. Peluang kontaminasi berbobot 0.2 2. Peluang pemaparan berbobot 0.2 3. Peluang penyebaran berbobot 0.2 4. Spektrum inang berbobot 0.2 5. Dampak ekonomi berbobot 0.1 6. Dampak lingkungan berbobot 0.1 Jumlah bobot keseluruhan peluang dan dampak adalah 1 dengan bobot terbesar 0,8 diberikan kepada perkiraan risiko yang berhubungan langsung dengan pengaruh buruk terhadap kesehatan, yaitu peluang kontaminasi, peluang pemaparan, peluang penyebaran, dan spektrum. Sementara bobot sisanya 0,2 diberikan kepada perkiraan risiko yang tidak berhubungan langsung dengan pengaruh buruk terhadap kesehatan. Kemudian, dari kombinasi enam unsur, empat kemungkinan, dan bobot tersebut, dibentuklah sebuah matriks yang akan digunakan untuk menentukan nilai skor terbobot suatu risiko. Berdasarkan nilai skor terbobot, ditentukan pengelompokan risiko secara kualitatif berdasarkan kisaran nilai skor. Matriks kombinasi skor dan pembobotan tersebut disajikan pada Tabel 8. Sedangkan kisaran total skor terbobot untuk pengelompokan risiko secara kualitatif disajikan pada Tabel 9. Matriks tersebut diperlukan untuk mendapatkan peringkat keseluruhan yang diperlukan untuk menetapkan risiko dari masing-masing pangan tradisional siap santap yang dikaji. Kombinasi yang mungkin dari keenam peluang dan dampak dengan empat kemungkinan peringkat peluang dan dampak adalah sebanyak 4096 kombinasi. Skor kombinasi terbobot tertinggi adalah 4 di mana seluruh peluang dan dampak berisiko tinggi T,T,T,T,T,T, dan yang terendah adalah 1 di mana seluruh peluang dan dampak dapat diabaikan A,A,A,A,A,A. Sementara skor kombinasi terbobot lainnya berkisar antara 1-4. Tabel 8. Matriks kombinasi peringkat dan perkiraan skor Skor peluangdampak Peluang dampak Bobot Konta- minasi X Pema- paran Y Penye- baran Z Spek- trum K Eko- nomi L Ling- kungan M Skor terbobot Kontaminasi 0.2 a A=1 R=2 S=3 T=4 aX Pemaparan 0.2 b A=1 R=2 S=3 T=4 bY Penyebaran 0.2 c A=1 R=2 S=3 T=4 cZ Spektrum 0.2 d A=1 R=2 S=3 T=4 dK Ekonomi 0.1 e A=1 R=2 S=3 T=4 eL Lingkungan 0.1 f A=1 R=2 S=3 T=4 fM Total skor terbobot aX+bY+cZ+dK+eL+fM Tabel 9. Kisaran total skor terbobot Risiko Kisaran total skor terbobot N= diabaikan 1 - 1.4 L= rendah 1.5 - 2.4 M= sedang 2.5 - 3.4 H= tinggi 3.4 - 4.0 Namun, karena matriks kombinasi skor ini diterapkan hanya pada satu jenis mikroba yaitu Staphylococcus aureus pada kelompok pangan yang memiliki karakterisasi yang hampir sama yaitu pangan tradisional siap santap maka peluang pemaparan, peluang penyebaran, spektrum inang dan dampak kesehatan, dampak ekonomi, dan dampak lingkungan akan bernilai relatif sama sehingga dapat dianggap sebagai konstanta. Dengan demikian, penetapan risiko keracunan Staphylococcus aureus pada pangan tradisional siap santap ini akan difokuskan pada penetapan peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan. Peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan tersebut ditetapkan berdasarkan identifikasi aspek-aspek risiko peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan seperti tercantum dalam Tabel 10. Identifikasi ini merupakan kumpulan keadaan-keadaan yang mendukung atau tidak mendukung keberadaan dan atau pertumbuhan Staphylococcus aureus pada suatu pangan, termasuk asal keberadaan Staphylococcus aureus tersebut pada pangan. Tabel 10. Identifikasi aspek risiko peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan No Aspek Risiko Peluang Kontaminasi Nilai 1 Peluang kontaminasi awal Staphylococcus aureus pada bahan mentah a 2 Efektivitas pengolahan dalam menurunkan jumlah Staphylococcus aureus b 3 Peluang terjadinya rekontaminasi dari tangan, udara terbuka, dan lainnya c 4 Suhu penyimpanan yang mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus d 5 Peluang adanya waktu inkubasi e 6 Matriks pangan yang mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus f 7 Ada tidaknya proses pemanasan ulang g Peluang adanya Staphylococcus aureus pada pangan Σ Penentuan nilai-nilai pada Tabel 10 ini mengikuti perincian yang tercantum pada Tabel 11 sampai dengan Tabel 17 yang memuat penjabaran kriteria nilai dari aspek-aspek risiko yang berhubungan dengan peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan. Penyusunan tabel-tabel penjabaran tersebut didasarkan pada studi literatur seperti yang dijelaskan di bawah setiap tabel. Selain itu, penyusunan kriteria ini juga melibatkan diskusi dengan tenaga ahli. Tabel 11. Peluang kontaminasi bahan mentah oleh Staphylococcus aureus Nilai Keterangan 1 Tipe 1: Bahan mentah yang tidak memberikan lingkungan yang mendukung adanya Staphylococcus aureus , seperti dominan nabati dan adanya mikroba kompetitor 3 Tipe 2: Bahan mentah yang merupakan keadaan pertengahan antara nilai 1 dan 5. 5 Tipe 3: Bahan mentah yang memberikan lingkungan yang mendukung adanya Staphylococcus aureus , seperti dominan hewani dan tidak adanya mikroba kompetitor Genus Staphylococcus aureus sebagian besar berasosiasi dengan kulit dan membran mukosa hewan vertebrata berdarah panas, namun sering juga diisolasi dari produk pangan, debu, dan air Holt et al., 1994 Namun, Staphylococcus aureus adalah mikroba kompetitor lemah dan pertumbuhannya mudah dihambat oleh mikroba lainnya Baird-Parker, 2000. Demikian juga Buckle et al. 1978 menyatakan bahwa Staphylococcus aureus tidak berkompetisi kuat dengan mikroba lainnya sehingga tidak berpengaruh nyata pada bahan pangan mentah. Bergdoll 1979 menyatakan bahwa kebanyakan daging telah terkontaminasi oleh Staphylococcus, namun secara normal hal ini tidak terlalu penting karena organisme ini biasanya tidak membelah secara cepat pada bahan pangan mentah dan dihancurkan ketika proses pemasakan. Staphylococcus yang ada pada daging sebelum pengolahan jarang berhubungan dengan kejadian keracunan pangan. Penelitian yang dilakukan Normanno et al. 2005 membuktikan bahwa dari 11.384 sampel yang diuji, sebanyak 1971 sampel 17,3 terbukti mengandung Staphylococcus koagulase positif. Sampel-sampel tersebut terdiri dari daging segar, produk daging, susu segar, susu olahan, keju, es krim, produk telur, produk ikan, dan lainnya. Dengan demikian, keberadaan Staphylococcus aureus pada bahan mentah kemungkinan akan menimbulkan masalah jika proses pengolahan bahan pangan tidak mampu menghancurkan bakteri tersebut. Tabel 12. Efektivitas proses pengolahan dalam menurunkan jumlah Staphylococcus aureus Nilai Keterangan 1 Pengolahan dengan kombinasi suhu dan waktu atau penambahan bahan yang mampu menghancurkan seluruh kontaminasi mikroba pada bahan mentah. 3 Pengolahan dengan kombinasi suhu dan waktu atau penambahan bahan yang mampu menekan jumlah kontaminasi mikroba pada bahan mentah, namun tidak memusnakan seluruhnya. 5 Pengolahan minimalis tanpa adanya proses panas. Gaman dan Sherington 1992 menyatakan bahwa Staphylococcus aureus mudah mati karena panas, yaitu pemanasan pada suhu 66 o C selama 10 menit. Tabel 13. Peluang terjadinya rekontaminasi Nilai Keterangan 1 Peluang kontak dengan tangan atau bagian tubuh lainnya rendah dan pangan dikemas 3 Peluang kontak dengan tangan atau bagian tubuh lainnya tinggi tetapi pangan tersebut dikemas, atau peluang kontak dengan tangan atau bagian tubuh lainnya rendah tetapi pangan tidak dikemas 5 Peluang kontak dengan tangan tinggi dan pangan tidak dikemas Keberadaan Staphylococcus aureus baik pada bagian-bagian tubuh manusia maupun pada lingkungan memberikan peluang untuk mengkontaminasi pangan jika terjadi kontak pangan dengan manusia dan atau dengan lingkungan. Pangan yang tidak terbungkus dan atau mengalami kontak dengan manusia selama penyiapan akan lebih mudah terkontaminasi daripada pangan yang dikemas dan atau disiapkan tanpa kontak dengan tubuh manusia. Demikian juga frekuensi kontak pangan dengan tubuh manusia dan atau lingkungan akan mempengaruhi tingkat kontaminasi. Buckle et al. 1978 menyatakan bahwa keracunan pangan oleh Staphylococcus aureus umumnya berasosiasi dengan pangan matang yang memerlukan proses penanganan oleh manusia seperti daging dan ayam, ham, produk-produk susu, seperti es krim, keju, dan lainnya. Penelitian yang dilakukan Hartini 2001 dan Ruslan 2003 membuktikan bahwa Staphylococcus aureus telah mencemari beberapa pangan tradisional siap santap seperti gado-gado, nasi rames, soto ayam, touge goreng, dan lain- lain. Hal ini kemungkinan terjadi karena pangan-pangan yang diuji telah mengalami kontak dengan tubuh pedagang dan atau dengan lingkungan. Bergdoll 1979 menyatakan bahwa sumber utama kontaminasi Staphylococcus aureus pada pangan yang banyak berhubungan dengan keracunan Staphylococcus adalah orang yang bekerja menangani pangan. Contoh yang diberikan dalam hal ini adalah pangan yang telah dipanaskan dengan cukup selama pengolahan untuk menghancurkan Staphylococcus, misalnya ham panggang, maka keracunan pangan yang berkaitan dengan ham panggang kebanyakan adalah karena hasil kontaminasi dari orang yang mengiris ham. Demikian pula peralatan dapat menjadi sumber kontaminasi, seperti yang pernah terjadi pada suatu kasus keracunan Staphylococcus yang disebabkan karena ham panggang, ternyata pada mesin pemotong ham ditemukan banyak Staphylococcus enterotoksigenik yang sama dengan yang ditemukan pada ham yang menyebabkan sakit. Walaupun ham secara langsung terkontaminasi dari mesin, namun sumber aslinya kemungkinan besar adalah manusia. Tabel 14. Suhu penyimpanan yang mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus Nilai Keterangan 1 Penyimpanan suhu rendah suhu refrigerasi , yaitu pada suhu di bawah 10 o C 3 Penyimpanan suhu kamar ± 25-28 o C yang merupakan bagian dari danger zone , yaitu 5-65 o C 5 Penyimpanan suhu pertumbuhan optimum Staphylococcus aureus 30-37 ° C Penilitian yang dilakukan Dewi 2008 dengan melakukan simulasi pertumbuhan Staphylococcus aureus pada beberapa pangan tradisional siap santap nasi uduk, soto ayam, dan tumis buncis menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu 5ºC tidak memperlihatkan pertumbuhan Staphylococcus aureus bahkan jumlah bakteri cenderung konstan. Hal ini juga terjadi pada penyimpanan suhu 10ºC yang tidak memperlihatkan pertumbuhan sel Staphylococcus aureus yang signifikan. BMKG Undate melaporkan bahwa rata-rata suhu udara bulanan di Jakarta adalah berkisar antara 26-28°C. Sementara Mas’ad Undate di dalam BMKG Undate menjelaskan bahwa suhu di daerah Jakarta cenderung lebih tinggi 0,7-0,9°C dibandingkan daerah pinggiran. Dengan demikian, suhu ruang di daerah penelitian ini Bogor diperkirakan sedikit di bawah suhu ruang daerah Jakarta, terlebih daerah Bogor adalah daerah pegunungan sehingga suhu udara cenderung lebih dingin. Dengan demikian, suhu ruang di daerah penelitian ini masuk ke dalam danger zone yang merupakan zona suhu di mana bakteri akan tumbuh dengan cepat, namun tidak masuk dalam kisaran suhu optimum pertumbuhan Staphylococcus aureus. Suhu optimum pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah 30-37°C Holt et al.,1994, sementara suhu pertumbuhan Staphylococcus aureus secara umum berkisar pada 7-47,8°C Jay, 2000. Tabel 15. Peluang adanya waktu inkubasi Nilai Keterangan 1 Pangan disantap langsung setelah diolah 3 Pangan baru disantap beberara lama kurang dari 3 jam setelah diolah 5 Pangan baru disantap setelah lama dibiarkan lebih dari 3 jam sejak waktu pengolahan Berdasarkan penelitian Rawendra 2008 tentang simulasi pertumbuhan Staphylococcus aureus pada beberapa pangan tradisional siap santap nasi uduk, tumis buncis, dan soto ayam, direkomendasikan bahwa waktu maksimum penyimpanan pada suhu ruang untuk meminimalisasikan risiko keracunan pangan adalah 6 jam. Sementara itu, FSIS 2007 merekomendasikan untuk tidak menyimpan pangan-pangan yang mudah rusak seperti daging, unggas, telur, dan casserole lebih dari 2 jam pada suhu ruang. Berdasarkan kedua rekomendasi ini, maka pada penelitian ini ditetapkan bahwa pangan yang dikaji dikatakan telah memiliki waktu inkubasi yang cukup berbahaya jika telah disimpan lebih dari 3 jam pada suhu ruang. Tabel 16. Matriks pangan yang mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus Nilai Keterangan 1 Tipe 1, yaitu pangan dengan matriks dengan aw yang tidak mendukung pertumbuhan S. aureus , rendah protein, dan atau mengandung mikroba kompetitor atau faktor penghambat pertumbuhan sehingga benar-benar menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus . 3 Tipe 2, yaitu pangan dengan matriks yang mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus , namun bukan pertumbuhan optimum, yaitu dengan adanya sebagian faktor pendukung pertumbuhan, namun juga ada faktor penghambat pertumbuhan. 5 Tipe 3, yaitu pangan dengan matriks yang benar-benar mendukung pertumbuhan optimum Staphylococcus aureus seperti aw yang tinggi, tanpa mikroba kompetitor, dan kandungan protein yang cukup tinggi. Staphylococcus aureus merupakan kompetitor lemah terhadap mikroba lainnya. Akan tetapi, pada pangan matang atau pangan bergaram yang bakteri lainnya telah dihancurkan dengan panas atau dihambat pertumbuhannya dengan garam, Staphylococcus aureus dapat berkembang sampai pada level yang membahayakan Buckle et al., 1978. Frazier dan Westhoff 1978 menyebutkan bahwa pangan yang banyak terkait dengan penyebab keracunan Staphylococcus aureus diantaranya adalah produk roti berisi custard –dan krim-, ham, unggas, daging dan produk daging, ikan dan produk ikan, susu dan produk susu, saus krim, salad, puding, custard, pai, dan salad dressing. Bergdoll 1979 juga menjelaskan bahwa banyak pangan yang menyediakan medium yang baik bagi pertumbuhan Staphylococcus yang terkait dengan kasus keracunan pangan. Di Amerika Serikat, daging babi, terutama ham panggang, adalah pangan yang paling sering menyebabkan kejadian keracunan. Selain itu, bahan dari unggas, salad, dan roti-roti yang berisi krim adalah pangan-pangan lain yang bertanggungjawab terhadap banyak kasus keracunan. Penelitian yang dilakukan Dewi 2008 membuktikan bahwa pertumbuhan Staphylococcus aureus di soto ayam dan nasi uduk lebih cepat daripada di tumis buncis, karena pada tumis buncis kebutuhan nutrisi berupa protein atau karbohidrat tidak tersedia sehingga pertumbuhan yang terjadi tidak optimum. Tabel 17. Keberadaan pemanasan ulang pada pangan Nilai Keterangan 1 Pemanasan dengan kombinasi suhu dan waktu yang mampu menghancurkan seluruh rekontaminan pada pangan. 3 Pemanasan ulang minimalis dengan kombinasi suhu dan waktu yang mampu menekan jumlah rekontaminan pada bahan namun tidak memusnakan seluruhnya. 5 Pengolahan minimalis tanpa adanya proses panas. Gaman dan Sherington 1992 menyatakan bahwa Staphylococcus aureus mudah mati karena panas, yaitu pemanasan pada suhu 66 o C selama 10 menit. Akan tetapi, jika pada pangan telah terbentuk enterotoksin maka proses pemanasan ulang tidak cukup untuk menghancurkannya karena enterotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus memiliki sifat tahan panas, yaitu bertahan selama 30 menit pada suhu 100ºC. Penjumlahan nilai-nilai dari Tabel 11 sampai dengan Tabel 17 di atas menunjukkan peluang adanya Staphylococcus aureus pada pangan, yang mewakili peluang kontaminasi. Untuk menentukan kemungkinan penjumlahan dari ketujuh nilai ini digunakan Tabel 18 yang merupakan pengkategorian tingkat peluang kontaminasi pada pangan. Tabel 18. Penentuan kemungkinan peluang kontaminasi Nilai Kemungkinan 7 - 13 A diabaikan 14 - 20 R rendah 21 - 27 S sedang 28 - 35 T tinggi Kemudian, setelah didapatkan nilai skor terbobot dari ketigapuluh pangan tradisional siap santap tersebut, maka dilakukan pemilihan pangan tradisonal yang akan dijadikan sampel pada pengujian tahap selanjutnya, yaitu tahap evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus koagulase positif pada salah satu pangan tradisonal siap santap. Pangan tradisional siap santap yang dipilih pada penelitian ini adalah nasi uduk.

2. Evaluasi Keberadaan Staphylococcus aureus Koagulase Positif Pada