Risiko Staphylococcus aureus Pada Pangan Tradisional Siap Santap dan Evaluasi Keberadaannya Dalam Nasi Uduk

(1)

RISIKO Staphylococcus aureus

PADA PANGAN TRADISIONAL SIAP SANTAP

DAN EVALUASI KEBERADAANNYA DALAM NASI UDUK

Oleh

TRI ERZA APRIYADI F24052683

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

DAN EVALUASI KEBERADAANNYA DALAM NASI UDUK

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

TRI ERZA APRIYADI F24052683

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

ii Nama : Tri Erza Apriyadi

NIM : F24052683

Menyetujui, Dosen Pembimbing

(Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc) NIP: 19620920 198603 2 002

Mengetahui, Ketua Departemen

(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP: 19650814 199002 1 001


(4)

iii Dewanti-Hariyadi.

RINGKASAN

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang umum terdapat pada manusia. Bakteri ini tergolong sebagai bakteri patogen yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia, terutama melalui pangan yang mengalami kontak dengan manusia selama penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan penyajian. Keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini tergolong dalam kasus intoksikasi, yaitu tertelannya enterotoksin stafilokoki, toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Intoksikasi merupakan salah satu jenis dari food-borne disease. Food-borne disease adalah gejala-gejala yang diakibatkan karena mengkonsumsi pangan yang mengandung sejumlah tertentu suatu bahan beracun atau patogen (Riemann dan Bryan, 1979).

Kasus-kasus food-borne disease yang terjadi tentunya memerlukan penanganan. Di Indonesia data-data mengenai food-borne disease sangat terbatas sehingga manajemen pangan yang tepat sulit dirancang. Kajian risiko

Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap yang lazim disajikan oleh industri jasa boga perlu dilakukan dan memerlukan dukungan data yang mencukupi. Tujuan penelitian ini adalah menetapkan risiko Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap secara kualitatif serta melakukan evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus koagulase positif dalam nasi uduk yang dijajakan oleh pelaku usaha diantaranya sebagai upaya verifikasi kajian risiko kualitatif yang dilakukan.

Penetapan risiko pada penelitian ini dilakukan dengan melakukan kajian risiko mikrobiologis secara kualitatif (BPOM, 2004b). Pada tahap ini dikaji tiga puluh pangan tradisional siap santap (PTSS) berdasarkan tinjauan literatur dan diskusi dengan pakar, dan keluarannya berupa pengelompokan pangan ke dalam kelompok risiko diabaikan, rendah, sedang, dan tinggi.

Evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus koagulase positif dilakukan dengan memeriksa keberadaan dan jumlah Staphylococcus aureus pada nasi uduk yang dijajakan oleh pelaku usaha kecil jasa boga. Pengujian dilakukan sesuai metode BAM (2001) dengan modifikasi.

Berdasarkan hasil penetapan peluang kontaminasi yang telah dilakukan pada 30 PTSS, didapatkan bahwa peluang kontaminasi Staphylococcus aureus

dalam 28 PTSS (termasuk nasi uduk) adalah sedang, sementara 2 PTSS lainnya memiliki peluang kontaminasi yang rendah. Bila dikombinasikan dengan peluang dan dampak risiko lainnya, maka PTSS dengan peluang kontaminasi sedang memiliki risiko Staphylococcus aureus sedang. Faktor-faktor yang mendorong peningkatan peluang kontaminasi adalah faktor rekontaminasi, waktu penyimpanan, dan keadaan matriks pangan, sedangkan proses pemanasan yang cukup merupakan faktor yang menurunkan peluang kontaminasi.

Verifikasi di lapangan meliputi enumerasi, isolasi, dan karakterisasi

Staphylococcus aureus koagulase positif pada nasi uduk yang dijajakan di enam warung. Sampel nasi uduk yang diuji umumnya tercemar Staphylococcus aureus.


(5)

iv membentuk enterotoksin dalam pangan. Meskipun demikian, tidak semua

Staphylococcus aureus yang ditemukan bersifat koagulase positif. Frekuensi isolasi Staphylococcus aureus koagulase positif dalam sampel nasi uduk adalah 6,67%, serta tidak semua ditemukan pada jumlah yang cukup untuk membentuk enterotoksin. Hasil pengujian Staphylococcus aureus dalam nasi uduk sejalan dengan penetapan risiko kualitatif yang menyimpulkan bahwa risiko

Staphylococcus aureus pada nasi uduk tergolong sedang.


(6)

v Penulis bernama lengkap Tri Erza Apriyadi yang merupakan putra ketiga dari Bapak Zainal Amanti dan Ibu Ellya Roza. Penulis dilahirkan di desa Tanjung Sari, salah satu desa di daerah Lampung Selatan, pada tanggal 18 April 1987.

Penulis memulai pendidikan formal di TK Dharmawanita Palas, lalu berlanjut ke SD Negeri 2 Bangunan, kemudian berlanjut ke SLTP PGRI 2 Palas. Sebagai usaha memperoleh pendidikan yang lebih baik, penulis melanjutkan sekolah ke daerah perkotaan, tepatnya di SMA Negeri 2 Bandar Lampung, yang kemudian di sekolah ini penulis mendapat undangan seleksi masuk ke Institut Pertanian Bogor (IPB), dan penulis menerimanya.

Penulis memulai pendidikan di IPB pada tahun 2005 tanpa memiliki jurusan karena saat itu IPB sedang melakukan uji coba sistem baru yang dikenal dengan sistem Mayor Minor. Setelah setahun kuliah tanpa jurusan, akhirnya penulis diterima di departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP). Di departemen ini penulis mendapatkan dasar-dasar teknologi pangan dari berbagai bidang seperti kimia pangan, analisis pangan, mikrobiologi pangan, dan lainnya.

Selama masa kuliah penulis tidak banyak aktif dalam kegiatan organisasi internal kampus dikarenakan satu dan lain hal, demikian juga penulis tidak banyak aktif dalam kegiatan-kegiatan internal kemahasiswaan yang ada.

Kemudian, untuk menyelesaikan pendidikan di departemen ITP, penulis memilih untuk melakukan penelitian pada bidang mikrobiologi pangan yang dibiayai oleh Seafast Center. Penelitian yang dipilih penulis adalah Risiko

Staphylococcus aureus Pada Pangan Tradisional Siap Santap dan Evaluasi Keberadaannya Dalam Nasi Uduk, yang tertuang dalam skrisi ini.

Dia pernah, dia sedang, dan dia ingin, tetapi dia hanyalah keturunan seorang yang telah diusir dari rumahnya oleh Robb-nya, lalu menjadi musafir di dunia, dan tidaklah ada tujuan seorang musafir, melainkan kembali ke rumahnya. Meski belum mengerti semuanya, yang dia tau, terbaik yang dapat dilakukannya saat ini, itulah yang dia perbuat, untuk

menyelesaikan misinya di dunia, satu hari, satu minggu, satu bulan, satu, sepuluh, seratus tahun... ...hingga dia kembali kepada penciptanya.

Dia tumbuh menjadi tunas baru, yang dulu bibitnya telah disemai, disiram segarnya air hujan, dan dihangatkan kilau mentari. Dua telah berselang, dan tunas ketiga mulai tumbuh. Berharap kelak akarnya menjadi akar yang kokoh, daunnya

menjadi yang terhijau, dan batangnya menjadi penopang kuat, karena kelak, bunga-bunga yang indah juga yang akan bertahta di atasnya, insya Alloh...


(7)

vi

Ο

Ο

Ο

Ο

¡

¡

¡

¡0000

!

!

!

!####



≈≈≈≈ΗΗΗΗ

q

q

q

q

9999

####

Ο

Ο

Ο

ΟŠŠŠŠ

m

m

m

m

9999

####

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh

Segala puji beriring cinta dan pengagungan hanya untuk Alloh, kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan memohon ampun kepada-Nya. Dan kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan dari keburukan amal-amal kami, barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Alloh maka tidak akan ada yang mampu menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan oleh Alloh maka tidak akan ada yang mampu menunjukinya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Alloh yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rosul-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dengan sebenar-benarnya takwa, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan Islam.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102) “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Alloh menciptakan isterinya, dan dari keduanya Alloh memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisaa’ [4]: 1) “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Alloh dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Alloh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Alloh dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzaab [33]: 70-71)

Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabulloh, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa sallam, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, dan setiap yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. Amma ba’du:


(8)

vii 1. Ba’, Ibu, Bang Eko, Bang Dwi, Kak Linda, Kak Rini, dan segenap

keluarga atas doa dan dukungannya.

2. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik.

3. Dr. Dra. Suliantari, M.S. dan Elvira Syamsir, S.TP, M.Si., yang telah bersedia menjadi dosen penguji dan memberikan masukan dalam perbaikan skripsi ini.

4. Seafast Center atas dukungan dana penelitian dan fasilitas yang disediakan, terutama fasilitas DE yang sering menjadi tempat istirahat penulis saat melakukan penelitian.

5. Seluruh staf dan teknisi Seafast Center atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian.

6. Seluruh laboran, pegawai, dan teknisi, baik dari Seafast Center maupun Departemen ITP, terutama Mba Ari, Pak Abah, Bu Ntin, Mas Yeris dan Mba Sofah.

7. Rekan-rekan satu laboratorium, termasuk laboratorium tetangga, yang juga sedikit banyak telah membantu penulis dalam melakukan penelitian. 8. Teman-teman di markas, baik At Tauhid, Al Furqon, Al Ghuroba,

maupun yang semisal dengan mereka, atas, atas apa ya, pokoknya syukron

lah, Jazakumullohu khoiron.

9. Juga kepada teman-teman ITP 42, khususnya para penghuni dan alumni Aulia, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Terakhir, penulis berharap agar hasil penelitian ini berguna bagi dunia teknologi pangan dan bidang-bidang lain yang terkait dengan penelitian ini. Dan akhir doa penulis adalah Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin.

Bogor, 26 Safar 1431 H/10 Feb 2010

Penulis kaptenbombay.wordpress.com


(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN ...ii

RINGKASAN ...iii

RIWAYAT HIDUP ...v

KATA PENGANTAR ...vi

DAFTAR ISI ...viii

DAFTAR GAMBAR ...ix

DAFTAR TABEL ...x

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

I. PENDAHULUAN ...1

A. LATAR BELAKANG ...1

B. TUJUAN PENELITIAN ...3

C. MANFAAT PENELITIAN ...3

II. TINJAUAN PUSTAKA ...4

A. Staphylococcus aureus ...4

B. PENYAKIT ASAL PANGAN KARENA S. aureus ...9

C. PENETAPAN RISIKO ...16

III. METODOLOGI PENELITIAN ...24

A. BAHAN DAN ALAT ...24

B. METODE PENELITIAN ...24

C. METODE KAJIAN DAN ANALISIS ...26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...47

A. PENETAPAN RISIKO KERACUNAN S. aureus DALAM PANGAN TRADISIONAL SIAP SANTAP...47

B. EVALUASI KEBERADAAN Staphylococcus aureus KOAGULASE POSITIF PADA NASI UDUK ...61

V. KESIMPULAN DAN SARAN ...79

A. KESIMPULAN ...79

B. SARAN ...79

DAFTAR PUSTAKA ...xiii


(10)

ix Gambar 1. Penampakan Staphylococcus aureus di bawah mikroskop

elektron...6

Gambar 2. Diagram penentuan Staphylococcus aureus...7

Gambar 3. Klasifikasi food-borne disease...10

Gambar 4. Komponen analisis Risiko... ...17

Gambar 5. Diagram alir kajian risiko...19

Gambar 6. Proses manajemen Risiko...20

Gambar 7. Peta penyamplingan nasi uduk...41

Gambar 8. Kondisi sampel yang diperoleh dari warung...42

Gambar 9. Penampakan sampel nasi uduk...42

Gambar 10. Diagram alir penelitian...46

Gambar 11. Tabung-tabung MPN yang keruh karena pertumbuhan Staphylococcus aureus...62

Gambar 12. Timbulnya endapan putih menunjukkan pertumbuhan Staphylococcus aureus...63

Gambar 13. Cawan berisi agar Baird-Parker yang telah ditumbuhi Staphylococcus aureus dengan koloni berwarna hitam...64

Gambar 14. Penampakan koloni Staphylococcus aureus pada agar Baird-Parker...64

Gambar 15. Isolat Staphylococcus aureus pada TSA miring...65

Gambar 16. Penampakan sel Gram (+) dan bulat bergerombol...65

Gambar 17. Gumpalan plasma kelinci pada uji koagulase...66

Gambar 18. Gelembung-gelembung gas pada uji katalase...67

Gambar 19. Perubahan warna media pada uji fermentasi...68

Gambar 20. Grafik jumlah presumtif Staphylococcus aureus dari 6 warung pengujian...68


(11)

x Tabel 1. Spesies mikroba predominan yang dijumpai di beberapa

daerah anatomi manusia...5

Tabel 2. Klasifikasi ilmiah Staphylococcus aureus...5

Tabel 3. Karakteristik tipikal dari S. aureus, S. epidermidis, dan Mikrococci...7

Tabel 4. 10 Besar agen penyebab food-borne disease di Eropa periode tahun 1990-1992...12

Tabel 5. Data Keracunan Pangan di Indonesia...15

Tabel 6. Data cemaran Staphylococcus aureus pada beberapa jenis pangan...16

Tabel 7. 30 Jenis Pangan Tradisional Siap Santap (PTSS) yang dijadikan sampel dalam penetapan risiko S. aureus...26

Tabel 8. Matriks kombinasi peringkat dan perkiraan skor...32

Tabel 9. Kisaran total skor terbobot...32

Tabel 10. Identifikasi bahaya pada pangan...33

Tabel 11. Peluang kontaminasi bahan mentah oleh Staphylococcus aureus...34

Tabel 12. Efektivitas proses produksi dalam menurunkan jumlah Staphylococcus aureus...35

Tabel 13. Peluang terjadinya rekontaminasi...35

Tabel 14. Suhu penyimpanan yang mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus...36

Tabel 15. Peluang adanya waktu inkubasi...37

Tabel 16. Matriks pangan yang mendukung pertumbuhanS. aureus...38

Tabel 17. Keberadaan pemanasan ulang pada pangan... ...39

Tabel 18. Penentuan kemungkinan peluang kontaminasi...40

Tabel 19. Penetapan peluang kontaminasi pada 30 PTSS...47

Tabel 20. Peluang kontaminasi Staphylococcus aureus pada nasi uduk.56 Tabel 21. Matriks kombinasi peringkat dan perkiraan risiko Staphylococcus aureus pada nasi uduk...60


(12)

xi nasi uduk...71 Tabel 24. Frekuensi isolasi Staphylococcus aureus koagulase positif

dari nasi uduk...75 Tabel 25. Hubungan antara keberadaan Staphylococcus aureus

koagulase positif dengan jumlah dugaan Staphylococcus

aureus...76 Tabel 26. Pengaruh penambahan waktu inkubasi terhadap keberadaan


(13)

xii Lampiran 1. Data penetapan peluang kontaminasi dari tiga puluh

jenis PTSS...81 Lampiran 2. Data Enumerasi, Isolasi, dan Karakterisasi Staphylococcus

aureus koagulase positif pada nasi uduk...83 Lampiran 3. Persiapan Media dan Bahan...95 Lampiran 4. Tabel nilai MPN 3 Seri Pengenceran untuk 0.1, 0.01,


(14)

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang umum terdapat pada manusia dan tergolong sebagai patogen yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia melalui pangan. Keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini tergolong dalam kasus intoksikasi, yaitu tertelannya enterotoksin yang dihasilkan oleh

Staphylococcus aureus dalam pangan. Menurut Pelczar dan Chan (2005), gejala umum keracunan enterotoksin stafilokoki berupa mual, pusing, muntah, dan diare. Heritage et al. (1999) menyebutkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya gejala keracunan sejak tertelannya toksin tersebut adalah sekitar tiga puluh menit sampai enam jam.

Staphylococcus aureus secara alami terdapat pada tubuh manusia, maka bakteri ini merupakan salah satu agen terpenting penyebab food-borne disease

yang sering terjadi di masyarakat. Food-borne disease (penyakit asal pangan) adalah gejala-gejala yang diakibatkan karena mengkonsumsi pangan yang mengandung sejumlah tertentu suatu bahan beracun atau patogen (Riemann dan Bryan, 1979). Menurut Jaykus (2003), food-borne disease adalah penyebab utama morbiditas dan mortilitas di seluruh dunia.

Penyebab terbesar masuknya Staphylococcus aureus ke dalam rantai pangan (yang kemudian menyebabkan keracunan stafilokoki) adalah karena rendahnya sanitasi pekerja yang menangani pangan. Selain itu, faktor lingkungan juga berpengaruh pada tingkat kontaminasi. Pangan yang disiapkan di bawah kondisi dan lingkungan yang kurang baik berimplikasi dengan tingginya kejadian

food-borne disease dari pada yang lainnya (Ray, 2001). Ray (2001) juga menjelaskan bahwa secara umum, kejadian food-borne disease lebih banyak terjadi pada negara berkembang dari pada negara maju. Hal ini tentunya karena perbedaan tingkat sanitasi antara negara maju dengan negara berkembang.

Di Amerika Serikat yang tergolong sebagai negara maju, food-borne disease diduga bertanggung jawab terhadap 76 juta kasus sakit, 325.000 kasus rawat inap, dan 5.000 kasus kematian per tahunnya (Mead et al., 1999 di dalam Jaykus, 2003). Hal ini baru dampak terhadap kesehatan, sementara itu masih ada dampak lain berupa turunnya produktivitas kerja, biaya rumah sakit, dan lainnya.


(15)

Banyaknya kasus food-borne disease yang terjadi tentunya memerlukan penanganan. Akan tetapi, penanganan ini terhambat dengan sedikitnya data hasil pelaporan kejadian sehingga sulit dilakukan identifikasi penyebab kasus-kasus ini. Kebanyakan kasus keracunan tidak dilaporkan sehingga monitoring dan evaluasinya pun tidak terlaksana dengan baik. Heritage et al. (1999) menjelaskan salah satu penyebabnya adalah bahwa kasus-kasus ini banyak terjadi pada kondisi terbatas dalam selang waktu yang singkat sehingga tidak pernah dilaporkan pada petugas yang berwenang untuk dicatat. Lebih lanjut Heritage et al. (1999) menambahkan bahwa kejadian keracunan pangan sebenarnya mungkin sepuluh sampai seratus kali lebih besar dari pada dugaan resmi yang ada. Oleh karena itu, penelitian untuk mengidentifikasi penyebab kasus-kasus food-borne disease

sangat penting untuk dilakukan.

Di Indonesia, yang merupakan negara berkembang, sedikitnya pelaporan kejadian keracunan pangan juga menyebabkan sulitnya mengidentifikasi penyebab keracunan. Data yang tersedia umunya hanya menyatakan lokasi kejadian dan jumlah korban, namun tidak sampai pada menjelaskan penyebabnya. Data yang lain menyebutkan penyebabnya, namun sangat umum, seperti yang dilaporkan BPOM (2005) di dalam Hariyadi dan Andarwulan (2007) bahwa penyebab keracunan pangan yang dilaporkan di Indonesia adalah faktor mikrobiologis sebesar 14%, faktor kimia sebesar 12%, dan sisanya tidak diketahui (57%).

Namun, dengan mempertimbangkan latar belakang sosial, budaya, dan pendidikan yang ada di Indonesia, maka diduga kuat bahwa kasus-kasus keracunan yang terjadi merupakan dampak dari rendahnya praktek sanitasi dalam mengolah dan menyiapkan pangan, terutama pada industri jasa boga. Hal ini didukung dengan laporan BPOM (2005) di dalam Hariyadi dan Andarwulan (2007) bahwa salah satu sumber terbesar penyebab keracunan pangan di Indonesia selama tahun 2001-2004 adalah industri jasa boga, yaitu sebanyak 31%.

Berdasarkan dugaan di atas, maka besar kemungkinannya bahwa keracunan pangan yang terjadi di Indonesia merupakan kasus-kasus food-borne disease, terutama pada industri jasa boga tradisional yang menyediakan pangan siap santap. Hal ini karena umumnya industri jasa boga tradisional menyediakan


(16)

pangan dalam jumlah yang cukup banyak dan disajikan dalam waktu yang cukup lama dengan praktek sanitasi yang minimalis, sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi bakteri dari tubuh manusia. Berdasarkan dugaan ini juga, maka besar kemungkinannya bahwa Staphylococcus aureus merupakan salah satu agen penyebab food-borne disease karena keberadaannya yang secara alami ada pada tubuh manusia.

Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian untuk mengetahui risiko

Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap yang umumnya disajikan oleh industri jasa boga. Pengetahuan yang baik mengenai risiko Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap tersebut dapat digunakan untuk memprediksi peluangnya sebagai penyebab kasus-kasus

food borne disease. Selain itu, diketahuinya risiko Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk menetapkan prioritasisasi manajemen risiko di Indonesia.

Kemudian, untuk memverifikasi risiko Staphylococcus aureus yang telah ditetapkan pada pangan-pangan tradional siap santap, maka perlu dilakukan evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus pada salah satu jenis pangan tersebut. Pangan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah nasi uduk.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan risiko Staphylococcus aureus pada pangan tradisional siap santap secara kualitatif, serta mengevaluasi keberadaan Staphylococcus aureus di dalam nasi uduk yang dijajakan oleh pelaku usaha, yang juga merupakan verifikasi dari penetapan risiko kualitatif di atas.

C. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pihak terkait sebagai salah satu acuan untuk menetapkan prioritasisasi manajemen risiko di Indonesia, khususnya pengelolaan keamanan pangan tradisioanal siap santap.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah salah satu bakteri yang umum ditemukan pada berbagai bagaian tubuh manusia. Kira-kira 50% penduduk membawa Staphylococcus aureus dalam daerah saluran pernafasan, yaitu hidung dan kerongkongan. Dari sini organisme dengan mudah dipindahkan ke kulit, terutama tangan, dan ke rambut. Juga, Staphylococcus aureus adalah bakteri yang biasa menginfeksi luka, bisul, dan luka terbuka. Organisme tersebut juga dijumpai pada hewan, seperti lembu dan kambing, dan kemungkinan dalam susu segar (Gaman dan Sherrington, 1992). Keberadaan

Staphylococcus aureus dan beberapa jenis mikroba lainnya yang umum ditemukan pada beberapa bagian tubuh manusia dapat dilihat pada Tabel 1.

Di dalam Bergey’s Manual oleh Holt et al. (1994) diterangkan ciri-ciri genus Staphylococcus sebagai berikut. Sel-sel berbentuk bola, berdiameter 0,5 sampai 1,5 m, terdapat tunggal, berpasangan, dan dalam kelompok tak beraturan. Gram positif, nonmotil, tidak membentuk spora. Anaerob fakultatif. Kemoorganotrof baik dengan respirasi maupun fermentasi. Koloni umumnya opaq dan mungkin putih atau krim, dan juga terkadang kuning sampai jingga, biasanya katalase positif. Memiliki sitokrom tapi umumnya oksidase negatif. Seringkali mereduksi nitrat menjadi nitrit. Mudah lisis oleh lysostaphin tapi tidak dengan lysozim (Schleifer dan Kloos, J. Clin, Mikrobiol. 1: 337-338, 1995). Umunya tumbuh dengan 10% NaCl. Suhu optimum 30-37°C. Sebagian besar berasosiasi dengan kulit dan membran mukosa hewan vertebrata berdarah panas, namun sering juga diisolasi dari produk pangan, debu, dan air. Beberapa spesies berpeluang bersifat patogen pada manusia dan hewan, atau membentuk toksin ekstraselular. Spesies tipe: Staphylococcus aureus. Klasifikasi ilmiah Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Tabel 2, sementara penampakannya di bawah mikroskop elektron dapat dilihat pada Gambar 1.


(18)

Tabel 1. Spesies mikroba predominan yang dijumpai di beberapa daerah anatomi manusia (Pelczar dan Chan, 2005)

DAERAH MIKROORGANISME % TIMBULNYA

Kulit Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus aureus

Propionibacterium acnes Korinebakteri (difteroid) aerobik

85 – 100 5 – 25 45 – 100

55 Hidung dan

nasofaring

Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus aureus

Korinebakteri (difteroid) aerobik Branhamella catarrhalis Haemophilus influenzae

90 20 – 85

5 – 80 12 12 Mulut (air liur

dan permukaan gigi)

Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus aureus

Streptococcus mitis dan

Streptococcus α-hemolitik lainnya

Staphylococcus salivarius Peptostreptokokus Veillonella alcalescens Lactobasilus Actinomyces israelii Haemophilus influenzae Bacterioides fragilis B. melaninogenicus B. oralis Fusobacterium nucleatum Candida albicans

Treponema denticola dan T. vincentii

75 – 100 Umum 100 100 Banyak 100 95 Umum 25 – 100

Umum Umum Umum 15 – 90

6 – 50 Umum Orofaring (bagian belakang mulut, ed) Staphylococcus epidermidis Staphylococcus aureus Difteroid Streptococcus pneumoniae

Streptococcus –α dan nonhemolitik

Branhamella catarrhalis Haemophilus influenzae H. parainfluenzae Neisseria meningitidis

30 – 70 35 – 40 50 – 90 0 – 50 25 – 99 10 – 97 5 – 20 20 – 35

0 - 15

Tabel 2. Klasifikasi ilmiah Staphylococcus aureus (Anonim, 2009)

Domain Bakteria

Kingdom Eubakteria

Filum Firmicutes

Kelas Cocci

Ordo Bacillales

Famili Staphylococcaceae

Genus Staphylococcus


(19)

Gambar 1. Penampakan Staphylococcus aureus di bawah mikroskop elektron (Anonim, 2008)

Jay (2000) mengatakan bahwa meskipun Staphylococcus aureus dapat tumbuh baik pada media tanpa NaCl, Staphylococcus aureus dapat tumbuh dengan baik pada konsentrasi garam 7-10%, dan beberapa strain dapat tumbuh pada konsentrasi garam 20%. Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada pH antara 4.0 sampai 9.9, tetapi pH optimumnya ada pada kisaran 6 sampai 7, sementara aw minimum untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus umumnya adalah 0.86.

Secara sederhana, pengujian untuk mengisolasi dan mengarakterisasi

Staphylococcus aureus pada suatu sampel dilakukan dengan mengikuti serangkaian prosedur yang diperlihatkan pada Gambar 2. Gambar 2 tersebut merupakan prosedur pengujian bertahap untuk mengisolasi Staphylococcus aureus berdasarkan perbedaan-perbedaan karakterteristik dengan bakteri-bakteri lainnya. Sementara itu, karakteristik tipikal Staphylococcus aureus


(20)

Bakteri Gram positif Bulat? Batang? (cocci) (bacili)

Hidup di udara?

Tidak Ya

Anaerobic Katalase? cocci

Tidak Ya

Memfermentasi glukosa?

Ya Tidak

Koagulase? Micrococci

Ya Tidak

Staphylococcus aureus

Gambar 2. Diagram penentuan Staphylococcus aureus (Heritage et al., 1999, dengan modifikasi)

Tabel 3. Karakteristik tipikal dari S. aureus, S. epidermidis, dan Mikrococcia

Karakteristik S. aureus S. epidermidis Mikrococci

Aktivitas katalase + + +

Kemampuan membentuk koagulase

+ - -

Kemampuan membentuk termonuclease

+ - -

Sensitifitas lisostafin + + -

Fermentasi glukosa + + -

Fermentasi mannitol + - -

a

+, Kebanyakan (lebih dari 90%) strain positif; -, kebanyakan (lebih dari 90%) strain negatif (BAM, 2001)


(21)

Dua uji yang umumnya digunakan untuk membedakan Staphylococcus aureus dari stafilokoki lainnya adalah uji koagulase (penggumpalan plasma darah) dan uji thermostable nuclease (pemecahan DNA oleh nuklease yang bertahan selama pemanasan). Namun, kedua uji ini tidak secara mutlak bersifat spesifik terhadap Staphylococcus aureus (Baird-Parker, 1979, di dalam ICMSF, 1996). Hal ini disebabkan karena adanya stafilokoki lain yang juga memproduksi koagulase. Spesies stafilokoki lainnya mungkin memproduksi sejumlah kecil koagulase dan karena alasan ini biasanya disarankan bahwa hanya pembentuk koagulase yang kuat (banyak) saja yang dianggap sebagai Staphylococcus aureus (ICMSF, 1978, di dalam ICMSF, 1996).

Jay (2000) menyatakan bahwa pengujian yang telah berlangsung lama secara menyakinkan membuktikan bahwa strain stafilokoki koagulase positif adalah penghasil enterotoksin. Demikian pula Bryan (1976) menyatakan bahwa keberadaan koagulase sangat terkait erat dengan patogenisitas dan digunakan sebagai pembeda antara Staphylococcus aureus dengan stafilokoki lainnya.

Penelitian yang dilakukan Normanno et al. (2005) menyatakan bahwa dari 11.384 sampel (terdiri dari 9869 sampel pangan dan 1515 sampel usap dari permukaan yang kontak dengan pangan) yang diuji, sebanyak 1971 sampel (17,3%) terbukti mengandung Staphylococcus koagulase positif. Sebanyak 541 sampel diuji lebih lanjut (dengan uji katalase, pewarnaan Gram, dan API Staph Sytem) dan terbukti bahwa 537 sampel (99,3%) teridentifikasi sebagai Staphylococcus aureus. Kemudian, dari 537 isolat tersebut terbukti bahwa 298 isolat (55,5%) diketahui memproduksi enterotoksin. Dengan demikian, uji kemampuan Staphylococcus aureus untuk membentuk enzim koagulase merupakan bagian penting dari pendugaan kemampuannya sebagai pembentuk enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan pangan.

Keberadaan thermostable nuclease juga merupakan bagian penting dari pendugaan kemampuan Staphylococcus aureus untuk memproduksi enterotoksin. Minor dan Marth (1976) menyatakan bahwa heat-stable nuclease (atau thermostable nuclease) adalah salah satu karakteristik fisiologi


(22)

yang dapat digunakan sebagai indikasi kemampuan Staphylococcus untuk membentuk enterotoksin. Prinsip pengujian karakteristik ini adalah dengan menumbuhkan kultur bakteri pada suatu agar yang mengandung DNA. Perubahan penampakan agar, yang umumnya dengan terbentukanya zona jernih, menunjukkan adanya proses pemecahan DNA pada agar oleh enzim

thermostable nuclease yang dihasilkan oleh bakteri uji. Dengan demikian, perubahan penampakan tersebut menunjukkan keberadaan bakteri yang memiliki karakteristik pembentuk thermostable nuclease.

Uji lain yang digunakan untuk membedakan Staphylococcus aureus

dari stafilokoki lainnya adalah pengujian sensitifitas lisostafin. Lisostafin adalah salah satu jenis antimikroba. Lisostafin dapat berfungsi sebagai antimikroba terhadap Staphylococcus aureus (Anonim1, 2009). Uji sensitifitas lisostafin pada Staphylococcus aureus ditunjukkan dengan kemampuan lisostafin melisiskan sel-sel Staphylococcus aureus dalam suatu suspensi yang ditandai dengan berubahnya suspensi dari keruh (suspensi sel

Staphylococcus aureus) menjadi jernih.

B. PENYAKIT ASAL PANGAN KARENA Staphylococcus aureus

Penyakit asal pangan (food-borne disease) adalah gejala-gejala yang diakibatkan karena mengkonsumsi pangan yang mengandung sejumlah tertentu suatu bahan beracun atau patogen (Riemann dan Bryan, 1979). Menurut Jaykus (2003), food-borne disease adalah penyebab utama morbiditas dan mortilitas di seluruh dunia. Terdapat berbagai jenis food-borne disease yang penyebabnya juga bermacam-macam. Secara ringkas, jenis-jenis


(23)

Gambar 3. Klasifikasi food-borne disease (Bryan, 1976 di dalam Frazier dan Westhoff, 1978)

Jika ruang lingkup penyebabnya dikhususkan pada bakteri, maka food-borne disease secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu intoksikasi dan infeksi. Heritage et al. (1999) menjelaskan bahwa pada kasus intoksikasi, toksin diproduksi oleh mikroba dan dapat menimbulkan gejala penyakit meskipun seseorang tidak mengkonsumsi bakteri hidup. Pada kasus infeksi bakteri harus terkonsumsi dalam bentuk hidup dan melakukan perbanyakan dalam saluran pencernaan sebelum akhirnya gejala keracunan mulai tampak. Diantara kedua jenis kasus ini terdapat kasus lain yang disebut toksikoinfeksi. Ray (2001) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan toksikoinfeksi adalah penyakit yang disebabkan tertelannya bakteri patogen hidup dalam jumlah besar melalui makanan dan air yang terkontaminasi, kemudian bakteri ini


(24)

mengalami sporulasi atau mati, kemudian mengeluarkan toksin yang menyebabkan gejala sakit.

Salah satu jenis food borne disease adalah keracunan stafilokoki. Kasus ini merupakan jenis kasus intoksikasi, yaitu tertelannya stafilokoki enterotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus ke dalam saluran pencernaan. Gejala keracunan atau intoksikasi stafilokoki ini pertama kali dipelajari pada tahun 1894 oleh J. Denys dan berikutnya tahun 1914 oleh Barber, yang membuat tanda-tanda dan gejala penyakit pada dirinya sendiri dengan mengkonsumsi susu yang dikontaminasi dengan kultur

Staphylococcus aureus (Jay, 1996). Menurut Buckle et al. (1978) jumlah

Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk membentuk enterotoksin dalam suatu pangan adalah sekitar 106 sel/g pangan. Sumber lain (Forsythe, 2000 di dalam Forsythe, 2002) menyatakan bahwa jumlah Staphylococcus aureus

yang diperlukan untuk membentuk enterotoksin dalam suatu pangan adalah 105 - <106 sel/g. Sementara itu, jumlah minimal toxin yang menyebabkan keracunan adalah 0,5-5 µg (Forsythe, 2000 di dalam Forsythe, 2002). Menurut Pelczar dan Chan (2005), pada umumnya gejala keracunan enterotoksin stafilokoki berupa mual, pusing, muntah, dan diare. Jay (2000) menyatakan bahwa tingkat kematian karena keracunan ini rendah atau nol. Dia juga menyatakan bahwa pengobatannya cukup dengan istirahat dan memelihara keseimbangan cairah tubuh. Buckle et al. (1978) menambahkan bahwa waktu yang diperlukan untuk penyembuhan umumnya cukup cepat (sekitar satu hari). Meskipun demikian, dampak keracunan ini tentunya tidak dikehendaki oleh konsumen.

Keracunan yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus merupakan salah satu kasus keracunan terpenting di dunia. Zhang et al. (1998) di dalam Normanno et al. (2005) menyatakan bahwa Staphylococcus aureus

dipertimbangkan sebagai penyebab terbesar ketiga dari kejadian-kejadian

food-borne illness di dunia. Laporan WHO mengenai food-borne disease di Eropa pada tahun 1990-1992 menempatkan Staphylococcus aureus diurutan kedua dalam sepuluh besar agen penyebab food-borne disease (Tabel 4).


(25)

Tabel 4. 10 Besar agen penyebab food-borne disease di Eropa periode tahun 1990-1992 (Clark et al., 2000)

Agen food borne disease Jumkah kejadian %

Salmonella spp. 9822 84,5

Staphylococcus aureus 409 3,5

Clostridium perfringens 356 3

Trichinella 181 1,5

Jamur 152 1,3

Clostridium botulinum 123 1,1

Bacilus cereus 113 1

Campylobacter spp. 85 0,7

Shigella spp. 64 0,5

Escherichia coli 33 0,3

Lainnya* 301 2,6

*Lainnya meliputi virus (60 kejadian), senyawa kimia (54), Scombrotoxin (48), E. coli O157 (12)

Staphylococcus aureus adalah mikroba kompetitor lemah dan pertumbuhannya mudah dihambat oleh mikroba lainnya (Baird-Parker, 2000). Demikian juga Buckle et al. (1978) menyatakan bahwa Staphylococcus aureus

tidak berkompetisi kuat dengan mikroba lainnya sehingga tidak berpengaruh nyata pada bahan pangan mentah. Namun, pada pangan matang atau pangan bergaram yang bakteri lainnya telah dihancurkan dengan panas atau dihambat pertumbuhannya dengan garam, Staphylococcus aureus dapat berkembang sampai pada level yang membahayakan.

Dengan demikian, modus keracunan oleh Staphylococcus aureus yang umum adalah pada pangan matang (terutama pangan yang tinggi protein) yang telah bersih dari mikroba, namun kemudian terkontaminasi oleh

Staphylococcus aureus dalam selang waktu yang cukup hingga terbentuknya racun pada pangan tersebut. Hal ini dicontohkan oleh Bergdoll (1979) yang menjelaskan salah satu modus keracunan yang disebabkan karena ham panggang. Ham panggang merupakan menu yang umum dalam acara piknik, yang biasanya melibatkan banyak orang, dan secara umum sangat sulit untuk menjaga ham pada suhu refrigerasi hingga ham tersebut dikonsumsi. Refrigerasi diperlukan untuk menghambat pertumbuhan Staphylococcus yang mungkin ada pada pangan. Terlebih, suhu hangat pada musim panas akan memperparah keadaan ini. Keadaan ini akan memberikan kesempatan bagi


(26)

membentuk racun sehingga saat dikonsumsi akan menyebabkan keracunan pangan.

Sumber utama kontaminasi Staphylococcus aureus adalah manusia yang menangani pangan. Gaman dan Sherrington (1992) menyebutkan bahwa

Staphylococcus aureus disebarkan oleh para pengelola pangan, selama pemasakan dan penyiapannya. Penanganan pangan dengan tangan, yang tidak meggunakan peralatan memadai, barangkali merupakan cara penyebaran yang paling umum, terutama jika orang yang menangani pangan mengalami infeksi atau luka pada tangannya. Batuk dan bersin dekat dengan pangan dapat menyebabkan kontaminasi, dan rambut yang jatuh pada makanan atau menggantung (terurai) dekat dengan makanan juga dapat menimbulkan bahaya.

Bergdoll (1979) menyatakan bahwa sumber utama kontaminasi

Staphylococcus aureus pada pangan yang banyak berhubungan dengan keracunan Staphylococcus adalah orang yang bekerja menangani pangan. Contoh yang diberikan dalam hal ini adalah pangan yang telah dipanaskan dengan cukup selama pengolahan untuk menghancurkan Staphylococcus, misalnya ham panggang, maka keracunan pangan yang berkaitan dengan ham panggang kebanyakan adalah karena hasil kontaminasi dari orang yang mengiris ham. Demikian pula peralatan dapat menjadi sumber kontaminasi, seperti yang pernah terjadi pada suatu kasus keracunan Staphylococcus yang disebabkan karena ham panggang, ternyata pada mesin pemotong ham ditemukan banyak Staphylococcus enterotoksigenik yang sama dengan yang ditemukan pada ham yang menyebabkan sakit. Walaupun ham secara langsung terkontaminasi dari mesin, namun sumber aslinya kemungkinan besar adalah manusia.

Staphylococcus aureus hidup pada matriks yang tinggi protein, sehingga kasus-kasus keracunan Staphylococcus aureus pun umumnya terjadi pada pangan dengan kriteria tersebut. Beberapa jenis pangan yang pernah dilaporkan berasosiasi dengan keracunan Staphylococcus aureus adalah daging dan ayam, ham, produk-produk susu, seperti es krim, keju, dan lainnya (Buckle et al., 1978); produk roti berisi custard –dan krim-, ham, unggas,


(27)

daging dan produk daging, ikan dan produk ikan, susu dan produk susu, saus krim, salad, puding, custard, pai, dan salad dressing (Frazier dan Westhoff 1978); sementara di Amerika Serikat, daging babi, terutama ham panggang, adalah pangan yang paling sering menyebabkan kejadian keracunan (Bergdoll 1979).

Kejadian food-borne disease di Indonesia (yang tergolong sebagai negara berkembang) masih cukup tinggi. Di tahun 2004 misalnya telah terjadi lebih dari 50 kali kejadian keracunan makanan massal di Indonesia, 15 orang korbannya dinyatakan meninggal dunia (UNTAG, 2008). Sementara itu, menurut data Departemen Kesehatan (2008), setidaknya ada 32 kasus keracunan pangan sepanjang April 2006 sampai dengan November 2008. Tiga puluh dua kasus tersebut mencakup 4307 korban dengan rincian 57 orang meninggal, 2357 orang rawat inap, dan 1893 orang rawat jalan (Tabel 5).

Namun, minimnya tindakan lanjut dari pelaporan kasus-kasus keracunan pangan ini menyebabkan sulitnya mengidentifikasi penyebab keracunan. Data yang tersedia umunya hanya menyatakan lokasi kejadian dan jumlah korban, namun tidak sampai pada menjelaskan penyebabnya. Data yang lain menyebutkan penyebabnya, namun sangat umum, seperti yang dilaporkan BPOM (2005) di dalam Hariyadi dan Andarwulan (2007) bahwa penyebab keracunan pangan yang dilaporkan di Indonesia selama tahun 2001-2004 adalah faktor mikrobiologis sebesar 14%, faktor kimia sebesar 12%, dan sisanya tidak diketahui (yaitu sebesar 57%), bahkan sebanyak 9% data laporan tidak diketahui lokasi kejadiannya. Hal ini karena 50% data yang diterima oleh BPOM sendiri berasal dari media massa (koran), sehingga sudah terlambat bagi pihak BPOM melakukan analisis penyebab keracunan mengingat sudah tidak tersedianya lagi sampel pangan untuk diuji.

Namun, dengan mempertimbangkan latar belakang sosial, budaya, dan pendidikan yang ada di Indonesia, maka diduga kuat bahwa kasus-kasus keracunan yang terjadi merupakan dampak dari rendahnya praktetk sanitasi dalam mengolah dan menyiapkan pangan, terutama pada industri jasa boga. Hal ini didukung dengan laporan BPOM (2005) di dalam Hariyadi dan Andarwulan (2007) bahwa salah satu sumber terbesar penyebab keracunan


(28)

makanan di Indonesia selama tahun 2001-2004 adalah industri jasa boga, yaitu sebanyak 31%.

Tabel 5. Data Keracunan Pangan di Indonesia (Depkes, 2008)

Korban No Tempat dan Tanggal

Meninggal Rawat Inap Rawat Jalan

1 Bandung, 04-04-06 0 0 82

2 Klaten, 02-06-06 0 380 0

3 Cirebon, 30-10-06 0 118 0

4 Kediri, 02-12-06 0 5 107

5 Jayapura, 19-07-07 0 0 135

6 Magelang, 22-07-07 10 22 0

7 Subang, 13-08-07 0 29 22

8 Bogor, 03-02-08 0 3 83

9 Makasar, 09-02-08 0 169 0

10 Magetan, 26-02-08 0 39 57

11 Cianjur, 08-03-08 0 34 13

12 Cianjur, 15-03-08 0 0 415

13 Jambi, 20-03-08 23 5 0

14 Takalar, 21-03-08 0 71 0

15 Malang, 30-03-08 0 0 56

16 Dompu, 09-04-08 4 130 244

17 Sukabumi, 14-04-08 1 240 0

18 Banyumas, 19-04-08 0 76 16

19 Tegal, 16-05-08 1 121 115

20 Kediri, 31-05-08 0 4 48

21 Sukabumi, 06-06-08 0 89 103

22 Makasar, 08-06-08 0 30 0

23 Majalengka, 09-06-08 0 45 20

24 Sukabumi, 23-07-08 0 2 28

25 Subang, 24-07-08 0 113 229

26 Merauke, 27-07-08 18 119 0

27 Bandung, 16-08-08 0 132 0

28 Bandung,18-08-08 0 160 0

29 Magelang, 19-09-08 0 55 10

30 Lhokseumawe, 20-09-08 0 143 0

31 Bantul, 25-09-08 0 16 0

32 Jayapura, 21-11-08 0 7 110

Jumlah 57 2357 1893

Berdasarkan data-data yang dijelaskan di atas, Staphylococcus aureus

kemungkinan merupakan salah satu agen penyebab keracunan pangan yang selama ini terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Staphylococcus aureus yang secara alami ada pada tubuh manusia sangat mungkin untuk mengkontaminasi pangan yang diolah dan disiapkan dengan kondisi sanitasi yang tidak baik. Penelitian di Indonesia, di antaranya oleh Hartini (2001) dan


(29)

Ruslan (2003), menunjukkan bahwa beberapa produk pangan tradisional siap santap yang dijajakan oleh pelaku usaha jasa boga yang diuji telah tercemar bakteri Staphylococcus aureus (Tabel 6).

Tabel 6. Data cemaran Staphylococcus aureus pada beberapa pangan

Jenis Pangan Jumlah Staphylococcus aureus (Log CFU/g)

Sumber data

Bakso 1,74 a (Hartini, 2001)*

Gado-gado 3,72 a

Mie ayam 1,78 a

Nasi Rames 3,21 a

Siomay 2,43 a

Soto ayam 1,65 a

Touge goreng 5,10 a

Gado-gado 5,81 b (Ruslan, 2003)^

Kacang panjang rebus 5,61 b

Kol rebus 5,15 b

Wortel rebus 5,23 b

Tauge rebus 4,74 b

*) Dengan media Vogel-Johnson Agar (VJA), sampel diambil jam 11 siang ^) Dengan media Baird-Parker Agar (BPA), sampel diambil 2-3 jam sejak

penjaja mulai berjualan (data asli dalam satuan CFU/g).

C. PENETAPAN RISIKO

Risiko adalah fungsi dari kemungkinan terjadinya efek buruk terhadap kesehatan dan tingkat keparahan dari efek tersebut (Forsythe, 2002). Analisis risiko merupakan perkembangan terbaru dalam dunia keamanan pangan, sebagimana yang dikatakan oleh Forsythe (2002) bahwa analisis risiko adalah “generasi ketiga” dari sistem keamanan pangan, yang terdiri dari:

1. Good hygienic practices dalam produksi dan penyiapan pangan untuk mereduksi prevalensi dan konsentrasi bahaya mikrobiologi.

2. HACCP atau pendekatan yang serupa dengan HACCP yang secara proaktif mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya.

3. Analisis risiko yang memfokuskan pada penanggulangan kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan jika manusia mengkonsumsi pangan yang mengandung bahaya mikrobiologi, dan terdaparnya bahaya pada seluruh rantai pangan (from farm to fork).

Lebih lanjut Forsythe (2002) menjelaskan bahwa analisis risiko terdiri dari tiga komponen, yaitu 1) kajian risiko untuk mengidentifikasi risiko dan


(30)

faktor yang mempengaruhinya; 2) manajemen risiko untuk mengetahui bagaimana risiko dikendalikan atau dicegah; dan 3) komunikasi risiko. Hubungan ketiga komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Komponen analisis Risiko (Forsythe, 2002, dengan tambahan dari Ross dan McMeekin, 2003)

Kajian risiko adalah suatu proses penentuan risiko yang berlandaskan pada data-data ilmiah yang terdiri dari empat tahapan, yaitu: 1) identifikasi bahaya; 2) karakterisisasi bahaya; 3) kajian pemaparan; dan 4) karakterisasi risiko, selain tahap awal berupa penetapan tujuan dan tahap akhir berupa pembuatan laporan resmi.

Identifikasi bahaya terdiri dari identifikasi agen-agen biologi, kimia, dan fisik yang mungkin menyebabkan efek buruk terhadap kesehatan yang mungkin ada pada suatu pangan atau suatu kelompok pangan. Informasi potensi bahaya mikroba dan toksinnya dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti studi pengawasan oleh pemerintah dan berbagai jenis organisasi yang memiliki reputasi dalam hal ini (Forsythe, 2002).

Kajian pemaparan adalah evalusi secara kualitatif dan/atau kuantitatif terhadap kemungkinan asupan agen-agen biologi, kimia, dan fisik melalui pangan atau sumber lain yang relevan. Kajian pemaparan menentukan kemungkinan pengkonsumsian dan kemungkinan dosis patogen yang mungkin terpapar pada konsumen melalui pangan (Forsythe, 2002). Kajian pemaparan terhadap agen mikrobial didasarkan pada potensi terkontaminasinya pangan

Kajian Risiko

(‘scientific’)

Manajemen Risiko

(‘political’)

Komunikasi Risiko Pertukaran informasi

dan opini yang interaktif


(31)

oleh agen tersebut atau oleh toksinnya, dan didasarkan juga pada informasi yang berhubungan dengan pangan. Jika memungkinkan, data prevalensi dan konsentrasi bahaya dapat digunakan (Sumner, 2002).

Forsythe (2002) menjelaskan bahwa kajian pemaparan adalah bagian paling kompleks dari kajian risiko. Faktor-faktor yang terlibat pada tahap ini antara lain meliputi:

o Ekologi mikroba pada pangan

o Kebutuhan pertumbuhan mikroba (parameter intrinsik dan ekstrinsik) o Tingkat kontaminasi awal bahan mentah

o Prevalensi infeksi pada pakan ternak

o Efek produksi, proses, pemasakan, penanganan, penyimpanan, distribusi, dan penyiapan akhir terhapat agen mikrobial

o Variabilitas proses dan kontrol proses

o Level sanitasi, praktek pemotongan, dan tingkat penyebaran hewan o Potensi terjadinya rekontaminasi (seperti kontaminai silang)

o Metode dan kondisi pengemasan, distribusi, dan penyimpanan pangan.

Karakterisasi bahaya adalah evalusi secara kualitatif dan/atau kuantitatif terhadap efek merugikan yang diasosiasikan dengan agen biologi, kimia, dan fisik yang mungkin ada pada pangan (Forsythe, 2002). Sumner (2002) menjelaskan bahwa karakterisasi bahaya diperoleh dengan mengumpukan informasi perilaku bahaya dan asupan bahaya yang kemungkinan menyebabkan sakit.

Karakterisasi risiko adalah integrasi dari tiga langkah sebelumnya (identifikasi bahaya, kajian pemaparan, karakterisasi bahaya) untuk memperoleh dugaan risiko yang mungkin terjadi dan tingkat keparahan dari efek buruknya terhadap suatu populasi, yang disertai adanya ketidakpastian (Forsythe, 2002). Hubungan keempat tahap kajian risiko ini dapat dilihat pada Gambar 5.


(32)

Gambar 5. Diagram alir kajian risiko (Notermans et al., 1996, di dalam Forsythe, 2002)

Kajian risiko bersifat spesifik terhadap suatu kombinasi bakteri dan jenis pangan tertentu. Forsythe (2002) menyebutkan beberapa kajian risiko yang telah dilakukan, yang secara spesifik memfokuskan pada kombinasi suatu bakteri dan pangan tertentu, seperti risiko B. cereus pada susu pasteurisasi, Salmonella pada produk daging ayam, E. coli O157:H7 pada daging giling (cincang), dan S. enteritidis pada telur dan produk telur.

Manajemen risiko diperlukan ketika data epidemiologi dan pengawasan menunjukkan bahwa sutu pangan yang spesifik mungkin membahayakan kesehatan konsumen karena adanya mikroorganisme patogen atau toksinnya (Forsythe, 2002). Forsythe (2002) juga menjelaskan bahwa manajemen risiko adalah proses yang terpisah dari kajian risiko, dengan mempertimbangkan alternatif kebijakan yang ada, dalam suatu konsultasi dengan pihak-pihak yang terkait, dengan mempertimbangkan kajian risiko dan faktor lain yang relevan, untuk melindungi kesehatan konsumen dan

PENETAPAN TUJUAN

IDENTIFIKASI BAHAYA

Identifikasi bahaya mikrobiologis, yang dapat membahayakan kesehatan

KAJIAN PEMAPARAN Evaluasi tingkat asupan

yang mungkin terhadi

KARAKTERISASI BAHAYA Evaluasi efek buruk kesehatan yang berasosiasi dengan bahaya mikrobiologi, yang

mungkin ada pada pangan.

Kajian dosis-respon sebaiknya dilakukan jika data tersedia.

KARAKTERISASI RISIKO

Integrasi kajian pemaparan dan karakterisasi bahaya.

Perkiraan risiko terhadap kesehatan yang mungkin terjadi pada suatu populasi, dengan adanya keragaman dan ketidakpastian.


(33)

mempromosikan perdagangan yang ‘fair’, dan jika diperlukan memilih opsi pencegahan dan pengendalian yang sesuai.

Manajemen risiko dapat dibagi ke dalam empat aspek, yaitu: 1) evaluasi risiko yang merupakan bagian awal dari aktivitas manajemen; 2) pengkajian opsi manajemen risiko; 3) implementasi dan manajemen keputusan; dan 4) monitoring dan review (Forsythe, 2002). Bagian-bagian dari tahap manajemen risiko dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Proses manajemen Risiko (BPOM, 2004a)

Komunikasi risiko adalah pertukaran informasi dan opini secara interaktif dalam pelaksanaan analisis risiko mengenai risiko, faktor yang berkaitan dengan risiko, dan persepsi risiko, antara pengkaji risiko, manajer risiko, konsumen, industri, komunitas akademisi, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, termasuk penjelasan tentang temuan-temuan dalam kajian risiko dan landasan keputusan manajemen risiko (Forsythe, 2002).

Evaluasi Risiko - identifikasi masalah - pengembangan profil risiko - pengurutan bahaya

- pembentukan komisi kajian risiko

- pertimbangan keputusan

Monitoring dan Review - review hasil

- pengkajian keberhasilan tindakan yang diambil

Mengkaji Opsi Manajemen Risiko - identifikasi opsi - seleksi opsi

- pengambilan keputusan akhir manajemen

Implementasi Keputusan Manajemen Risiko - pelaksanaan tindakan terbaik untuk menangani masalah


(34)

Keluaran yang dihasilkan dari suatu analisis risiko dapat berbentuk kuantitatif maupun kualitatif. Hal ini bergantung pada kajian risiko yang dilakukan. Forsythe (2002) menyatakan bahwa karakterisasi risiko adalalah tahap akhir dalam kajian risiko yang dapat berupa karakterisasi kualitatif (rendah, sedang, tinggi) atau kuantitatif (jumlah manusia yang terinfeksi, sakit, atau mati per tahun atau per 100.000 populasi), tergantung pada tahap kajian pemaparan.

Dengan demikian, kajian risiko dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kajian risiko secara kualitatif dan kajian risiko secara kuantitatif. Kajian risiko secara kuantitatif merupakan analisis matematis terhadap data-data numerik. Analisis matematis yang digunakan dalam kajian risiko secara kuantitatif ini terdiri dari metode-metode statistika yang dibangun atas dua dasar, yaitu adanya ketidakpastian (uncertainty) dan adanya keragaman (variability) dari analisis yang dilakukan. Keluaran yang dihasilkan merupakan perkiraan risiko yang meliputi peluang dan keparahan sakit yang disebabkan karena mengkonsumsi pangan yang mengandung bahaya, misalnya jumlah kejadian luar biasa per tahun; jumlah sakit per tahun atau per jumlah tertentu (misal 100.000) populasi, atau jumlah yang sakit per jumlah tertentu (misal 100.000) porsi pangan. Kajian risiko kuantitatif dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan manajemen risiko secara yang lebih detil daripada kajian risiko kualitatif.

Ching (2009) menjelaskan bahwa secara umum ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam kajian risiko secara kuantitatif, yaitu pendekatan secara deterministic dan pendekatan secara probabilistic (stochastic). Pendekatan secara deterministic merupakan pendekatan untuk mengkuantifikasi risiko dalam suatu nilai tertentu, sedangkan pendekatan secara probabilistic merupakan pendekatan untuk mengkuantifikasi risiko dalam suatu interval nilai tertentu.

Kajian risiko secara kualitatif adalah kajian yang deskriptif atau merupakan penetapan kategori risiko berdasarkan informasi-informasi yang tersedia. Keluaran yamg diperoleh biasanya dinyatakan dalam kategori risiko tinggi, sedang, rendah, atau risiko yang dapat diabaikan.


(35)

Baik kajian risiko kualitatif maupun kuantitatif adalah penting pada keadaan yang berbeda (BPOM, 2004a). Lebih lanjut BPOM (2004a) menyebutkan bahwa kajian kuantitatif merupakan pilihan yang lebih disukai, terutama jika data cukup tersedia. Pada kondisi di mana terdapat keterbatasan data, waktu, ataupun sumber daya lain, pilihan dapat diberikan pada kajian kualitatif.

BPOM (2004b) menyatakan bahwa pada kajian risiko secara kualitatif, dalam memberikan perkiraan peringkat kategori risiko seringkali sangat diperlulan opini atau pertimbangan para ahli (expert panel) dari berbagai bidang ilmu. Peran para ahli dalam memberikan opininya menjadi sangat penting, karena dalam memperkirakan suatu peluang, misalnya peluang kontaminasi atau peluang pemaparan, diperlukan pertimbangan ahli-ahli dalam bidang masing-masing.

Penetapan risiko kualitatif merupakan penetapan besarnya risiko suatu sumber bahaya pada suatu jenis pangan berdasarkan kategori-kategori risiko. Salah satu kajian risiko secara kualitatif adalah kajian risiko yang mengacu pada prinsip-prinsip kajian risiko mikrobiologis secara kualitatif yang disusun oleh BPOM (2004b).

Unsur-unsur yang tercakup dalam penetapan kategori risiko ini meliputi peluang dan dampak. Peluang meliputi peluang kontaminasi, peluang pemaparan, dan penyebaran yang luas dan/atau potensi penyebaran sekunder penyakit. Sedangkan dampak meliputi spektrum inang dan dampak kesehatan, dampak ekonomi, dan dampak lingkungan.

Peluang kontaminasi adalah peluang terjadinya kontaminasi sepanjang rantai pangan, yang meliputi bahan baku dan produk, selama proses, penyimpanan, distribusi, dan penyiapan. Peluang pemaparan merupakan peluang yang diperkirakan berdasarkan ambang batas kritis pemaparan atau jumlah mikroba yang diperlukan untuk menyebabkan penyakit atau menyebabkan pengaruh buruk terhadap kesehatan. Sementara penyebaran yang luas dan/atau potensi penyebaran sekunder penyakit, penting untuk menentukan dampak penyakit dan pengontrolannya.


(36)

Spektrum inang dan dampak kesehatan memuat dampak biologis dari bahaya, termasuk dosis-respon, status kronis atau akut, serta dampak bagi kelompok umur atau kondisi populasi tertentu. Dampak ekonomi mencakup dampak akibat perawatan yang dilakukan atau diharapkan, eradikasi penyakit, kehilangan pekerjaan akibat sakit, kehilangan perdagangan dan penjualan, dan kerugian finansial. Sementara dampak lingkungan merupakan akibat dari kemungkinan berpindahnya mikroba patogen ke ekosistem yang dikaji.


(37)

III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan yang digunkan adalah nasi uduk, kultur Staphylococcus aureus (kontrol positif, ATCC 25923, koleksi Seafast Center), kultur

Staphylococcus epidermidis (kontrol koagulase negatif, dari UI), dan berbagai media. Media-media tersebut adalah Trypticase Soy Broth (TSB, Difco), Trypton Soya Agar (TSA, Oxoid), Baird-Parker Base (BP, Difco),

Brain Heart Infusion (BHI, Oxoid) Broth, kuning telur, tellurit 1%, yeast extract, glukosa, mannitol, tripton, agar, buffer posfat, NaCl, plasma kelinci dengan EDTA (FKH IPB), H2O2 5%, pereaksi pewarnaan Gram,

parafin cair steril, bromcresol purple, air destilata, alkohol 70%, spritus, kapas, tissue, plastik stomacher, alufo, label, minyak imersi, dan korek api.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan antara lain adalah otoklaf (121ºC; 103,4 kPa), inkubator 35ºC, neraca analitik, hot plate, vortex, stomacher, termometer, mikroskop, gelas preparat, bunsen, pipet mikro, pipet volumetrik, bulb, gelas ukur, erlenmeyer, botol semprot, cawan petri, jarum ose, tabung reaksi bertutup, rak tabung reaksi, sendok steril, sudip steril, gelas pengaduk steril, gelas preparat, termos nasi uduk, dispenset, dan alat untuk pembersihan peralatan.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1) penetapan risiko

Staphylococcus aureus pada beberapa pangan tradisional siap santap; dan 2) evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus pada nasi uduk, yang meliputi enumerasi, isolasi, dan karakterisasi Staphylococcus aureus koagulase positif.


(38)

1. Penetapan Risiko Staphylococcus aureus pada Pangan Tradisional Siap Santap

Penetapan risiko dilakukan dengan kajian risko secara kualitatif berdasarkan informasi-informasi yang tersedia dalam pustaka. Keluaran yang diperoleh dinyatakan dalam kategori risiko tinggi, sedang, rendah, atau risiko yang dapat diabaikan. Penetapan risiko ini mengacu dan dikembangkan dari prinsip-prinsip kajian risiko mikrobiologis secara kualitatif yang disusun oleh BPOM (2004b). Penetapan risiko keracunan

Staphylococcus aureus ini diterapkan pada tiga puluh jenis pangan tradisional siap santap.

2. Evaluasi Keberadaan Staphylococcus aureus Koagulase Positif Dalam Nasi Uduk yang Dijajakan Oleh Pelaku Usaha Jasa Boga

Tahap ini bertujuan untuk menghitung, mengisolasi, dan mengkarakterisasi Staphylococcus aureus dalam nasi uduk yang dijajakan oleh pelaku usaha. Staphylococcus aureus yang dijadikan target dalam tahap ini adalah Staphylococcus aureus yang memproduksi enzim koagulase. Tahap ini sekaligus sebagai verifikasi dari penetapan risiko pada tahap pertama. Untuk itu, evaluasi ini dilakukan pada satu pangan tradisional siap santap, yaitu nasi uduk.

Sampel nasi uduk diperoleh dari warung-warung di sekitar tempat penelitian (kampus IPB Dramaga) yang menyediakan sampel tersebut. Pemilihan warung dilakukan secara acak dengan sistem pengundian. Sampel dibeli dari pedagang pada pagi hari (sekitar jam 7.00), kemudian di bawa ke laboratorium mikrobiologi Seafast Center untuk di analisis pada beberapa selang waktu penyimpanan pada suhu termos (sekitar 37oC).

Evaluasi ini dilakukan dengan metode BAM (2001) yang dikembangkan oleh US FDA, dengan beberapa perubahan. Tahap ini diawali dengan menentukan satu sampel yang akan diuji. Penentuan sampel ini didasarkan pada tahap penetapan risiko sebelumnya. Kemudian, sampel diuji untuk menghitung Staphylococcus aureus secara


(39)

semikuantitatif dengan menggunakan metode Most Probable Number

(BAM, 2001). Tahap evaluasi ini juga dilakukan untuk menentukan frekuensi isolat Staphylococcus aureus koagulase positif melalui uji pembentukan koloni pada agar Baird-Parker, lalu uji-uji biokimia yang meliputi aktivitas koagulase, aktivitas katalase, pewarnaan Gram, uji fermentasi glukosa, dan uji fermentasi mannitol.

Hasil akhir penelitian adalah laporan hasil dari pengolahan data yang diperoleh selama penelitian, berupa data penetapan risiko keracunan

Staphylococcos aureus pada tiga puluh jenis pangan tradisional siap santap dan data evaluasi keberadaan Staphylococcos aureus koagulase positif pada nasi uduk. Selain itu, diharapkan diperoleh isolat Staphylococcos aureus

koagulase positif yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.

C. METODE KAJIAN DAN ANALISIS

1. Risiko Staphylococcus aureus pada Pangan Tradisional Siap Santap (BPOM, 2004b)

Risiko Staphylococcus aureus ditetapkan terhadap tiga puluh jenis pangan tradisional siap santap (Tabel 7). Pangan-pangan tersebut dipilih karena merupakan jenis pangan yang umum ditemukan pada industri jasa boga tradisional.

Tabel 7. 30 Jenis Pangan Tradisional Siap Santap (PTSS) yang dijadikan sampel dalam penetapan risiko Staphylococcus aureus

Telur mata sapi Tahu goreng Martabak kacang

Telur dadar Sate padang Karedok

Sate jeroan Rujak Ayam suir di bubur ayam

Ikan tongkol sambal Pergedel kentang Tempe goreng Ikan goreng Lele goreng pecel lele Tempe bacem

Ikan asin teri goreng Bakso Ketoprak

Ayam goreng Soto mi Gado-gado

Telur asin Pecel sayur Rendang

Soto daging Nasi kuning Siomay


(40)

Risiko Staphylococcus aureus pada ketiga puluh pangan tradisional siap santap tersebut dilakukan dengan memeriksa unsur peluang kontaminasi, peluang pemaparan, peluang penyebaran, dampak kesehatan, dampak ekonomi, dan dampak lingkungan.

a. Peluang Kontaminasi

Peluang ini ditentukan dengan memperkirakan peluang terjadinya kontaminasi sepanjang rantai pangan, yang meliputi bahan baku dan produk, selama proses, penyimpanan, distribusi, dan penyiapan; sumber kontaminasi; dan jalur kontaminasinya. Hal-hal yang harus dipertimbangkan meliputi:

• Diagram skenario penanganan, pengolahan, distribusi, penyajian

• Sumber kontaminasi (tanaman, hewan, atau manusia)

• Prevalensi dan distribusi mikroba

• Pemanenan, pengolahan, penyimpanan, distrubusi, pengolahan

• Praktek sanitasi pangan

• Program preventif sepanjang rantai pangan Peringkat peluang kontaminasi dikelompokkan menjadi:

A = Diabaikan: peluang kontaminasi dangat rendah atau dapat diabaikan pada kombinasi faktor-faktor yang disebutkan di atas. B = Rendah: peluang kontaminasi rendah tetapi mungkin terjadi

dengan pertimbangan kombinasi faktor-faktor seperti yang dijelaskan di atas.

S = Sedang: peluang kontaminasi mungkin terjadi dengan pertimbangan faktor yang dijelaskan di atas.

T = Tinggi: peluang kontaminasi sangat mungkin atau pasti terjadi dengan pertimbangan kombinasi faktor-faktor yang dijelaskan di atas.

b. Peluang Pemaparan

Peluang pemaparan diperkirakan berdasarkan ambang batas kritis pemaparan atau jumlah mikroba yang diperlukan untuk


(41)

menyebabkan penyakit atau menyebabkan pengaruh buruk terhadap kesehatan. Peluang pemaparan diperkirakan dengan mempertimbangkan:

• Survival mikroba, potensi untuk tumbuh atau mati pada pangan dengan mempertimbangkan faktor-faktor pengolahan, penyimpanan, distribusi, dan penyiapan yang meliputi suhu, waktu, pH, dan aktivitas air (aw), kompetisi mikroba dan interaksinya serta perubahan kimia.

• Efektifitas dan pengendalian proses untuk menghambat atau menginaktivasi bahaya.

• Konsumen beserta pola konsumsinya.

• Variasi dan distribusi populasi yang rentan. Peringkat peluang pemaparan dikelompokkan menjadi:

A = Diabaikan: peluang pemaparan terhadap populasi yang rentan sangat rendah atau dapat diabaikan dengan mempertimbngankan faktor-faktor yang disebutkan di atas.

B = Rendah: peluang pemaparan terhadap populasi yang rentan rendah tetapi jelas mungkin terjadi dengan mempertimbangkan kombinasi faktor-faktor di atas.

S = Sedang: peluang pemaparan terhadap populasi yang rentan mungkin terjadi dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas.

T = Tinggi: peluang pemaparan terhadap populasi yang rentan mungkin terjadi dengan mempertimbangkan kombinasi faktor-faktor di atas.

c. Penyebaran yang Luas dan/atau Potensi Peyebaran Sekunder Penyakit

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran mikroba patogen dan penyebaran sekundernya penting untuk menentukan dampak penyakit dan pengontrolannya. Potensi penyebaran tingkat pemaparan secara luas dan penyebarab sekundernya dari tempat asal kejadian


(42)

penyakit dipengaruhi oleh metode distribusi pangan dan biologi penyakit atau mikroba. Biologi penyakit dapat dinyatakan sebagai jumlah kasus per kejadian keracunan pangan di daerah studi epidemiologi dengan metode distribusi yang sama. Peringkat distribusi dan potensi penyebaran dikelompokkan menjadi:

A = Diabaikan: peluang distribusi dan/atau penyebarannya dari asal wabah dapat diabaikan.

B = Rendah: peluang distribusi dan/atau penyebarannya dan kejadian wabah penyakit cenderung sangat lokal.

S = Sedang: peluang distribusi dan/atau penyebarannya moderat. T = Tinggi: peluang distribusi dan/atau penyebarannya tinggi dengan

potensi untuk terjadi pada beberapa daerah selain daerah asal.

d. Spektrum Inang dan Dampak Kesehatan

Dampak biologis dari bahaya, termasuk dosis-respon, dapat diketahui dengan mencatat kisaran populasi yang potensial terpengaruh dan dampak penyakit terhadap kesehatan dan kualitas hidup. Keparahan dampak bisa bervariasi berdasarkan kelompok umur, misalnya anak-anak versus dewasa versus orang tua dan kondisi yang bersangkutan (misalnya individu dengan immuno compromised). Peringkat spektrum dan dampak kesehatan dikelompokkan menjadi: A = Diabaikan: penyakit terjadi pada kelompok yang terbatas dan

atau mempunyai dampak kesehatan dan kualitas hidup yang dapat diabaikan.

B = Rendah: kisaran populasi yang menderita penyakit terbatas dengan dampak kesehatan minor.

S = Sedang: kisaran populasi yang terkena penyakit cukup luas (moderat) dengan dampak kesehatan sedang.

T = Tinggi: penyakit terjadi pada kisaran yang luas dan/atau dengan dampak terhadap kesehatan dan kualitas hidup yang berat.


(43)

e. Dampak Ekonomi

Kajian mencakup dampak ekonomi akibat perawatan yang dilakukan/diharapkan, eradikasi penyakit, kehilangan pekerjaan akibat sakit, kehilangan perdagangan dan penjualan dan kerugian finansial jika suatu pangan yang mempunyai nilai ekonomis diketahui berisiko tinggi serta biaya-biaya lain yang berhubungan dengan terjadinya risiko seperti biaya inspeksi dan lain-lain. Peringkat dampak ekonomi dikelompokkan menjadi:

A = Diabaikan: dampak kecil atau tidak ada terhadap biaya pengobatan atau biaya pembersihan, kehilangan pekerjaan atau perdagangan.

B = Rendah: dampak minor terhadap faktor-faktor di atas. S = Sedang: dampak moderat terhadap faktor-faktor di atas. T = Tinggi: dampak berat (parah) terhadap faktor-faktor di atas.

f. Dampak Lingkungan

Dampak lingkungan merupakan akibat dari kemungkinan berpindahnya mikroba patogen ke ekosistem yang dikaji, misalnya pengaruhnya terhadap spesies lain. Potensi dampak negatif terhadap lingkungan akibat manajemen risiko misalnya penggunaan desinfektan, eradikasi penyakit, atau pembersihan serta hubungannya dengan peraturan perlindungan lingkungan yang berlaku juga perlu dipertimbangkan. Peringkat dampak lingkungan dikelompokkan menjadi:

A = Diabaikan: tidak ada potensi merusak lingkungan/merubah ekosistem.

B = Rendah: potensi dampak terbatas terhadap lingkungan.

S = Sedang: berpotensi menyebabkan dampak yang moderat pada lingkungan.

T = Tinggi: berpotensi menyebabkan kerusakan berat pada lingkungan dengan kerugian yang nyata pada ekosistem.


(44)

Masing-masing kemungkinan peringkat dari keenam unsur peluang dan dampak di atas memiliki simbol dan nilai, yaitu peluang atau dampak yang diabaikan diberi simbol A (bernilai 1), peluang atau dampak rendah diberi simbol R (bernilai 2), peluang atau dampak sedang diberi simbol S (bernilai 3), dan peluang atau dampak tinggi diberi simbol T (bernilai 4). Sementara itu, masing-masing unsur tersebut juga memiliki bobot sebagai berikut:

1. Peluang kontaminasi berbobot 0.2 2. Peluang pemaparan berbobot 0.2 3. Peluang penyebaran berbobot 0.2 4. Spektrum inang berbobot 0.2 5. Dampak ekonomi berbobot 0.1 6. Dampak lingkungan berbobot 0.1

Jumlah bobot keseluruhan peluang dan dampak adalah 1 dengan bobot terbesar (0,8) diberikan kepada perkiraan risiko yang berhubungan langsung dengan pengaruh buruk terhadap kesehatan, yaitu peluang kontaminasi, peluang pemaparan, peluang penyebaran, dan spektrum. Sementara bobot sisanya (0,2) diberikan kepada perkiraan risiko yang tidak berhubungan langsung dengan pengaruh buruk terhadap kesehatan.

Kemudian, dari kombinasi enam unsur, empat kemungkinan, dan bobot tersebut, dibentuklah sebuah matriks yang akan digunakan untuk menentukan nilai skor terbobot suatu risiko. Berdasarkan nilai skor terbobot, ditentukan pengelompokan risiko secara kualitatif berdasarkan kisaran nilai skor. Matriks kombinasi skor dan pembobotan tersebut disajikan pada Tabel 8. Sedangkan kisaran total skor terbobot untuk pengelompokan risiko secara kualitatif disajikan pada Tabel 9.

Matriks tersebut diperlukan untuk mendapatkan peringkat keseluruhan yang diperlukan untuk menetapkan risiko dari masing-masing pangan tradisional siap santap yang dikaji. Kombinasi yang mungkin dari keenam peluang dan dampak dengan empat kemungkinan peringkat


(45)

peluang dan dampak adalah sebanyak 4096 kombinasi. Skor kombinasi terbobot tertinggi adalah 4 di mana seluruh peluang dan dampak berisiko tinggi (T,T,T,T,T,T), dan yang terendah adalah 1 di mana seluruh peluang dan dampak dapat diabaikan (A,A,A,A,A,A). Sementara skor kombinasi terbobot lainnya berkisar antara 1-4.

Tabel 8. Matriks kombinasi peringkat dan perkiraan skor Skor peluang/dampak Peluang/ dampak Bobot Konta-minasi (X) Pema-paran (Y) Penye-baran (Z) Spek-trum (K) Eko-nomi (L) Ling-kungan (M) Skor terbobot

Kontaminasi 0.2 (a) A=1 R=2 S=3 T=4

aX

Pemaparan 0.2 (b)

A=1 R=2 S=3 T=4

bY

Penyebaran 0.2 (c)

A=1 R=2 S=3 T=4

cZ

Spektrum 0.2 (d)

A=1 R=2 S=3 T=4

dK

Ekonomi 0.1 (e)

A=1 R=2 S=3 T=4

eL

Lingkungan 0.1 (f)

A=1 R=2 S=3 T=4

fM

Total skor terbobot (aX+bY+cZ+dK+eL+fM)

Tabel 9. Kisaran total skor terbobot

Risiko Kisaran total skor terbobot

N= diabaikan 1 - 1.4

L= rendah 1.5 - 2.4

M= sedang 2.5 - 3.4

H= tinggi 3.4 - 4.0

Namun, karena matriks kombinasi skor ini diterapkan hanya pada satu jenis mikroba (yaitu Staphylococcus aureus) pada kelompok pangan


(46)

yang memiliki karakterisasi yang hampir sama (yaitu pangan tradisional siap santap) maka peluang pemaparan, peluang penyebaran, spektrum inang dan dampak kesehatan, dampak ekonomi, dan dampak lingkungan akan bernilai relatif sama sehingga dapat dianggap sebagai konstanta.

Dengan demikian, penetapan risiko keracunan Staphylococcus aureus pada pangan tradisional siap santap ini akan difokuskan pada penetapan peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan. Peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan tersebut ditetapkan berdasarkan identifikasi aspek-aspek risiko peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan seperti tercantum dalam Tabel 10. Identifikasi ini merupakan kumpulan keadaan-keadaan yang mendukung atau tidak mendukung keberadaan dan atau pertumbuhan Staphylococcus aureus pada suatu pangan, termasuk asal keberadaan Staphylococcus aureus tersebut pada pangan.

Tabel 10. Identifikasi aspek risiko peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan

No Aspek Risiko Peluang Kontaminasi Nilai

1 Peluang kontaminasi awal Staphylococcus aureus pada bahan mentah

a 2 Efektivitas pengolahan dalam menurunkan jumlah

Staphylococcus aureus

b 3 Peluang terjadinya rekontaminasi (dari tangan, udara

terbuka, dan lainnya)

c 4 Suhu penyimpanan yang mendukung pertumbuhan

Staphylococcus aureus

d

5 Peluang adanya waktu inkubasi e

6 Matriks pangan yang mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus

f

7 Ada tidaknya proses pemanasan ulang g

Peluang adanya Staphylococcus aureus pada pangan Σ

Penentuan nilai-nilai pada Tabel 10 ini mengikuti perincian yang tercantum pada Tabel 11 sampai dengan Tabel 17 yang memuat penjabaran kriteria nilai dari aspek-aspek risiko yang berhubungan dengan peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan. Penyusunan tabel-tabel penjabaran tersebut didasarkan pada studi literatur seperti yang dijelaskan di bawah setiap tabel. Selain itu, penyusunan kriteria ini juga melibatkan diskusi dengan tenaga ahli.


(47)

Tabel 11. Peluang kontaminasi bahan mentah oleh Staphylococcus aureus

Nilai Keterangan

1 Tipe 1: Bahan mentah yang tidak memberikan lingkungan yang mendukung adanya Staphylococcus aureus, seperti dominan nabati dan adanya mikroba kompetitor

3 Tipe 2: Bahan mentah yang merupakan keadaan pertengahan antara nilai 1 dan 5.

5 Tipe 3: Bahan mentah yang memberikan lingkungan yang mendukung adanya Staphylococcus aureus, seperti dominan hewani dan tidak adanya mikroba kompetitor

Genus Staphylococcus aureus sebagian besar berasosiasi dengan kulit dan membran mukosa hewan vertebrata berdarah panas, namun sering juga diisolasi dari produk pangan, debu, dan air (Holt et al., 1994) Namun, Staphylococcus aureus adalah mikroba kompetitor lemah dan pertumbuhannya mudah dihambat oleh mikroba lainnya (Baird-Parker, 2000). Demikian juga Buckle et al. (1978) menyatakan bahwa

Staphylococcus aureus tidak berkompetisi kuat dengan mikroba lainnya sehingga tidak berpengaruh nyata pada bahan pangan mentah.

Bergdoll (1979) menyatakan bahwa kebanyakan daging telah terkontaminasi oleh Staphylococcus, namun secara normal hal ini tidak terlalu penting karena organisme ini biasanya tidak membelah secara cepat pada bahan pangan mentah dan dihancurkan ketika proses pemasakan.

Staphylococcus yang ada pada daging sebelum pengolahan jarang berhubungan dengan kejadian keracunan pangan.

Penelitian yang dilakukan Normanno et al. (2005) membuktikan bahwa dari 11.384 sampel yang diuji, sebanyak 1971 sampel (17,3%) terbukti mengandung Staphylococcus koagulase positif. Sampel-sampel tersebut terdiri dari daging segar, produk daging, susu segar, susu olahan, keju, es krim, produk telur, produk ikan, dan lainnya.

Dengan demikian, keberadaan Staphylococcus aureus pada bahan mentah kemungkinan akan menimbulkan masalah jika proses pengolahan bahan pangan tidak mampu menghancurkan bakteri tersebut.


(1)

93

Warung 6 Ulangan 1

Uji MPN Jam D

10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan

Morfologi Uji Katalase

Uji Koagulase

Fer. Glukosa

Fer. Mannitol

S. aureus

8 1 3 2 0 0 320 9,30E+03 8,25E+03 TD

2 3 1 0 1 101 7,20E+03 TD

10 1 3 2 1 0 210 1,50E+04 1,50E+04 Kokus (+) (+) (-) (-)

2 3 2 1 0 210 1,50E+04 TD

12 1 3 2 3 0 230 2,90E+05 2,50E+05 Kokus (+) (+) (-) (-)

2 3 2 2 0 220 2,10E+05 Kokus (+) (+) (-) (-)

14 1 3 3 1 1 311 7,50E+05 5,90E+05 Kokus (+) (+) (-) (-)

2 3 3 1 0 310 4,30E+05 Kokus (+) (+) (-) (-)

16 1 3 2 2 1 221 2,80E+06 3,20E+06 Kokus (+) (+) (-) (-)

2 3 2 3 1 231 3,60E+06 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU4

Keterangan:

Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata

(-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning

(++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah


(2)

94 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan Katalase Koagulase Glukosa Mannitol

8 1 3 3 0 0 330 2,40E+03 2,40E+03 TD

2 3 3 0 0 330 2,40E+03 Kokus (+) (-) (-)

10 1 3 0 0 0 300 2,30E+03 3,30E+03 TD

2 3 1 0 0 310 4,30E+03 Basilus (+) (+)

12 1 3 2 0 0 320 9,30E+03 6,15E+03 Kokus (+) (-) (-)

2 3 0 0 1 001 3,00E+03 Kokus (+) (-) (-)

14 1 3 0 0 0 300 2,30E+04 3,30E+04 TD

2 3 1 0 0 310 4,30E+04 Kokus (+) (-) (-)

16 1 2 1 0 0 210 1,50E+04 2,90E+04 Basilus (+) (+)

2 3 1 0 0 310 4,30E+04 Kokus (+) (-) (-)

8* 1 3 2 0 0 320 9,30E+04 5,80E+04 Kokus (+) (-) (-)

2 3 0 0 0 300 2,30E+04 TD

10* 1 3 1 0 1 101 7,20E+04 4,35E+04 Kokus (+) (-) (-)

2 2 1 0 0 210 1,50E+04 Kokus (-) (-) (-)

12* 1 2 0 0 0 200 9,20E+03 1,61E+04 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU13

2 3 0 0 0 300 2,30E+04 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU14

14* 1 3 1 0 0 310 4,30E+04 3,65E+04 Kokus (-) (-) (-)

2 3 0 0 1 001 3,00E+04 Basilus (+) (-)

Keterangan:

Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata

(-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning

(++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah


(3)

95

Lampiran 3. Persiapan Media dan Bahan 1. Persiapan Media

a. Tabung TSB

Ditimbang setiap bahan yang dibutuhkan (bubuk TSB (lihat petunjuk dikemasan), NaCl (10 %), dan sodium piruvat (1%)) lalu dicampur di dalam gelas piala. Tambahkan air destilata hingga dicapai konsentrasi yang diinginkan, lalu larutkan dengan memanaskannya di atas hot plate sambil diaduk, kemudian atur pH. Masukkan larutan media ke dalam tabung-tabung reaksi lalu tabung reaksi ditutup. Lakukan sterilisasi terhadap medium ini dengan otoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 103,4 kPa selama 15-30 menit. Setelah strilisasi selesai, simpan medium untuk digunakan saat analisis.

b. Tabung miring TSA

Ditimbang setiap bahan yang dibutuhkan (bubuk TSA (lihat petunjuk dikemasan), NaCl (10%), dan sodium piruvat (1%)) lalu dicampur di dalam gelas piala. Tambahkan air destilata hingga dicapai konsentrasi yang diinginkan, lalu larutkan dengan memanaskannya di atas hot plate sambil diaduk, kemudian atur pH. Masukkan larutan ke dalam tabung-tabung reaksi lalu tabung reaksi ditutup. Lakukan sterilisasi terhadap medium ini dengan otoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 103,4 kPa selama 15-30 menit. Setelah strilisasi selesai, letakkan tabung pada posisi miring dan biarkan membeku, kemudian simpan medium untuk digunakan saat analisis.

c. Cawan Baird Parker Agar dengan EY Tellurit

Ditimbang bubuk Baird Parker yang diperlukan (lihat petunjuk dikemasan), masukkan ke dalam erlenmeyer. Tambahkan air destilata hingga dicapai konsentrasi yang diinginkan, lalu larutkan dengan memanaskannya di atas hot plate sambil diaduk, kemudian atur pH. Erlenmeyer yang digunakan diusahakan tidak terlalu besar agar pindah panas tidak terganggu. Ukuran yang umumnya digunakan adalah 100 ml


(4)

medium untuk setiap satu erlenmryer. Lakukan sterilisasi terhadap medium ini dengan otoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 103,4 kPa selama 15-30 menit. Setelah strilisasi selesai, campurkan 50 ml EY tellurit untuk setiap 1 liter medium jadi (950 ml Baird Parker base), campur rata. Tuangkan medium pada cawan-cawan petri steril secara aseptis, biarkan memadat. Cawan Baird Parker siap digunakan untuk analisis.

EY tellurit dibuat dengan mencampur 20 ml kuning telur, 20 ml NaCl 0.85%, dan 10 ml tellurit 1%.

2. Persiapan Larutan Pengencer

Pelarut digunakan untuk melakukan pengenceran berseri terhadap sampel. Pelarut dibuat dengan melarutkan 3,4 g KH2PO4 ke dalam 50 ml air

destilata, atur pada pH 7, kemudian tepatkan hingga 100 ml. Ini adalah larutan stock. Jika akan digunakan, 1,25 ml larutan stock dipipet lalu ditepatkan hingga 1 liter dengan air destilata. Kemudian, larutan dimasukkan ke dalam erlenmeyer sebanyak 225 ml dan ke dalam tabung reaksi sebanyak 9 ml. Erlenmeyer dan tabung reaksi kemudian ditutup lalu disterilisasi dengan otoklaf suhu 121°C pada tekanan 103,4 kPa selama 15-30 menit. Setelah sterilisasi selesai, simpan larutan pengencer ini untuk keperluan analisis.

3. Persiapan Reagen Uji Aktivitas Koagulase

Siapkan tabung-tabung kecil, isi dengan 0.2-0.3 ml brain heart infusion. Siapkan pula plasma koagulase dengan EDTA.

4. Persiapan Bahan Pewarnaan Gram

Dibuat larutan kristal violet, safranin, iodium, dan etanol 95% masing-masing dalam botol berpipet. Simpan reagen ini untuk keperluan analisis. Berikut ini prosedur pembuatan masing-masing reagen (Hadioetomo, 1993).

Crystal violet (modifikasi Hucker) Larutan A:


(5)

97

Ethanol (95%) 20 ml

Larutan B:

Amonium oxalate 0.8 g

Air suling 80 ml

Campurkan larutan A dan B

Safranin

Safranin O 0.25 g

Ethanol (95%) 10 ml

Air suling 100 ml

Iodium

KI 2 g

I2 kristal 2 g

Air suling 300 ml

5. Persiapan Medium Fermentasi Glukosa dan Mannitol

Tryptone 10.0 g

Yeast extract 1.0 g Glukosa / Mannitol 10.0 g Bromcresol purple 0.04 g

Agar 2.0 g

Air destilata 1 liter

Larutkan agar dengan pemanasan sambil diaduk berlahan, tepatkan pH sampai 7.0 ± 0.2. Isikan pada tabung 16 x 125 mm sampai 2/3 penuh. Otoklaf 20 menit pada 115°C. Sebelum digunakan, steam medium 10-15 menit. Bekukan dengan meletakkan tabung pada air es.


(6)

Lampiran 4. Tabel nilai MPN 3 Seri Pengenceran untuk 0.1, 0.01, dan 0.001 g