umum menunjukkan jumlah Staphylococcus aureus yang lebih tinggi daripada warung lainnya. Berdasarkan pengamatan di lapangan, warung
1 adalah warung yang menunjukkan kontak tangan dengan produk paling tinggi, sementara pada warung 5 seorang pedagangnya terlihat memiliki
penyakit kulit yang menunjukkan rendahnya praktek sanitasi. Hal ini menguatkan dugaan bahwa cemaran Staphylococcus aureus pada nasi
uduk kemungkinan berasal dari kontaminasi oleh pekerja. Sementara itu, warung 3 merupakan warung dengan jumlah Staphylococcus aureus
paling rendah. Hal ini karena berdasarkan pengamatan di lapangan, warung 3 menunjukkan sanitasi pekerja yang cukup baik.
b. Rekomendasi Waktu Penyimpanan Nasi Uduk
Jika diasumsikan bahwa seluruh nasi uduk yang diuji ini dibuat pada jam 6 pagi, maka hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
sampel yang dengan penyimpanan selama 4 jam jam 10 telah mengandung Staphylococcus aureus mencapai jumlah lebih dari 5 Log
MPNg Warung 5, sehingga diduga berpeluang menyebabkan keracunan Staphylococcus jika dikonsumsi.
Jika dibandingkan dengan penelitian Rawendra 2008 yang merekomendasikan batas aman penyimpanan pangan siap santap pada
suhu ruang selama tidak lebih dari 6 jam Tabel 23, maka data pada penelitian ini menunjukkan bahwa waktu 6 jam telah cukup untuk
menjadikan pangan siap santap tidak aman lagi untuk dikonsumsi. Penyimpanan nasi uduk selama 6 jam pada penelitian ini yang diamati
pada selang waktu jam 12-14 menunjukkan bahwa tidak semua nasi uduk yang diuji mengandung Staphylococcus aureus di bawah jumlah
aman. Jumlah aman yang dimaksud adalah jumlah yang diduga belum mampu menghasilkan toksin. Hal ini jika diasumsikan bahwa jumlah
minimum Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk membentuk toksin adalah 5 Log MPNg. Warung-warung yang menunjukkan bahwa
penyimpanan selama 6 jam telah mampu memberi kesempatan bagi
Staphylococcus aureus untuk tumbuh sampai jumlah yang diduga mampu membentuk toksin adalah warung 1, 5, dan 6.
Tabel 23. Data simulasi pertumbuhan Staphylococcus aureus pada nasi uduk Rawendra, 2008
Jumlah Staphylococcus aureus
Log CFUg Waktu
Penyimpanan Inokulasi awal
3 Log CFUg Inokulasi awal
5 Log CFUg
3,10 5,09
2 4,19
5,66 4
5,21 6,53
6 6,50
7,76
8 6,95
8,03 10
7,16 8,05
12 7,39
8,22 24
7,49 8,77
Perbedaan hasil tersebut disebabkan karena pada penelitian Rawendra 2008 pertumbuhan Staphylococcus aureus yang terjadi pada
nasi uduk adalah pertumbuhan simulasi, yaitu pertumbuhan hasil dari penginokulasian Staphylococcus aureus pada nasi uduk buatan sendiri,
lalu disimpan di lingkungan labolatorium yang tentunya lebih baik dari pada lingkungan penjualan nasi uduk sebenarnya. Demikian pula
simulasi yang dilakukan memungkinkan pencegahan kontak tangan antara peneliti dengan nasi uduk sehingga peluang kontaminasi selain
dari inokulasi adalah rendah. Hal ini mengakibatkan jumlah Staphylococcus aureus pada penelitian ini melebihi dari rekomendasi
penyimpanan yang diajukan oleh Rawendra 2008. Selain itu, pada kondisi sebenarnya, nasi uduk seringkali
disajikan dengan lauk pauk yang mungkin juga telah terkontaminasi Staphylococcus aureus, bahkan lauk pauk seperti tempe orek dan telur
dadar iris merupakan matriks yang lebih bagi pertumbuhan Staphylococcus aureus daripada matriks nasinya. Dengan demikian,
rekomendasi waktu 6 jam yang diberikan Rawendra 2008 masih belum cukup untuk mencegah keracunan Staphylococcus aureus pada nasi uduk.
Terlebih FSIS 2007 merekomendasikan untuk tidak menyimpan pangan-pangan yang mudah rusak perishable lebih dari 2 jam pada
suhu ruang.
c. Sumber Kontaminasi Staphylococcus aureus dalam Nasi Uduk