PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang umum terdapat pada manusia dan tergolong sebagai patogen yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia melalui pangan. Keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini tergolong dalam kasus intoksikasi, yaitu tertelannya enterotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus dalam pangan. Menurut Pelczar dan Chan 2005, gejala umum keracunan enterotoksin stafilokoki berupa mual, pusing, muntah, dan diare. Heritage et al. 1999 menyebutkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya gejala keracunan sejak tertelannya toksin tersebut adalah sekitar tiga puluh menit sampai enam jam. Staphylococcus aureus secara alami terdapat pada tubuh manusia, maka bakteri ini merupakan salah satu agen terpenting penyebab food-borne disease yang sering terjadi di masyarakat. Food-borne disease penyakit asal pangan adalah gejala-gejala yang diakibatkan karena mengkonsumsi pangan yang mengandung sejumlah tertentu suatu bahan beracun atau patogen Riemann dan Bryan, 1979. Menurut Jaykus 2003, food-borne disease adalah penyebab utama morbiditas dan mortilitas di seluruh dunia. Penyebab terbesar masuknya Staphylococcus aureus ke dalam rantai pangan yang kemudian menyebabkan keracunan stafilokoki adalah karena rendahnya sanitasi pekerja yang menangani pangan. Selain itu, faktor lingkungan juga berpengaruh pada tingkat kontaminasi. Pangan yang disiapkan di bawah kondisi dan lingkungan yang kurang baik berimplikasi dengan tingginya kejadian food-borne disease dari pada yang lainnya Ray, 2001. Ray 2001 juga menjelaskan bahwa secara umum, kejadian food-borne disease lebih banyak terjadi pada negara berkembang dari pada negara maju. Hal ini tentunya karena perbedaan tingkat sanitasi antara negara maju dengan negara berkembang. Di Amerika Serikat yang tergolong sebagai negara maju, food-borne disease diduga bertanggung jawab terhadap 76 juta kasus sakit, 325.000 kasus rawat inap, dan 5.000 kasus kematian per tahunnya Mead et al., 1999 di dalam Jaykus, 2003. Hal ini baru dampak terhadap kesehatan, sementara itu masih ada dampak lain berupa turunnya produktivitas kerja, biaya rumah sakit, dan lainnya. Banyaknya kasus food-borne disease yang terjadi tentunya memerlukan penanganan. Akan tetapi, penanganan ini terhambat dengan sedikitnya data hasil pelaporan kejadian sehingga sulit dilakukan identifikasi penyebab kasus-kasus ini. Kebanyakan kasus keracunan tidak dilaporkan sehingga monitoring dan evaluasinya pun tidak terlaksana dengan baik. Heritage et al. 1999 menjelaskan salah satu penyebabnya adalah bahwa kasus-kasus ini banyak terjadi pada kondisi terbatas dalam selang waktu yang singkat sehingga tidak pernah dilaporkan pada petugas yang berwenang untuk dicatat. Lebih lanjut Heritage et al. 1999 menambahkan bahwa kejadian keracunan pangan sebenarnya mungkin sepuluh sampai seratus kali lebih besar dari pada dugaan resmi yang ada. Oleh karena itu, penelitian untuk mengidentifikasi penyebab kasus-kasus food-borne disease sangat penting untuk dilakukan. Di Indonesia, yang merupakan negara berkembang, sedikitnya pelaporan kejadian keracunan pangan juga menyebabkan sulitnya mengidentifikasi penyebab keracunan. Data yang tersedia umunya hanya menyatakan lokasi kejadian dan jumlah korban, namun tidak sampai pada menjelaskan penyebabnya. Data yang lain menyebutkan penyebabnya, namun sangat umum, seperti yang dilaporkan BPOM 2005 di dalam Hariyadi dan Andarwulan 2007 bahwa penyebab keracunan pangan yang dilaporkan di Indonesia adalah faktor mikrobiologis sebesar 14, faktor kimia sebesar 12, dan sisanya tidak diketahui 57. Namun, dengan mempertimbangkan latar belakang sosial, budaya, dan pendidikan yang ada di Indonesia, maka diduga kuat bahwa kasus-kasus keracunan yang terjadi merupakan dampak dari rendahnya praktek sanitasi dalam mengolah dan menyiapkan pangan, terutama pada industri jasa boga. Hal ini didukung dengan laporan BPOM 2005 di dalam Hariyadi dan Andarwulan 2007 bahwa salah satu sumber terbesar penyebab keracunan pangan di Indonesia selama tahun 2001-2004 adalah industri jasa boga, yaitu sebanyak 31. Berdasarkan dugaan di atas, maka besar kemungkinannya bahwa keracunan pangan yang terjadi di Indonesia merupakan kasus-kasus food-borne disease, terutama pada industri jasa boga tradisional yang menyediakan pangan siap santap. Hal ini karena umumnya industri jasa boga tradisional menyediakan pangan dalam jumlah yang cukup banyak dan disajikan dalam waktu yang cukup lama dengan praktek sanitasi yang minimalis, sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi bakteri dari tubuh manusia. Berdasarkan dugaan ini juga, maka besar kemungkinannya bahwa Staphylococcus aureus merupakan salah satu agen penyebab food-borne disease karena keberadaannya yang secara alami ada pada tubuh manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian untuk mengetahui risiko Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap yang umumnya disajikan oleh industri jasa boga. Pengetahuan yang baik mengenai risiko Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap tersebut dapat digunakan untuk memprediksi peluangnya sebagai penyebab kasus-kasus food borne disease. Selain itu, diketahuinya risiko Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk menetapkan prioritasisasi manajemen risiko di Indonesia. Kemudian, untuk memverifikasi risiko Staphylococcus aureus yang telah ditetapkan pada pangan-pangan tradional siap santap, maka perlu dilakukan evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus pada salah satu jenis pangan tersebut. Pangan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah nasi uduk.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan risiko Staphylococcus aureus pada pangan tradisional siap santap secara kualitatif, serta mengevaluasi keberadaan Staphylococcus aureus di dalam nasi uduk yang dijajakan oleh pelaku usaha, yang juga merupakan verifikasi dari penetapan risiko kualitatif di atas.

C. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pihak terkait sebagai salah satu acuan untuk menetapkan prioritasisasi manajemen risiko di Indonesia, khususnya pengelolaan keamanan pangan tradisioanal siap santap.

II. TINJAUAN PUSTAKA A.