yang dapat digunakan sebagai indikasi kemampuan Staphylococcus untuk membentuk enterotoksin. Prinsip pengujian karakteristik ini adalah dengan
menumbuhkan kultur bakteri pada suatu agar yang mengandung DNA. Perubahan penampakan agar, yang umumnya dengan terbentukanya zona
jernih, menunjukkan adanya proses pemecahan DNA pada agar oleh enzim thermostable nuclease yang dihasilkan oleh bakteri uji. Dengan demikian,
perubahan penampakan tersebut menunjukkan keberadaan bakteri yang memiliki karakteristik pembentuk thermostable nuclease.
Uji lain yang digunakan untuk membedakan Staphylococcus aureus dari stafilokoki lainnya adalah pengujian sensitifitas lisostafin. Lisostafin
adalah salah satu jenis antimikroba. Lisostafin dapat berfungsi sebagai antimikroba terhadap Staphylococcus aureus Anonim1, 2009. Uji
sensitifitas lisostafin pada Staphylococcus aureus ditunjukkan dengan kemampuan lisostafin melisiskan sel-sel Staphylococcus aureus dalam suatu
suspensi yang ditandai dengan berubahnya suspensi dari keruh suspensi sel Staphylococcus aureus menjadi jernih.
B. PENYAKIT ASAL PANGAN KARENA Staphylococcus aureus
Penyakit asal pangan food-borne disease adalah gejala-gejala yang diakibatkan karena mengkonsumsi pangan yang mengandung sejumlah
tertentu suatu bahan beracun atau patogen Riemann dan Bryan, 1979. Menurut Jaykus 2003, food-borne disease adalah penyebab utama
morbiditas dan mortilitas di seluruh dunia. Terdapat berbagai jenis food-borne disease yang penyebabnya juga bermacam-macam. Secara ringkas, jenis-jenis
food-borne disease ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Klasifikasi food-borne disease Bryan, 1976 di dalam Frazier dan Westhoff, 1978
Jika ruang lingkup penyebabnya dikhususkan pada bakteri, maka food- borne disease secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu intoksikasi dan
infeksi. Heritage et al. 1999 menjelaskan bahwa pada kasus intoksikasi, toksin diproduksi oleh mikroba dan dapat menimbulkan gejala penyakit
meskipun seseorang tidak mengkonsumsi bakteri hidup. Pada kasus infeksi bakteri harus terkonsumsi dalam bentuk hidup dan melakukan perbanyakan
dalam saluran pencernaan sebelum akhirnya gejala keracunan mulai tampak. Diantara kedua jenis kasus ini terdapat kasus lain yang disebut toksikoinfeksi.
Ray 2001 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan toksikoinfeksi adalah penyakit yang disebabkan tertelannya bakteri patogen hidup dalam jumlah
besar melalui makanan dan air yang terkontaminasi, kemudian bakteri ini
mengalami sporulasi atau mati, kemudian mengeluarkan toksin yang menyebabkan gejala sakit.
Salah satu jenis food borne disease adalah keracunan stafilokoki. Kasus ini merupakan jenis kasus intoksikasi, yaitu tertelannya stafilokoki
enterotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus ke dalam saluran pencernaan. Gejala keracunan atau intoksikasi stafilokoki ini pertama kali
dipelajari pada tahun 1894 oleh J. Denys dan berikutnya tahun 1914 oleh Barber, yang membuat tanda-tanda dan gejala penyakit pada dirinya sendiri
dengan mengkonsumsi
susu yang
dikontaminasi dengan
kultur Staphylococcus aureus Jay, 1996. Menurut Buckle et al. 1978 jumlah
Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk membentuk enterotoksin dalam suatu pangan adalah sekitar 10
6
selg pangan. Sumber lain Forsythe, 2000 di dalam Forsythe, 2002 menyatakan bahwa jumlah Staphylococcus aureus
yang diperlukan untuk membentuk enterotoksin dalam suatu pangan adalah 10
5
- 10
6
selg. Sementara itu, jumlah minimal toxin yang menyebabkan keracunan adalah 0,5-5 µg Forsythe, 2000 di dalam Forsythe, 2002. Menurut
Pelczar dan Chan 2005, pada umumnya gejala keracunan enterotoksin stafilokoki berupa mual, pusing, muntah, dan diare. Jay 2000 menyatakan
bahwa tingkat kematian karena keracunan ini rendah atau nol. Dia juga menyatakan bahwa pengobatannya cukup dengan istirahat dan memelihara
keseimbangan cairah tubuh. Buckle et al. 1978 menambahkan bahwa waktu yang diperlukan untuk penyembuhan umumnya cukup cepat sekitar satu
hari. Meskipun demikian, dampak keracunan ini tentunya tidak dikehendaki oleh konsumen.
Keracunan yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus merupakan salah satu kasus keracunan terpenting di dunia. Zhang et al. 1998 di dalam
Normanno et al. 2005 menyatakan bahwa Staphylococcus aureus dipertimbangkan sebagai penyebab terbesar ketiga dari kejadian-kejadian
food-borne illness di dunia. Laporan WHO mengenai food-borne disease di Eropa pada tahun 1990-1992 menempatkan Staphylococcus aureus diurutan
kedua dalam sepuluh besar agen penyebab food-borne disease Tabel 4.
Tabel 4. 10 Besar agen penyebab food-borne disease di Eropa periode tahun 1990-1992 Clark et al., 2000
Agen food borne disease
Jumkah kejadian
Salmonella spp. 9822
84,5 Staphylococcus aureus
409 3,5
Clostridium perfringens 356
3 Trichinella
181 1,5
Jamur 152
1,3 Clostridium botulinum
123 1,1
Bacilus cereus 113
1 Campylobacter spp.
85 0,7
Shigella spp. 64
0,5 Escherichia coli
33 0,3
Lainnya 301
2,6
Lainnya meliputi virus 60 kejadian, senyawa kimia 54, Scombrotoxin 48, E. coli O157 12
Staphylococcus aureus adalah mikroba kompetitor lemah dan pertumbuhannya mudah dihambat oleh mikroba lainnya Baird-Parker, 2000.
Demikian juga Buckle et al. 1978 menyatakan bahwa Staphylococcus aureus tidak berkompetisi kuat dengan mikroba lainnya sehingga tidak berpengaruh
nyata pada bahan pangan mentah. Namun, pada pangan matang atau pangan bergaram yang bakteri lainnya telah dihancurkan dengan panas atau dihambat
pertumbuhannya dengan garam, Staphylococcus aureus dapat berkembang sampai pada level yang membahayakan.
Dengan demikian, modus keracunan oleh Staphylococcus aureus yang umum adalah pada pangan matang terutama pangan yang tinggi protein yang
telah bersih dari mikroba, namun kemudian terkontaminasi oleh Staphylococcus aureus dalam selang waktu yang cukup hingga terbentuknya
racun pada pangan tersebut. Hal ini dicontohkan oleh Bergdoll 1979 yang menjelaskan salah satu modus keracunan yang disebabkan karena ham
panggang. Ham panggang merupakan menu yang umum dalam acara piknik, yang biasanya melibatkan banyak orang, dan secara umum sangat sulit untuk
menjaga ham pada suhu refrigerasi hingga ham tersebut dikonsumsi. Refrigerasi diperlukan untuk menghambat pertumbuhan Staphylococcus yang
mungkin ada pada pangan. Terlebih, suhu hangat pada musim panas akan memperparah keadaan ini. Keadaan ini akan memberikan kesempatan bagi
Staphylococcus aureus yang telah mengontaminasi ham untuk tumbuh dan
membentuk racun sehingga saat dikonsumsi akan menyebabkan keracunan pangan.
Sumber utama kontaminasi Staphylococcus aureus adalah manusia yang menangani pangan. Gaman dan Sherrington 1992 menyebutkan bahwa
Staphylococcus aureus disebarkan oleh para pengelola pangan, selama pemasakan dan penyiapannya. Penanganan pangan dengan tangan, yang tidak
meggunakan peralatan memadai, barangkali merupakan cara penyebaran yang paling umum, terutama jika orang yang menangani pangan mengalami infeksi
atau luka pada tangannya. Batuk dan bersin dekat dengan pangan dapat menyebabkan kontaminasi, dan rambut yang jatuh pada makanan atau
menggantung terurai dekat dengan makanan juga dapat menimbulkan bahaya.
Bergdoll 1979 menyatakan bahwa sumber utama kontaminasi Staphylococcus aureus pada pangan yang banyak berhubungan dengan
keracunan Staphylococcus adalah orang yang bekerja menangani pangan. Contoh yang diberikan dalam hal ini adalah pangan yang telah dipanaskan
dengan cukup selama pengolahan untuk menghancurkan Staphylococcus, misalnya ham panggang, maka keracunan pangan yang berkaitan dengan ham
panggang kebanyakan adalah karena hasil kontaminasi dari orang yang mengiris ham. Demikian pula peralatan dapat menjadi sumber kontaminasi,
seperti yang pernah terjadi pada suatu kasus keracunan Staphylococcus yang disebabkan karena ham panggang, ternyata pada mesin pemotong ham
ditemukan banyak Staphylococcus enterotoksigenik yang sama dengan yang ditemukan pada ham yang menyebabkan sakit. Walaupun ham secara
langsung terkontaminasi dari mesin, namun sumber aslinya kemungkinan besar adalah manusia.
Staphylococcus aureus hidup pada matriks yang tinggi protein, sehingga kasus-kasus keracunan Staphylococcus aureus pun umumnya terjadi
pada pangan dengan kriteria tersebut. Beberapa jenis pangan yang pernah dilaporkan berasosiasi dengan keracunan Staphylococcus aureus adalah
daging dan ayam, ham, produk-produk susu, seperti es krim, keju, dan lainnya Buckle et al., 1978; produk roti berisi custard –dan krim-, ham, unggas,
daging dan produk daging, ikan dan produk ikan, susu dan produk susu, saus krim, salad, puding, custard, pai, dan salad dressing Frazier dan Westhoff
1978; sementara di Amerika Serikat, daging babi, terutama ham panggang, adalah pangan yang paling sering menyebabkan kejadian keracunan Bergdoll
1979. Kejadian food-borne disease di Indonesia yang tergolong sebagai
negara berkembang masih cukup tinggi. Di tahun 2004 misalnya telah terjadi lebih dari 50 kali kejadian keracunan makanan massal di Indonesia, 15 orang
korbannya dinyatakan meninggal dunia UNTAG, 2008. Sementara itu, menurut data Departemen Kesehatan 2008, setidaknya ada 32 kasus
keracunan pangan sepanjang April 2006 sampai dengan November 2008. Tiga puluh dua kasus tersebut mencakup 4307 korban dengan rincian 57 orang
meninggal, 2357 orang rawat inap, dan 1893 orang rawat jalan Tabel 5. Namun, minimnya tindakan lanjut dari pelaporan kasus-kasus
keracunan pangan ini menyebabkan sulitnya mengidentifikasi penyebab keracunan. Data yang tersedia umunya hanya menyatakan lokasi kejadian dan
jumlah korban, namun tidak sampai pada menjelaskan penyebabnya. Data yang lain menyebutkan penyebabnya, namun sangat umum, seperti yang
dilaporkan BPOM 2005 di dalam Hariyadi dan Andarwulan 2007 bahwa penyebab keracunan pangan yang dilaporkan di Indonesia selama tahun 2001-
2004 adalah faktor mikrobiologis sebesar 14, faktor kimia sebesar 12, dan sisanya tidak diketahui yaitu sebesar 57, bahkan sebanyak 9 data laporan
tidak diketahui lokasi kejadiannya. Hal ini karena 50 data yang diterima oleh BPOM sendiri berasal dari media massa koran, sehingga sudah
terlambat bagi pihak BPOM melakukan analisis penyebab keracunan mengingat sudah tidak tersedianya lagi sampel pangan untuk diuji.
Namun, dengan mempertimbangkan latar belakang sosial, budaya, dan pendidikan yang ada di Indonesia, maka diduga kuat bahwa kasus-kasus
keracunan yang terjadi merupakan dampak dari rendahnya praktetk sanitasi dalam mengolah dan menyiapkan pangan, terutama pada industri jasa boga.
Hal ini didukung dengan laporan BPOM 2005 di dalam Hariyadi dan Andarwulan 2007 bahwa salah satu sumber terbesar penyebab keracunan
makanan di Indonesia selama tahun 2001-2004 adalah industri jasa boga, yaitu sebanyak 31.
Tabel 5. Data Keracunan Pangan di Indonesia Depkes, 2008
Korban No
Tempat dan Tanggal Meninggal
Rawat Inap Rawat Jalan
1 Bandung, 04-04-06
82 2
Klaten, 02-06-06 380
3 Cirebon, 30-10-06
118 4
Kediri, 02-12-06 5
107 5
Jayapura, 19-07-07 135
6 Magelang, 22-07-07
10 22
7 Subang, 13-08-07
29 22
8 Bogor, 03-02-08
3 83
9 Makasar, 09-02-08
169 10
Magetan, 26-02-08 39
57 11
Cianjur, 08-03-08 34
13 12
Cianjur, 15-03-08 415
13 Jambi, 20-03-08
23 5
14 Takalar, 21-03-08
71 15
Malang, 30-03-08 56
16 Dompu, 09-04-08
4 130
244 17
Sukabumi, 14-04-08 1
240 18
Banyumas, 19-04-08 76
16 19
Tegal, 16-05-08 1
121 115
20 Kediri, 31-05-08
4 48
21 Sukabumi, 06-06-08
89 103
22 Makasar, 08-06-08
30 23
Majalengka, 09-06-08 45
20 24
Sukabumi, 23-07-08 2
28 25
Subang, 24-07-08 113
229 26
Merauke, 27-07-08 18
119 27
Bandung, 16-08-08 132
28 Bandung,18-08-08
160 29
Magelang, 19-09-08 55
10 30
Lhokseumawe, 20-09-08 143
31 Bantul, 25-09-08
16 32
Jayapura, 21-11-08 7
110
Jumlah 57
2357 1893
Berdasarkan data-data yang dijelaskan di atas, Staphylococcus aureus kemungkinan merupakan salah satu agen penyebab keracunan pangan yang
selama ini terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Staphylococcus aureus yang secara alami ada pada tubuh manusia sangat mungkin untuk
mengkontaminasi pangan yang diolah dan disiapkan dengan kondisi sanitasi yang tidak baik. Penelitian di Indonesia, di antaranya oleh Hartini 2001 dan
Ruslan 2003, menunjukkan bahwa beberapa produk pangan tradisional siap santap yang dijajakan oleh pelaku usaha jasa boga yang diuji telah tercemar
bakteri Staphylococcus aureus Tabel 6.
Tabel 6. Data cemaran Staphylococcus aureus pada beberapa pangan
Jenis Pangan Jumlah
Staphylococcus aureus
Log CFUg Sumber data
Bakso 1,74
a Hartini, 2001 Gado-gado
3,72 a
Mie ayam 1,78
a Nasi Rames
3,21 a
Siomay 2,43
a Soto ayam
1,65 a
Touge goreng 5,10
a Gado-gado
5,81 b Ruslan, 2003
Kacang panjang rebus 5,61
b Kol rebus
5,15 b
Wortel rebus 5,23
b Tauge rebus
4,74 b
Dengan media Vogel-Johnson Agar VJA, sampel diambil jam 11 siang Dengan media Baird-Parker Agar BPA, sampel diambil 2-3 jam sejak
penjaja mulai berjualan data asli dalam satuan CFUg.
C. PENETAPAN RISIKO