Pembahasan Pengembangan Usaha Perikanan Tenggiri di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Suatu Pendekatan Sistem Bisnis Perikanan
sesuai dengan pendapat Darmawan 2001, bahwa pembatasan dan pengaturan dilakukan agar tidak menghancurkan sumberdaya yang ada dan
merupakan instrumen yang diperlukan dalam upaya pengelolaan sumberdaya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintah dan otoritas lainnya
memerlukan suatu pedoman dalam pemanfaatan maupun pengelolaannya yaitu Tata Laksana untuk Perikanan yang Bertanggungjawab Code of Conduct for
Responsible Fisheries untuk memberi kelengkapan yang dibutuhkan, secara nasional dalam rangka menjamin pengusahaan sumberdaya hayati perairan
secara lestari yang selaras dan serasi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rasdani 2004 dan Dirjen Perikanan Tangkap 2002,
bahwa pemerintah atau otoritas lainnya melaksanakan pengelolaan sumberdaya ikan secara terpadu dan terarah, sehingga sumberdaya ikan akan dimanfaatkan
secara berdaya guna dan berhasil guna, dengan cara melakukan pengelolaan secara terpadu yang melibatkan berbagai pihak terkait stakeholders demi
kelestarian sumberdaya ikan beserta lingkungannya. Inti dari CCRF bidang perikanan tangkap akan menjamin sumberdaya
ikan dan lingkungannya secara lestari dengan mengikuti sistem MonitoringPemantauan, ControllingPengendalian, SurveillancePengawasan
MCSE dan Law EnforcementPenegakan Hukum yaitu suatu sistem yang harus ditegakkan dan dijalankan dalam rangka memelihara dan menjaga
kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya di Perairan Indonesia pada umumnya dan Perairan Kabupaten Bangka pada khususnya.
Diharapkan kepada pemerintah daerah melalui dinas terkait, dapat membuat suatu kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka secara optimal. Kebijakan yang diambil adalah tidak lagi memberi izin terhadap penambahan dan
pengoperasian alat tangkap yang sudah melebihi kondisi optimal.
Penambahan alat atau armada tangkap dapat dialokasikan untuk
pemanfaatan fishing ground lepas pantai dengan memperluas daerah penangkapan sampai ke luar dari Perairan Kabupaten Bangka, yaitu mencapai
Laut Cina Selatan, Selat Gelasa sampai dengan Perairan Belitung yang merupakan daerah potensial ikan tenggiri. Daerah potensial ini sesuai dengan
yang dilaporkan Martosubroto et al. 1991 dan Balai Riset Perikanan Laut 2004 bahwa wilayah yang memiliki potensi ikan tenggiri di Kawasan Indonesia Barat
khususnya daerah Sumatera yaitu diantaranya adalah Perairan Kabupaten Bangka Belitung yang berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan.
Aktivitas penangkapan yang optimal dapat dilakukan pada bulan Mei dan Juni. Melihat kondisi musim penangkapan yang ada di Perairan Kabupaten
Bangka, maka kegiatan operasi penangkapan perlu lebih diintensifkan pada bulan-bulan dimana terjadi musim ikan yaitu pada Bulan Maret, Mei dan Juni
serta Agustus dan Oktober Gambar 15 dan Lampiran 8. Penangkapan ikan di Perairan Kabupaten Bangka berlangsung hampir sepanjang tahun, tetapi nilainya
sangat berfluktuasi. Berfluktuasinya musim penangkapan ikan disebabkan oleh musim yang terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiyono 2001, bahwa
berfluktuasinya musim penangkapan ikan yang ditandai dengan berfluktuasinya jumlah alat tangkap ikan yang beroperasi dan jumlah ikan hasil tangkapan yang
didaratkan disebabkan oleh musim yang terjadi. Selain faktor potensi sumberdaya perikanan dan teknis produksi yang
dikembangkan, pemasaran hasil perikanan sangat perlu di perhatikan. Tingginya harga ikan tenggiri dan lancarnya pemasaran menjadi salah satu komoditas
utama sektor perikanan di Kabupaten Bangka. Share keuntungan dari hasil penjualan ikan tenggiri pada saluran
pemasaran di tingkat nelayan, pedagang pengumpul, pedagang pengecer dan perusahaan perikanan terdapat perbedaan yang cukup signifikan Lampiran 24.
Hal ini dipengaruhi harga jual ikan di nelayan, pedagang, perusahaan perikanan hingga konsumen sangat berbeda, karena sesuai dengan biaya yang dikeluarkan
dan harga pasaran ikan tersebut. Semakin banyak lembaga pemasaran yang dilalui, maka margin pemasaran dan biaya pemasaran akan semakin besar. Hal
ini sesuai dengan pendapat Rahim 2005, bahwa dalam proses pemasaran hasil perikanan laut, semakin banyak lembaga pemasaran yang dilalui, maka biaya
yang dikeluarkan akan semakin besar, berarti bahwa margin pemasaran juga semakin besar.
Harga jual ikan tenggiri dari nelayan hingga ke konsumen akhir sangat dipengaruhi oleh mutu dari ikan tersebut. Kondisi mutu dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang tergolong faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi jenis kelamin, jenis spesies, umur, ukuran, sedangkan faktor
ekstrinsik dipengaruhi oleh penanganan yang dilakukan seperti penanganan di atas kapal pengesan, pencucian dan pengesan, penanganan pada saat di
daratkan pengesan dan penyortiran. Kompleksnya permasalahan mengenai 101
mutu menyebabkan upaya mempertahankan mutu harus dilakukan secara optimal dari mulai ditangkap sampai dipasarkan. Penanganan mutu yang belum
optimal dan persepsi yang berbeda pada setiap rantai produksi merupakan permasalahan mendasar yang menyebabkan upaya mempertahankan mutu ikan
tidak mengalami perkembangan. Selain faktor potensi sumberdaya ikan, teknologi, pemasaran dan mutu,
pengembangan usaha perikanan tenggiri juga dipengaruhi oleh kelayakan usaha. Pada usaha perikanan tenggiri dengan menggunakan alat tangkap gillnet dan
pancing dengan analisis usaha, maka nilai ROI dan PP memiliki nilai yang layak untuk dikembangkan. Nilai imbangan penerimaan dan biaya RC telah memberi
manfaat yang positif, artinya usaha tersebut dapat dilaksanakan. Usaha tersebut akan lebih banyak memberikan keuntungan dan layak untuk dikembangkan,
apabila modal usaha berasal dari bantuan. Usaha perikanan tenggiri dengan alat tangkap gillnet dan pancing dengan analisis kriteria investasi, maka nilai NPV0,
net BC1 dan IRR tingkat suku bunga yang berlaku 12. Besarnya nilai Net BC dan ROI dipengaruhi oleh hasil tangkapan dan biaya usaha yang
dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sobari et al. 2007, bahwa besarnya nilai Net BC, BEP dan ROI sangat dipengaruhi oleh hasil tangkapn
yang diperoleh dan besarnya biaya usaha yang dikeluarkan. Hal ini menunjukkan usaha tersebut layak untuk dikembangkan Lampiran 24.
Kenaikan harga bahan bakar solar pada usaha perikanan tenggiri dengan alat tangkap gillnet dan pancing ulur sebesar 112 dan pada pancing ulur
sebesar 114,5 dengan demikian dapat dikatakan bahwa usaha tersebut tidak sensitif terhadap kenaikan harga bahan bakar solar. Apabila sampai terjadi
kenaikan harga bahan bakar solar, maka sebaiknya harga jual ikan per kg dinaikkan. Selain itu, perlu adanya bantuan subsidi solar dari pemerintah atau
membentuk agen yang khusus untuk menjual alat dan bahan untuk perbekalan dan peralatan melaut seperti solar, sehingga harga beli solar akan sama dengan
harga yang beredar di pasaran atau pemerintah memberikan subsidi solar, sehingga harga beli solar akan terjangkau oleh nelayan.
Penurunan harga ikan pada unit usaha penangkapan tenggiri dengan gillnet sebesar 28 dan pada usaha pancing ulur sebesar 24,5 dari Rp
28.500,00 per kg menjadi Rp 23.581,17 per kg usaha menjadi tidak layak dan menjadi sensitif terhadap pengembangan usaha. Hal ini harus diperhatikan oleh
Stakeholder pelaku usaha untuk tetap menjaga mutu ikan agar harga ikan tetap stabil.
Pengembangan sistem usaha perikanan tenggiri berdasarkan sistem bisnis perikanan harus didukung pula dengan adanya infrastrukturfasilitas
seperti pelabuhan perikanan atau minimal pangkalan pendaratan ikan PPI yang memadai mengingat fasilitas ini hanya terfokus pada PPP Sungailiat, akan tetapi
PPI belum memadai. Lubis 2002 dan Murdiyanto 2004 mengemukakan bahwa pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan PPI yang merupakan
basis utama kegiatan industri perikanan tangkap harus dapat menjamin suksesnya aktivitas usaha perikanan tangkap di laut, sehingga usaha
peningkatan produksi dapat dicapai. Pengembangan usaha perikanan sangat membutuhkan infrastruktur yang
memadai. Infrastruktur dari usaha perikanan tenggiri relatif lengkap, akan tetapi kapasitas dari infrastruktur tersebut belum memadai, sehingga pemanfaatannya
kurang otimal. Infrastruktur yang menjadi kendala dalam pengembangan usaha perikanan adalah ketersediaan solar dan listrik.
Kendala ketersediaan solar yaitu sulitnya nelayan untuk mendapatkan solar saat hendak melaut dan mengalami pembagian jatah, sedangkan kendala
ketersediaan listrik yaitu terlihat dengan sering adanya pemadaman listrik oleh PLN untuk wilayah Bangka. Selain itu kendala yang dihadapi pada saat ini yaitu
kapal perikanan yang berukuran 10 GT sulit untuk melakukan aktivitas tambat labuh pada dermaga ataupun kolam pelabuhan terutama pada saat air surut
terendah. Keadaan kolam pelabuhan saat ini kotor yang disebabkan adanya pembuangan oli-oli bekas dan sampah dari kapal berasal dari tailing timah
bekas limbah galian timah, kotoran manusia, sehingga mengakibatkan sedimentasi di sekitar kolam pelabuhan.
Kendala dalam infrastruktur tersebut diduga akan mengakibatkan pengembangan usaha perikanan tidak akan mengalami perubahan yang berarti.
Oleh karena itu satu-satunya hal yang perlu dilakukan adalah menyediakan infrastruktur bagi masing-masing pelaku bisnis perikanan stakeholder.
Sehubungan dengan hal tersebut, dengan berdasarkan hasil penelitian ini, berikut beberapa rekomendasi alternatif kebijakan yang diajukan :
1
Membuat dan menetapkan regulasi tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bangka, meliputi tingkat effort optimal sebesar 382-
383 trip per bulan, volume produksi optimal sebesar 12,89 ton per bulan 103
sehingga tercapainya rente ekonomi yang optimal yaitu antara Rp 11.481.740.000,00-Rp 22.869.550.000,00.
2
Membuat dan menetapkan regulasi tentang pengurangan dan pembatasan alat tangkap restriction gear sumberdaya ikan.
3
Menciptakan daerah-daerah perlindungan laut marine protected areas
4
Melakukan MSCE dalam hal usaha perikanan tenggiri. 5 Melakukan usaha penangkapan pada musim-musim tertentu musim ikan.
6
Memperluas daerah penangkapan sampai ke luar dari Perairan Kabupaten Bangka, yaitu mencapai Laut Cina Selatan, Selat Gelasa sampai dengan
Perairan Belitung yang merupakan daerah potensial ikan tenggiri. 7 Menarik investor untuk menanamkan modalnya dalam kegiatan pra produksi,
produksi maupun pemasaran, guna pengembangan dari usaha perikanan tenggiri yang telah ada.
8 Membuat standar mutu produk serta merancang program-program pembinaan mutu kepada nelayan maupun pengumpul sebagai mitra usaha.
Tujuannya adalah agar produk yang di pasarkan memiliki harga jual yang tinggi, sehingga mempengaruhi margin pemasaran dari masing-masing
pelaku bisnis perikanan.
9
Adanya pembinaan dari pemerintah teknis pembinaan juga dapat dilakukan melalui pengolahperusahaan perikanan sebagai rantai terakhir produksi.
10 Perlu adanya Perda mengenai penetapan harga dasar hasil perikanan khususnya harga ikan tenggiri di Kabupaten Bangka yang meminimalisasi
perbedaan harga komoditas.
11
Adanya perubahan sistem manajemen seperti dalam hal pengawasan distribusi solar secara ketat karena adanya indikasi penggunaan solar bukan
berasal dari kalangan nelayan melainkan dari penambang timah inkonvensional TI apung.
12 Adanya pengembangan fasilitas pelabuhan perikanan di Kabupaten Bangka yang semula PPP menjadi PPN seperti fasilitas kolam, perluasan darmaga
dan alur. 104
6 KESIMPULAN DAN SARAN