Teori Konflik Forest resources conflicts in West Java and West Kalimantan, Indonesia

16 konflik berorientasi ke studi struktur dan institusi sosial. Sedikit sekali pemikiran teori konflik yang berlawanan secara langsung dengan fungsionalis. Antitesis terbaik dari teori konflik ditunjukkan oleh karya Dahrendorf 1958, 1959. Melalui karya Dahrendorf, pendirian teori konflik sejajar dengan teori fungsionalis. Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik yang dibedakan dari teori fungsionalis, sebagai berikut: 1. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah statis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara seimbang, tetapi menurut teori konflik khususnya Dahrendorf, masyarakat setiap saat tunduk pada perubahan. 2. Fungsionalis menekankan pada keteraturan dalam masyarakat, sedangkan teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. 3. Fungsionalis menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas, sedangkan teori konflik melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. 4. Fungsionalisme cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai dan moral. Teoritisi konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di atas. Dengan kata lain, teori konflik melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. 5. Fungsionalisme memusatkan perhatian pada kohesi yang diciptakan oleh nilai bersama masyarakat. Teoritisi konflik menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat lihat Ritzer dan Goodman, 2004. Menurut Turner 1998 Dahrendorf adalah orang pertama yang mengemukakan teori konflik modern yang mendapatkan sambutan dari khalayak luas. Pada akhir 1950-an, Ralf Dahrendorf terus-menerus menyatakan bahwa skema Parsonian, dan fungsionalisme pada umumnya, menyajikan sebuah visi masyarakat yang terlalu konsensual, terpadu, dan statis, dengan istilahnya utopia. Untuk meninggalkan utopia, Dahrendorf menawarkan saran berikut: さ Berkonsentrasi pada masa depan tidak hanya pada masalah kongkrit tetapi pada masalah yang melibatkan penjelasan dalam hal kendala, konflik dan perubahan” Concentrate in the future not only on concrete problems but on such problems as 17 involve explanations in term of constraint, conflict and change. This second face of society may aesthetically be rather less pleasing than the social system-but, if all sociology had to offer were an easy escape to utopian tranquility, it would hardly be worth our efforts. Untuk menghindari utopia, selanjutnya Dahrendorf dalam Turner, 1998 menjelskan “To escape utopia, therefore, requires that a one-sided conflict model be substituted for the one-sided functional model. Although this conflict perspective was not considered by Dahrendorf to be the only face of society, it was seen as a necessary supplement that will make amends for the past inadequacies of function al theory”. Dalam pandangan Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah-satu konsensus, yang lain adalah konflik, tergantung waktu lihat Turner, 1998; Ritzer dan Goodman, 2004. Oleh karena itu teori sosiologi harus dibagi ke dalam dua bagian, teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus harus menelaah integrasi nilai di tengah-tengah masyarakat, sementara teoritisi konflik harus menelaah konflik kepentingan dan kohesi yang menyatukan masyarakat di bawah tekanan-tekanan tersebut. Dahrendorf mulai dengan, dan sangat dipengaruhi oleh fungsionalisme struktural. Ia menyatakan bahwa menurut fungsionalisme sistem sosial dipersatukan oleh kerjasama sukarela, atau oleh konsensus bersama, atau oleh kedua-duanya. Tetapi, menurut teoritisi konflik atau teoritisi koersi masyarakat disatukan oleh “ketidakbebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf pada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor penentu konflik sosial sitematis lihat Ritzer dan Goodman, 2004. Lebih lanjut Ritzer dan Goodman 2004:154 mengemukakan bahwa Dahrendorf memusatkan perhatiannya pada struktur sosial yang lebih besar yang jadi inti tesisnya adalah bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Dahrendorf tak hanya tertarik pada struktur posisi, tetapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu. Menurut Turner 1998, model yang muncul dari teori Dahrendorf ini disebut sebagai perspektif konflik dialektis, yang masih merupakan salah satu upaya terbaik untuk menggabungkan wawasan dari Marx dan sampai batas 18 tertentu Weber dan Simmel menjadi seperangkat proposisi teoritis. Dahrendorf percaya bahwa proses pelembagaan melibatkan penciptaan Imperative Coordinated Association ” asosiasi imperatif terkoordinasi disingkat ICA dengan kriteria tidak ditentukan, mewakili peran organisasi yang berbeda. Organisasi ini ICA ditandai oleh hubungan kekuasaan, dengan beberapa kelompok peran yang memiliki kekuatan untuk mengekstrak konformitas dari orang lain. Menurut Turner 1998 Dahrendorf agak samar pada titik ini, tapi tampaknya bahwa setiap unit dari kelompok sosial kecil atau organisasi formal untuk sebuah komunitas atau seluruh masyarakat bisa dianggap sebagai ICA untuk tujuan analisis jika sebuah organisasi peran menampilkan perbedaan kekuasaan. Selanjutnya menurut Turner 1998, pada saat yang sama, bagaimanapun, kekuasaan dan otoritas adalah sumberdaya yang langka dimana sub kelompok dalam ICA menunjukkan persaingan dan bertempur. Mereka dengan demikian merupakan sumber utama konflik dan perubahan dalam pola-pola pelembagaan. Meskipun peran dalam ICA memiliki berbagai tingkat kekuasaan, setiap ICA tertentu dapat ditandai sebagai dua tipe dasar peran, yaitu peran yang berkuasa superordinate dan yang dikuasai subordinat. Kelompok cluster peran yang berkuasa memiliki kepentingan dalam mempertahankan status quo, dan kelompok yang dikuasai memiliki minat dalam mendistribusikan kekuasaan atau otoritas. Dalam kondisi tertentu, kesadaran akan kepentingan yang bertentangan ini meningkat, hasilnya bahwa ICA terpolarisasi ke dalam dua kelompok konflik, masing-masing menyadari kepentingan objektifnya, yang kemudian terlibat dalam sebuah kontes untuk mendapatkan otoritas di ICA, sehingga membuat konflik menjadi sumber perubahan dalam sistem sosial. Pada gilirannya, redistribusi otoritas merepresentasikan pelembagaan dari peran kelompok baru yang berkuasa dan yang dikuasai, dalam kondisi tertentu. Polarisasi yang terus menerus ke dalam dua kelompok kepentingan untuk perebutan otoritas ini menjadi sebuah realitas sosial yang menandai siklus konflik otoritas yang tak berujung. Sebagaimana Merton memandang fungsi laten dan manifest, Dahrendorf mengidentifikasi kepentingan laten dan manifest, atau kepentingan yang disadari dan tidak disadari unconscious and conscious interests. Menurut Dahrendorf 19 kepentingan kelas objektif dibagi atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan laten maka dalam setiap sistem sosial yang terkoordinasi itu terkandung kepentingan laten yang sama, yang disebut kelompok kuasi yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai. Menurut Ritzer and Goodman 2004, hubungan antara kedua konsep itu merupakan masalah utama bagi teori konflik dalam mengemukakan adanya tiga jenis kelompok: kelompok kuasi, kelompok kepentingan, dan kelompok konflik. Lebih lanjut Turner 1998 menyebutkan bahwa model Dahrendorf memiliki kesamaan dengan model Marx, dalam mengungkapkan rantai sebab- akibat dari peristiwa-peristiwa yang menyebabkan konflik dan reorganisasi struktur sosial. Hubungan dominasi dan penaklukan menciptakan suatu oposisi kepentingan obyektif. Kesadaran atau kesadaran awareness or consciousness melalui penundukkan dari kepentingan oposisi terjadi dalam kondisi specifiable tertentu. Dalam kondisi lain kesadaran baru ditemukan mengarah kepada organisasi politik dan kemudian, kelompok tertindas yang terpolarisasi tersebut bergabung dalam menghadapi konflik dengan kelompok dominan, hasil dari konflik akan mengantarkan pada terbentuknya pola baru dari organisasi sosial. Pola baru organisasi sosial ini akan memiliki di dalamnya hubungan dominasi dan penaklukan yang berangkat dari urutan peristiwa yang menyebabkan konflik dan kemudian mengubah pola organisasi sosial. Hubungan dialektik menurut Marx dan Dahrendorf, dapat digambarkan dalam gambar 1. 20 Gambar 1. The Dialectical Causal Imagery Sumber Turner, 1998:168 Marxian analytical categories Social organization Relations of domination and subjugation Objectives opposition of interest Consciousness of objective opposition of interests by the Subjugated Polarization into dominant and subjugated populations Violent conflict Social reorganization Marxian empirical categories Ownership of property Domination of propertied social classes over other classes Opposition of social classes over distribution of propertiy and power Growing class consciousness or nonpropertied class Politicization of subjugated class and polatization of society into two classes Revoluti onary class conflict Redistribution or property and power Considered nonproblematic Intervening empirical conditions Dahrendo rf’s empirical categories Legitimatized role relationship in ICAs Dichotomous authority relations of dominant and subordinate roles Opposed quasi groups Growing awareness of opposed threats Creations of a conflict group conflict Redistribution of authority in ICAs Considered nonproblematic Intervening empirical conditions 21 Berdasarkan gambar 1 lihat Turner, 1998: 167-168 menguraikan gambaran kausal Marx dan Dahrendorf. Baris atas pada gambar berisi kategori-katagori analisis Marx, dinyatakan dalam bentuk yang paling abstrak. Dua baris lainnya masing-masing menentukan kategori empiris dari Marx dan Dahrendorf. Menurut Turner 1998 bahwa “ The empirical categories of the Dahrendorf scheme differ greatly from those of Marx, but the form of analysis is much the same because each considers as nonproblematic and not in need of causal analysis the empirical conditions of social organization, the transformation of this organization into relations of domination and subjugation, and the creation of opposed interests. Analisis kausal untuk kedua model empiris tersebut Marx dan Dahrendorf dimulai dengan mengelaborasi kondisi-kondisi yang menyebabkan tumbuhnya kesadaran kelas Marx atau kesadaran akan kepentingan tujuan bersama di antara kelompok kuasi Dahrendorf, kemudian analisis bergeser ke penciptaan kelas politik for itself Marx atau kelompok konflik yang sesungguhnya Dahrendorf. Akhirnya, penekanan berfokus pada munculnya konflik diantara kelas yang terpolarisasi dan dipolitisasi Marx atau kelompok-kelompok konflik Dahrendorf. Dahrendrof mendasarkan teorinya pada perspektif Marx modern yang menerima meluasnya konflik sosial yang didasarkan pada oposisi kepentingan kelas dan konskuensi konflik itu dalam melahirkan perubahan sosial. Teori konflik Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori Marx. Marx berpendapat bahwa kepemilikan dan kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu-individu yang sama. Namun menurut Dahrendorf bahwa tidak selalu pemilik sarana-sarana juga bertugas sebagai pengontrol. Dahrendrof berpendapat lihat Kinseng, 2013 bahwa kontrol atas alat produksi merupakan faktor penting, dan bukanya kepemilikan alat produksi. Dalam tahap awal kapitalisme, maka mereka yang memiliki alat produksi mengontrol penggunaanya, tetapi ini tak berarti ada hubungan intristik antara kepimilikan dan pengontrolanya Selanjutnya dengan menyitir pendapat beberapa ahli, Kinseng 2013 menjelaskan bahwa berbeda dengan Marx, Dahrendorf berpendapat bahwa 22 kepemilikan alat produksi hanya merupakan salah satu faktor yang menjadi sumber konflik. Menurut Dahrendorf, sumber konflik yang sesungguhnya adalah kekuasaan atau otoritas. Kepemilikan alat produksi merupakan salah satu bentuk dari faktor determinan kelas dan konflik yang lebih umum, yakni otoritas. “Authority is the more general social relation”, kata Dahrendorf 1963:137. Selanjutnya dikatakan bahwa “The authority structure of entire societies as well as particular institutional orders within societies such as industry...is the structural determinant of class formation and cl ass conflict” Dahrendorf, 1963:136. Dahrendorf berpandangan bahwa ada kecenderungan yang melekat pada masyarakat untuk berkonflik; karena mereka yang memiliki kekuasaan akan mengejar kepentingannya, sementara yang tidak memiliki kekuasaan juga mengenjar kepentingannya. Padahal, kepentingan kedua pihak ini bertentangan. Itulah yang menjadi sumber konflik. Oleh sebab itu, bagi Dahrendorf “Power is a lasting source of friction ” Wallace and Wolf, 2006:122. Bagi Dahrendorf pembagian kewenangan otoritas adalah kunci untuk memahami konflik sosial. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam posisi. Otoritas diciptakan oleh harapan beberapa jenis tindakan yang terkait dengan posisi tertentu, termasuk subordinasi orang lain dan subordinasi kepada orang lain. Berbagai posisi kekuasaan ada dalam asosiasi. Garis kesalahan yang bermunculan di sekitar lokus adalah persaingan wewenang menghasilkan kelompok yang saling bertentangan. Konflik antara kelompok-kelompok ini meliputi interaksi mereka, dengan hasil bahwa otoritas sering ditantang dan menjadi renggang lihat Ritzer and Goodman , 2004. Selanjutnya Turner 1998 membuat abstraksi dari teori konflik Dahrendorf ini dalam bentuk proposisi, sebagai berikut: I. Konflik kemungkinan besar terjadi j ika anggota ‘kuasi grup’ dalam ICA menyadari kepentingan objektif mereka dan membentuk grup konflik, yang pada gilirannya berkaitan dengan: A. Kondisi teknis organisasi, yang tergantung pada 1. Pembentukan kepemimpinan di dalam ‘kuasi grup’ 2. Kodifikasi sistem ide 23 B. Kondisi politik, tergantung apakah kelompok dominan mentolerir pengorganisasian kelompok yang berlawanan kepentingannya C. Kondisi sosial, yang tergantung pada 1. Kesempatan bagi anggota kuasi grup untuk berkomunikasi 2. Kesempatan untuk merekrut anggota II. Semakin tidak terpenuhi kondisi teknis, politis, dan sosial tersebut, semakin intens konflik yang terjadi. III. Semakin terkait distribusi otoritas dan rewards satu sama lain superimposed, semakin intens konflik yang terjadi. IV. Semakin rendah mobilitas antara kelompok superordinat dan subordinat, semakin intens konflik yang terjadi. V. Semakin tidak terpenuhi kondisi teknis, politis, dan sosial, semakin brutal konflik yang terjadi. VI. Semakin deprivasi distribusi rewards kelompok yang tertindas itu distribusi rewards bergeser dari absolut ke relatif, semakin brutal konflik yang terjadi. VII. Semakin rendah kemampuan kelompok yang bertikai untuk membangun kesepakatan aturan main, semakin brutal konflik yang terjadi. VIII. Semakin intens konflik, semakin besar tingkat perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. IX. Semakin brutal konflik, semakin tinggi kecepatan perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. Berdasarkan proposisi abstrak model Dahrendorf tersebut, maka dapat dikatakan bahwa konflik mendorong pada terjadinya perubahan organisasi sosial. Semakin intens atau keras konflik, maka semakin besar perubahan organisasi yang terjadi. Semakin sulit dipertemukannya kondisi-kondisi teknis, politik dan sosial dari kelompok-kelompok konflik maka semakin sulit pula konflik tersebut diselesaikan. Lebih lanjut Turner 1998 menjelaskan bahwa secara formal Dahrendorf menguraikan tiga tipe intervensi kondisi-kondisi empiris: a. Pertama, kondisi organisasi yang mempengaruhi transformasi dari kelompok-kelompok kuasi laten kedalam kelompok konflik yang manifest nyata; 24 b. Kedua, kondisi konflik yang menentukan bentuk dan intensitas konflik; c. Ketiga, kondisi perubahan struktural yang mempengaruhi kecepatan dan kedalaman perubahan dalam struktur sosial. Dengan demikian, variabel-variabel dalam skema teoritis Dahrendorf Turner, 1998 dapat dikemukakan, sebagai berikut: 1. Tingkat formasi kelompok konflik; 2. Tingkat intensitas konflik; 3. Tingkat kebrutalan dari konflik; 4. Tingkat perubahan struktur sosial, dan 5. Laju perubahan tersebut. Selanjutnya Turner 1998 menyimpulkan bahwa teori konflik Dahrendorf sebenarnya bukanlah teori konflik pertama yang lahir pada pertengahan abad 20, tetapi teori konflik Dahrendorf menjadi teori yang paling berpengaruh. Pendekatan Dahrendorf yang abstrak dan analitis mengkritik Maxists Ortodoks, substansi Dahrendorf telah keluar dari analisis Marx. Teori konflik Dahrendorf telah membebaskan diri dari parokialisme Marxian, sehingga menarik perhatian luas dari khalayak sosiologis. Namun Rodgers 2003 masih melihat adanya tantangan yang dihadapi oleh Pandangan teori konflik modern Dahrendorf yaitu bagaimana masyarakat terus maju secara ekonomi dan masih mempertahankan kewarganegaraan dan kebebasan. Peningkatan kesejahteraan ekonomi menciptakan kekayaan dan kekuasaan untuk beberapa orang, tetapi meningkatkan kemiskinan dan keputusasaan bagi banyak orang lain. Perjuangan untuk lembaga sosial modern adalah untuk dapat memoderasi konflik yang mungkin timbul dari pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.

2.2. Konflik Pemaknaan

Ketidak sepakatan tentang siapa yang seharusnya mengontrol dan mengelola hutan dan “Kawasan Hutan” merupakan sumber dari berbagai ketegangan dan konflik sumberdaya hutan. Asal-usul kekacauan dan konflik ini sebagian besar terletak pada perbedaan pemaknaan atas hutan dan perbedaan penafsiran atas definisi dan lokasi hutan di Indonesia serta kewenangan Departemen Kehutanan. 25 Tafsir-tafsir yang berbeda tersebut menyebabkan perbedaan-perbedaan mendasar tentang peran pengawasan terhadap sumber daya hutan oleh pelaku dan lembaga yang berbeda. Di Indonesia kawasan-kawasan penting yang telah ditetapkan sebagai ‘Kawasan Hutan’ pada kenyataannya hanya memiliki sedikit hutan atau bahkan tidak ada hutan sama sekali. Tanah-tanah tersebut sering secara otomatis diklasifikasi sebagai ‘hutan’ ketika wilayah tersebut tidak terdaftar sebagai tanah pertanian Fay dan Michon 2005. Hal ini secara umum mengabaikan tata-guna tanah yang faktual di lapangan serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang hidup di tanah tersebut, dimana hal ini dilakukan oleh pemerintah kolonial atau pemerintahan pasca kolonial Dove 1983; Lynch 1992. Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan pemaknaan atas kawasan hutan termasuk tata kelola hutan oleh berbagai pihak aktor, khususnya aktor negara dan masyarakat adat. Pemaknaan terhadap hutan tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan yang membentuk rasionalitas dan mempengaruhi tindakan sosial aktor terhadap sumberdaya hutan. Setiap aktor memiliki pengetahuan tentang tata kelola hutan, begitupun masyarakat adat memiliki pengetahuan lokal sendiri. Pengetahuan lokal tersebut merupakan pengetahuan yang unik dari suatu budaya atau masyarakat tertentu. Pengetahuan ini menjadi dasar bagi masyarakat dalam menentukan pengolahan pertanian, kesehatan, penyiapan makanan, pendidikan, konservasi lingkungan, dan sejumlah kegiatan lainnya. Sebagian besar pengetahuan tersebut diturunkan dari generasi ke generasi, melalui media dari mulut ke mulut. Masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang bagaimana hidup selaras dengan ekosistem dan cara-cara untuk memastikan bahwa sumberdaya alam dipergunakan secara lestari. Oleh karena itu, pengetahuan lokal yang telah terakumulasi selama berabad-abad memiliki nilai potensial untuk pembangunan berkelanjutan. Hal ini juga dapat membantu orang lain belajar bagaimana untuk hidup dalam harmoni dengan alam dan lingkungan secara berkelanjutan. diadaptasi dari Indigenous Knowledge and Sustainable Development, Sri Lanka Centre for Indigenous Knowledge, University of Sri Jayewardenapura, 1996, p. vii-vii.