Paradigma Penelitian Forest resources conflicts in West Java and West Kalimantan, Indonesia

56 identitas dan kepentingan serta pada saat yang bersamaan, menekankan peran praktek dalam membentuk struktur-struktur tersebut. Secara ontologis, paradigma konstruktivisme menyatakan bahwa realitas bersifat sosial dan karenanya akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu realitas yang dapat dijelakan secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas ada sebagai seperangkat bangunan yang menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan dialektis. Oleh karena itu, paradigma konstruktivisme menganut prinsip relativitas dalam memandang suatu fenomena alam atau sosial. Secara filosofis, hubungan epistemologis antara pengamatan dan objek, menurut aliran ini bersifat suatu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi diantara keduanya. Selanjutnya, secara metodologis, konstruktivisme secara jelas menyatakan bahwa penelitian harus dilakukan diluar laboratorium, yaitu di alam bebas secara sewajarnya natural untuk menangkap fenomena alam apa adanya dan secara menyeluruh tanpa campur tangan dan manipulasi pengamat atau pihak peneliti. Dengan setting natural ini, maka metode yang paling banyak digunakan adalah metode kualitatif dari pada metode kuantitatif. Suatu teori muncul berdasarkan data yang ada. Untuk itu pengumpulan data dilakukan dengan metode hermeuneutik dan dialektik yang difokuskan pada konstruksi, rekontruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Menurut Denzin dan Lincoln 2000 dalam menerangkan macam-macam paradigma penelitian bahwa konstruktivisme merupakan paradigma yang bersifat relatif, dan transaksionalis subjektif. Dilihat dari aspek ontologism, konstrukstivisme melihat realitas sebagai konstruksi sosial. Kebenaran realitas adalah relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Dilihat dari aspek epistemologi, konstruktivisme bersifat Transactionalist subjektivist, membuat penemuan dimana pemahaman suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi peneliti dengan yang diteliti. Dilihat dari aspek metodologi, paradigma konstruktivisme menggunakan metode dialektik hermeuneutik. Paradigma konstruktivisme pada dasarnya berangkat dari tradisi pemikiran teori kritis, dalam arti para pendukung konstruktivisme melihat potensi teori kritis 57 untuk melihat realitas melalui aspek-aspek yang sangat beragam, berhadapan dengan neorealisme dan neoliberalisme. Seperti halnya teori kritis, konstruktivisme menolak posisi ontologis neoliberal dan neorealis yang menggambarkan manusia secara rasionalis, yakni sebagai aktor-aktor yang atomistis dan egois sedangkan masyarakat hanyalah sebagai arena strategis semata-mata. Konstruktivisme, sejalan dengan teori kritis, sebaliknya, melihat manusia dengan image yang sangat berbeda: sebagai makhluk sosial, terbentuk melalui komunikasi dan kultur. Disamping itu, konstruktivisme dan teori kritis menggunakan metodologi yang sama: menolak positivisme dan lebih menekankan pada metodologi interpretatif, diskursif dan historis. Tetapi, keterkaitan antara konstruktivisme dan teori kritis tidak berjalan lebih jauh daripada aspek-aspek ontologi, epistemologi dan metodologi. Konstruktivisme menjauhkan diri dari teori kritis dengan meninggalkan keasyikan pada tingkat metateori yang mendominasi teori kritis dan lebih menekankan pada analisa empiris, yakni berusaha menemukan pemahaman konseptual dan teoretis dengan menganalisa masalah-masalah empiris. Dalam artian ini, konstruktivisme melihat teori kritis tidak memiliki potensi untuk melakukan inovasi dalam mengelaborasi konsep- konsep yang digunakannya ataupun mengembangkan teori yang didasari oleh empiris. Melemahnya keterkaitan antara konstruktivisme dan teori kritis tidak berlangsung satu arah. Teori kritis juga sangat kritis terhadap asumsi-asumsi konstruktivisme. Sekalipun memiliki posisi ontologis, empistemologis maupun metodologis yang sama, konstruktivisme dianggap berusaha menghilangkan aspek power dalam memahami nilai. Nilai dianggap sebagai sesuatu yang netral dan tidak punya bias ataupun basis kekuasaan. Dalam artian ini, konstruktivisme kehilangan tujuan utama pemikiran kritis, yakni emansipasi. Jadi, sekalipun memahami realitas bukan sebagai sesuatu yang beku, alamiah dan abadi melainkan sebagai produk dari interaksi, konstruktivisme tidak memaknai interaksi antar nilai ini sebagai sebuah proses politik yang sangat berpengaruh pada aspek keadilan, kesederajatan dan kebebasan. 58 Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan fokus penelitian pada konflik penguasaan sumberdaya hutan. Pendekatan kualitatif menekankan pemaknaan atas temuan atau fakta dikonstruksi berdasarkan perspektif subyektif dari tineliti. Pemaknaan pada penggambaran, pemahaman dan menjelaskan fenomena yang kompleks pada hubungan, pola-pola dan konfigurasi antar faktor dengan menggunakan analisis kesejarahan. Dalam perspektif ini, penyelidikan dan pembuktian terhadap gejala sosial dilakukan lebih banyak secara konstruktif dimana pendekatan reflektif, antar subyek, dan perenungan makna menjadi sangat penting posisinya dalam mendapatkan makna kebenaran atas suatu fakta. Sekalipun demikian, studi ini juga memberikan tempat yang cukup leluasa pada upaya-upaya menginvestigasi penyebab dan konsekuensi yang timbul sebagai hasil dari keputusan politik ekonomi yang diambil oleh otoritas kekuasaan di kawasan studi. 3.3. Kerangka Pemikiran Penelitian ini beranjak dari suatu pemikiran bahwa hutan sebagai basis livelihood masyarakat lihat Bellwood, 2005, mulai terusik karena keberadaan kelembagaan baru yang dibuat oleh pemerintah dalam pengaturan hutan. Dengan mengambil teladan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban yang berada di dalam dan sekitar hutan, disertasi ini ingin menggambarkan bahwa kebijakan negara pemerintah dibidang kehutanan, baik untuk tujuan pelestarian maupun pemanfaatan hutan, menyebabkan masyarakat adat ternegasikan dari tanah yang selama ini diklaimnya, menempatkan masyarakat adat pada kondisi konflik dan mengharuskan mereka beradaptasi dengan lingkungan. Konflik menjadi tidak terhindarkan ketika ada dua klaim yang sama terhadap kawasan hutan. Klaim atas kawasan hutan tersebut didasarkan atas pemaknaan hutan yang berbeda. Pemaknaan negara tentang hutan didasarkan pada peraturan perundang-undangan, sedangkan pemaknaan masyarakat adat tentang hutan didasarkan atas pengetahuan lokal yang dianut masyarakatnya secara turun temurun. Pengetahuan memberi kekuasaan kepada aktor, sebagaimana yang dikemukakan oleh Foucault bahwa ada relasi antara pengetahuan dan kekuasaan. Selanjutnya kekuasaan dapat mempengaruhi dan mengendalikan perilaku atau tindakan sosial aktor. 59 Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 ayat c, bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Selanjtnya dalam Pasal 4 Ayat 1, bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan peraturan tersebut diketahui pemaknaan hutan menurut negara adalah kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan, dan semua kawasan hutan diklaim sebagai milik negara. Penguasaan hutan oleh negara ini diperkuat berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960, Pasal 19 ayat 1, bahwa “untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah. Hal ini bermakna bahwa semua tanah harus didaftarkan. Tanah yang tidak didaftarkan dimaknai sebagai tanah tanpa judul dan didefinisikan sebagai tanah negara. Sementara itu, masyarakat adat memiliki pemaknaan atas kawasan hutan didasarkan pada pengetahuan yang diperoleh dari pewarisan nenek moyang yang hidup dan tinggal di wilayah tersebut sejak lama secara turun temurun jauh sebelum Indonesia merdeka. Keberadaan masyarakat yang hidup dan bergantung pada hutan tersebut menjadi dasar bagi masyarakat untuk mengklaim wilayah tersebut sebagai kawasan hutan miliknya. Klaim atas wilayah tersebut menciptakan otoritas pada masing-masing pihak untuk mengelola dan memanfaatkan hutan sesuai kepentingan meminjam istilah Dahrendorf pihak- pihak tersebut. Pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, negara mempunyai kepentingan untuk pelestarian hutan sementara Masyarakat Kasepuhan memiliki kepentingan untuk pelestarian hutan dan pemanfaatan hutan bagi kelangsungan livelihood mereka dan generasi berikutnya. Pada hutan Sungai Utik, negara memiliki kepentingan untuk memanfaatkan hutan untuk diambil kayunya, sementara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki kepentingan untuk pelestarian hutan dan pemanfaatan hutan bagi kelangsungan livelihood mereka dan generasi berikutnya. Kesadaran akan kepentingan bersama ini yang menyebabkan timbulnya kelompok konflik antar kelas, yaitu masyarakat adat selaku kelompok yang subordinat dan negara selaku kelompok superordinat. Dalam kondisi tertentu, kesadaran akan kepentingan 60 yang bertentangan ini meningkat, masing-masing menyadari kepentingan objektifnya, yang kemudian terlibat dalam konflik kelas. Kelas disini dipahami dalam konteks Dahrendorf, yaitu karena adanya perbedaan otoritas kekuasaan. Dalam konteks hubungan konstelasi kekuasaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan antara masyarakat adat dengan negara dapat dipahami dalam konteks hubungan otoritas di mana negara selaku pemegang otoritas formal berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia, menempati posisi yang memiliki hak normatif untuk mendominasi masyarakat adat, dengan kata lain negara menempati posisi superordinat berkuasa dan masyarakat adat sebagai subordinat yang dikuasai. Dahrendorf menyebutnya sebagai tatanan sosial yang dikelola oleh proses penciptaan hubungan otoritas dalam berbagai posisi yang ada di seluruh lapisan sistem sosial. Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak superordinat dan subordinat. Menurut Dahrendorf, konflik menjadi sumber perubahan dalam sistem sosial. Hal tersebut terjadi karena masing-masing pihak terlibat dalam suatu perebutan otoritas, yang pada gilirannya redistribusi otoritas merepresentasikan pelembagaan dari peran kelompok baru yang berkuasa dan yang dikuasai. Masyarakat adat sebagai pihak yang tersubordinasi mempunyai kemungkinan lebih tinggi untuk berubah sebagai respon atas konflik. Terjadinya dinamika perubahan kelembagaan adat ditandai dengan adanya dinamika perubahan system nafkah, dinamika hubungan-hubungan kekuasaan dan dinamika perubahan pola persebaran penduduk, migrasi desa kota dan sejumlah perubahan tatanan sosial lainnya. Dinamika perubahan kelembagaan tersebut dapat dipandang sebagai respon masyarakat adat dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru atau kemampuan menyembuhkan diri dari kondisi lingkungan yang menyebabkan traumatis resiliensi. Selanjutnya Dalam pandangan Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah- satu konsensus, yang lain adalah konflik. Berdasarkan pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa tidak akan selamanya masyarakat berada dalam kondisi konflik, suatu ketika setelah konflik menyebabkan terjadinya perubahan sebagai wujud adanya proses adaptasi dan resiliensi, maka konflik akan menemukan konsensus 61 ketika distribusi otoritas menemukan dirinya dalam mempertemukan kepentingan masing-masing pihak. Lebih jelasnya kerangka pemikiran dari disertasi ini dapat digambarkan dalam gambar berikut: Gambar 2. Kerangka Pemikiran

3.4. Hipotesis Pengarah

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, dan kerangka pemikiran teoritis serta tujuan penelitian yang dikemukakan maka disusun hipotesis pengarah. Hipotesis pengarah ini digunakan sebagai penuntun dalam pengumpulan data dan analisis data serta memiliki kemungkinan mengalami perubahan sesuai kondisi di lapangan. Hipotesis Pertama: Konflik sumberdaya hutan akan menyebabkan terjadinya dinamika perubahan kelembagaan dari aktor-aktor yang sedang berkonflik. Aktor yang menempati posisi subordinat mempunyai kemungkinan berubah lebih besar dibandingkan dengan aktor yang menempati posisi superordinat. 62 Hipotesis Kedua: Perubahan kelembagaan tersebut merupakan hasil dari proses adaptasi dan resiliensi. Hipotesis ketiga: Konflik akan menemukan konsensus ketika distribusi otoritas tercapai dan dapat mempertemukan kepentingan berbagai pihak.

3.5. Strategi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian konstruktivisme dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian konstruktivisme mensyaratkan adanya bangunan hermeneutis di dalamnya. Oleh karena itu keduanya dibicarakan secara bersamaan sebagai satu kerangka berpikir ilmiah. Hermeuneutik dengan kata lain adalah interpretatif, sehingga turunan dari teori konstruktivisme ini adalah teori interpretatif atau disebut juga humanisme. Beberapa teknik dasar yang akan digunakan dan menjadi strategi dari penelitian ini, adalah : 1. Langsung, pengamatan dari tangan pertama per hari, ini biasanya menggunakan teknik observasi partisipasi observasi partisipan; 2. Melakukan pembicaraan dengan tingkatan formalitas yang berbeda. Ini biasanya dilakukan interview dalam waktu cukup lama indepth interview; 3. Pekerjaan detail bersama orang yang mempunyai pengaruh penting key informant pada komunitasnya dalam memetakan berbagai permasalahan; 4. Menemukan persepsi dan sistem kepercayaan masyarakat setempat belief system 5. Penelitian yang di fokuskan pada permasalahan problem oriented research; 6. Studi kasus

3.6. Langkah Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan dalam menghasilkan teori dengan menggunakan paradigm konstruktivisme dan pendekatan kualitatif, sebagai berikut: