Faktor-Faktor Pengukuh Legitimasi Kuasa Adat di Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik
202 Matrik 15. Faktor-Faktor Kekuatan Eksternal Pengukuh Legitimasi Kuasa Adat
Di Kasepuhan Dan Dayak Iban Sungai Utik
TNGHS SUNGAI UTIK
Konflik Internal Terdapat konflik antar Kasepuhan dan Konflik di dalam Kasepuhan
Tidak ada konflik internal Kosmologi
Pancer Pangawinan yaitu melaksanakan Sara, Nagara Jeung
Mokaha. Sara adalah agama, Nagara adalah pemerintahan dan Mokaha
adalah keselamatan atau Kasepuhan. Sara, nagara dan mokaha harus
bersatu. Tanah Adalah Darah Ngau
Seput Kitae Hutan bukan kumpulan tegakan
pohon semata dalam pandangan masyarakat adat, bagi mereka
hutan adalah urat nadi kehidupan.
Unsur Perekat Masyarakat
Ada satu pusat adat yaitu imah gede rumah tempat tinggal abah selaku
ketua Adat. Masyarakat tinggal dirumah masing-masing.
Keseragaman keanggotaan sebagai warga Kasepuhan dicirikan oleh atap
rumah yang terbuat dari ijuk. Keanggotaan adat tidak ketat, boleh
bergabung atau keluar kapan saja, ditandai dengan penyerahan dana
keanggotaan yaitu sebesar Rp. 1000 per orang per tahun.
Masyarakat tinggal dalam satu rumah betang. Hanya beberapa
rumah yang berada diluar rumah betang, namun segala aturan
diatur oleh tuai rumah di rumah betang.
Keanggotaan sangat ketat dicirikan oleh keturunan dan
hubungan darah atau keterikatan terhadap lokasi dan jasa yang
diberikan terhadap suku Dayak Iban.
Soliditas Tidak terlalu solid.
Di lokasi TNGHS wilayah Sukabumi Desa Sirna Resmi ada tiga
Kasepuhan, diantara Kasepuhan tersebut juga terdapat konflik antar
group, dimana masing-masing Kasepuhan saling bersaing untuk
memperoleh dukungan dari incu putu pengikut, saling bersaing untuk
memperoleh dukungan pendanaan dari pemerintah daerah setempat baik
untuk pembangunan kampung maupun dalam pendanaan upacara
adat “seren tahun”. Tradisi Gotong royong yang
tergantung pada perintah abah Sangat solid.
Masyarakat bersatu dalam satu komando tuai rumah untuk
urusan-urusan yang bersifat adat dan menyangkut mata
pencaharian sebagai petani serta tata kelola hutan. Dalam
prakteknya kekuasaan tuai rumah tersebut juga dilegitimasi
oleh musyawarah dan mufakat diantara warga.
Tradisi gotong royog yang dibangun bersama seluruh
warga, dengan beban dan keuntungan dibagi rata diantara
anggota masyarakat. Dukungan Pihak
Luar Ada dukungan LSM dan pemerintah
daerah Dukungan LSM dan
Internasional sangat tinggi
Berdasarkan tabel di atas diketahui adanya kesamaan dan perbedaan faktor- faktor Kekuatan eksternal pengukuh legitimasi kuasa adat di Kasepuhan dan
Dayak Iban Sungai Utik. Perbedaan dan kesamaan tersebut yang membedakan keberadaan dan posisi masyarakat adatnya dalam hubungan relasi kuasa dengan
negara.
203
Pertama, konflik internal di dalam kelembagaan adat. Pada Masyarakat
Sungai Utik, konflik internal relatif hampir tidak ada sehingga perjuangan masyarakat adat melawan negara menjadi kesatuan yang utuh. Hal ini berbeda
dengan Masyarakat Kasepuhan, terjadi konflik antar kelembagaan Kasepuhan yang membuat perjuangan mendapatkan hak akses kelola hutan menjadi
terpolarisasi.
Kedua, Kosmologi Masyarakat. Pada Masyarakat Kasepuhan dikenal
adanya Konsep konsmologi state of belief “pancer pangawinan” yaitu
melaksanakan “sara, nagara jeung mokaha”. Sara adalah agama, nagara adalah
pemerintahan dan mokaha adalah keselamatan atau Kasepuhan. sara, nagara dan mokaha harus bersatu. Setiap keputusan yang diambil oleh Kasepuhan harus
mengacu pada prinsip: ‘kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat
jeung balarea’ harus mengacu kepada hukum, mendukung negara, mufakat dengan orang banyak. Konsep ini merupakan pengakuan adat terhadap
keberadaan dan kekuasaan negara. Kosmologi ini pulalah yang membedakan sikap Masyarakat Kasepuhan dengan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik.
Adapun kosmologi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yaitu: “darah ngau
seput kitae darah dan nafas”. Hutan bukan kumpulan tegakan pohon semata
dalam pandangan masyarakat adat, bagi mereka hutan adalah urat nadi kehidupan, Dayak Iban menyebutnya
“darah ngau seput kitae” darah dan nafas. Konsep inilah yang membuat Dayak Iban mati-matian mempertahankan tanah dan
hutannya, karena tanah dan hutan adalah urat nadinya artinya nyawanya, sehingga harus tetap dipertahankan sebagaimana mereka menjaga nyawanya. Kosmologi ini
telah membuat sikap Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik sangat keras, tidak memberi ruang kepada negara untuk berbagi klaim atas wilayah.
Ketiga, Figur Pimpinan. Pimpinan Kasepuhan adalah abah. Figur abah
sangat mutlak sebagai pemegang keputusan tertinggi. Dalam Masyarakat Dayak Iban, Musyawarah adat menjadi pusat pengambilan keputusan tertinggi. Namun
dalam tata kelola hutan, figur Ape Janggut selaku tuai rumah sangat terkenal sebagai penjaga hutan yang diciptakan oleh sistem dan situasi internasional,
sebagai bagian dari perjuangan atas pengakuan hutan kelola adat.
204
Keempat, Unsur Perekat Masyarakat. Masyarakat Kasepuhan memiliki
imah gede sebagai pusat kegiatan masyarakat. Adapun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki
“rumah panjang”, dimana seluruh anggota masyarakat hidup bersama dalam satu rumah. intensitas komunikasi dan interaksi dalam
rumah panjang jauh lebih efektif dibandingkan dengan imah gede di Kasepuhan.
Kelima, Soliditas. Tingkat soliditas Masyarakat Kasepuhan tidak terlalu
besar seperti yang ditunjukkan oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Hal tersebut karena perbedaan strata dalam struktur kelembagaan Kasepuhan dan
Dayak Iban, maupun karena pemusatan tempat tinggal. Soliditas ini juga dipengaruhi oleh adanya tradisi gotong royong yang masih kental pada
Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik. Pada Masyarakat Kasepuhan, kepentingan abah atau adat adalah segalanya, sedangkan pada
Masyarakat Dayak Iban, kepentingan umum adalah segalanya. itulah yang membedakan tradisi gotong royong dikedua masyarakat adat.
Tingkat soliditas kelembagaan adat juga menenntukan kuat lemahnya posisi relasi kuasa antara kelembagaan adat dengan negara. Pada wilayah TNGHS
Daerah Sukabumi Desa Sirna Resmi, terdapat 3 tiga Kasepuhan, masing- masing Kasepuhan memiliki kepentingan sendiri terhadap warganya dan
pemerintah. Karena keanggotaan sifatnya bebas, masyarakat boleh keluar atau masuk menjadi warga Kasepuhan kapan saja mereka mau, tanpa ada perekat yang
kuat, menyebabkan masing-masing kelembagaan Kasepuhan bersaing untuk memperoleh dukungan dari pengikut incu putu atau mempertahankan incu putu
agar tidak keluar dari kelembagaan Kasepuhannya. Begitupun dalam hubungannya dengan pemerintah. Kepentingan masyarakat terhadap dukungan
pemerintah, khususnya pemerintah daerah menyebabkan sikap masyarakat menjadi longgar terhadap pemerintah. Begitupun dengan pemerintah daerah,
politik lokal regional bermain disitu, Masyarakat Kasepuhan merupakan aset terbaik untuk melanggengkan kekuasaan aktor pemerintah bupati wakil bupati,
baik secara perhitungan suara maupun kekuatan mistis yang dipercaya dapat memuluskan jalannya para aktor tersebut dalam menduduki jabatan tertinggi
dalam pemerintahan. Para aktor yang meminta dukungan warga Kasepuhan
205 tersebut bukan hanya berasal dari aktor daerah tetapi juga berasal dari aktor
pemerintah pusat. Konflik yang terjadi antar lembaga Kasepuhan tersebut menjadikan
Lembaga Kasepuhan tidak satu unit kesatuan yang utuh, sehingga ketika berhadapan dengan tantangan luar negara, mereka menjadi lemah, mudah
dipecah belah. Mengapa kekuatan di Sungai Utik lebih solid dibandingkan dengan kelembagaan Kasepuhan, tentunya tidak terlepas dari soliditas yang dibangun
secara adat dan teritorial, dimana Masyarakat Dayak Iban tinggal dalam satu rumah betang yang sama, sehingga interaksi antar warga menjadi lebih intens.
Keenam, dukungan pihak luar. Isu perjuangan Masyarakat Dayak Iban
melawan negara dan pengusaha lebih menguntungkan dibandingkan dengan isu Masyarakat Kasepuhan melawan taman nasional. Perbedaan jenis hutan yang
dihadapi membuat perbedaan dukungan luar yang didapat. Ketika kelembagaan masyarakat adat berhadapan dengan kelembagaan negara hutan produksi maka
dukungan kelembagaan dan dukungan lainnya baik dari tingkat nasional dan internasional menjadi banyak karena isu yang diusung adalah isu pelestarian hutan
yang dijalankan oleh masyarakat adat yang sedang berhadapan dengan ekonomi kapitalisnya negara. Lain halnya dengan ketika masyarakat adat berhadapan
dengan hutan konservasi, maka menempatkan masyarakat sebagai tertuduh kerusakan hutan, maka dukungan dari pihak luarpun mejadi terbatas.
Posisi masyarakat Dayak Iban menjadi semakin kuat ketika dukungan pihak luar tersebut mampu mendorong Masyarakat Dayak Iban memperoleh sertifikat
ekolabeling untuk tata kelola hutan berbasis masyarakat, yaitu penghargaan dari Lembaga Ekolabel Indonesia dengan nomor certificate 08SCBFM005 yang
diberikan untuk Pengelolaan hutan oleh Rumah Panjae Menua Sungai Utik forest management unit of Rumah Panjae Menua Sungai Utik, dalam lingkup
“sustainable community Based Forest Management SCBFM Unit with an area of 9.453,40 hectares
”.
206 Dari penjelasan di atas diketahui bahwa posisi kelembagaan adat
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik masih kuat dan diterapkan, sedangkan pada Masyarakat Kasepuhan, kelembagaan adat sudah mulai melemah. Nilai-nilai adat
Kasepuhan dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan tidak lagi dijalankan secara penuh. Hanya pegetahuan tentang pertanian saja yang masih
secara utuh dijalankan. Lemahnya kelembagaan adat Kasepuhan tersebut menunjukkan bahwa posisi negara sebagai superordinat sangat kuat dan
menundukkan aktor Masyarakat Kasepuhan sebagai kelompok yang dikuasai subordinat. Sementara itu, kuatnya legitimasi kuasa Masyarakat Dayak Iban
Sungai Utik jika dibandingkan dengan Masyarakat Kasepuhan dalam pengaturan tata kelola hutan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain, soliditas, jenis
hutan yang diperjuangkan serta dukungan pihak luar.
6.5. Strategi Adaptasi Ekologi Masyarakat Dalam Rangka Keberlanjutan Sistem Sosioekologi Hutan
Meskipun berbagai persoalan sudah menyerang mereka, Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban masih memiliki loyalitas terhadap tradisi
mereka. Mereka memiliki peraturan sendiri untuk mengelola dan memanfaatkan lahan, terutama untuk pengelolaan hutan dan penanaman padi. Kesetiaan dalam
menjalankan tradisi budaya tersebut merupakan strategi adaptasi ekologi mereka. Dari sudut perspektif ekologi fungsional, adaptasi yang dilakukan individu dapat
dilihat sebagai suatu respon individu atau sistem respon human response dengan tujuan untuk memelihara homeostasis. Sebaliknya, dari sudut perspektif ekologi
prosessual, sistem adaptasi dilihat sebagai suatu sistem perilaku yang dibentuk
Sejumlah prestasi pembuktian kuatnya pengetahuan lokal dalam tata kelola hutan pada hutan Sungai Utik: Rumah panjang Sungai Utik diakui sebagai situs budaya
Kabupaten Putussibau, Mendapat piagam penghargaan dari Gubernur Kalimantantan Barat, bidang pelestarian lingkungan dengan kategori penyelamatan lingkungan, tahun
2005; mendapat sertifikat ekolabel dari LEI Lembaga Ekolabel Indonesia, yang di serahkan langsung oleh Menteri Kehutanan di Sungai Utik tahun 2008; mendapat
piagam penghargaan dari Badan Registrasi Wilayah Adat tahun 2010, seluruh Indonesia baru 5lima wilayah adat yang telah di registrasi; Juara I lomba penghijauan
dan konservasi alam tingkat Kabupaten Kapuas Hulu tahun 2011; Juara I lomba penghijauan dan konservasi alam tingkat provinsi Kalimantan Barat tahun 2011;
Mendapat penghargaan nasional sebagai “Desa Perduli Hutan” dalam lomba penghijauan dan konservasi alam tingkat nasional tahun 2011
207 sebagai hasil proses adaptasi terhadap perubahan lingkungan Vayda and McCay,
1975 : 293-306; Vayda and Rappaport, 1968 : 477:497. Dalam kasus Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban, adaptasi
dilihat lebih sebagai suatu proses sebagaimana yang diacu oleh perspektif yang kedua, dimana terjadinya perubahan sosial yang diakibatkan oleh adanya
intervensi kebijakan negara atas suatu kawasan yang tadinya dikuasai oleh masyarakat adat berdasarkan right yang dimaknai budaya masyarakatnya. Namun
seiring dengan perubahan kelembagaan hutan, menyebabkan terjadinya perubahan sosial sebagai bentuk strategi adaptasi terhadap perubahan kelembagaan hutan dan
dalam rangka memperoleh sumber livelihood baru. Mengacu pada apa yang dikemukakan Vayda and McCay 1975 bahwa Proses adaptasi sebagai suatu
respon terhadap perubahan fisik sumberdaya hutan atau perubahan sosial bersifat temporer. Pola adaptasi ditunjukkan melalui pola perilaku tertentu seperti
perubahan dalam mata pencaharian. Dalam pengelolaan hutan, mereka memiliki kearifan lokal yang membagi
hutan dalam beberapa zonasi. Salah satu zona dimanfaatkan oleh masyarakat adat sebagai lahan garapan. Di wilayah lahan garapan inilah, Masyarakat Kasepuhan
dan Dayak Iban melakukan budidaya tanaman padi dengan pola tertentu. Pada Masyarakat Dayak Iban, pola ini mirip dengan petani ladang berpindah namun
masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai pola gilir balik, di mana penduduk desa akan kembali melakukan penanaman pada wilayah yang sama setelah
interval 10-15 tahun kemudian. Setelah 10 atau 15 tahun ditinggalkan, tanah tersebut akan memiliki kesuburan yang sama. Sebenarnya, pola tanam di
Masyarakat Kasepuhan juga hampir sama dengan Masyarakat Dayak Iban, namun karena perubahan status wilayah lahan garapan menjadi taman nasional,
Masyarakat Kasepuhan tidak lagi memiliki akses untuk membuka lahan baru di wilayah tersebut.
Baik dalam Masyarakat Dayak Iban maupun Masyarakat Kasepuhan, mereka memiliki konsep kearifan lokal dalam penanaman padi. Misalnya dalam
Masyarakat Kasepuhan, dikenal adanya kearifan lokal tentang tindakan melarang masyarakat untuk menjual beras, pemilihan lahan pertanian sampai pada perintah
untuk pindah ke tempat baru. Kearifan lokal tersebut masih dilakukan secara terus
208 menerus sampai sekarang. Semua tradisi ini selalu dikaitkan dengan kehadiran
perintah leluhur wangsit, yang terus dipertahankan oleh kepala suku dan para pengikutnya. Penolakan wangsit akan memberikan dampak dalam bentuk
hukuman, baik hukuman yang bersifat gaib maupun sanksi hukum adat. Hukuman yang bersifat gaib tersebut disebut “Kabendon” pada Masyarakat Kasepuhan
atau “Tulah” pada Masyarakat Dayak Iban. Masyarakat masih percaya bahwa
pelanggaran hukum adat akan dikenakan sanksi adat yang disebut Kabendon Tulah, seperti bentuk penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis.
Pada dasarnya, meskipun kondisi ekologi dan kebijakan lokal berubah, namun tidak terlalu banyak mempengaruhi mata pencaharian penduduknya.
Misalnya pada Masyarakat Kasepuhan, mereka memiliki keterlibatan dengan sejarah perkembangan hutan. Komunitas ini memiliki mata pencaharian utama
sebagai petani padi. Umumnya masyarakat memiliki areal pertanian mereka di taman nasional.
Ketika perubahan status hutan menjadi taman nasional pada tahun 2003, beberapa orang telah kehilangan hak akses terhadap tanah. Tetapi beberapa dari
mereka masih tetap bekerja di kawasan taman nasional. Sebagai hasil negosiasi, Taman Nasional masih memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
memanfaatkan lahan untuk menanam padi di tempat yang sama, tetapi ada beberapa larangan: menebang pohon, meskipun di tanah lahan garapan mereka
sendiri dan pembukaan lahan baru. Perubahan ini tentu saja merubah kehidupan mata pencaharian
masyarakatnya. Namun demikian, masyarakat harus tetap bertahan dengan kondisi lingkungan yang baru. Dalam mengatasi berbagai kesulitan tersebut,
masyarakat melakukan strategi adaptasi. Umumnya Masyarakat Kasepuhan masih tetap menjadi petani, menggarap lahan garapan ditempat yang sama, hanya saja
kalau dulu, matapencaharian ini aman, nyaman dan pasti karena ada perlindungan dari abah. Namun sekarang menggarap lahan di lahan garapan menjadi tidak
aman, tidak nyaman dan tidak pasti, karena harus kucing-kucingan dengan polisi hutan, karena sekarang tidak ada perlindungan dan legitimasi dari abah. Selain
menanam padi, masyarakat mulai menanam tanaman komersial seperti kapolaga
209 atau tanaman rempah lainnya. Hal ini ditujukan untuk mengatasi kesulitan
keuangan karena hasil dari panen padi menjadi tidak pasti. Adaptasi lainnya ditunjukkan dengan memberdayakan anggota keluarga
istri dan anak bekerja untuk menghasilkan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan total keluarga masyarakat sekitar TNGHS
berkisar antara Rp 480.000,- sampai Rp 5.000.000,- pendapatan tersebut termasuk pendapatan kepala keluarga, pendapatan ibu rumah-tangga, dan
pendapatan anggota keluarga lainnya. Namun demikian pekerjaan sebagai petani di lahan garapan mereka setelah perluasan Taman Nasional tidak lagi
memberikan rasa aman, nyaman dan pasti. Mereka harus kucing-kucingan dengan polisi hutan dalam menggarap lahannya. Kelembagaan adat dengan hukum adat
dan kekuasaan abah tidak lagi dapat melindungi dan melegitimasi mereka dalam menggarap lahannya. Keputusan Menteri Kehutanan untuk perluasan taman
nasional telah menegasikan otoritas kelembagaan adat Kasepuhan. Adapun pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, pendapatan masyarakat
jauh lebih besar dari masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sumber utama pendapatan mereka adalah padi ladang dan perkebunan
karet. Apalagi musim panen tahun ini memperoleh hasil yang lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai respon adaptasi atas perubahan kelembagaan tata kelola hutan, Masyarakat Dayak Iban mulai mengembangkan tanaman komersial karet.
Pendapatan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang berwujud uang cash dapat
Seperti yang dikemukakan ole h Pak RM, sebagai berikut: “Musim tanam kali ini
di Sungai Utik terbilang cukup bagus. Padi yang dihasilkan sekarang tidak serta merta dihabiskan untuk tahun sekarang, namun disimpan pula sebagai cadangan manakala
tahun depan dikahwatirkan gagal panen. Hasil pertanian padi Masyarakat Dayak Iban tidak dijual, melainkan digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Tahun ini lahan
pertanian saya menghasilkan 100 karung gabah kering dalam satu kali panen, dalam sekarung ada 50 kg, berarti tahun ini saya mendapatkan 5000 kg atau 5 ton. Hasil panen
tersebut tidak dijual, karena adat disini tidak mengenal jual beli gabah atau beras.
” Begitu pak RM menjelaskan bahwa dalam adat Dayak Iban Sungai Utik tidak
mengenal jual beli gabah. Adapun apabila ada tetangga atau saudara yang kekurangan maka diberikannya dengan sukarela. Jika mereka memberikan beras, kemudian orang
yang diberi beras tersebut memberi uang, maka itu boleh dilakukan, karena maknanya bukan makna jual beli, melainkan saling memberi. Mereka menolak ketika apa yang
mereka lakukan itu disebut transaksi jual beli, namun hanya sebatas barter saja.
210 diperoleh dari hasil menoreh karet. Paling sedikit masyarakat memiliki pohon
karet sebanyak 500 pohon, paling banyak 10.000 pohon. Dengan rataan kepemilikan dan kemampuan menoreh karet per hari sebanyak 500 pohon. Jika
dari satu pohon karet paling sedikit 3 kg dan paling banyak 5 kg getah maka pendapatan terkecil masyarakat per hari sekitar Rp. 36.000 per hari atau Rp.
1.080.000,- per bulan. Rata-rata penghasilan masyarakat dari karet tersebut sebesar 15 kg x Rp. 12.000,- = Rp. 160.000,- atau Rp. 4.800.000,- per bulan.
Pendapatan tersebut merupakan pendapatan utama yang berasal dari kebun karet, Pendapatan tersebut digunakan sepenuhnya untuk konsumsi membeli
berbagai macam lauk pauk, membeli bensin atau solar untuk kebutuhan penerangan diesel. Jika satu hari menyalakan listrik selama 2 jam,
menghabiskan bensin sekitar 2 liter dengan harga bensin Rp. 9.000,- per liternya. Artinya pengeluaran untuk diesel selama satu bulan sebesar Rp. 18.000 x 30 hari
= Rp. 540.000,-. Dengan kata lain, untuk mendapatkan penerangan selama dua jam per hari harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 540.000,- per bulan.
Sekalipun pendapatan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik relatif besar, namun biaya hidup di daerah ini juga cukup mahal. Berbagai macam barang
kebutuhan pokok harganya 2 dua kali lipat lebih mahal daripada di Pulau Jawa, sehingga ada kalanya uang tersebut tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari,
apalagi jika memiliki anak yang sekolah di SMA karena harus pergi ke Benua Martinus atau Putussibau. Beberapa kebiasaan lain yang merogoh penghasilan
cukup besar adalah kebiasan merokok dan minum minuman keras yang dibeli dari warung.
Ada beberapa situasi yang menempatkan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban dalam kondisi sulit, tetapi karena dukungan kelembagaan dan sosial, mereka
bisa mengatasi kesulitan tersebut. Pola adaptasi ekologi dan strategi nafkah Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban masih di sekitar pertanian.
Tapi perjuangan mereka untuk mendapatkan pengakuan hak ulayat hak akses terhadap sumberdaya hutan tidak pernah berhenti.
211
7 REFLEKSI TEORITIK TENTANG KONFLIK PENGUASAAN SUMBERDAYA HUTAN
7.1. Teori Konflik Dahrendorf dan Teori Pengetahuan dan Kekuasaan
Foucault
Teori yang digunakan dalam analisis konflik sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Hutan Sungai Utik adalah
“Teori Konflik Dahrendorf
” dan “Teori Pengetahuan dan Kekuasaan” Foucault. Teori Foucault digunakan untuk menganalisis konflik pemaknaan.
Pendekatan teori konflik Dahrendorf menekankan pada bagaimana memahami masyarakat dan bagaimana mereka berfungsi pada dua pusat perhatian
utama lihat Rodgers, 2003. Pertama adalah kekuasaan merupakan penentu utama dalam memahami bagaimana struktur sosial ada dan dalam pemahaman bahwa
keutamaan kekuasaan menyebabkan konflik tak terelakkan dimana individu akan sejajar dengan kelompok-kelompok yang berbeda untuk memperoleh tujuan yang
diinginkan. Perhatian kedua, adalah bagaimana lembaga-lembaga sosial yang sistematis menghasilkan kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan yang
saling bertentangan dan bagaimana konflik itu menjadi aktif Wallace dan Wolf, 1995.
Pendekatan Dahrendorf dalam Turner, 1998 berlandaskan pada anggapan yang menyatakan bahwa semua sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif.
Dalam hal ini, koordinasi yang mengharuskan adanya otoritas merupakan sesuatu yang sangat esensial sebagai dasar dari semua organisasi sosial. Berkenaan
dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak superordinat dan
subordinat. Dengan demikian maka tampaklah bahwa ada pembagian wewenang dan otoritas yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai.
Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan. Adapun proposisi model teori konflik dialektiknya Dahrendorf
lihat Turner, 1998; Kinseng, 2013, dapat dikemukakan sebagai berikut:
212 I. Konflik kemungkinan besar terjadi jika anggota ‘kuasi grup’ dalam ICA
menyadari kepentingan objektif mereka dan membentuk grup konflik, yang pada gilirannya berkaitan dengan:
A. Kondisi teknis organisasi, yang tergantung pada: 1. Pembentukan kepemimpinan di dalam ‘kuasi grup’
2. Kodifikasi sistem ide B. Kondisi politik, tergantung apakah kelompok dominan mentolerir
pengorganisasian kelompok yang berlawanan kepentingannya C. Kondisi sosial, yang tergantung pada:
1. Kesempatan bagi anggota kuasi grup untuk berkomunikasi 2. Kesempatan untuk merekrut anggota
II. Semakin tidak terpenuhi kondisi teknis, politis, dan sosial tersebut, semakin
intens konflik yang terjadi. III. Semakin terkait distribusi otoritas dan rewards satu sama lain
superimposed, semakin intens konflik yang terjadi. IV. Semakin rendah mobilitas antara kelompok super ordinat dan subordinat,
semakin intens konflik yang terjadi. V.
Semakin tidak terpenuhi kondisi teknis, politis, dan sosial, semakin brutal konflik yang terjadi.
VI. Semakin deprivasi distribusi rewards kelompok yang tertindas itu distribusi rewards bergeser dari absolut ke relatif, semakin brutal konflik yang terjadi.
VII. Semakin rendah kemampuan kelompok yang bertikai untuk membangun kesepakatan aturan main, semakin brutal konflik yang terjadi.
VIII. Semakin intens konflik, semakin besar tingkat perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi.
IX. Semakin brutal konflik, semakin tinggi kecepatan perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi.
Selain teori Dahrendorf, teori pengetahuan dan kekuasaannya Foucault digunakan untuk menganalisis konflik pemaknaan terhadap sumberdaya hutan.
Teori Foucault yang digunakan untuk analisis dalam peneltian ini adalah karyanya yang menelaah pengetahuan dan kekuasaan. Dalam memahami konsep
pengetahuan dan kekuasaan, ada dua ide di inti metodologi Foucault “arkeologi
213 ilmu pengetahuan” Foucault, 1966 dan “genealogi kekuasaan” Foucault, 1969.
Pengetahuan adalah wilayah koordinasi dan subordinasi pernyataan-pernyataan dimana konsep tampak didefinisikan, diaplikasikan dan ditransformasikan.
Pengetahuan itu netral, obyektif dan tak berdosa. Menurut Foucault dalam geneologi kekuasaan menyatakan bahwa ada hubungan antara kekuasaan dan
pengetahuan. Genealogi memperhatikan hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan dalam ilmu kemanusiaan dan praktik- praktiknya yang berhubungan
dengan regulasi tubuh, pengaturan perilaku dan pembentukan diri. Kebenaran berhubungan langsung dengan geneologi kekuasaan. Kebenaran diproduksi oleh
setiap kekuasaan, kekuasaan menghasilkan pengetahuan, sementara pengetahuan memberikan kekuasaan. Kekuasaan dan pengetahuan secara langsung saling
memperngaruhi. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa ada konstitusi korelatif dari bidang pengetahuannya. Relasi kekuasaan terdapat pada setiap aspek kehidupan.
Kekuasaan selalu terakumulasikan melalui pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Jika umumnya kekuasaan hanya tertuju pada negara, pemikiran
Foucault membuka kemungkinan untuk membongkar semua dominasi dan relasi kekuasaan.