Peran LSM Dalam Konflik Sumberdaya Hutan
161 masalah yang sama terkait dengan konflik tenurial dengan negara. Keberadaan
LSM AMAN bukan hanya membantu perjuangan masyarakat pada level kebijakan di tingkat pusat tapi juga berusaha menyelesaikan masalah di tingkat
grassroot. LSM juga pernah membantu Masyarakat Kasepuhan dalam membuatkan naskah akademik mengenai “pengelolaan hutan oleh masyarakat
adat”. Bantuan tersebut berasal dari LSM PUSAKA dan PERAN. Konsep naskah
akademik tersebut sudah disampaikan kepada Bupati Kabupaten Sukabumi dan
anggota DPR, namun belum ada tindak lanjutnya sampai sekarang.
Dalam kasus Hutan Sungai Utik, keberadaan LSM mendukung perjuangan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik untuk mendapatkan pengakuan hak atas
hutan adat mereka. Perjuangan Masyarakat Sungai Utik lebih banyak disuarakan oleh para LSM yang mengaku mewakili dan atas nama masyarakat. LSM-LSM
yang berkiprah di Sungai Utik antara lain AMAN dan LSM-LSM yang berada dibawah Yayasan Pancur Kasih.
Beberapa perjuangan yang dilakukan melalui LSM AMAN antara lain konsolidasi dan penguatan masyarakat adat, pemetaan partisipatif di wilayah
kelola masyarakat adat, memperkuat organisasi masyarakat adat, termasuk kelembagaan adat, mendorong perubahan paradigma kebijakan-kebijakan yang
belum berpihak kepada masyarakat adat, mendorong lahirnya UUPPHMA undang undang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Beberapa
pendekatan multi pihak yang dijalankan oleh AMAN dengan melakukan MoU dengan negara, antara lain MoU AMAN-Kementerian Lingkungan Hidup,
AMAN-Komisi Nasional Hak Asasi Manusia KOMNAS HAM, AMAN-Badan Pertanahan Nasional BPN.
MoU AMAN dan BPN meliputi beberapa hal: pertukaran informasi dan pengetahuan di kalangan badan pertanahan nasional dan aliansi masyarakat adat
nusantara dalam rangka meningkatkan pemahaman visi, misi, peran dan tugas masing-masing; memformulasikan kebijakan untuk mengakomodasi hak-hak
masyarakat adatnya dalam konteks pembaruan hukum dan peraturan perundang- undangan nkri; identifikasi dan inventarisasi keberadaan masyarakat adat dan
wilayah adatnya sebagai landasan proses legalisasi menuju perlindungan hukum hubungannya antara wilayah adat dan masyarakat adatnya; merumuskan
162 mekanisme penanganan dan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara
pertanahan di wilayah masyarakat adat; pengembangan model-model reforma agraria di wilayah adat sumber: AMAN, 2012.
Adapun LSM-LSM yang berkiprah di dusun Sungai Utik yang berada dalam satu wadah “Yayasan Pancur Kasih” membina Masyarakat Dayak Iban Sungai
Utik dari berbagai aspek termasuk ekonomi dengan didirikannya cu pancur kasih yang kemudian berubah menjadi CU Keling Kumang setelah mengalami merger
dengan yayasan lain. Salah satu peran penting lainnya yang dilakukan oleh LSM PPSDAK dalam mendampingi masyarakat tersebut adalah dengan melakukan
pemetaan tata batas wilayah Sungai Utik, yaitu pemetaan partisipatif tahun 1998. Peta ini menjadi modal bagi masyarakat adat dalam klaim atas wilayah adatnya.
Namun peta yang dibuat oleh masyarakat dan LSM tersebut belum diregistrasi, sehingga tidak ada pengakuan resmi dari pemerintah maupun pemerintah daerah
mengenai klaim wilayah yang dilakukan oleh masyarakat. Selain itu, melalui LSM-LSM dibawah yayasan tersebut LBBT, masyarakat juga mendapat
pendidikan dan penyadaran hukum. Sekarang ini, beberapa LSM mulai melakukan pembinaan bagaimana
mereka dapat mengelola hutan, memanfaatkan hutan menjadi bernilai ekonomi dengan cara pemberian pengetahuan tentang permebelan, yaitu mengolah kayu
yang selama ini dibakar di hutan garapan masyarakat untuk dimanfaatkan menjadi barang-barang mebeler. Namun pembinaan tersebut belum berjalan lancar.
Pembinaan yang sedang berjalan adalah yang dilakukan oleh cu keling kumang yaitu menampung kerajinan masyarakat dari rotan baik berupa tikar maupun
tembikar dan alat-alat pertanian lainnya yang menggunakan rotan. Rencananya kerajinan tersebut akan dijual ke luar negeri oleh cu keling kumang.
Selain bantuan LSM dalam bentuk peningkatan kapasitas Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, bantuan LSM juga berada pada ranah konflik wacana
untuk memperjuangkan hak kelola adat. Perjuangan ini dilakukan melalui arena seminar-seminar. Contoh kasus pada seminar dan lokakarya yang difasilitasi oleh
LSM Lanting Borneo , dengan tema “Mendorong pendekatan multi pihak dalam
pengelolaan sumberdaya hutan yang menjamin wilayah kelola masyarakat adat, serta mengedepankan prinsip pembangunan rendah emisi” yang diselenggarakan
163 di Deo Soli Kota Putussibau Kabupaten Kapuas Hulu, pada tanggal 25-26 Mei
2012. Hasil yang diharapkan dari seminar tersebut adalah: adanya kesepahaman dan komitmen bersama guna membangun pendekatan multi pihak dalam
pengelolaan hutan yang mengakui wilayah kelola masyarakat adat, serta mengedepankan prinsip pembangunan rendah emisi di Kabupaten Kapuas Hulu;
dan terbentuknya forum multipihak yang menjadi wahana bagi para pemangku kepentingan untuk membangun kerangka kerjasama dalam pengelolaan
sumberdaya hutan secara lestari dan berkelanjutan dengan mengedepankan prinsip pembangunan rendah emisi di Kabupaten Kapuas Hulu. Dalam seminar tersebut,
pembicaranya adalah dari pihak cendekiawan dan negara, adapun masyarakat adat hanya sebagai peserta. Kalaupun ada masyarakat adat yang berbicara contoh Pak
Kanyan hanya satu orang dari 11 pembicara, namun walaupun satu orang tetapi web of powernya adalah LSM AMAN dan LSM yang berada dalam pembinaan
Pancur Kasih serta LSM internasional. Dukungan LSM nasional dan internasional ini memberikan pengaruh pada
pergeseran pengetahuan lokal Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. LSM-LSM tersebut mencoba memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai
pengetahuan tentang hutan. Masyarakat digiring oleh LSM pada pemahaman tentang perdagangan karbon, redd maupun demontrative activity DA. Ada
pengalihan wacana dari pertarungan untuk menda patkan “property right” bergeser
ke arah manfaat global bagi semua pihak, masyarakat, negara maupun dunia. Selanjutnya, pencapaian penting dari bantuan LSM terhadap Masyarakat
Dayak Iban Sungai Utik adalah memfasilitasi masyarakat adat untuk memperoleh sertifikat ekolabeling, yaitu penghargaan dari lembaga ekolabel Indonesia dengan
Nomor Certificate 08SCBFM005 yang diberikan untuk pengelolaan hutan oleh rumah panjae menua Sungai Utik forest management unit of rumah panjae
menua Sungai Utik , dalam lingkup “sustainable community based forest
management SCBFM unit with an area of 9.453,40 hectares ”.
Melalui sertifikat ini memungkinkan LEI untuk melakukan uji lapangan dan memperbaharui standar pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat. Sertifikasi
tersebut meliputi 9.453,40 ha. Sertifikasi dapat membantu masyarakat untuk mempertahankan kawasan hutan tersebut sebagai kawasan hutan lestari. Dengan
164 adanya sertifikat tersebut, setidaknya untuk sementara Masyarakat Dayak Iban
Sungai Utik merasa lega, namun kecemasan tetap ada. Sekalipun adanya Instruksi Presiden No.102011
tentang Penundaan
Pemberian Izin
Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut, atau yang
lebih dikenal dengan nama “Inpres Moratorium”, yang mengintruksikan
penundaan izin baru, namun ada pengecualiaan bagi izin yang sedang berjalan. Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011
tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut, disebutkan bahwa dalam rangka
menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan melalui
penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dengan ini menginstruksikan: kepada : 1. Menteri Kehutanan; 2. Menteri Dalam Negeri; 3.
Menteri Lingkungan Hidup; 4. Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Dan Pengendalian Pembangunan; 5. Kepala Badan Pertanahan Nasional; 6. Ketua
Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional; 7. Ketua Badan Koordinasi Survey Dan Pemetaan Nasional; 8. Ketua Satuan Tugas Persiapan Pembentukan
Kelembagaan Redd+ Atau Ketua Lembaga Yang Dibentuk Untuk Melaksanakan Tugas Khusus Dibidang Redd+; 9. Para Gubernur; 10. Para BupatiWalikota
untuk: 1. Pertama: mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi,
dan kewenangan masing-masing untuk mendukung penundaan pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan
konservasi, hutan lindung, hutan produksi hutan produksi terbatas, hutan produksi biasatetap, hutan produksi yang dapat dikonversi dan area
penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam peta indikatif penundaan izin baru yang menjadi lampiran instruksi presiden.
2. Kedua: penundaan pemberian izin baru sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama berlaku bagi penggunaan kawasan hutan alam primer dan lahan
gambut, dengan pengecualian diberikan kepada: a. Permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri
Kehutanan;
165 b. Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu: geothermal,
minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu; c. Perpanjangan izin pemanfaatan hutan danatau penggunaan kawasan hutan
yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; dan d. Restorasi ekosistem.
3. Ketiga : khusus kepada: 1. Menteri Kehutanan, untuk: a. Melakukan penundaan terhadap penerbitan izin baru hutan alam primer
dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi hutan produksi terbatas, hutan produksi biasatetap, hutan
produksi yang dapat dikonversi berdasarkan peta indikatif penundaan izin baru.
b. Menyempurnakan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam.
Inpres tersebut memberikan pengecualian bagi perpanjangan izin pemanfaatan hutan danatau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang
izin di bidang usahanya masih berlaku. Hal ini memberi makna bahwa IUPHHK PT. BRW masih tetap berlaku sampai jangka waktu izin tersebut habis.
5.7. Proses Penyelesaian Konflik Sumberdaya Hutan Dengan mengambil teladan kasus dari Masyarakat Kasepuhan dan
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dapat dijelaskan bahwa konflik sumberdaya hutan yang melibatkan masyarakat adat dan negara termasuk perusahaan
didalamnya, merupakan konflik pemaknaan, tenurial, otoritas dan konflik livelihood. Adapun isu sentralnya adalah adanya perbedaan pemaknaan dan
tumpang tindih klaim atas hak penguasaan sumberdaya hutan. Adapun karakteristik konflik dikedua lokasi dapat digambarkan, sebagai berikut:
166 Matrik 8. Karakteristik Konflik di Sungai Utik dan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak
Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Hutan Sungai Utik Masyarakat
Negara Masyarakat
Negara Penyebab
Sistem nilai, Status wilayah
masyarakat, Ketidak jelasan
tata batas Pembatasan akses
Status tanah Sistem nilai,
Status wilayah masyarakat
Ketidak pastian Status tanah
Proses rekonsiliasi
Aliansi Regulasi lokal
Pemetaan wilayah adat
MoU Lokakarya
Program kampung
konservasi Ecotourism
Transmigrasi Aliansi
Regulasi lokal Pendokumentasian
hukum adat Pemetaan wilayah
adat Menghentikan
kegiatan Membiarkan
konflik mengambang
Bentuk konflik
Laten- manifest; aliansi; konfrontasi
Sebetulnya dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah diatur adanya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Pada
Bab X tentang Peran Serta Masyarakat, Pasal 6 8 menyebutkan bahwa: “1
Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. 2 Selain hak sebagaimana dimaksud pada Ayat 1, masyarakat dapat: a.
memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan
hasil hutan, dan informasi kehutanan; c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan d. melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. 3 Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh
kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4 Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai
akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pasal tersebut diketahui bahwa
masyarakat berhak memanfaatkan hutan dan hasil hutan, bahkan jika ada kelembagaan baru yang diterbitkan oleh negara atas hutan tersebut dimana
167 masyarakat ada di dalam dan di sekitar hutan tersebut, maka masyarakat berhak
memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan
hutan, maupun berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persoalannya kemudian berkenaan dengan hak milik atas tanah. Semua
masyarakat adat di Indonesia hidup atas keberadaan lingkungan alam disekitaranya termasuk hutan dan mereka tidak memiliki surat apapun yang
menerangkan kepemilikan mereka atas tanah dan hutan yang selama ini dijaganya. Selama undang-undang dan peraturan pemerintah mensyaratkan keberadaan
kepemilikan atas tanah untuk membenarkan masyarakat adat memperoleh hak akses untuk pemanfaatan hutan, maka selama itu pula konflik sumberdaya hutan
tidak akan pernah diselesaikan. Idealnya adalah baik negara maupun masyarakat dapat menjalankan fungsi
dan peran sertanya masing-masing sesuai apa yang diamanatkan oleh Pasal 70 Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
bahwa; “masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan, sementara pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat
melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyelesaian konflik sumberdaya
alam tidaklah mudah, karena harus dapat menyelesaikan berbagai penyebab konflik dan mempertemukan kepentingan, penyelesaian tenurial maupun
redistribusi otoritas.
168 Matrik 9. Resolusi Konflik Pada Kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik
TNGHS Sungai Utik
Kondisi terkini
Wilayah TNGHS diakui sebagai wilayah taman nasional,
masyarakat masih diperbolehkan menggarap lahan
garapannya selama tidak menambah lokasi baru,
menanam pohon kayu dan tidak boleh memotong pohon kayu
sekalipun berada di lahan garapannya.
Wilayah ini masih berstatus hutan produksi diatas kertas namun tidak aktif.
Secara nyata masih menjadi wilayah kelola adat Dayak Iban Sungai Utik dan
dijalankan berdasarkan aturan adat. Masyarakat masih menggarap lahan pada
miliknya dan boleh berpindah tempat pertanian bergulir dalam wilayah kuasa
adat selama ada izin dari tuai rumah selaku ketua adat
Upaya konsensus
Ada upaya konsensus yang dilakukan melalui pertemuan-
pertemuan, kesepakatan- kesepakatan, pembuatan peta
tata batas bersama masyarakat, pelaksanaan program bersama
“program kampung konservasi” Ada upaya perjuangan untuk pencabutan
izin IUPHHK dan IUP dan diterbitkannya keputusan bahwa hutan tersebut sebagai
hutan kelola adat melalui mediasi yang dilakukan oleh LSM, namun Masyarakat
Dayak Iban sendiri belum pernah bernegosiasi dengan pemerintah secara
langsung. Unsur
kekuatan kelemahan
Tidak memiliki peta wilayah adat
Hukum adat bersifat lisan dan bertumpu pada peran abah
Dalam proses kesepakatan MoU belum tuntas
Memiliki dukungan dari pemerintah daerah
Mendapat dukungan dari LSM Memiliki peta wilayah adat belum
diregistrasi; hukum adat yang dibukukan dan ditanda tangani oleh seluruh
Masyarakat Dayak Iban dan Dayak Embaloh; memiliki sertifikat ekolabel dari
LEI; memiliki sertifikat sebagai masyarakat teladan perduli hutan
Mendapat dukungan dari LSM Bertentangan dengan pemerintah daerah
Pada kasus TNGHS, dalam mencoba menyelesaikan konflik penguasaan sumberdaya hutan, Masyarakat Kasepuhan menempuh jalur negosiasi sejak awal.
Sebenarnya upaya penyelesaian konflik antara BTNGHS dengan Masyarakat Kasepuhan sudah dilakukan sejak tahun 2006. Di tahun 2006 sudah dilakukan dua
kali pertemuan untuk membahas masalah kawasan. Kedua pertemuan tersebut diadakan di Pelabuhanratu dan dihadiri oleh perwakilan desa, perwakilan
Kasepuhan, perwakilan AMAN aliansi masyarakat adat nusantara, pihak pemerintah daerah. Namun kedua pertemuan tersebut gagal membangun
kesepakatan dan tidak membuahkan hasil. Selanjutnya, tahun 2008 pihak BTNGHS menginisiasi pertemuan sosialisasi rencana strategis pengelolaan
kawasan lima tahun ke depan yang akan diterapkan mulai pada tahun 2009 yang diselenggarakan di Bogor. Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan pemerintah
daerah, perwakilan desa, perwakilan Kasepuhan, perwakilan AMAN, dan pihak BTNGHS. Salah satu yang menjadi fokus pembahasan dalam pertemuan tersebut
adalah rancangan pembagian zonasi yang kemudian ditolak oleh pemerintah
169 daerah dan Masyarakat Kasepuhan karena dianggap tidak memberikan solusi
terhadap sengketa kawasan antara masyarakat dengan pihak pengelola kawasan. Menurut keterangan yang diperoleh, warga sudah menyatakan perang jika Renstra
5 tahun TNGHS diterapkan. Hal senada juga sudah dikemukakan oleh perangkat Desa Sirna Resmi dan pimpinan Kasepuhan Sinar Resmi lihat Rahmawati et al.,
2008. Kekalahan Masyarakat Kasepuhan dalam mendialogkan penyelesaian
konflik di kawasan taman nasional telah membuat Masyarakat Kasepuhan mengembangkan networking yang lebih luas baik dengan pihak LSM, pemerintah
daerah maupun elit-elit politik. Dasar dari networking tersebut ada yang bersifat aliansi politik ada juga yang disebabkan karena kesamaan ideologi. Melalui
bantuan LSM dan pemerintah daerah tersebut, Masyarakat Kasepuhan berdialog kembali dengan BTNGHS untuk menegosiasikan beberapa hal yang masih belum
dapat disetujui oleh Masyarakat Kasepuhan: a. menegosiasikan ulang tentang hak akses masyarakat terhadap hutan dan lahan
garapannya, b. melakukan pemetaan ulang berdasarkan tata batas hutan adat menurut
masyarakat kasepuhan, c. menegosiasikan zonasi dalam kawasan taman nasional dengan memasukkan
kawasan Masyarakat Kasepuhan sebagai zona khusus dan lahan garapan masuk kedalam zona pemanfaatan dengan pendefinisian baru yaitu
memanfaatkan lahan untuk kepentingan livelihood masyarakatnya. Menurut keterangan pegawai BTNGHS, telah dijalin berbagai pertemuan
untuk memperoleh kata sepakat dengan Masyarakat Kasepuhan maupun masyarakat lokal lainnya. Bunyi kesepakatan tersebut tertuang dalam rencana
pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS yang disusun melalui proses kolaborasi yang dikombinasikan dengan regulasi lokal, hasil
rancangan rencana tata ruang kawasan RTRK zonasi TNGHS. Isi kesepakatan tersebut antara lain mengenai penetapan zona inti dan rimba.
Dasar dalam penetapan zona inti ini adalah peraturan perundang-undangan dan tradisi budaya kelembagaan masyarakat adat. Peraturan perundang-undangan
negara digunakan untuk melihat hutan berdasarkan kajian ekosistem, dan habitat
170 spesies penting serta hutan yang masih tersisa, sementara kelembagaan lokal
Masyarakat Kasepuhan digunakan untuk mengkatagorikan hutan inti berdasarkan daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya
terhadap pengelolaan ekosistem yang bukan hanya melestarikan hutan tapi mensejahterakan masyarakatnya. Kesepakatan tersebut berusaha mencapai jalan
tengah bertemunya dua kepentingan. Berdasarkan rencana pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak RPTNGHS yang disusun melalui proses
kolaborasi yang dikombinasikan dengan regulasi lokal, hasil rancangan rencana tata ruang kawasan TNGHS sebagai berikut:
A. Penetapan zona inti dan rimba • Dasar penetapan melalui pendekatan ilmiah dengan mengkaji ekosistem
dan habitat spesies penting. • Daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya
terhadap pengelolaan ekosistem TNGHS secara menyeluruh. • Difokuskan pada hutan-hutan alam yang masih tersisa.
B. Penetapan zona pemanfaatan • Kawasan TNGHS yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-
fungsi pemanfaatan, antara lain untuk kegiatan wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif, seperti areal
stasiun penelitian cikaniki, cangkuang, gunung bunder dan lokasi lainnya. • Khusus pada zona pemanfaatan yang masih dikelola perum perhutani dan
pemerintah daerah Pemda akan dikelola dengan landasan MoU sambil menunggu proses IPPA.
• Khusus zona pemanfaatan yang berupa jalur-jalur pendakian dan wilayah- wilayah rawan terhadap keselamatan pengunjung tetap dikelola TNGHS.
C. Penetapan zona rehabilitasi • Kawasan yang merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies
penting yang telah terdegradasi, seperti areal bekas penambangan emas tanpa izin PETI, Koridor Halimun - Salak.
• Zona rehabilitasi dapat dirubah penetapannya menjadi zona inti, rimba, pemanfaatan setelah kondisinya dinilai pulih kembali.
D. Penetapan zona khusus
171 • Wilayah yang telah dikembangkan sebagai fungsi utama ekonomi wilayah
seperti sarana sutet, pembangkit listrik panas bumi PT. Chevron, aktivitas pertambangan emas PT. Aneka Tambang
• Pemukiman dan garapan yang telah ada sebelum penunjukan TNGHS. • Untuk mengatur akses pengelolaan masyarakat lokal dibutuhkan regulasi
zona khusus berupa kontrak sosial MoU antara BTNGHS dengan masyarakat adat, non-adat dan pendatang perihal pengaturan akses,
pemanfaatan, dan kontrol atas sumber-sumber agraria tata ruang lokal dalam zona khusus di dalam kawasan TNGHS.
E. Penyusunan regulasi zonasi, mencakup aktivitas-aktivitas : • Membangun kontrak sosial MoU antara BTNGHS dengan komunitas adat
dalam akses pemanfaatan dan kontrol atas sumber-sumber agraria. • Membangun kontrak sosial MoU antara BTNGHS dengan komunitas
masyarakat desa di dalam dan sekitar TNGHS dalam hal akses pemanfaatan dan kontrol atas sumber-sumber agraria.
• Membangun kontrak sosial MoU antara BTNGHS dengan masyarakat yang bermukim di dalam kawasan TNGHS perihal kepadatan penduduk
yang sesuai dengan daya dukung wilayah konservasi. • Membangun kontrak sosial MoU antara BTNGHS dengan pihak
pengguna wisata, tambang, dan lain-lain perihal penggunaan lahan yang harus mementingkan aspek konservasi.
• Memantau penegakan kontrak sosial MoU dan kesepakatan serta memberi sanksi atas pelanggaran kesepakatan.
Kesepakatan Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS mengenai penetapan zona pemanfaatan. Dalam menetapkan zona pemanfaatan ini terkait dengan
definisi pemanfaatan itu sendiri, dimana BTNGHS melihat fungsi-fungsi pemanfaatan, antara lain untuk kegiatan wisata alam, pembangunan sarana
prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif, seperti areal stasiun penelitian Cikaniki, Cangkuang, Gunung Bunder dan lokasi lainnya.
Dalam konsep tersebut sama sekali tidak ada ruang pemanfaatan untuk livelihood masyarakat lokal yang basisnya adalah petani, sehingga tidak ada ruang
lahan pertanian dalam konsep kehutanan, khususnnya taman nasional. Namun
172 demikian, BTNGHS masih menyisakan kesepakatan pada zona pemanfaatan yang
masih dikelola Perum Perhutani dan pemerintah daerah akan dikelola dengan landasan MoU sambil menunggu proses IPPA izin pengusahaan pariwisata
alam. Model kesepakatan seperti ini menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat ternegasikan. Sama sekali tidak ada ruang zona pemanfaatan hutan
TNGHS untuk lahan garapan dan pemukiman masyarakat, sekalipun dalam kenyataannya hal tersebut ada. Hal ini bisa jadi bermakna bahwa masyarakat
harus keluar dari pemukiman dan lahan garapan yang selama ini digarap bersama Perum Perhutani maupun pemerintah daerah. Pada tataran negosiasi ini,
kepentingan masyarakat betul-betul tersubordinasi bahkan tidak diberi ruang untuk ada, seakan-akan masyarakat dengan sistem pertaniannya menjadi penyebab
dari semua kerusakan hutan yang ada di TNGHS. Berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam rencana pengelolaan taman
nasional RPTN Gunung Halimun Salak 2007-2020 maka stop deforestasi menurut RPTN tersebut harus terjadi pada tahun 2010. Melihat data penurunan
tutupan hutan 1989-2008, stop deforestasi akan terwujud apabila semua pihak berperan aktif sesuai tugas dan fungsinya dalam menjalankan pengelolaan di
TNGHS. Peran aktif dari berbagai pihak merupakan salah satu kunci utama dalam menjaga dan mempertahankan kondisi hutan yang tersisa.
Sikap TNGHS yang sangat pro terhadap konservasi untuk penyelamatan habitat ini sangat kentara manakala merencanakan penetapan zona rehabilitasi,
dimana tanah-tanah lahan kritis bekas garapan masyarakat akan direhabilitasi dan zona rehabilitasi dapat dirubah penetapannya menjadi zona inti, rimba, atau
pemanfaatan setelah kondisinya dinilai pulih kembali. Isu yang diusung oleh BTNGHS untuk penyelamatan lingkungan di kawasan ini adalah biodiversity.
Selanjutnya isu biodiversity ini telah melibatkan LSM internasional dalam konflik antara BTNGHS dan Masyarakat Kasepuhan, yaitu JICA. JICA berusaha
menjembatani kepentingan lingkungan dan kepentingan masyarakat. Dengan konsep “model kampung konservasi MKK”, JICA mencoba membantu TNGHS
dalam mereboisasi kembali hutan yang gundul melalui konsep partisipasi masyarakat, dan melakukan pengembangan usaha ekonomi produktif untuk
masyarakat di dalam kawasan. Melalui MKK, pengelola kawasan TNGHS
173 mencoba membina kelompok-kelompok masyarakat yang dihimpun melalui
wadah MKK model kampung konservasi yang didukung oleh pendanaan dari JICA. Pilot project MKK tahun 2003-2007 ini dilakukan oleh JICA di empat
kampung yaitu: Kampung Sukagalih, Kampung Cimapag, Kampung Cisalimar dan Kampung Sirnaresmi. Namun konsep ini belum sepenuhnya diterima oleh
masyarakat mengingat pelarangan akses terhadap sumberdaya hutan menggarap lahan di ex Perhutani tetap diberlakukan sehingga kecurigaan terhadap konsep
JICA dalam upaya membodohi masyarakat disadari oleh beberapa masyarakat, sehingga dari 9 kelompok bentukan JICA di tahun 2004, yang masih terbentuk di
tahun 2008 tinggal 3 kelompok. Menyadari kesulitan untuk mengamankan hutan TNGHS, BTNGHS mulai
mengembangkan konsep MKK di seluruh kawasan, baik di wilayah Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor maupun Kabupaten Sukabumi, dengan melibatkan
berbagai instansi pemerintah terkait maupun pihak perusahaan swasta yang berada di kawasan dan sekitar kawasan taman nasional, antara lain melibatkan Dinas
Kehutanan Provinsi Banten, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, PLN, ANTAM, CIFOR, TNGHS.
Di Kabupaten Lebak, kegiatan MKK dipusatkan di Resort Gunung Bedil, Resort Cisoka dan Resort Cibedug, dengan melibatkan pembinaan dan pendanaan
dari JEES dan DIPA-TNGHS. Di kabupaten bogor, kegiatan MKK dipusatkan di Resort Gunung Talaga, terdiri atas: Resort Gunung Kencana, Resort Gunung
Butak, Resort Gunung Botol, Resort Gunung Salak 1, dan Resort Gunung Salak 2. Kegiatan MKK di Kabupaten Bogor menggandeng pendanaan dan pembinaan dari
CIFOR dan ANTAM. Di Kabupaten Sukabumi kegiatan MKK dipusatkan di Resort Gunung Kendeng, Resort Cimanjaya, Resort Gunung Bodas, dan Resort
Kawaah Ratu. Kegiatan MKK di Kabupaten Sukabumi dilakukan oleh TNGHS- JICA dan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Total MKK di seluruh kawasan
TNGHS sampai tahun 2012 adalah 39 buah. Fakta berkembangnya program MKK dengan melibatkan kolaborasi antara
instansi pemerintah dengan perusahaan swasta menunjukkan bahwa adanya afilisi antara negara dan perusahaan swasta. Dukungan pendanaan dari perusahaan
swasta tersebut tidak semata-mata untuk kepentingan masyarakat lokal, melainkan
174 ada keuntungan ekonomi yang diperoleh perusahaan atas kebijakan pemerintah
yang mengizinkan aktivitas perusahaan di kawasan TNGHS melalui penjanjian pinjam pakai. Afiliasi antara negara dan perusahaan swasta tersebut telah
memantapkan otoritas negara selaku pemilik dan pengontrol sumberdaya hutan. Otoritas negara selaku pihak yang berkuasa telah memarginalkan otoritas
masyarakat dan kepentingannya terhadap hutan. Berkembangnya konsep MKK tersebut menunjukkan kemenangan otoritas negara melawan otoritas Masyarakat
Kasepuhan, dan menunjukkan adanya dominasi otoritas negara atas otoritas masyarakat lokal dimana masyarakat dipaksa untuk menerima konsep pengelolaan
kawasan ala taman nasional untuk pelestarian lingkungan. Sebetulnya ada peluang kesepakatan negara dan masyarakat adat yang dapat
menjamin keberlangsungan hidup masyarakat adat bersama dengan hutannya, melalui penetapan zona khusus, yaitu zona pemukiman dan garapan yang telah
ada sebelum penunjukan TNGHS. Untuk mengatur akses pengelolaan masyarakat lokal dibutuhkan regulasi zona khusus berupa kontrak sosial MoU antara
BTNGHS dengan masyarakat adat, non-adat dan pendatang perihal pengaturan akses, pemanfaatan, dan kontrol atas sumber-sumber agraria tata ruang lokal
dalam zona khusus di dalam kawasan TNGHS. Dalam penyusunan regulasi zonasi, ada beberapa aktivitas yang harus
dilakukan antara masyarakat adat dan negara yaitu membangun kontrak sosial MoU antara BTNGHS dengan komunitas adat dalam hal akses pemanfaatan dan
kontrol atas sumberdaya hutan dan kepadatan penduduk yang sesuai dengan daya dukung wilayah konservasi, membangun kontrak sosial MoU antara BTNGHS
dengan pihak pengguna wisata, tambang, dan lain-lain perihal penggunaan lahan yang harus mementingkan aspek konservasi, memantau penegakan kontrak sosial
dan kesepakatan serta memberi sanksi atas pelanggaran kesepakatan. Proses kesepakatan MoU dengan Masyarakat Kasepuhan tersebut belum
sepenuhnya terealisasi. Sampai saat ini, BTNGHS masih melakukan proses pemetaan untuk hutan adat menurut versi masyarakat yang akan disesuaikan
dengan zonasi menurut taman nasional. Masih adanya tarik ulur kepentingan antara negara dan masyarakat, dimana kesepakatan tersebut masih dinilai kurang
adil oleh masyarakat karena membatasi masyarakat pada zona khusus yang
175 merupakan wilayah pemukiman dan lahan garapan yang aktif pada saat ini,
sementara dalam konsepsi masyarakat, lahan garapan juga termasuk lahan yang tidak dalam kondisi aktif, yaitu seperti ladang-ladang yang ditinggalkan sementara
yang menurut TNGHS dikatagorikan sebagai lahan kritis. Dalam persepsi mayarakat Kasepuhan, ada beberapa kesepakatan penting
yang harus dibangun antara TNGHS dengan Masyarakat Kasepuhan sebagaimana dikemukakan oleh Abah Asep, sebagai berikut:
1. “pertama, perlu dilakukannya pemetaan tata batas hutan dalam konsep
zonasi masyarakat dan dalam konsep zonasi taman nasional. Adapun data yang ada dari taman nasional tumpang tindih dan tidak jelas serta tidak
nyata. Ada perbedaan antara peta menurut badan koordinasi survei dan
pemetaan nasional BAKOSURTANAL dan peta taman nasional. 2. Kedua, pendefinisian zona pemanfaatan harus selaras dengan zona garapan
adat, pemukiman dan garapan masyarakat, karena masyarakat adat juga mengetahui bahwa hutan inti leuweung hideung tidak akan diganggu.
3. Ketiga, mengenai aturan enclave. Taman nasional hanya mengakui adanya enclave perkebunan PT. Nirmala Agung, mengapa tidak mengakui adanya
enclave masyarakat adat, padahal keberadaan masyarakat adat di kawasan ini sudah sejak abad ke 14 sebelum adanya Belanda, masyarakat sudah
tinggal disini, dekat Perkebunan Nirmala Agung yaitu Kampung Urug Kecamatan Jasinga. Dari sejak saat itu sampai sekarang sudah ada 10
keturunan. Bukti adanya keturunan pertama bisa dipertanggungjawabkan di Cipatat Urug, buktinya adalah adanya kuburan nenek moyang. Jika
perkebunan bisa diberlakukan enclave, mestinya juga dapat diberikan enclave untuk lahan garapan masyarakat, yang sebenarnya lahan garapan
masyarakat di kawasan taman nasional ini sudah dibuka sejak tahun 1941.”
Ucapan Abah Asep tersebut merupakan harapan kesepakatan yang ingin dibangun oleh masyarakat dengan BTNGHS. Masyarakat Kasepuhan tidak ingin
menguasai kawasan hutan secara keseluruhan, karena dalam konsep pengelolaan hutan Kasepuhan juga mengajarkan adanya beberapa kawasan yang harus tetap
dijaga kelestariannya. Namun Kasepuhan menginginkan adanya hak akses pada
176 “hutan garapan” mereka sebagai sumber livelihood masyarakatnya. Oleh karena
itu memang perlu adanya pendefinisian ulang mengenai zona pemanfaatan TNGHS, sehingga memungkinkan zona pemanfaatan tersebut berada pada peta
“leuweung garapan” masyarakat. Upaya penyelesaian konflik Sungai Utik relatif lebih sulit karena perjuangan
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik relatif stagnan, karena sejak konflik pertama berlangsung di tahun 1984 sampai sekarang, tidak ada upaya yang nyata dari
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik untuk mengajukan kawasan Hutan Sungai Utik sebagai wilayah kawasan hutan kelola adat secara formal melalui surat
formal, kajian naskah akademik maupun dengan dialog secara langsung. Bahkan peta sebagai bukti teritori wilayah kuasa Sungai Utik yang dimiliki oleh Sungai
Utik sejak lama tahun 1987 melalui bantuan dari PPSDAK pembinaan pengelolaan sumberdaya alam kemasyarakatan sampai sekarang belum pernah
diajukan untuk dilegalisasi. Usaha yang sudah dilakukan oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik
dalam rangka memperjuangkan Hutan Sungai Utik sebagai hutan adat, dapat dikemukakan, sebagai berikut:
1 Pemetaan wilayah adat difasilitasi oleh PPSDAK yang bertujuan untuk mengetahui batas-batas wilayah berdasarkan sejarah asal-usul dan mencari
alat untuk mempertahankan wilayah dalam bentuk peta; 2 Penguatan institusi lokal, hukum adat dan budaya lokal yang bertujuan untuk
mengembalikan kedaulatan orang iban dengan struktur yang mereka miliki dari dulu yaitu temenggung istilah temenggung merupakan kooptasi dari
pemerintah Belanda, pateh dan tuai rumah yang nyaris hilang sebagai akibat kooptasi pemerintah melalui UU No. 51979 difasilitasi oleh LBBT;
3 Inventarisasi hutan difasilitasi oleh PPSDAK untuk mengetahui potensi kekayaan hutan;
4 Identifikasi hak ulayat yang bertujuan untuk mengetahui dan menyelesaikan kontroversi keberadaan hak ulayat serta memberikan kepastian hukum akan
eksistensi tanah ulayat tersebut. sumber data: Kanyan-LBBT Penyelesaian konflik Sungai Utik dilihat dari konsep negara diatur dalam
aturan negara sebagai penjelasan tambahan dari UU No. 41 Tahun 1999 Tentang
177 Kehutanan, yaitu Surat Edaran dari Menteri Kehutanan Nomor. S.75Menhut-
II2004 Tanggal 12 Maret 2004, perihal Surat Edaran Masalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi Ganti Rugi Oleh Masyarakat Hukum Adat.
Dalam surat edaran tersebut menegaskan bahwa hutan dapat terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Hutan negara bisa berupa hutan adat. Artinya bahwa
ketika masyarakat adat mengklaim sebagai hutan adat maka sesungguhnya hutan tersebut adalah hutan negara. Namun masyarakat adat diberi hak untuk
memanfaatkan hutan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat tersebut masih ada dan diakui keberadaannya, maka berhak: a. melakukan
pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang- undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya. Pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan
peraturan daerah. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 67 Ayat 1 disebutkan bahwa “Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut
kenyataannya memenuhi unsur antara lain: a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban rechtsgemeenschap; b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat
penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e. masih
mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Jadi jika masyarakat hukum adat ingin diakui keberadaanya dan memperoleh hak-haknya terhadap hutan, maka harus ada pengakuan yang
ditetapkan melalui peraturan daerah. Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat
setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
Dalam Surat Edaran Menteri Kehutanan yang ditujukan kepada gubernur bupati walikota di seluruh Indonesia
tersebut disebutkan bahwa “.....dalam rangka mengakomodasi tuntutan oleh masyarakat hukum adat, maka kami minta kepada
178 saudara untuk dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut: a. Apabila di
wilayah saudara terdapat tuntutan oleh masyarakat hukum adat di dalam kawasan hutan yang selama ini telah dibebani dengan hak pengusahaan hutanizin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK, maka terhadap permohonan atau tuntutan tersebut perlu sebelumnya dilakukan penelitian oleh pakar hukum adat,
tokoh masyarakat yang ada di daerah yang bersangkutan, instansi atau pihak lain yang terkait serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat untuk menentukan
apakah permohonan yang bersangkutan masih merupakan masyarakat hukum adat atau bukan.
Penelitian tersebut harus mengacu kepada kriteria keberadaan masyarakat hukum adat sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 67 Ayat 1 UU
Nomor 41 Tahun 1999. Untuk menetapkan hutan negara sebagai hutan adat yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat rechtsgemeenschap
setempat, bupatiwalikota melakukan pengusulan hutan negara tersebut untuk ditetapkan sebagai hutan adat dengan memuat letak, luas hutan serta peta hutan
adat yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan dengan rekomendasi gubernur, dengan ketentuan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila berdasarkan hasil penelitian permohonan tersebut memenuhi syarat, maka agar masyarakat hukum
adat tersebut dapat ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi. Peraturan daerah tentang keberadaan masyarakat hukum adat selanjutnya disampaikan kepada
Menteri Kehutanan untuk diajukan permohonan penetapannya sebagai hutan adat. Atas permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima atau menolak
penetapan hutan adat. Apabila berdasarkan permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima maka akan ditetapkan hutan adat untuk masyarakat
yang bersangkutan. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan tentang penetapan hutan adat tersebut, yang akan dikirimkan kepada saudara, maka kami minta
bantuan saudara untuk dapat memfasilitasi pertemuan antara masyarakat hukum adat yang telah ditetapkan dengan pemegang HPHIUPHHK.. Berkaitan dengan
tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat terhadap para pemegang HPHIUPHHK yang melakukan kegiatanoperasi di wilayah
masyarakat hukum adat tersebut, maka ganti rugi atau kompensasi tidak harus
179 berbentuk uang, tetapi dapat berupa bentuk mata pencaharian baru atau
keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan disekitarnya atau pembangunan fasilitas umumsosial yang bermanfaat bagi masyarakat hukum adat setempat dan
dalam batas kewajarantidak berlebihan, serta tidak bertendensi pemerasan dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat hukum adat setempat.
Dengan adanya tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat terhadap para pemegang HPHIUPHHK, gubernur atau bupatiwalikota dapat
memfasilitasi pertemuan antara pihak yang bersangkutan untuk penyelesaian dengan cara musyawarah dan mufakat. Namun apabila mengalami jalan buntu,
maka penyelesaiannya disarankan dilakukan melalui proses pengadilan dengan mengajukan gugatan secara perdata melalui peradilan umum.
Mengacu pada surat edaran tersebut maka solusinya adalah penetapan Hutan Sungai Utik sebagai hutan adat, namun hutan adat adalah hutan negara, sekalipun
pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat adat, namun tetap mengakomodir keberadaan IUPHHK, sementara masyarakat memperoleh ganti rugi dari
keberadaan IUPHHK tersebut. Apa yang ditawarkan oleh surat edaran tersebut tentu saja bertentangan dengan keinginan masyarakat, karena saat ini sekalipun
hutan Masyarakat Dayak Iban tidak berstatus sebagai hutan adat, namun masyarakat mempunyai akses mutlak untuk mengelola hutan. Masyarakat mampu
menjaga hutan dari masuknya perusahaan IUPHHK. Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 691Kpts-II91, tentang Peranan
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan Dalam Pembinaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan,
disebutkan bahwa “masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun
di pedesaan sekitar hutan”. Berdasarkan keputusan menteri tersebut, dalam konsep negara, hutan yang dijadikan lahan IUPHHK tersebut juga harus memberi manfaat
bagi masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar hutan. Namun sekalipun masyarakat diberi ruang untuk memanfaatkan kayu maupun non kayu pada areal
hutan yang telah diberi status hutan HPH, namun keinginan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik hanyalah ingin hutan mereka tetap lestari dalam penguasaan
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik.
180 Perbedaan sikap kedua masyarakat tersebut dilandasi karena adanya
perbedaan nilai-nilai budaya state of believe. Nilai-nilai budaya mempengaruhi sikap dan tindakan masyarakat dalam menyelesaikan konflik. Masyarakat
Kasepuhan menempuh jalan dialog dengan bantuan dari LSM dan pemerintah daerah selaku mediator dalam penyelesaian konflik dengan BTNGHS. Adapun
pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, penyelesaian konflik dilakukan dengan jalan meningkatkan kemampuan kelembaaan Dayak Iban Sungai Utik melalui
bantuan dari LSM sehingga mampu menunjukkan bahwa Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik layak untuk melakukan pengelolan hutan berbasis masyarakat, yang
dibuktikan dengan diperolehnya sertifikat ekolabeling. Sertifikat ini menjadi modal dari Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dalam memperjuangkan Hutan
Sungai Utik sebagai hutan adat.
Keinginan Masyarakat Sungai Utik adalah bahwa hutan itu tetap lestari. Sebagaimana dikemukakan oleh Ape Janggut, sebagai berikut: “Kami bukannya tidak
mau mendukung program pemerintah yang menjadikan hutan ini sebagai kawasan HPH dan diberikan pada pengusaha, namun hutan ini adalah hutan kami, hutan titipan dari
anak cucu kami generasi masa datang. Apa yang akan kami katakan pada mereka jika hutan tersebut rusak. Kami menjaganya untuk mereka kelak, bukan hanya untuk
mewariskan kayu pada mereka, tapi yang ingin kami wariskan adalah hutan yang masih lestari, agar mereka masih tetap memiliki sumber mata air yang bersih, mereka masih
bisa lihat keaneka ragaman jenis kayu dan jenis-jenis tanaman lain, serta memberi tempat pada makhluk-makhluk lain seperti hewan untuk hidup. Untuk kepentingan kami
sendiri saat ini sudah cukup dengan memanfaatkan wilayah garapan kami baik untuk menanam padi, kebun karet maupun menanam jenis-
jenis pohon kayu yang lain.”
183
6 DINAMIKA KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN
6.1. Analisis Perbandingan Lembaga dan Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik
Dalam konteks kelembagaan pengaturan hutan, sistem pengaturan hutan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelembagaan pengaturan pemerintah dan
kelembagaan adat yang dianut oleh masyarakat yang hidup di sekitar hutan sejak lama, jauh sebelum hutan tersebut diklaim sebagai hutan negara. Evaluasi kondisi
hutan dan lembaga pengelola hutan memberikan wawasan tentang fungsi hutan sebagai sebuah milik bersama antara masyarakat yang hidup dari hutan dan negara
sebagai pemilik hutan secara yuridis. perbedaan pemaknaan, tumpang tindih kepemilikan dan pengelolaan hutan ini makin terasa dan menjadi persoalan ketika
kelembagaan yang satu menegasikan keberadaan kelembagaan yang lain. Dalam konteks Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS, atas
nama ideologi konservasi, maka masyarakat harus keluar dari pemukiman yang sudah lama mereka tempati. Begitupun pada Masyarakat Adat Dayak Iban,
ideologi pembangunan yang diusung negara telah memberikan kekuasaan kepada perusahaan untuk pemanfaatan hutan dengan menegasikan keberadaan masyarakat
adat sebagai pemilik hutan yang sudah turun temurun. Perbedaan pemaknaan atas hutan dan tumpang tindihnya klaim atas kawasan hutan tersebut menyebabkan
terjadi konflik. Masing-masing pihak dengan kelembagaannya berusaha untuk menunjukkan kekuasaan otoritasnya atas penguasaan sumberdaya hutan.
Kekuasaan dan otoritas adalah sumberdaya yang mengarahkan kelompok- kelompok pada persaingan dan pertempuran. Dengan demikian otoritas
merupakan sumber utama konflik dan perubahan dalam pola-pola pelembagaan. Menurut Dahrendorf dalam Turner 1998, Konflik ini pada akhirnya
merupakan refleksi dari kelompok peran dalam kaitannya dengan otoritas, karena kepentingan obyektif yang melekat dalam peran apapun adalah fungsi langsung
dari peran yang memiliki otoritas dan kekuasaan atas peran lain. Setidaknya ada dua tipe dasar peran, yaitu peran yang berkuasa superordinate dan yang dikuasai
subordinate. Kelompok peran yang berkuasa memiliki kepentingan dalam mempertahankan status quo, dan kelompok yang dikuasai memiliki minat dalam
184 mendistribusikan kekuasaan atau otoritas. Dalam kondisi tertentu, kesadaran akan
kepentingan yang bertentangan ini meningkat, hasilnya bahwa kelompok kepentingan tersebut menjadi terpolarisasi dalam dua kelompok konflik, masing-
masing menyadari kepentingan objektifnya, yang kemudian terlibat dalam sebuah kontes untuk mendapatkan otoritas, sehingga membuat konflik menjadi sumber
perubahan dalam sistem sosial. Pada gilirannya, redistribusi otoritas merepresentasikan pelembagaan dari peran kelompok baru yang berkuasa dan
yang dikuasai, dalam kondisi tertentu. Menurut Dahrendorf, konflik menjadi sumber perubahan dalam rangka
memperjuangkan otoritas. Hal tersebut terjadi juga pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Beberapa unsur kelembagaan
Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban berubah sebagai respon atas konflik sumberdaya hutan dengan negara selaku pemilik otoritas resmi terhadap hutan.
Kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan dan mengadaptasikan berbagai aturan dari kondisi yang sudah ada, menunjukkan ketangguhan sebagai satu
lembaga Ostrom, 1990; Wollenberg, 1998; Buck dkk, 2001. Dengan mengambil kasus di dua lokasi, Taman Nasional Gunung Halimun
Salak dan hutan Sungai Utik, ada kecenderungan yang berbeda di kedua lokasi. Pada kawasan TNGHS bahwa peran lembaga adat dalam pengelolaan sumberdaya
hutan mulai didominasi oleh kekuatan lembaga negara. Dalam konteks seperti itu, dimana terjadi dominasi negara dan pelumpuhan kelembagaan adat, konstelasi
kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan antara masyarakat adat dan negara menjadi tidak seimbang. Negara lebih banyak mendominasi masyarakat adat.
Dalam konteks ini, dapat dikatakan ada hegemoni negara terhadap masyarakat adat. Hegemoni tidak hanya telah menciptakan perlawanan dari komunitas
tradisional tetapi juga transformasi dalam berbagai faktor. Kondisi berbeda terjadi di kawasan Sungai Utik, dimana posisi negara dan
masyarakat adat sama-sama kuat. Negara tidak mampu melaksanakan kebijakannya, sehingga tetap membiarkan masyarakat adat dan kelembagaan
lokalnya yang bekerja dalam tata kelola hutan Sungai Utik. Namun negara juga tidak mengeluarkan surat pengakuan atas hak kelola adat tersebut. Dengan kata
185 lain pada kawasan Sungai Utik peran kelompok yang berkuasa dan dikuasai
menjadi tidak jelas. Dalam konteks kelembagaan, Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat
Dayak Iban Sungai Utik merupakan suatu komunitas yang memiliki kelembagaan adat tentang pengaturan tatanan hidup masyarakatnya dan tata kelola hutan yang
melibatkan norma adat dan keagamaan. Untuk memahami kondisi kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik dan hutan yang dalam
penguasaannya, berikut ini akan digambarkan kesamaan dan perbedaan karakteristik dari kedua masyarakat adat tersebut.
Matrik 10. Karakteristik Masyarakat Kasepuhan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Dayak Iban di Hutan Sungai Utik
TNGHS SUNGAI UTIK
Aktor Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan
Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik
Pimpinan Adat Abah
Tuai rumah panjang Struktur
Masyarakat Berstrata dimana abah menempati
strata tertinggi dalam struktur masyarakatnya
Tidak ada struktur tinggi-rendah melainkan pelimpahan kekuasaan
memutuskan dalam ukuran hukuman Pertimbangan
keputusan teertinggi adat
Wangsit petunjuk nenek moyang melalui abah
Musyawarah adat selanjutnya diputuskan oleh tuai rumah
Hukuman sanksi supranatural
Kualat atau kabendon hukuman dari roh nenek moyang
Tulah hukuman dari roh nenek moyang
Hukum Adat Terdapat hukum adat, namun tidak
jelas, bersifat lisan. Hukum adat sangat tergantung dari keputusan
abah dan Kabendon Terdapat hukum adat yang jelas
diberlakukan selain Tulah. Hukum adat sudah dibukukan
Anggota Masyarakat Adat
Masyarakat Kasepuhan dan masyarakat luar Kasepuhan yang
menyatakan diri sebagai pengikut. Kepengikutan dinyatakan dengan
iuran sebagai pengakuan atas ketaatan terhadap Kasepuhan
terbuka untuk siapa saja Semua anggota suku Dayak Iban
secara turun temurun tertutup dan orang luar yang menikah dengan
orang Dayak Iban, atau suku lain yang telah lama tinggal di Dayak
Iban dan menjadi bagian dari rumah panjang Dayak Iban Sungai Utik
Mata pencaharian Utama
Pertanian padi huma dan padi sawah hasilnya tidak boleh dijual,
dengan sistem organik Pertanian padi huma hasilnya tidak
boleh dijual, boleh menggunakan pupuk kimia
Sumber ekonomi yang dapat dijual
Kebun ladang: palawija, kapolaga, cengkeh, rotan, bambu
Kebun ladang: karet, durian, tengkawang
Wilayah Adat Dimiliki bersama oleh seluruh
masyarakat di 3 tiga Kasepuhan. Dimiliki secara otonom oleh
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik
Dari tabel di atas diketahui bahwa terdapat perbedaan dan kesamaan karakteristik yang sangat nyata antara Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban
Sungai Utik.
186 Perbedaan pertama adalah mengenai pimpinan adat. Masyarakat Kasepuhan
dipimpin oleh seorang abah kepala suku. Sekalipun Kasepuhan ada 3 tiga di kawasan Desa Sirna Resmi, namun masing masing Kasepuhan secara otonom
memiliki kepemimpinan sendiri-sendiri. Abah memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam mengurusi segala urusan kehidupan masyarakatnya,
khususnya dibidang pertanian livelihood, mempunyai hak untuk memberi izin atau melarang masyarakatnya mengambil manfaat dari hutan, memimpin upacara
adat, sebagai pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan masyarakat. Namun dalam hal kepemilikan sumberdaya alam dimiliki secara bersama dengan
seluruh masyarakat di 3 tiga Kasepuhan. Adapun pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki pemimpin yang
bertingkat. Di Rumah Panjae Sungai Utik ada pemimpin yang disebut tuai rumah. Tuai rumah adalah orang yang menancapkan tiang pertama, mengurusi adat,
musim bertani, keluarga, menyatakan pantang mali, dan lain-lain. Apabila terjadi masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh tuai rumah maka diselesaikan di
Ketemenggungan. Dari 7 tujuh dusun dalam ketemenggungan Dayak Iban Jalai Lintang dipimpin oleh seorang Tumenggung kepala suku. Namun demikian
sekalipun ada dibawah Ketemenggungan Jalai Lintang, Masyarakat Dusun Utik memiliki kepemilikan sendiri otonom dalam hal sumberdaya. Kepemilikan
sumberdaya dikuasai sepenuhnya oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik melalui pengaturan oleh tuai rumah.
Perbedaan yang kedua mengenai struktur lembaga Kasepuhan. Masyarakat Kasepuhan berstrata, dimana menempatkan abah dalam strata tertinggi, kemudian
ada kolot lembur yang menjadi perwakilan abah di tiap kampung. Dalam struktur adat Kasepuhan juga ada berbagai jabatan yang mewakili urusan Kasepuhan yang
disebut “tukang”. Pada struktur yang paling rendah adalah masyarakat biasa incu putu. Abah selaku pimpinan adat mempunyai kewenangan sentral dalam
pengambilan keputusan sebagai representasi d ari “wangsit roh nenek moyang”,
melalui mekanisme Badan Musyawarah Kasepuhan. Dalam Masyarakat Dayak Iban, tuai rumah selaku pemimpin rumah panjang tidak memiliki strata yang jauh
lebih tinggi dari Masyarakat Dayak Iban lainnya. Tidak ada struktur tinggi- rendah melainkan pelimpahan kekuasaan memutuskan dalam ukuran hukuman.
187 Sekalipun sebagai pemimpin adat, namun dalam pengambilan keputusan tuai
rumah tidak memiliki kewenangan mutlak, masih ada mekanisme musyawarah yang menjadi landasan keputusan tertinggi adat.
Perbedaan ketiga adalah mengenai penerapan sanksi dan hukuman. Ada dua macam jenis sanksi yang ada di Kasepuhan maupun Dayak Iban. Sanksi
hukuman yang pertama berupa sanksi supranatural berupa hukuman dari nenek moyang apabila melakukan pelanggaran terhadap apa yang dilarang atau
diperintahkan oleh nenek moyang, seperti mengambil kayu pada hutan titipan maka akan berhadapan dengan sanksi hukuman yang berasal dari roh nenek
moyang. Dalam kebudayaan Kasepuhan disebut kabendon kualat, sementara dalam Masyarakat Dayak Iban disebut tulah. Jenis hukuman tersebut bisa berupa
penyakit yang tidak bisa disembuhkan sampai meminta maaf terhadap roh nenek moyang. Selain hukuman yang berasal dari roh nenek moyang, ada juga hukuman
yang disebut hukum adat. Disinilah terdapat perbedaannya. Hukum adat pada Masyarakat Kasepuhan tidak dibukukan dan bersifat lisan hanya mengandalkan
saja pada keputusan kebijakan abah. Abah menjadi sumber hukum bagi Masyarakat Kasepuhan. Sedangkan pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik,
hukum adat sudah dibukukan dan disepakati oleh seluruh Masyarakat Dayak Iban. Perbedaan keempat adalah aspek sejarah penguasaan lahan dari zaman
sebelum Indonesia merdeka sampai terbentuknya kelembagaan kehutanan. Sejarah membuktikan bahwa Masyarakat Kasepuhan sangat permisif terhadap
keberadaan negara atau pihak lain yang mengklaim tanah dan hutannya, selama mereka masih diberi ruang akses untuk livelihood mereka dan pengaturan atas
hutan mereka. Sepanjang sejarah, klaim masyarakat adat atas tanah dan hutannya silih berganti dengan klaim oleh negara. Namun kondisi tersebut tidak banyak
mempengaruhi sikap masyarakat selama mereka masih memiliki akses. Untuk Masyarakat Kasepuhan akses sangat penting dibandingkan right hak properti.
Namun bagi Masyarakat Dayak Iban, hutan dan tanah adalah urat nadi sehingga mereka akan berusaha mati-matian mempertahankan hutan dan tanah tersebut
berada dalam penguasaannya. Bagi Masyarakat Dayak Iban hak sangat penting, karena saat ini mereka sudah memiliki akses. Hanya saja hak right dibutuhkan
untuk keberlangsungan akses.
188 Dalam hal penguasaan lahan juga menunjukkan adanya perbedaan, dimana
klaim wilayah adat Kasepuhan dimiliki bersama oleh masyarakat di 3 tiga Kasepuhan, disamping adanya klaim oleh negara sebagai kawasan taman nasional.
Adapun kawasan Sungai Utik dimiliki secara otonom oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, disamping adanya klaim dari negara pusat sebagai kawasan
yang diperuntukkan bagi kawasan IUPHHK dan klaim dari negara lokal sebagai kawasan IUP untuk usaha perkebunan karet dan sawit.
Berbagai perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan perkembangan kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik.
Namun ada juga persamaannya yaitu sama-sama memiliki hukum adat sebagai acuan pengaturan tatanan sosial masyarakatnya, memiliki kepercayaan terhadap
roh nenek moyang sekalipun agama sudah mulai masuk dan mempengaruhi kebudayaan mereka. Masyarakat Kasepuhan dipengaruhi oleh agama Islam
sedangkan Masyarakat Dayak dipengaruhi oleh agama Katolik. Selanjutnya mata pencaharian utamanya sama-sama berbasis pertanian padi
huma dengan tradisi menyimpan padi di leuit lumbung dan tidak boleh dijual, memiliki kelembagaan lokal yang mengatur tata cara pertanian dan pengelolaan
hutan. Kelembagaan ini bersumber dari pengetahuan lokal mereka yang diwariskan secara turun temurun. Adapun sumber ekonomi yang dapat dijual dan
menjadi sumber pendapatan masyarakat dapat dibedakan, jika pada Masyarakat Kasepuhan lebih bertumpu pada hasil kebun ladang dengan tanaman utama
palawija, kapolaga, cengkeh, rotan dan bambu. Sedangkan pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik mengandalkan hasil kebun karet, durian dan tengkawang.
Dalam konsep kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban, mengajarkan masyarakatnya untuk melakukan mata pencaharian pertanian dengan
menanam padi huma. Setiap segmen kegiatan usaha tani padi baik sawah maupun ladang pada Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban selalu disertai ritual tertentu
sebagai bagian dari norma sosial dan adat. Termasuk ada banyak aturan dalam pertanian Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban, antara lain: menanam jenis
padi lokal lihat bab 4; menanam padi satu tahun sekali; tidak boleh menggunakan pupuk kimia dan pestisida; melakukan berbagai upacara ritual
dalam setiap proses tahapan pertanian penjelasan rinci lihat bab 4.
189 Dalam pengaturan tata kelola hutan, baik Masyarakat Kasepuhan maupun
Dayak Iban Sungai Utik mengatur aktivitas pertanian sebagai bagian dari aktivitas hutan. Dalam sistem zonasi yang diatur oleh konsep adat, hanya satu bagian yang
diperkenankan untuk aktivitas pertanian yaitu pada kawasan leuweung garapan di Kasepuhan atau kampong endor kerja di Dayak Iban Sungai Utik. Artinya
kegiatan pertanian tidak terlepas dari kegiatan kehutanan. Berdasarkan deskripsi di atas dapat dikatakan bahwa ada beberapa hal yang
menunjukkan kesamaan dan beberapa hal yang menunjukkan perbedaan di kedua masyarakat. Baik Masyarakat Kasepuhan maupun Dayak Iban Sungai Utik sama-
sama memiliki kelembagaan pengaturan terhadap tata kelola hutan, sama-sama mengklaim memiliki right terhadap kawasan hutan yang juga diklaim sebagai
right dari hutan negara. Hanya bedanya Masyarakat Kasepuhan berhadapan dengan hutan konservasi sedangkan Masyarakat Dayak Iban berhadapan dengan
hutan produksi. Dalam penguasaan sumberdaya hutan, tidak hanya melibatkan kelembagaan adat yang mengklaim sebagai penguasa hutan, namun ada
kelembagaan negara selaku penguasa hutan secara de jure. Kelembagaan adat dan negara tersebut dapat dibedakan berdasarkan aspek rules, ideologi, norma, aktor,
serta teritori. Matrik 11. Analisis Kelembagaan Adat Versus Negara Modern Pada TNGHS
STRUKTUR KELEMBAGAAN ADAT KELEMBAGAAN MODERN
ASLI ADAPTASI
ASLI ADAPTASI
RULES Aturan zonasi
hutan; Aturan mata
pencaharian pertanian
Aturan kehidupan Aturan mata
pencaharian pertanian, seperti
intensifikasi, penggunaan pupuk
kimia dan menjual hasil pertanian
Aturan Zonasi
Kebijakan Kehutanan
Membiarkan masyarakat tetap
memperoleh hak akses untuk lahan
garapan pada lahan hutan
IDEOLOGI Pelestarian
lingkungan dan kesejahteraan
masyarakat Pelestarian
lingkungan yang dapat menjamin
livelihood masyarakatnya
Pelestarian Lingkungan
Pelestarian Lingkungan
NORMA Hukum adat dalam
bentuk lisan dan keputusan abah
Hukum adat masih beresifat lisan,
musyawarah adat Hukum
negara UU Kehutanan
Hukum negara yang dinegosiasikan
dengan masyarakat AKTOR
Ketua adat dan masyarakat adat
Ketua Adat Sekretaris Adat
Menteri Kehutanan,
Kepala daerah
Dinas Kehutanan Pemerintah daerah
Perusahaan TERITORI
Ditandai dengan Proses negosiasi
Ditandai Dilakukan pemetaan
190
STRUKTUR KELEMBAGAAN ADAT KELEMBAGAAN MODERN
ASLI ADAPTASI
ASLI ADAPTASI
wilayah garapan pertanian. Semua
kawasan bekas ladang menjadi
wilayah teritori adat.
untuk memperoleh akses
dengan SK Menteri
Kehutanan ulang peta kawasan
adat maupun hutan negara
Adapun analisis kelembagaan antara kelembagaan adat dan negara dalam kasus Sungai Utik dapat dikemukakan sebagai berikut:
Matrik 12. Analisis Kelembagaan Adat Versus Negara Modern Pada Hutan Sungai Utik
STRUKTUR KELEMBAGAAN ADAT KELEMBAGAAN MODERN
ASLI ADAPTASI
ASLI ADAPTASI
RULES Aturan zonasi
hutan; Aturan mata
pencaharian pertanian
Aturan kehidupan
Aturan Mata Pencaharian
Pertanian, seperti intensifikasi,
penggunaan pupuk kimia dan menjual
hasil pertanian Kawasan
IUPHHK-HA dengan Pola
TPTI Membiarkan
masyarakat tetap memperoleh hak
akses menidurkan masalah
IDEOLOGI pelestarian
lingkungan dan kesejahteraan
masyarakat pelestarian
lingkungan yang dapat menjamin
livelihood masyarakatnya
Pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi
Pembangunan yang dapat
menjamin kelestaraian
lingkungan NORMA
Hukum adat dalam bentuk
lisan dan keputusan tuai
rumah Pembukuan
hukum adat, musyawarah adat
Hukum negara UU Kehutanan
Hukum negara yang
dinegosiasikan dengan masyarakat
AKTOR Ketua adat dan
masyarakat adat Kepala desa,
Tumenggung Menteri
Kehutanan Kepala daerah
Kepala daerah Kepala desa
TERITORI Ditandai dengan
wilayah garapan pertanian. Semua
kawasan bekas ladang menjadi
wilayah teritori adat.
Proses perjuangan untuk pengakuan
dari pemerintah sebagai kawasan
kelola adat Ditandai
dengan SK Menteri
Kehutanan Setelah perusahaan
keluar dari lokasi, sama sekali tidak
ada aktivitas. negara menidurkan
masalah
Dalam melihat aspek kelembagaan tersebut, teritori tidak bisa dilepaskan dari aspek kelembagaan. Teritori dimaknai sebagai kontrol wilayah yang
merupakan upaya langsung untuk mengatur hubungan antara masyarakat dan sumberdaya, misalnya dengan menggambar batas-batas dan mencoba untuk
mengontrol akses ke sumberdaya alam dalam batas-batas yang dibuat oleh
191 kelembagaan tersebut. Pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban
Sungai Utik, secara historis masyarakat tersebut menggunakan wilayah jangkauan yang luas melintasi pegunungan dan sungai melakukan pemanfaatan hasil hutan
dan menggarap lahan pertanian termasuk memancing di sungai, dan berburu mangsa atau mengadakan ritual pada hutan tersebut. Bekas ladang damun,
wilayah perburuan, sungai serta wilayah hutan yang dijadikan upacara ritual masyarakat menandai keberadaan hutan milik mereka.
Berdasarkan rules, ideologi, norma, aktor dan teritori, tergambar adanya
dinamika kelembagaan adat versus negara. Diketahui perlahan tapi pasti telah
terjadi pelumpuhan kelembagaan adat oleh kelembagaan negara atau kelembagaan lain, seperti masuknya pengetahuan modern, infiltrasi kelembagaan pemerintah
dalam bentuk perubahan kebijakan pengelolaan hutan maupun kebijakan pembangunan lainnya, sedikitnya telah merubah pola pikir masyarakat adat dan
terjadi pergeseran dalam tata cara adat atau bagaimana adat dimainkan dalam merespon berbagai perubahan tersebut.
6.2. Kebijakan Negara Tentang Pengaturan Hutan Yang Mempengaruhi
Kelembagaan Masyarakat Adat
Kelembagaan Masyarakat dalam pengaturan hutan mengalami perubahan yang diakibatkan oleh adanya berbagai goncangan gangguan. Baik hutan TNGHS
dan hutan Sungai Utik memiliki gangguan yang hampir sama, yaitu adanya kebijakan baru yang dikeluarkan oleh negara dalam tata kelola hutan.
Gangguan utama pada hutan TNGHS adalah adanya intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan pemerintah pusat tentang perubahan status hutan dari
hutan yang terfragmentasi ke dalam berbagai fungsi menjadi hutan konservasi dalam bentuk Taman Nasional SK Menteri Kehutanan Nomor 175Kpts-II2003.
Kebijakan ini tentu saja mengganggu sistem sosial Masyarakat hutan. Gangguan pada sistem sosial akan berdampak pada perubahan sistem ekologi. Kebijakan
pemerintah tentang perubahan luas taman nasional tersebut membawa konsekuensi pada beberapa hal:
192 Matrik 13. Perubahan Status Taman Nasional dan Dampaknya Pada Masyarakat
Sekitar Hutan
SEBELUM TAHUN 2003 SETELAH TAHUN 2003
Nama Taman Nasional Gunung Halimun
Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Luas 40.000 Ha
113.357 Ha Pemukiman
Ada 314 Desa dengan jumlah Penduduk 99.782 orang yang masuk
dalam kawasan TNGHS. Masyarakat tersebut memanfaatkan hutan untuk
pertanian Pelarangan untuk pemukiman,
maupun pertanian di kawasan hutan
Pertambangan Ada beberapa pertambangan emas dan geothermal
Terlarang untuk aktivitas pertambangan
Perubahan Fungsi Hutan
Hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas yang sebelumnya
dikelola oleh Perhutani Semua wilayah menjadi taman
nasional berdasarkan sk menteri kehutanan nomor 175kpts-ii2003
yang dikelola oleh balai taman nasional gunung halimun salak
Bagi Masyarakat Kasepuhan sendiri, dampak paling nyata adalah pelarangan masyarakat untuk menggarap lahan pertaniannya yang dalam konsep
masyarakat adat berada di kawasan hutan garapan namun dalam konsep negara masuk ke dalam wilayah taman nasional. Perubahan status hutan menjadi taman
nasional memberikan efek terhadap kehidupan Masyarakat Kasepuhan, terutama karena mereka kehilangan akses untuk pemanfaatan hutan. Ini berarti bahwa
mereka kehilangan sumber livelihood mereka. Dalam rangka mengatasi kesulitan livelihood inilah maka kelembagaan Masyarakat Kasepuhan berubah.
Pada kasus hutan Sungai Utik, dapat dikatakan bahwa Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik juga memperoleh tantangan yang berasal dari adanya intervensi
kelembagaan baru dalam bentuk kebijakan pemerintah, yaitu kebijakan pemerintah pusat mengenai izin IUPHHK atas nama PT. BRW berdasarkan SK
Menteri Kehutanan No. 268Menhut-II2004 jangka waktu 45 tahun pola TPTI dengan luas areal 110.500 Ha. Selain ancaman dari pemerintah pusat, pemerintah
daerah juga mengeluarkan kebijakan yang membuat masyarakat menjadi tidak tenang, yaitu diterbitkannya izin usaha perkebunan IUP yang diterbitkan untuk
PT. MKA, PT. BSA, PT. RU, PT. BTJ dalam jangka waktu 20 tahun yang lokasinya tumpang tindih dengan IUPHHK dari PT. BRW.
Intervensi kebijakan negara lokal pemerintah daerah berupa penerbitan izin usaha IUP kepada PT. RU untuk perkebunan karet dengan Keputusan
Bupati Nomor 283 Tahun 2010 yaitu tentang izin lokasi untuk perkebunan karet
193 seluas 14.000 Ha di Kecamatan Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir,
telah dirubah peruntukannya menjadi sawit dengan surat bupati nomor 525032DKHBPT-A tentang persetujuan IUP Perubahan dari karet menjadi
kelapa sawit tanggal 10 Januari 2011. Keberadaan kebijakan pemerintah daerah tersebut telah memberi tekanan kecemasan kepada Masyarakat Adat Sungai Utik,
ketakutan kalau kebijakan itu juga akan mengambil kawasan Sungai Utik. Kebijakan negara tersebut telah membuat kondisi Masyarakat Dayak Iban Sungai
Utik resah, terlibat dalam konflik, baik konflik antara Masyarakat dengan pemerintah, yang melibatkan pengusaha maupun masyarakat dengan masyarakat.
Perubahan kebijakan pemerintah atau intervensi kebijakan tersebut berpengaruh terhadap sistem nilai masyarakat lokal. Ketika sistem nilai berubah, gaya hidup
masyarakat berubah, seperti meningkatnya kebutuhan uang tunai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa intervensi kebijakan negara membawa
konsekuensi pada terjadinya perubahan kelembagaan masyarakat adat, baik pada Masyarakat Kasepuhan maupun pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik.
6.3. Perubahan Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban
Sungai Utik
Sejalan dengan perkembangan sejarah dan pengalaman kehidupan, bahwa pengetahuan masyarakat adat tersebut mengalami berbagai pengaruh dan
perubahan. Perubahan pengetahuan menyebabkan terjadinya perubahan kelembagaan dan perubahan kelembagaan tersebut juga mempengaruhi struktur
masyarakat tersebut dalam konteks masyarakat adat dipandang sebagai suatu komunitas atau organisasi sosial.
194 Matrik 14. Perubahan Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat
Dayak Iban Sungai Utik TNGHS
SUNGAI UTIK Perubahan
Struktur Ada perubahan struktur dengan
penambahan posisi sekretaris abah, ajudan abah dan penasehat
Kasepuhan Ua Ugis. Namun tidak semua Kasepuhan mengakui
adanya jabatan “Penasehat Kasepuhan”.
Tidak ada Perubahan struktur
Perubahan Pengetahuan
dan Kelembagaan
Beberapa aturan adat tidak lagi dijalankan: konsep sara, nagara
dan mokaha tidak sepenuhnya dijalankan. masyarakat mulai
menentang kebijakan negara yang dianggap menegasikan
kelembagaan Kasepuhan Perubahan dalam tatacara
pengelolaan pertanian, misalnya mulai ada masyarakat yang
menggunakan pupuk kimia, pola tanam dua kali dalam satu tahun
dan ada juga yang menjual padi. Konsep kualat tidak lagi
dijalankan Perubahan dalam tatacara
pengelolaan pertanian, misalnya mulai ada
masyarakat yang menggunakan pupuk kimia,
dan ada juga yang menjual padi.
Konsep kualat tidak lagi dijalankan
Tingkat Perubahan
Terjadinya pelumpuhan kelembagaan lokal dimana
pengetahuan lokal tentang tata kelola hutan sudah tidak bisa
dijalankan. Ketaatan masyarakat terhadap kelembagaan lokal sudah
mulai luntur dimana pengetahuan lokal tentang kearifan dalam
pengelolaan hutan tidak lagi dijalankan.
Dalam pengetahuan tata kelola hutan masih belum
terjadi perubahan secara signifikan. namun telah
terjadi perubahan proses berfikir masyarakat dimana
konsep-konsep ilmiah seperti REDD, perubahan
iklim serta kontribusi untuk kesejahteraan masyarakat
sudah mulai menjadi wacana dikalangan anggota
masyarakat Alasan
Perubahan Pengetahuan tentang perlunya
ketaatan atas budaya lokal yang memerintahkan bahwa segala
aturan budaya tidak boleh bertentangan dengan hukum
negara. Proses adaptasi livelihood Perubahan pemikiran
masyarakat yang mengarah pada pertimbangan ekonomi
kapitalis dan sistem pemikiran intelektual Barat
Substansi Perubahan
Pengetahuan Sikap
Tindakan Sosial Pengetahuan
Sikap Tindakan Sosial
Seiring dengan perkembangan zaman, masuknya pengetahuan modern yang dikemas melalui program dan proyek pemerintah, serta perubahan kebijakan
negara tentang tata kelola hutan, perlahan tapi pasti telah terjadi perubahan adat dan kebiasaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik.
195 Perubahan struktur pada Masyarakat Kasepuhan ditandai dengan adanya
struktur baru Lembaga Kasepuhan yang menambahkan adanya posisi sekretaris abah. Sekretaris inilah yang berfungsi untuk mencatat dan mendokumentasikan
pengadministrasian Kasepuhan termasuk mencatat jumlah dan keanggotaan dari para pengikut incu putu. Sementara pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik
t
idak ditemukan adanya perubahan struktur.
Perubahan kelembagaan pada Masyarakat Kasepuhan ditandai oleh banyak hal. Pertama, perubahan dalam hal praktek pertanian misalnya penggunaan pupuk
non organik dan pestisida. Kedua, perubahan gaya hidup misalnya penggunaan kompor gas yang sebelumnya dilarang. Perubahan tersebut menunjukkan fakta
bahwa telah terjadi perubahan kelembagaan Kasepuhan, atau sekurang kurangnya telah terjadi perubahan pandangan atau konsep hidup. Ketika, perubahan
pandangan dalam menempatkan peran-peran kepengurusan adat.
Pada tahun 2010 awal penelitian ini dilakukan, masih ditemui kondisi bahwa semua tukang bekerja melalui mekanisme adat tanpa dibayar. Namun
penelitian di tahun 2011-2012 sudah menunjukkan perbedaan kondisi. Di dua Kasepuhan Cipta Mulya dan Cipta Gelar, istilah Tukang sudah tergantikan
dengan konsep “pembantu” yang bekerja untuk “abah” atau “Kasepuhan” dengan memperoleh imbalan. Ketika di Abah Asep masih menggunakan konsep
“Tukang” menurut budaya. Tukangnya sendiri sudah tidak begitu rela mengabdikan dirinya bagi kepentingan Kasepuhan.
Sebagaimana diterangkan oleh Ibu Ami Tukang sisiuk bahwa: “Hanya di Kasepuhan ini saja yang masih menggunakan Tukang untuk membantu Ambu dalam
menyediakan makanan bagi tamu-tamu abah, kami masih mendapatkan jadwal untuk melayani tamu-tamu abah, tapi di Kasepuhan yang lain sudah tidak ada lagi bantuan
tukang, melainkan diganti oleh Pembantu yang dibayar. Sementara para Tukang ini
tidak dibayar.”. Seperti yang diungkapkan oleh Ambu bahwa “dalam konsep Kasepuhan, seluruh
tukang harus mengabdi pada Kasepuhan tanpa dibayar dan jabatan tukang diperoleh secara turun temurun. Seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat dan kebutuhan
cash meningkat, maka konsep “Tukang” tersebut mulai tergantikan dengan konsep
‘pembantu” yang dibayar untuk setiap pekerjaan yang dilakukannya. Meskipun pada Kasepuhan tertentu masih menggunakan kata “tukang” namun ternyata, tukang
tersebut sudah tidak lagi mengabdi secara ikhlas. Ada konflik kelembagaan yang bersifat laten. Apalagi sejak perubahan status Taman Nasional Gunung Halimun Salak,
kekuasaan Kasepuhan tidak lagi mutlak. Kualat tidak lagi berlaku bagi masyarakat Kasepuhan.
196 Ucapan Ibu Ami tersebut menjadi tanda bahwa ada konflik internal di dalam
Kasepuhan itu sendiri dan menunjukkan telah lunturnya kepercayaan terhadap nilai-nilai Kasepuhan. Di masa lalu masyarakat percaya bahwa kepengurusan
Kasepuhan diwariskan secara turun temurun. Artinya jika orang tuanya menjadi tukang maka setelah orang tuanya meninggal anaknya harus menjadi tukang dan
mengabdi kepada Kasepuhan tanpa ada bayaran. Jika tidak mau maka akan terjai “kualat kabendon”. Namun sekarang telah berubah, bahkan konsep tukang telah
tergantikan dengan konsep pembantu yang diberi upah. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadinya perubahan kelembagaan dalam Masyarakat Kasepuhan.
Keempat, perlahan tapi pasti, pengetahuan modern termasuk program program yang dibuat pemerintah telah mengikis kekuasaan kelembagaan
Kasepuhan . Misalnya “Program Kampong Konservasi” yang dibentuk oleh
Taman Nasional tanpa melibatkan kelembagaan Kasepuhan telah membuat jarak antara Kasepuhan dan incu putunya. Beberapa incu putu mulai berani berbeda
pendapat dengan abah. Kelima, perubahan kelembagaan juga terlihat dalam penerapan konsep
“leuit” social security system ala Kasepuhan. Dalam kelembagaan Kasepuhan, ada konsep yang mengatur dukungan sosial untuk seluruh warganya, namun
sekarang telah terjadi pergeseran konsep.
Perubahan konsep dan sejumlah aturan kelembagaan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Sulitnya kehidupan akibat berkurangnya mata pencaharian
menyebabkan perubahan cara pandang masyarakat adat terhadap makna dukungan
Di Tahun 2010, masih dikenal adanya konsep “social security system” ala
Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat yang hasil panennya tidak cukup sampai pada tahun berikutnya dibolehkan mengambil padi dari “leuit” lumbung adat, dimana
dengan mengambil hari lahir istri atau suaminya, seorang istri boleh mengambil padi sebanyak ikatan pocongan yang diperkirakan cukup untuk memberi makan
keluarganya selama satu minggu. Misalnya kalau istrinya lahir pada hari selasa dan jumlah keluarga sebanyak 5 orang. Dalam satu minggu keluarga tersebut butuh 7 kg
beras atau katakanlah setara dengan 10 kg padi. Jika satu ikat padi beratnya 5kg, maka keluarga tersebut membutuhkan 2 ikat padi untuk makan keluarganya selama satu
minggu. Atas dasar perhitungan tersebut maka setiap hari Selasa, istrinya boleh mengambil sebanyak 2 ikat padi untuk kebutuhan keluarganya. Suatu hari apabila
keluarga tersebut memperoleh panen yang cukup, boleh membayarnya ke lumbung adat. Namun kondisi saat ini, pengambilan padi dari lumbung adat tersebut bermakna
“hutang” yang harus dibayar dikemudian hari, dan pengambilan hutang tersebut harus seizin abah.
197 sosial. Tidak ada dukungan yang sifatnya gratis diberikan oleh pihak Kasepuhan
terhadap incu putunya, begitupun sebaliknya tidak ada bakti yang gratis yang diperoleh abah dari incu putunya. Jika di masa lalu, sawah abah digarap bersama-
sama oleh seluruh warganya secara gratis. Sekarang sawah abah digarap oleh orang-orang yang bekerja di sawah dan dibayar berdasarkan standar upah di desa.
Kesulitan ekonomi akibat hilangnya akses terhadap hutan menyebabkan perubahan kelembagaan adat Kasepuhan. Sekarang ini, sistem dukungan sosial
bagi warga Kasepuhan tidak sepenuhnya berjalan atas dasar adat, namun unsur ekonomi mulai mempengaruhi. Kedudukan sebagai abah, tidak lagi menempatkan
abah dalam struktur sosial yang memberikan abah hak istimewa untuk memperoleh pelayanan apapun dari incu putu secara gratis. Berjalannya konsep
tukang saat ini sama seperti mekanisme seorang pegawai yang melayani abah dan adat Kasepuhan dengan sistem upah dan penggajian. Sekalipun Kasepuhan Sinar
Resmi mencoba mempertahakan adat Kasepuhan, namun menimbulkan konflik internal di kalangan para pengurus Kasepuhan.
Kebijakan yang dibuat oleh setiap Kasepuhan pun sudah mulai berbeda, misalnya pada Kasepuhan Cipta Gelar masih memberlakukan pelarangan
penggunaan pupuk kimia dalam hal pertanian. Pada Kasepuhan Abah Asep juga masih memberlakukan penggunaan pupuk organik untuk pertanian, namun apabila
ada warga yang ingin menggunakan pupuk kimia, Abah Asep tidak melarang. Pada Kasepuhan Cipta Mulya sudah menggunakan pupuk kimia. Dalam beberapa
hal, aturan-aturan adat Kasepuhan pada Kasepuhan Cipta Mulya sudah mulai mengendor. Hal ini terlihat dari cara berpakaian ketua adatnya, sikap ketua adat
dalam menerima tamu, maupun dari mekanisme kerja adat dalam keseharian. Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan yang mengacu pada kosmologi “sara,
nagara dan mokaha ” dimana mengajarkan Masyarakat Kasepuhan untuk
senantiasa ‘kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat jeung balarea’ harus mengacu kepada hukum, mendukung negara, mufakat dengan
orang banyak. Konsep tersebut merupakan pengakuan adat terhadap keberadaan dan kekuasaan negara. Namun fakta dilapangan dimana Masyarakat Kasepuhan
mulai melawan negara menunjukkan bahwa kelembagaan aturan kosmologi adat tersebut tidak lagi sepenuhnya dijalankan.
198 Ketika pengetahuan anggota masyarakatnya berubah maka dimungkinkan
terjadinya perubahan kelembagaan. Perubahan yang terjadi sekarang adalah masyarakat mulai ada yang menjual padi hasil pertaniannya. Hal ini menunjukkan
bahwa prinsip masyarakat tentang hidup bahwa saeutik mahi loba nyesa beras sedikit harus cukup, beras banyak akan bersisa, tidak sepenuhnya dijalankan oleh
seluruh Masyarakat Kasepuhan. Dalam hal tata kelola hutan, juga terjadi perubahan konsep. Sebelum tahun
2003, masyarakat hanya diperbolehkan mengambil kayu jenis tertentu pada hutan cawisan untuk kepentingan membangun rumah tidak untuk diperjual belikan.
Namun dari setiap kayu yang dipotong tersebut harus diganti dengan menanam 10-20 pohon. Apa
bila dilakukan pelanggaran, maka ada sangki adat “kualat” yang akan menghukum Masyarakat Kasepuhan. Namun setelah konflik dengan TNGHS
tahun 2003 , “kualat” pun dicabut oleh abah, sehingga tidak ada hukuman adat
yang bersumber dari roh nenek moyang apabila melanggar, melainkan menggunakan hukum TNGHS, yaitu
“penjara”. Beberapa perubahan pengetahuan tersebut menjadi bukti terjadinya proses
perubahan kelembagaan adat Kasepuhan. Perubahan tersebut menyangkut perubahan berbagai aturan, ada aturan-aturan lama yang tadinya dijalankan
dengan ketat, mulai longgar, misalnya aturan tentang pelarangan penggunaan pupuk kimia dan padi hibrida. Sekarang ini, aturan tersebut sudah berubah,
sekarang masyarakat dibolehkan untuk memilih dengan menggunakan pupuk kimia, atau penggunaan bibit padi hibrida yang panennya 2 dua kali setahun.
Perubahan juga menyangkut tata kelola tanah adat, sistem pengamanan pangan dalam konsep “leuit”, sampai pada perubahan aturan kepengikutan dengan
membuka peluang bagi orang luar untuk masuk menjadi incu putu. Misalnya abah akan memberikan restu atau doa dengan kekuatan spiritual terhadap calon kepala
daerah atau calon legislatif dengan syarat mereka harus diangkat dulu menjadi incu putu. Ikatan inilah yang akhirnya menjadi akses bagi abah untuk
mempengaruhi kebijakan diranah politik lokal pemerintah daerah dan mendapat berbagai dukungan dari elit di tingkat nasional.
Perubahan kelembagaan yang terjadi tersebut merupakan suatu proses adaptasi kelembagaan yang merupakan respon atas konflik sumberdaya hutan
199 dengan negara. Ketika keadaan menjadi sangat sulit dan masyarakat kehilangan
akses karena adanya kelembagan negara dalam pengaturan hutan, kelembagaan Kasepuhan tidak menjadi hancur melainkan dia mempunyai kelentingan yang
tinggi dan mulai mencari jalan keluar dengan mengembangkan web of powernya pada politik lokal, dengan cara mencari dukungan dari pemerintah daerah atau
bahkan mulai menjalin hubungan dengan para elit politik nasional. Pada Masyarakat Kasepuhan, konflik dengan negara tersebut direspon
dengan terjadinya perubahan kelembagaan Kasepuhan. Perubahan tersebut merupakan suatu proses adaptasi kelembagaan yang mulai menyesuaikan dengan
keadaan. Perubahan kelembagaan Kasepuhan menunjukkan adanya dinamika kelembagaan yang bersifat intrusif, sejalan dengan tradisi pertanian Masyarakat
Kasepuhan yang bersifat survival agriculture atau land-to-mouth agriculture. Perkembangan kelembagaan adat Kasepuhan pun berjalan ke arah social
survivability yang mendukung tujuan dan kegiatan produktif masyarakat petani, dengan penguatan pada ability lembaga Kasepuhan dalam jejaring politik lokal
dan mulai merambah untuk membuka jaringan dengan elit-elit politik tingkat nasional.
Dalam kasus Sungai Utik, masuknya pengetahuan modern yang dibawa oleh LSM telah membuat sejumlah perubahan. Kegiatan pertanian yang dilandasi oleh
norma-norma budaya dan agama telah meningkatkan kohesi sosial di lingkungan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik sehingga upaya diseminasi inovasi dapat
dilaksanakan secara lebih lancar. Dalam perjalanan konflik dan seiring modernisasi yang dialami oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, kelembagaan
Sungai Utik pun mengalami perubahan. Perubahan yang paling mencolok adalah dalam tata cara adat “gawai” dimana unsur agama mulai dimasukkan sebagai
bagian dari upacara. Masuknya agama Katolik dalam adat Dayak Iban telah merubah kelembagaan adat Dayak Iban. Hal ini terlihat dari susunan acara
‘gawai” dimana sebagian upacara mulai dilaksanakan di Gereja. Perubahan lain yang juga cukup sinifikan adalah dibukukannya “hukum adat Dayak Iban
Ketemenggungan Jalai Lintang yang disepakati bersama ketemenggungan Dayak Embaloh”, dengan mengkonversi hukuman atau denda adat ke dalam bentuk
rupiah.
200 Masuknya agama Katolik, telah mengikis nilai budaya Dayak digantikan
dengan nilai-nilai Agama. Peran Ape janggut selaku tuai rumah juga perlahan mulai tergeser bukan lagi sebagai pemimpin yang dominan apalagi dalam
konsepnya Dayak Iban lebih mengutamakan suara pendapat umum orang banyak yang dilandaskan pada musyawarah dan mufakat. Terlebih lagi sekarang
ini posisi Ape Janggut adalah posisi minoritas. Dari 28 pintu yang ada di rumah panjang, hanya tinggal 3 pintu yang belum masuk agama Katolik. Ape Janggut
akan menjadi orang terakhir yang masuk ke dalam agama Katolik, istilah mereka adalah tutup pintu. Jika semuanya sudah menjadi Katolik termasuk Ape Janggut,
maka akhir dari tradisi nilai-nilai budaya Dayak Iban digantikan dengan nilai budaya baru agama Katolik. Selama Ape Janggut masih beragama nenek moyang,
maka selama itu pula tradisi masih dijalankan. Kelembagaan dalam arti aturan-aturan yang berkenaan dengan pengelolaan
hutan
Sungai Utik,
sampai saat ini belum terjadi perubahan, hanya saja kekhawatiran akan berubahnya kelembagaan tata kelola hutan mulai dikeluhkan
oleh Ape janggut selaku tuai rumah. Sebagaimana yang dikatakan Ape janggut, bahwa
“Sekarang ini, pemuda Sungai Utik sudah mulai mempunyai kebiasaan baru yaitu minum tuak setiap malam. Ape khawatir itu akan membuat mereka
menjadi malas bekerja, kehilangan mata pencaharian dan tidak lagi mau bekerja sebagai petani. Kalau itu terjadi, ada kemungkinan hutan kami akan terancam di
masa depan. Jika pandangan masyarakat berubah karena kebutuhan akan uang yang mendesak, bisa-bisa di masa depan mereka akan tergoda untuk mengambil
kayu dari hutan”. Kekhawatiran Ape Janggut tersebut cukup beralasan. Belum lagi tuntutan masyarakat saat ini terhadap negara adalah mendapatkan pengakuan
sebagai hutan adat dan mendapatkan hutan sebagai hak kelola adat. Kekhawatiran Ape Janggut lebih kepada bagaimana Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik di
masa depan akan mengelola hutan tersebut. Dalam hal pengetahuan tata kelola hutan sudah terjadi perubahan
pengetahuan. Masyarakat memahami hutan sudah bukan lagi sebagai sumber kehidupan yang merupakan pewarisan dari nenek moyang secara turun temurun
tapi sudah mulai melihat hutan dari aspek global. Masyarakat sudah mulai menyadari apa yang mereka lakukan untuk hutan tersebut juga memiliki pengaruh
201 global terhadap penyerapan karbon. Bahkan sekarang beberapa masyarakat sudah
mulai bicara tentang REDD, perdagangan karbon bahkan mulai berpikir tentang sebagai langkah perjuangan untuk memperoleh keuntungan atas hutan.
Fenomena yang terjadi pada Masyarakat Dayak Iban ini menunjukkan bahwa tingkat kohesi sosial dan social interplay pada Masyarakat Dayak Iban
sangat tinggi. Kohesi sosial dan social interplay hubungan sosial merupakan dua diantara beragam elemen tatanan sosial yang memiliki pengaruh dalam memilih
strategi pendekatan kelembagaan. Kelompok masyarakat yang memiliki daya ikat sosial tinggi pada umumnya membuka kesempatan besar bagi anggotanya untuk
melakukan kontak dan hubungan sosial. Akibat kontak sosial yang tinggi dengan pengaruh luar secara langsung dengan anggota masyarakat menyebabkan
perubahan pengetahuan terjadi dengan cepat. Dinamika kelembagaan pun berjalan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakatnya.
Kompleksitas interaksi biofisik, teknologi dan budaya lokal di dua komunitas Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik telah menghasilkan pola-
pola fenomenal dan spesifik adat dan lokasi. Kelembagaan Kasepuhan berkembang ke arah peningkatan kemampuan di ranah politik, sedangkan
kelembagaan Masyarakat Dayak Iban berkembang dengan cepat ke arah peningkatan ekonomi rakyat, namun masih bersifat substantif, karena belum
sepenuhnya berorientasi komersial, walaupun sudah mulai mempertimbangkan pasar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa telah terjadi dinamika
kelembagaan masyarakat Adat sebagai respon adaptasi atas perubahan kelembagaan negara dalam tata kelola hutan di kawasannya dan konflik perebutan
penguasaan sumberdaya hutan.