Penyebab dan Bentuk Konflik
118 termasuk perusakan alat-alat berat dari lokasi yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap pengusaha. Namun setelah pengusaha terusir dari lokasi konflikpun mereda, berubah menjadi konflik laten di ruang wacana.
5.1.a. Kasus Konflik TNGHS: Kebijakan Negara Tentang Pelestarian Hutan Setelah merdeka, Negara Kesatuan Republik Indonesia mengeluarkan
kebijakan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak di tahun 2003 berdasarkan SK Menteri Kehutanan
No.175Kpts-II2003. Taman Nasional Gunung Halimun bergabung dengan kawasan Gunung Salak di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak seluas 113.357 hektar ha. Penggabungan kedua kawasan ini mencakup pula beberapa kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang sebelumnya
dikelola oleh Perum Perhutani. Dampak dari penggabungan hutan tersebut menyebabkan masyarakat
kehilangan akses dan berbagai macam haknya. Jika mengacu pada teori property right dari ostrom dan schlager 1990, dapat dibedakan hak yang dimiliki oleh
masyarakat sebelum dan sesudah tahun 2003, sebagai berikut: Tabel 9. Hak Masyarakat Kasepuhan Sebelum dan Sesudah Tahun 2003
Tipe hak right Sebelum tahun 2003
Sesudah tahun 2003 Access right
Ya Tidak ya tapi terbatas
Withdrawal right Ya
Tidak Management right
Ya Tidak
Exclusion right Ya
Tidak Alienation diversion right
Tidak Tidak
Sejak tahun 2003, masyarakat mulai kehilangan berbagai macam hak, hak untuk mengelola hutan berdasarkan konsep mereka, hak untuk memanfaatkan
hasil hutan, bahkan terlarang untuk memotong pohon yang pernah mereka tanam di lahan pekarangan mereka sendiri. Satu-satunya hak yang masih ada adalah hak
akses untuk memasuki kawasan hutan karena beberapa masyarakat terlanjur bermukim di lokasi tersebut. Dalam kontek ini, kondisi Masyarakat Kasepuhan
menunjukkan bahwa mereka kehilangan berbagai macam hak, walaupun masih ada akses untuk memasuki kawasan tapi sifatnya sangat terbatas. Ketiadaan hak
property right membuat akses juga terbatas. Konflik menjadi tidak terhindarkan manakala kebijakan perluasan TNGHS tersebut menyebabkan Masyarakat
119 Kasepuhan kehilangan akses terhadap hutan, bahkan masyarakat kehilangan lahan
garapan mereka yang berada di dalam kawasan hutan taman nasional. Mereka dilarang untuk mengerjakan lahan pertanian yang sudah lama dimiliki, padahal
hutan merupakan sumber livelihood masyarakat tersebut. Kebijakan perluasan TNGHS dikeluarkan atas pertimbangan adanya
kerusakan lingkungan di kawasan tersebut. Selama tahun 1998-2001, hutan alam berkurang 25 atau penurunan sebesar 22 ribu hektar. Penurunan ini diikuti
dengan peningkatan semak-semak, ladang dan lahan matang. Namun ternyata hilangnya hak akses masyarakat terhadap pengelolaan kawasan hutan, tidak serta
merta memperbaiki kerusakan hutan, bahkan masih terjadi penurunan tutupan lahan setelah tahun 2003 di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
disertai terjadinya peningkatan pada kawasan ladang, kebun campuran, semak- semak termasuk lahan terbangun.
Pada tahun 2004-2007 terjadi penurunan tutupan hutan sebesar 2163,65 ha dan penurunan tutupan semak yang cukup besar yaitu dari 16.386 ha menjadi
7.875,27 ha atau sebesar 8.510,73 ha. Penurunan tutupan hutan dan semak ini diikuti oleh kenaikan pada tutupan kebun campuran seluas 4275,83 ha, tutupan
ladang sebesar 2.293 ha, tutupan lahan kosong sebesar 2737 ha dan tutupan lahan terbangun seluas 1970 ha. Selama periode tahun 2007-2008, luas hutan alam di
kawasan TNGHS hanya sedikit mengalami penurunan, yaitu sebesar 0,06 atau berkurang sebesar 136,44 ha. Namun terjadi kenaikan yang signifikan untuk luas
kebun teh sebesar 1,4. Kenaikan ini diikuti dengan penurunan luas kebun campuran sebesar 1,5 dan lahan kosong sebesar 1,32. Selain itu, luas lahan
terbangun juga mengalami kenaikan sebesar 0,41. Lebih jelasnya lihat gambar berikut:
120 Grafik 1. Kondisi Hutan Selama Tahun 1989-2008 Sumber: BTNGHS, 2010
Masyarakat Kasepuhan tidak dapat menerima begitu saja kebijakan negara tentang perluasan taman nasional. Kebijakan negara tersebut telah menghilangkan
hak akses masyarakat terhadap hutan, termasuk hilangnya akses pada lahan garapan yang menjadi sumber livelihood mereka. Kondisi-kondisi tersebut
menyebabkan tumbuhnya kesadaran akan kepentingan tujuan bersama di antara Masyarakat Kasepuhan kelompok kuasi dalam istilah Dahrendorf. Masyarakat
Kasepuhan yang tadinya merupakan kelompok kuasi bergeser menjadi kelompok konflik yang sesungguhnya. Konflik antara Masyarakat Kasepuhan dan negara
BTNGHS pun menjadi tidak terhindarkan. Salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan Masyarakat Kasepuhan
adalah tidak mengindahkannya perintah negara untuk penghentian aktivitas di dalam kawasan TNGHS. Rahmawati et al. 2008 menyebutkan bahwa penolakan
masyarakat terhadap perluasan TNGHS pada awalnya melahirkan tindakan anarkis berupa pengrusakan beberapa fasilitas di TNGHS oleh masyarakat yang
terjadi pada tahun 2003. Camat Cisolok kemudian memfasilitasi penyelesaian konflik tersebut dengan memediasi pertemuan antara masyarakat dengan pihak
pengelola kawasan BTNGHS. Hasil penting dari pertemuan tersebut adalah penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan yang berjanji
akan merevisi peta kawasan. Meskipun sudah dicapai kesepakatan untuk meninjau ulang peta kawasan namun kesepakatan itu tidak dilaksanakan oleh pihak
pengelola kawasan. Kegagalan negosiasi yang difasilitasi oleh camat tersebut semakin memojokkan kondisi Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat berusaha
melawan dengan tidak mengindahkan larangan untuk melakukan aktivitas di
0.00 10,000.00
20,000.00 30,000.00
40,000.00 50,000.00
60,000.00 70,000.00
80,000.00 90,000.00
1989 1990
1991 1992
1993 1994
1995 1997
1998 2001
2003 2004
2007 2008
TAHUN
L U
A S
T U
T U
PA N
H A
Hutan Hutan tanaman
Kebun campuran Kebun karet
Kebun teh Semak
Rumput Sawah
Ladang Lahan kosong
Lahan terbangun Badan air
121 dalam kawasan. Kondisi ini kemudian melahirkan bentrokan antara masyarakat
dengan pihak BTNGHS pada tahun 2005. Konflik ini bermula dari penangkapan terhadap warga yang mengambil kayu di dalam kawasan oleh pihak BTNGHS.
Alasan penangkapan adalah warga tersebut tidak memiliki surat izin tebang SIT, sedangkan menurut warga, mereka menebang pohon yang dulu mereka tanam
sendiri. Konflik ini akhirnya dapat diselesaikan oleh Kepala Desa Sirna Resmi, namun warga yang menebang pohon di kawasan tersebut tetap dipenjara.
Dengan melihat kasus di atas menunjukkan bahwa konflik terjadi karena ada pemaknaan yang berbeda atas sumberdaya hutan antara negara dan masyarakat
adat. Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 24, bahwa pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali
pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Menurut UU tersebut bahwa pemanfaatan hutan tidak dapat dilakukan pada
kawasan taman nasional khsusnya zona inti dan zona rimba. Sementara dalam konsep Masyarakat Kasepuhan, bahwa dalam pengelolaan hutan memberi ruang
bagi masyarakat adat untuk melakukan aktivitas pengelolaan lahan garapan sebagai sumber livelihood mereka. Perbedaan pemaknaan terhadap hutan tersebut
membuat terjadinya perbedaan perlakuan terhadap hutan. Hal tersebut menjadi masalah ketika ada tumpang tindih klaim atas kawasan tersebut.
Dari beberapa fakta konflik di kawasan TNGHS, diketahui bahwa kekalahan masyarakat dalam beberapa kejadian tersebut menunjukkan bahwa posisi
Masyarakat Kasepuhan sebagai pihak yang tersubordinasi sementara negara pusat BTNGHS sebagai pihak yang superordinat. Melalui kebijakan perluasan taman
nasional atas nama pelestarian lingkungan inilah negara menguasai menundukkan Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat dipaksa untuk menerima
kebijakan negara atas alasan keselamatan lingkungan biodiversity. Sekarang ini, konflik di TNGHS
memasuki babak “konflik laten” di ruang wacana, dimana proses negosiasi sedang dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang dapat
memberikan keputusan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Hanya saja konsensus tersebut belum dicapai.
122
5.1.b. Kasus Konflik Hutan Sungai Utik: Kebijakan Negara tentang Pemanfaatan Hutan
Konflik di Sungai Utik melibatkan banyak pihak. Ada konflik antara negara pemerintah pusat dengan masyarakat adat, konflik ini terjadi karena adanya
kebijakan negara dalam pemanfaatan kawasan hutan. Negara dengan kebijakannya telah memberikan izin IUPHHK kepada pengusaha untuk
memanfaatkan hutan. Konflik terjadi karena kebijakan negara tentang IUPHHK tersebut telah mengabaikan status kepemilikan hutan adat yang diklaim oleh
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Tahun 1984 pertama kalinya negara menerbitkan IUPHHK pada kawasan
Sungai Utik. Dalam konflik antara Masyarakat Dayak Iban dan negara, ada masa- masa dimana konflik sangat memanas menjadi konflik terbuka, tetapi ada masa-
masa dimana konflik tidak kentara seakan-akan tidak pernah ada konflik. Konflik pada Masyarakat Dayak Iban datang dan timbul, memanas kemudian mengalami
fase dingin seperti virus dorman yang tidur menunggu waktu yang tepat untuk bangun, suatu hari kembali bangun dan memanas. Sebagai bukti, tahun 1984
negara mengeluarkan IUPHHK untuk PT. BI, masyarakat melawan kebijakan negara tersebut dengan cara memerangi perusahaan yang datang ke lokasi. Negara
dan perusahaan pergi dari lokasi, suasana kembali tenang, tidak ada aktivitas perusahaan di lokasi tetapi izin tidak pernah dicabut.
Konflik kembali muncul ketika di tahun 1997 negara mengeluarkan kembali IUPHHK untuk PT. BRU. Akibat dari aksi negara tersebut, PT. BRU sempat
beroperasi selama 1 satu tahun di kawasan Mungguk. Konflik terbuka antara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan PT. BRU terjadi pada tahun 1997-1998,
dipicu ketika PT. BRU yang telah habis masa rencana kerja tahunan RKT masih melakukan pencurian kayu menurut versi Masyarakat Dayak Iban di wilayah
Sungai Utik dan di luar areal RKT kawasan hutan Dusun Mungguk. Pihak perusahaan menutup jalan-jalan menuju areal yang ditebang sehingga aktivitas
penebangan tersebut tidak diketahui oleh Departemen Kehutanan dan masyarakat adat. Saat mengetahui hal itu, Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan
Masyarakat Mungguk memeriksa areal penebangan, lalu melapor ke Dinas Kehutanan. Masyarakat dari Kampung Sungai Utik dan Mungguk melakukan
123 tuntutan ganti kerugian. Perusahaan memenuhi tuntutan dengan 1 mesin listrik 0,5
KVA serta pemberian fee kepada tokoh-tokoh kampung sesuai dengan jabatannya. Temenggung dan Kepala Desa memperoleh Rp. 25.000bulan,
sedangkan Kepala Dusun memperoleh Rp. 15.000bulan selama perusahaan bekerja berlaku surut. Setelah Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan
Masyarakat Mungguk serta Ketemenggungan Jalai Lintang berhasil mengusir PT. BRU, menyita alat-alat berat dan menghukum denda PT. BRU, konflik ditingkat
grassrootpun mereda. Sementara, kerugian yang dialami masyarakat adalah kehilangan kayu mencapai 20.000 batang terdiri dari; Meranti, Jelutung,
Merebang, Sempetir, Bantas dan Temau. Konflik muncul kembali di tahun 2004 ketika negara menerbitkan IUPHHK
bagi PT. BRW berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 268Menhut-II2004 jangka waktu 45 tahun pola tebang pilih tanam Indonesia TPTI dengan luas
areal 110.500 ha. Menanggapi keputusan negara masyarakatpun tidak tinggal diam, mengusir PT. BRW dari lokasi, menyita alat-alat berat milik PT. BRW dan
menjaga kawasan hutan sehingga PT. BRW tidak pernah aktif untuk menjalankan izin usahanya.
Dalam perjuangannya mempertahankan hak penguasaan atas kawasan Hutan Sungai Utik, Masyarakat Dayak Iban menggunakan kekuatan fisik untuk
mengusir pengusaha dan mempertahankan otoritasnya atas pengelolaan kawasan Hutan Sungai Utik. Dalam konflik fisik tersebut masyarakat berhasil mengusir
pengusaha dari lokasi kawasan hutan. Sementara negara selaku pemegang legalitas atas kawasan hutan tersebut juga tidak melakukan usaha represif untuk
menunjukkan kekuasaannya, namun negara juga tidak pernah mencabut IUPHHKnya. Kekuasaan negara seakan-akan tidur, potensi konflik melemah,
masyarakat dibiarkan mendapatkan hak akses atas hutannya, namun tidak pernah ada pengakuan dari negara atas hak kelola adat, izin IUPHHK juga tidak dicabut.
Konflik memasuki babak baru sebagai konflik laten di ruang wacana. Jika melihat kasus Sungai Utik, maka sekalipun secara formal Masyarakat
Dayak Iban Sungai Utik tidak memiliki property right menurut konsep negara, namun mereka memiliki akses terhadap kawasan tersebut termasuk mempunyai
semua hak: akses, withdrawal, management, exclusion dan hak alienasi. Sebelum
124 maupun sesudah terbitnya kebijakan negara, baik kebijakan pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah terhadap kawasan tersebut, Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tetap memiliki hak dan akses yang sama.
Sekalipun dalam prakteknya mereka memiliki akses terhadap sumberdaya hutan, artinya mereka mempunyai kemampan untuk mengambil keuntungan dari
sumberdaya Hutan Sungai Utik, ketiadaan pengakuan negara atas hak masyarakat tersebut tidak membuat masyarakat hidup tenang. Masyarakat masih diliputi
kecemasan, apalagi izin IUPHHK untuk PT. BRW belum dicabut sampai saat ini, bahkan jikapun suatu hari dicabut, masyarakat tetap belum bisa hidup tenang,
karena ada ketakutan di kalangan masyarakat bahwa negara akan kembali menerbitkan izin IUPHHK untuk perusahaan lain.
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh tuai rumah tersebut, maka sekalipun menurut Ribot dan Peluso 2003 akses membuat masyarakat dapat
memperoleh manfaat atas sesuatu dalam hal ini sumberdaya, namun tanpa ada hak property, maka akses itu tidak memberikan ketenangan hidup. Apa yang
diperjuangakan oleh Masyarakat Dayak Iban adalah hak right, bukan hanya akses. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa right itu lebih penting daripada
akses, karena right dapat menjamin kelangsungan akses. Sejarah membuktikan konflik selalu berulang menjadi konflik terbuka,
kemudian padam, menjadi konflik laten sampai suasana menjadi dingin dan terlupakan, pada saat itulah kembali negara mengeluarkan kebijakannya, konflik
berulang dan seterusnya. Konflik mereda namun bersifat laten, seperti orang yang sedang tidur, namun suatu ketika konflik akan muncul kembali. Jika mengacu
pada apa yang dikemukakan oleh Dahrendorf, bahwa konflik pada kawasan Sungai Utik ini merupakan konflik otoritas, dimana polarisasi yang terus menerus
Seperti yang dikemukakan oleh Apai janggut Tuai Rumah Sungai Utik: “Sekalipun suatu hari izin tersebut dicabut, namun dikawatirkan pemerintah pusat akan
selalu mengeluarkan izin baru bagi perusahaan baru. Buktinya waktu tahun 1984 pemerintah mengeluarkan izin untuk PT BI, kemudian kami mengusirnya, PT BI keluar
dari lokasi, kemudian setelah sekian lama izinnya dicabut tapi di tahun 1997 pemerintah mengeluarkan izin untuk PT BRU, dan di tahun 2004, pemerintah mengeluarkan izin
lagi buat PT BRW. Selama hutan ini belum diakui sebagai hutan adat, maka selama itu pula percobaan untuk mengambil alih hutan oleh negara akan selalu dilakukan. Oleh
karena itu tuntutan kami adalah mendapat pengakuan sebagai hutan adat”
125 ke dalam dua kelompok kepentingan untuk perebutan otoritas atas penguasaan
sumberdaya Hutan Sungai Utik menjadi sebuah realitas sosial yang menandai siklus konflik otoritas di Hutan Sungai Utik.
Dalam vis a vis dengan negara, negara memegang otoritas secara formal, sementara masyarakat mempunyai otoritas kewenangan tradisional. Masyarakat
sebetulnya tidak punya otoritas dan berjuang untuk memperoleh otoritas. Dalam perjuangan untuk mendapatkan otoritas pengelolaan sumberdaya hutan ini,
masyarakat bisa dikatakan menang sementara karena tetap memegang otoritas mengelola secara adat, meskipun secara formal belum menang karena belum ada
pengakuan formal. Konflik sumberdaya hutan di Kalimantan Barat tersebut masih akan terus
berlangsung, mengingat Hutan Kalimantan Barat masih menjadi incaran sebagai pendapatan negara disektor kehutanan. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia Nomor: SK.266Menhut-II2012 tentang Penetapan Daerah Penghasil dan Dasar Penghitungan Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam Sektor
Kehutanan Untuk Tahun 2012 disebutkan bahwa daerah penghasil sumberdaya alam sektor kehutanan ditetapkan kembali berdasarkan rencana produksi hasil
hutan di daerah yang bersangkutan dengan perhitungan penerimaan provisi sumberdaya hutan PSDH, dana reboisasi DR, dan iuran izin usaha
pemanfaatan hutan IIUPH tahun 2012. Selanjutnya disebutkan penghitungan penerimaan daerah penghasil sumberdaya alam sektor kehutanan adalah: a.
Perkiraan penerimaan PSDH, dihitung dari target produksi hasil hutan kayu dan bukan kayu dikalikan tarif PSDH yang berlaku dikalikan harga patokan. b.
Perkiraan penerimaan DR, dihitung dari target produksi hasil hutan kayu dikalikan tarif DR yang berlaku. c. Efektivitas penerimaan PSDH dan DR diasumsikan
sebesar 95 sembilan puluh lima perseratus. Penyaluran dana bagi hasil bagi daerah penghasil sumberdaya alam sektor kehutanan berdasarkan realisasi setoran
penerimaan PSDH dan DR dari masing-masing daerah penghasil ke pemerintah u.p. Kementerian Kehutanan yang selanjutnya disetor ke kas negara. Dalam
lampiran Keputusan tersebut diperoleh angka target pendapatan untuk Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, bahwa pendapatan dari PSDH sebesar
Rp. 9.113.156.058,13; pendapatan dari DR sebesar Rp. 19.976.713.178,52 dan
126 pendapatan dari IIUPH sebesar Rp. 1.176.350.000,00. Keberadaan SK Menteri
Kehutanan tersebut memberi makna bahwa konflik sumberdaya hutan di Kalimantan Barat masih akan terjadi dan terus berlangsung, menempatkan
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dalam kondisi cemas sebagai kelompok konflik yang subordinat.
Ancaman lain atas keberadaan Hutan Sungai Utik ini, yaitu diterbitkannya izin usaha perkebunan IUP. IUP tersebut diterbitkan untuk PT. MKA, PT.
BSA, PT. RU, PT. BTJ dalam jangka waktu 20 tahun yang lokasinya tumpang tindih dengan IUPHHK PT. BRW. Penerbitan izin usaha perkebunan IUP PT.
RU untuk perkebunan karet dengan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 tentang Izin Lokasi Untuk Perkebunan Karet Seluas 14.000 Ha di Kecamatan
Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, telah dirubah peruntukannya menjadi sawit dengan Surat Bupati Nomor 525032DKHBpt-A tentang
Persetujuan IUP Perubahan Dari Karet Menjadi Kelapa Sawit, tertanggal 10 januari 2011.
PT. RU telah melakukan analisa dampak lingkungan amdal dan mencoba sosialisasi pada Masyarakat Embaloh Hulu, namun masyarakat menolak sawit.
Perjuangan penolakan sawit ini masih terus dilakukan. Sungai Utik kemungkinan dikeluarkan dari sasaran sebagai lokasi perkebunan sawit karena memiliki
sertifikat ekolabel dari lembaga ekolabel Indonesia dengan nomor certificate 08SCBFM005 yang diberikan untuk pengelolaan hutan oleh rumah panjae
Menua Sungai Utik forest management unit of rumah panjae Menua Sungai Utik
, dalam lingkup “Sustainable Community Based Forest Management SCBFM unit with an area of 9.453,40 hectares
”; dan termasuk desa yang mendapat penghargaan sebagai “Desa Perduli Hutan”, walaupun sebenarnya
secara kebijakan, Hutan Sungai Utik masuk dalam peta kawasan IUP tersebut. Dari fakta di atas terlihat bahwa konflik di Sungai Utik melibatkan banyak
pihak, yaitu: negara pusat pemerintah pusat Departemen Kehutanan, Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, negara lokal pemerintah daerah, pengusaha
yang berafiliasi dengan pemerintah pusat dan pengusaha yang berafiliasi dengan pemerintah daerah. Selain itu, diluar lingkaran konflik ada LSM yang membantu
Masyarakat Dayak Iban dalam menghadapi negara, memperjuangkan kepentingan
127 dan hak masyarakat. Konflik sumberdaya hutan tersebut terjadi karena perbedaan
pemaknaan terhadap hutan dan tumpang tindih kebijakan dan klaim penguasaan atas kawasan hutan.
5.2. Jenis Konflik: Pemaknaan, Tenurial, Authority dan Livelihood 5.2.a. Konflik Pemaknaan
Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik dapat dipahami sebagai konflik pemaknaan. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan
pandangan terhadap fungsi hutan antara masyarakat adat dan negara. Perbedaan pemaknaan tersebut dilatar-belakangi adanya perbedaan pengetahuan tentang tata
kelola hutan, relasi manusia dengan alam hutan dan bagaimana manusia memperlakukan alam, baik dalam hal pengelolaan maupun pemanfatan hutan.
Pengetahuan masyarakat adat, baik Masyarakat Kasepuhan maupun Dayak Iban Sungai Utik bersumber dari tradisi budaya berdasarkan aspek historis yang
diturunkan secara turun temurun berbenturan dengan konsep pengetahuan ilmiah negara yang mendasari kebijakan negara dalam pengelolaan hutan.
Masyarakat Kasepuhan memaknai hutan sebagai tempat hidup berbagai makhluk hidup, bukan hanya manusia, tetapi juga ada banyak binatang, tumbuhan
dan tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Hutan bagi Masyarakat Kasepuhan memiliki fungsi dan makna yang sangat berarti bagi seluruh makhluk
hidup. Keberadaanya harus dapat menjamin keteraturan dan keseimbangan kehidupan seluruh makhluk hidup. Pemaknaan tersebut ditopang dengan adanya
sejumlah aturan untuk tidak menggunakan zat-zat kimia yang dapat membunuh keberadaan makhluk lain binatang, sekalipun binatang tersebut merupakan hama
perusak bagi tanaman mereka. Oleh karena itu dalam konsep Masyarakat Kasepuhan, manusia memiliki kewajiban untuk memelihara dan melestarikan
hutan. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kusnaka Adimiharja 1989, bahwa di kalangan warga Kasepuhan, terdapat pandangan bahwa alam semesta itu
sebagai suatu sistem yang teratur dan seimbang. Alam semesta akan tetap ada selama elemen-elemennya masih terlihat dan terkontrol oleh hukum keteraturan
dan keseimbangan yang dikendalikan oleh pusat kosmiknya. Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memandang hutan memiliki banyak
makna sesuai fungsi dari hutan tersebut. Makna dari hutan tersebut diwujudkan
128 dalam bentuk pemaknaan tempat didalam hutan sesuai dengan fungsinya.
Masyarakat Dayak Iban memandang hutan sebagai sebuah kawasan yang tidak hanya terdiri dari vegetasi tumbuhan kayu melainkan juga hutan memiliki fungsi
sebagai sumber air, sumber makanan dan tempat dimana mereka dapat bertapa untuk mendekatkan diri pada “betara” sang penguasa hutan dan alam semesta.
Selanjutnya hutan bagi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik adalah kekayaan masyarakat. Hutan Sungai Utik merupakan hutan primer yang masih banyak
kayu-kayu berdiameter besar, bukan hanya di hutan simpan, kayu-kayu dengan diameter lebih dari satu meter juga terdapat di lahan garapan masyarakat. Hutan
ini nantinya akan diwariskan kepada anak-cucu Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, sebagaimana dikemukakan oleh Ape Janggut bahwa:
“Meskipun tidak mempunyai harta materi yang banyak, tapi kami akan mewariskan hijaunya hutan
kepada anak cucu nantinya. Kami mempertahankan hutan karena kami tidak ingin kelak anak-cucu kami tidak tahu apa-
apa”. Dalam sistem pengelolaan kawasan, baik Masyarakat Kasepuhan maupun
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki pengetahuan, nilai-nilai budaya dan tradisi yang khas yang selama bertahun-tahun secara turun temurun telah
digunakan untuk mengatur dan mengelola kawasan hutan berdasarkan pengetahuan lokal indigenous knowledge tentang tata kelola hutan yang mereka
bagi dalam beberapa zona. Masyarakat Kasepuhan membaginya dalam 4 wewengkon, yaitu: leuweung titipan, leuweung tutupan, leuweung cawisan dan
leuweung garapan. Sedangkan Masyarakat Dayak Iban membaginya dalam tiga kampong yaitu kampong taroh, kampong galao, dan kampong endor kerja. Sistem
pengelolaan tersebut berdasarkan atas fungsi dari masing-masing kawasan, sebagai wilayah lindung keramat; bertani ladang; berkebun, dan berdasarkan
pada peruntukan yaitu berburu, meramu dan mengambil manfaat tanaman obat- obatan. Tata kelola hutan dalam konsep masyarakat adat tersebut bukan hanya
sekedar konsep zonasi, namun merupakan sistem pengetahuan karena basis dari pengetahuan masyarakat tersebut adalah sejarah.
Adapun pemaknaan hutan menurut negara dipengaruhi oleh sistem pengetahuan negara yang bersumber dari pengetahuan ilmiah scientific
knowledge. Peraturan perundang-undangan adalah wujud dari pengetahuan