Kedalaman Konflik Kebrutalan Konflik

149 Matrik 7. Kedalaman Konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik TNGHS Sungai Utik Derajat kedalaman Lempar isu Bersitegang Memenjarakan Pencabutan kualat Lempar isu; pengrusakan alat-alat milik perusahaan Pengusiran perusahaan dari lokasi kawasan hutan Pemberlakuan hukum adat, mendenda Menteri Kehutanan Puncak konflik Tahun 2003 terjadi pengrusakan fasilitas TNGHS Tahun 2005 negara memenjarakan masyarakat yang menebang kayu di lahan garapannya sendiri Tahun 1984 konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BI, terjadi pengusiran dan penyitaan alat berat milik PT. BI oleh masyarakat Tahun 1997, konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRU. Pengusiran dan penyitaan alat berat dari lokasi termsuk menghukum denda PT. BRU oleh masyarakat adat. Tahun 2004, konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRW. Pengusiran PT. BRW Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik menghukum adat Menteri Kehutanan, mensandera asisten Menteri Kehutanan dan menghukum denda. Hukum adat dibatalkan ketika Menteri Kehutanan memenuhi janjinya untuk datang ke rumah panjae Sungai Utik. Pada kasus TNGHS, kedalaman konflik terjadi di tahun 2003, pertama kalinya masyarakat bereaksi atas pelarangan aktivitas karena diberlakukannya “konsep taman nasional”. Protes masyarakat terhadap BTNGHS ini sampai pada pengrusakan fasilitas taman nasional. Selanjutnya konflik mencapai puncaknya ketika ada 5 lima orang Masyarakat Kasepuhan yang dipenjara. Hal tersebut terjadi ketika masyarakat tersebut mengambil kayu di lahan garapannya sendiri yang kebetulan kawasan tersebut masuk kedalam kawasan taman nasional. Masyarakat menganggap bahwa kayu-kayu tersebut merupakan kayu hasil tanaman yang ditanamnya sendiri di lahan kebun garapan miliknya. Namun karena lahan garapan tersebut berada pada kawasan taman nasional, maka ketika masyarakat mengambil hasil hutan kayu, maka dianggap sebagai pelanggaran ketentuan pencurian kayu, dan harus berurusan dengan ranah hukum. Dalam keadaan seperti ini, konflik mencapai ketegangannya dimana masyarakat adat tidak dapat menerima kalau warganya dihukum. Dalam kasus Sungai Utik, kedalaman konflik ditunjukkan oleh beberapa kejadian, antara lain: 1. Tahun 1984, ketika negara Menteri Kehutanan mengeluarkan IUPHHK untuk PT BI, masyarakat melawan dan mengusir PT. BI dari lokasi. 150 2. Tahun 1997, ketika PT. BRU yang telah habis masa rencana kerja tahunan RKT masih melakukan pencurian kayu di wilayah Sungai Utik dan di luar areal RKT. Masyarakat dari Kampung Sungai Utik dan Mungguk melakukan tuntutan ganti kerugian. Konflik mereda setelah perusahaan memenuhi tuntutan ganti rugi masyarakat dan pergi dari lokasi. 3. Tahun 2004, konflik terjadi lagi ketika pemerintah pusat menerbitkan IUPHHK untuk PT. BRW. Masyarakat mengusir PT. BRW dari lokasi. Sejak kebijakan tersebut dikeluarkan, PT. BRW belum pernah beroperasi. 4. Konflik antara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRW terjadi kembali pada saat ada korban kecelakaan di lokasi IUPHHK Dusun Ungak yang menimpa warga Sungai Utik. Di Dusun Ungak, PT. BRW pernah beroperasi selama dua tahun, sampai ada suatu kejadian, ibunya Mbak Lidia orang Sungai Utik berjualan sayuran di lokasi tempat PT BRW beroperasi, tiba-tiba kereta pengangkut kayu gelondongan tersebut terlepas, sehingga kayu kayu tersebut menimpa ibunya Mbak Lidia dan menyebabkan kematian. Masyarakat Sungai Utik menjadi marah terhadap PT. BRW dan bersama- sama Masyarakat Dusun Ungak mengusir PT. BRW dari lokasi proyek Dusun Ungak. Sejak saat itu, proyek tersebut kemudian diambil alih oleh Masyarakat Dusun Ungak. 5. Konflik dengan pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Kehutanan kembali mencuat ketika Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik meminta Menteri Kehutanan datang ke lokasi rumah panjae Sungai Utik. Seperti yang dikisahkan oleh Pak RM Kepala Desa Batu Lintang bahwa: Cerita tersebut juga dilengkapi oleh Kakek Cb bahwa di awal tahun 2010 tersebut, dia dan dua orang warga Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik lainnya dengan diantar oleh AMAN datang ke Jakarta menemui Menteri Kehutanan. Pada “Masyarakat Sungai Utik pernah menahan dan menjatuhkan denda sebesar Rp. 1, 2 juta kepada Ajudan Menteri Kehutanan yang mengabarkan bahwa menteri tidak bisa datang. Setelah denda dibayar, Ajudan tersebut pun dilepaskan diperbolehkan pulang tetapi dengan membawa pesan bahwa Menteri Kehutanan Bapak MS Kaban dikenakan sanksi Adat bahwa jika Beliau tidak datang ke rumah panjae Sungai Utik, maka Menteri Kehutanan harus membayar denda Rp. 1 Milyar kepada Masyarakat Sungai Utik. Namun denda tersebut tidak pernah dilakukan karena Bapak MS Kaban akhirnya di tahun 2010 datang ke Sungai Utik.” 151 saat itu Kakek Cb mengatakan kepada Pak Kaban, seperti yang diceritakannya, sebagai berikut: Fakta di atas menunjukkan konflik di Hutan Sungai Utik lebih banyak momen yang menunjukkan kebrutalan konflik, dimana perlawanan masyarakat adat sampai pada destruction and bloodshed. Hal tersebut berbeda dengan kasus TNGHS, konflik mencapai puncaknya ketika negara memenjarakan Masyarakat Kasepuhan yang mengambil kayu di kawasan hutan. Sebenarnya ada kasus lain yang terjadi di Kasepuhan, yaitu ada beberapa orang warga mengambil kayu di hutan, namun dalam kasus ini Kasepuhan tidak terlalu ikut campur karena hasil evaluasi adat, kayu-kayu tersebut diambil dikawasan yang dilarang adat dan ukuran kayu melebihi ketentuan adat. Kayu tersebut diidentifikasi sebagai kayu yang akan dijual. Oleh karena itu Kasepuhan tidak turut campur dalam kasus yang satu ini, dan membiarkan warganya dipenjara. Perbedaan sikap dari masing- masing masyarakat tersebut tidak lepas dari pengaruh kosmologi masyarakatnya, serta sejarah penguasaan lahan pada kawasan tersebut.

5.4. Dampak Konflik

Konflik sumberdaya hutan memberi dampak kepada masyarakat adat terjadinya perubahan kelembagaan adat dan peningkatan ability masyarakat adat dalam beradaptasi dengan konflik. Konflik yang menyebabkan terjadinya perubahan sejalan dengan konflik otoritas Dahrendorf, adapun konflik yang “Bapak, kami menunggu Bapak, kami rakyat Sungai Utik akan tetap menjaga hutan kami dan kami menginginkan penjelasan langsung dari Bapak, bagaimana hutan tersebut harus dijaga. Jika Bapak tidak datang ke rumah panjae Sungai Utik sesuai janji Bapak, maka kami terpaksa akan menjatuhkan sanksi hukum Adat dengan mendenda Bapak Rp. 1 milyar. Begitu yang saya katakan pada Menteri Kehutanan saat itu, dan pada waktu itu Pak Kaban bilang bahwa dia memang sudah berjanji untuk datang ke Sungai Utik. Pada tahun 2009 sebetulnya Beliau sudah berangkat ke Sungai Utik namun pesawat yang mengantar Beliau tidak bisa menemukan lokasi Sungai Utik. Setelah setengah jam berputar putar di udara akhirnya pesawat tersebut kembali lagi ke Pontianak, disamping karena cuaca saat itu tidak memungkinkan mendarat di Putussibau. Tapi saya berjanji jika sudah tidak sibuk dengan berbagai pekerjaan, akan mengunjungi rumah panjae Sungai Utik. Janji itu sudah Beliau tepati. Beliau sudah datang ke Sungai Utik walaupun kedatangannya tidak juga memberikan titik terang kejelasan mengenai pencabutan izin IUPHHK yang dimiliki oleh PT. BRW”. 152 menyebabkan terjadinya peningkatan adaptasi measyarakat sejalan dengan teori konflik Lewis Coser. Menurut proposisi Dahrendorf dalam Turner, 1998, bahwa semakin intens konflik, semakin besar tingkat perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. Semakin brutal konflik, semakin tinggi kecepatan perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. Berdasarkan proposisi Dahrendorf tersebut, dapat dikatakan bahwa konflik mendorong pada terjadinya perubahan kelembagaan. Hanya saja jika merujuk pada proposisi Dahrendorf mestinya perubahan besar terjadi pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Namun faktanya justru Masyarakat Kasepuhanlah yang menunjukkan fenomena perubahan struktural dan kelembagaan. Salah satu bentuk perubahan yang dialami oleh Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik adalah perubahan struktural dan perubahan kelembagaan lebih jelasnya akan dijelaskan pada bab 6. Salah satu bentuk perubahan yang dimiliki oleh masyarakat adat adalah meningkatnya kemampuan beradaptasi dengan situasi yang baru akibat terjadinya konflik. Hal ini sejalan dengan pemikiran Lewis Coser dalam Kinseng, 2013 bahwa semakin suatu itu konflik mendorong peningkatan inovasi dan kreativitas unit-unit suatu sistem sosial, pelepasan permusuhan sebelum ia mempolarisasi unit-unit suatu sistem sosial, mendorong tumbuhnya aturan normatif hubungan konflik, peningkatan kesadaran akan isu-isu realistik, dan peningkatan jumlah koalisi asosiatif antara unit-unit sosial, maka semakin besar tingkat integrasi sosial internal sistem secara keseluruhan dan semakin besar kapasitasnya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan ekternal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kalau konflik kecil kecil dibiarkan akan meningkatkan kemampuan adaptasi. Dengan kata lain bahwa konflik membuat kemampan resiliensi masyarakat meningkat dan variasi karena mereka menjadi terbiasa. Dampak konflik terhadap peningkatan resiliensi masyarakat tersebut terjadi pada Masyarakat Kasepuhan dalam konflik di TNGHS dan pada Masyarakat Dayak Iban dalam konflik di Hutan Sungai Utik. Berdasarkan fenomena yang ditunjukkan oleh Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, maka dapat dikatakan bahwa salah satu dampak konflik ditingkat kelompok adalah resiliensi kelentingan. Konflik