Perebutan Hak dan Akses Dalam Konflik Sumberdaya Hutan
                                                                                35 adalah  aspek  historis  kultural  dimana  keberadaan  sumberdaya  hutan  tidak  dapat
dipisahkan  dari  eksistensi  masyarakat  beserta  seluruh  sistem  dan  tata  nilai  sosial budayanya. Masyarakat secara turun temurun dan lintas generasi telah tinggal  dan
menggantungkan  kelangsungan hidupnya pada sumberdaya hutan. Ketika negara sebagai pemilik hak property atas sumberdaya hutan secara
formal menerbitkan kelembagaan pengaturan atas akses terhadap pengelolaan dan pemanfaaatan  hutan,  adakalanya  kelembagaan  baru  tersebut  menegasikan
kelembagaan  yang  sudah  ada  dan  tumbuh  dari  dan  dalam  kehidupan  masyarakat lokal  yang  hidup  di  dalam  dan  sekitar  kawasan  hutan.  Berkenaan  dengan  hak
akses tersebut, Ribot dan Peluso 2003 mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk  mengambil  keuntungan  dari  sesuatu  termasuk  objek  material,  orang,
institusi  ataupun  simbol-simbol.  Akses  berbeda  dari  property.  Sekalipun  bukan pemilik  property  tapi  jika  memiliki  akses  maka  dapat  mengambil  keuntungan
manfaat dari sumberdaya tersebut. Apa yang dikemukakan oleh Peluso dan Ribot tersebut  seakan-akan  mengisyaratkan  bahwa  akses  jauh  lebih  penting  dari  right
property. Sekalipun tanpa right tapi kalau memiliki akses, maka masyarakat atau pihak-pihak  tertentu  dapat  memanfaatkan  hutan  untuk  kepentingan  mereka  para
pemilik akses. Dalam  menjelaskan  mengenai  akses  ini,  Peluso  memberikan  contoh  kasus
tentang  sejarah  Dayak  di  Sanggau  lihat  Peluso,  2005,  bahwa  masyarakat  adat Dayak Sanggau telah menduduki situs Sanggau sejak sekitar 1920. Mereka telah
membeli  hak  untuk  itu  dari  penghuni  sebelumnya.  Persyaratan  dalam pengalihan  hak  hunian  dan  penggunaan  telah  dinegosiasikan  oleh  dua  pemimpin
adat dari masing-masing kelompok. Para pemukim asli setuju untuk mengalihkan hak untuk menempati situs - suatu wilayah - termasuk hak akses terhadap ladang
tempat  mereka  dulu  bertani,  dan  hak  untuk  memiliki  dua  tembawang,  hutan  dan kebun  yang  penuh  dengan  pohon  buah-buahan,  termasuk  pohon  durian  Durio
zibethinus  yang  ditanam  oleh  beberapa  generasi  nenek  moyang  mereka. Selanjutnya  Peluso  2005  menjelaskan  bahwa  melalui  warisan  pohon  oleh
generasi-generasi  keturunan  para  penanam  pohon  tersebut  seluruh  kelompok komunitas  dapat  mengklaim  teritorial  dengan  tempat-tempat  di  luar  batas-batas
pemukiman  desa  mereka  saat  ini,  karena  setiap  tembawai  memiliki  cerita
36 tersendiri.  Tembawai  tersebut  merupakan  situs  hidup  bekas  dan  tanda  keluar
teritorialitas  daerah  yang  tidak  sesuai  dengan  batas  desa.  Berdasarkan  apa  yang dikemukakan oleh Peluso 2005 tersebut bahwa masyarakat menandai hak akses
mereka atas suatu kawasan berdasarkan adanya pohon yang pernah ditanam oleh nenek  moyang  mereka  atau  dalam  kasus  Masyarakat  Dayak  Iban  ditandai  oleh
tembawai  bekas  rumah  panjang.  Keberadaan  pohon  atau  tembawai  tersebut menandai  adanya  teritori  masyarakat  tersebut  dan  menjadi  penanda  bahwa
kepemilikan akses atas kawasan tersebut. Apa  yang  terjadi  dalam  kasus  yang  diungkapkan  Peluso  tersebut  adalah
menunjukkan  adanya  suatu  klaim  atas  suatu  wilayah  dimana  right  dari  wilayah tersebut  tetap  dimiliki  oleh  orang  terdahulu  nenek  moyang  yang  pertama  kali
membuka  lahan  tersebut  dan  menanam  pohon  durian  sebagai  penanda kepemilikan. Transaksi yang dilakukan oleh masyarakat tersebut sama sekali tidak
ada  dalam  ajaran  hukum  tanah  kolonial  ataupun  kontemporer,  dan  mengingat perubahan  besar  politik  yang  terjadi  sejak  generasi  sebelumnya  mentransfer  hak
atas  lokasi  tersebut  kepada  generasi  berikutnya.  Mungkin  hak  atas  tegakan dipindahkan  kepada  penghuni  baru  namun  bukan  hak  untuk  memotong  pohon-
pohon  bermakna.  Apa  yang  diklaim  oleh  masyarakat  tersebut  tidak  ada  bukti tertulis  yang  diakui  dan  ditanda-tangani  secara  resmi  oleh  agen  pemerintah,  tapi
mereka  membawa  cerita  perjanjian  tersebut  dari  generasi  ke  generasi  melalui sejarah lisan.
Dengan  mengikuti  pedoman  adat,  teritorialisasi  ala  adat  atau  bagaimana cara adat melihat property dalam sebuah kawasan dapat mengacaukan rasionalitas
yang dimaksudkan oleh pemerintahan dan praktek property formal Peluso, 2005. Apa  yang  dimaksud  hak  akses  dan  hak  property  secara  formal  berbeda  dengan
hak property  dan hak akses  yang dimaknai oleh  adat. Menurut  Ribot dan Peluso 2003 akses membuat masyarakat dapat memperoleh manfaat atas sesuatu dalam
hal  ini  sumberdaya,  namun  tanpa  ada  hak  property,  maka  akses  itu  tidak memberikan ketenangan hidup.
Dalam  mempelajari  rezim  milik  umum  common  property  regimes. Schlager  dan  Ostrom  1992  menunjukkan  bahwa  dalam  kasus  kepemilikan
kolektif  atau  kontrol  atas  sumberdaya  ada  dua  hak  dasar:  akses  you  can  enter
37 dan  penarikan  you  can  take  resources.  Ada  juga  tiga  tingkat  keputusan  yang
dapat dibuat secara kolektif: manajemen adalah hak untuk mengatur penggunaan dan  mengubah  properti,  pengecualian  adalah  hak  untuk  memutuskan  siapa  yang
mungkin  memiliki  akses  dan  bagaimana  hal  itu  dapat  ditransfer,  dan  alienasi adalah hak untuk menyewakan atau menjual dari pilihan atas hak kolektif.
Mengingat  perbedaan-perbedaan  tersebut,  Schlager  dan  Ostrom  1992 kemudian  mengidentifikasi  empat  jenis  bundel  hak  milik
bundles  of  property rights.  Mereka  berhipotesis  bahwa  bundel  hak  seseorang  the  bundle  of  rights
dapat  menentukan berapa banyak mereka bersedia untuk  berinvestasi  di properti tersebut  Mereka  menyimpulkan  bahwa  pembentukan  rezim  manajemen  yang
efektif  harus  memperhitungkan  insentif  yang  memadai  lihat  Schlager  and Ostrom,  1992.  Lebih  jelasnya  konsep  mengenai  properti  right  dengan  mengacu
pada pendapat Schlager dan Ostrom 1992, dapat dibedakan dalam beberapa tipe hak kepemilikan property rights, sebagai berikut:
1.  Access  rights:  the  right  to  enter  the  territory  of  resources  that  have  clear boundaries and to enjoy the benefits of non extractive
2.  Withdrawal right: the right  to utilize the resources or the right to produce 3.  Management  right:  the  right  to  determine  the  operational  rules  of  resource
use. 4.  Exclusion  right:  the  right  to  determine  who  should  have  the  right  to  access
and how access rights are transferred to other parties 5.  Alienation right: the right to sell or lease part or all of the collective rights
mentioned above. Dalam  kontek  sumberdaya  hutan,  hak  akses  dapat  dikatakan  sebagai  hak
untuk  memasuki  wilayah  sumberdaya  hutan  dan  untuk  menikmati  manfaat  non ekstraktif yaitu manfaat yang tidak bisa dinikmati secara langsung, namun dengan
keberadaannya  dapat  memberikan  nilai  kepuasan  bagi  setiap  orang.  Misalnya manfaat  langsung  non  ekstraktif  ini  hanya  digunakan  untuk  kegiatan  wisata  atau
upacara  ritual  budaya  didalam  kawasan  hutan.  Sedangkan  hak  untuk memanfaatkan  hutan  withdrawal  right  adalah  hak  untuk  memanfaatkan  secara
langsung  dari  keberadaan  hutan  baik  kayu  maupun  non  kayu.  Hak  manajemen management right adalah hak untuk mengelola hutan sesuai dengan tata kelola
38 kelembagaan  pengaturan  hutan  yang  dimiliki  oleh  pihak-pihak  yang  memegang
hak  manajemen.  Hak  exclusion  yaitu  hak  untuk  mengatur  siapa  yang  boleh  atau tidak boleh mendapatkan hak akses terhadap kawasan-kawasan tertentu di dalam
hutan. Adapun hak alienasi adalah hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif yang disebutkan di atas.
Sebagaimana  dikemukakan  oleh  Ribot  dan  Peluso  2003,  bahwa  akses seringkali  lebih  penting  daripada  hak  formal.  Oleh  karena  itu  perlunya
mengembangkan  definisi  akses,  mengingat  kecenderungan  masa  lalu  untuk menggabungkan  akses  dengan  properti.  Mereka  berpendapat  bahwa  akses  lebih
seperti  seikat  kekuasaan  bundle  of  powers  dan properti  lebih  seperti  seikat  hak bundle of rights. Lebih lanjut Ribot dan Peluso 2003 menjelaskan bahwa akses
adalah  kemampuan  untuk  mendapatkan  keuntungan  dari  hal-hal,  maknanya adalah    bahwa  akses  dapat  didefinisikan  sebagai  hubungan  dan  proses  yang
memungkinkan  berbagai  aktor  untuk  mendapatkan  keuntungan  dari  sumberdaya, termasuk benda material, orang, lembaga, dan simbol.
Dengan  berfokus  pada  kemampuan  daripada  hak  memungkinkan  untuk analisis hubungan sosial yang mengizinkan atau membatasi seseorang mengambil
manfaat  dari  sumberdaya.  Tujuannya  adalah  untuk  melihat  dengan  jelas  siapa yang diuntungkan dari hal-hal tersebut, dan siapa yang tidak. Ini membantu orang
memahami mengapa beberapa orang atau lembaga memperoleh keuntungan dari sumberdaya,  apakah  mereka  memiliki  atau  tidak memiliki  hak.  lihat  Ribot  dan
Peluso, 2003: 154. Lebih  lanjut    Ribot  dan  Peluso  2003:173  mengemukakan  bahwa
mekanisme properti hanya salah satu cara orang-orang untuk mendapatkan akses, dan  mungkin  bukan  yang  paling  penting.  Kerangka  pemikiran  mereka  tentang
akses  tersebut  dapat  digunakan  untuk  menganalisis  konflik  sumberdaya  yang spesifik  untuk  memahami  bagaimana  konflik  menjadi  sangat  berarti  beberapa
aktor    memperoleh  manfaat  atau  beberapa  aktor  lain  kehilangan  manfaat  dari sumberdaya  yang  berwujud  dan  tidak  berwujud
tangible  and  intangible resources.
Dalam  memahami  keberadaan  sumberdaya  kolektif  dalam  rezim  properti umum  tersebut,  McKean  membedakannya  dari  sumberdaya  milik  umum  yang
39 memiliki  open  akses.  Sebagaimana  yang  dikemukakan  oleh  McKean  2002:29-
30, sebagai berikut: “these regimes are often incorrectly conflated with common-pool resources,
which  she  defines  as  “open-access  resources  available  to  anyone  –  very difficult to protect and very
easy to deplete.” p. 29 In contrast, a common property  regime  “is  a  property-rights  arrangement  in  which  a  group  of
resource users share rights and duties toward a resource.” p. 30 McKean notes that “when a group of individuals and the property rights they share
are  well  defined,  common  property  should  be  classified  as  shared  private property
– a form of ownership; that should be of great interest to anyone who  believes  that  private  property  rights  promote  long  time  horizons  and
responsible stewardship of resources.” p. 30.
Menurut  McKean,  bahwa  sumberdaya  yang  termasuk  dalam  kepemilikan umum  dengan  open  akses  memungkinkan  setiap  orang  untuk  mengaksesnya,
sehingga  sangat  sulit  dijaga  dan  mudah  sekali  untuk  dikuras.  Sebaliknya,  rezim milik  umum  adalah  pengaturan  hak  properti  di  mana  sekelompok  pengguna
sumberdaya  berbagi  hak  dan  kewajiban  terhadap  sumberdaya  tersebut. Selanjutnya  McKean  mengemukakan    bahwa  ketika  sekelompok  individu  dan
hak  properti  bersama  tersebut  didefinisikan  dengan  baik,  maka  milik  bersama tersebut harus diklasifikasikan sebagai milik pribadi bersama
– yaitu suatu bentuk kepemilikan,  yang  harus  menjadi  perhatian  besar  bagi  siapa  saja  yang  percaya
bahwa  hak  milik  pribadi  lebih  bertahan  lama  dan  bertanggung-jawab  dalam pengelolaan sumberdaya.
                