Perbedaan state of belief dan jenis hutan menyebabkan perbedaan readiness to dialogue

238 sumber resiliensi Masyarakat Kasepuhan berasal dari kemampuan individu dalam menjalin hubungan dengan pihak lain I Can.

7.5. Implikasi Kebijakan

Pengalaman historis yang terjadi di kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik memberi bukti bahwa konflik sumberdaya hutan di kawasan tersebut selalu berulang, mengalami pasang surut. Konflik terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dan tumpang tindih klaim atas otoritas suatu kawasan. Setidaknya dua kelompok konflik yaitu masyarakat adat dan negara, dimana masyarakat adat menempati posisi peran sebagai kelompok subordinat dan negara memiliki posisi peran sebagai superordinat. Pengalaman menunjukkan bahwa di TNGHS, ada dimana konflik mereda dan menemukan konsensus bersama antara kelompok konflik, yaitu ketika pada tahun 1957, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 yang menyebutkan bahwa kegiatan pengelolaan hutan serta eksploitasinya, terutama di Jawa dan Madura, diserahkan kepada Pemerintah Daerah Swatantra tingkat I. Pada masa tersebut baik kepentingan negara dan kepentingan masyarakat bertemu. Masyarakat Kasepuhan diizinkan untuk menggarap kawasan hutan dengan mewajibkan mereka memberikan sebagian hasil panennya kabubusuk kepada pemerintah daerah. Pemberian kabubusuk tersebut sebagai wujud pengakuan Masyarakat Kasepuhan atas right yang dimiliki negara, sedangkan izin menggarap lahan menjadi bukti bahwa negara mengakui otoritas adat. Begitupun sewaktu pemerintah mengeluarkan kebijakan membagi dua kawasan Gunung Halimun Salak, sebagai kawasan lindung dibawah pengelolaan BKSDA 40.000 hektar dan kawasan hutan produksi dibawah tanggung jawab Perum Perhutani 73.357 hektar di tahun 1978. Pada masa tersebut Perhutanipun mengizinkan masyarakat untuk tetap tinggal dan menggarap lahan pertaniannya, sekalipun harus membayar 15-25 dari hasil pertanian mereka kepada Perhutani. Kebijakan tersebut disepakati bersama dan dianggap sebagai bagian dari pengakuan otoritas masing-masing. Dalam konteks Hutan Sungai Utik, konflik belum pernah sampai pada konsensus, yang terjadi bahwa konflik menemukan momentum kebrutalannya 239 selanjutnya ketika dimenangkan oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, pengusaha terusir, negara sementara mendiamkan konflik, tidak ada pengakuan atas otoritas masyarakat adat, namun membiarkan masyarakat menguasai sumberdaya dan tetap memiliki akses mereka terhadap hutan dalam kondisi cemas dan ketidak pastian, kekhawatiran bahwa sewaktu-waktu negara akan kembali mengambil otoritasnya. Belajar dari teladan kasus dikedua lokasi dapat disimpulkan bahwa berdasarkan aspek historis, secara presisten terbukti bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan tidak dapat meminggirkan kepentingan masyarakat adat lokal yang sudah hidup lama di kawasaan tersebut dan bergantung dari keberadaan hutan. Jika kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan meminggirkan keberadaan masyarakat lokal, maka konflik akan terjadi dan tidak akan pernah selesai. Oleh karena itu, implikasi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya hutan harus memperhatikan, hal-hal sebagai berikut: 1. Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan tidak boleh meminggirkan keberadaan masyarakat lokal dengan segala kepentingannya dan otoritas yang diklaim dimiliki oleh masyarakat lokal tersebut. 2. Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan kedepan harus memasukkan pertimbangan mengenai konflik manajemen bagaimana mengatasi konflik melalui mediasi; konflik resolusi mengembangkan dan mengusahakan berbagai pendekatan alternatif untuk memecahkan konflik dengan cara negosiasi atau memecahkan masalah bersama oleh kelompok yang berkonflik; dan konflik transformasi mencapai hasil perdamaian positif antara kelompok konflik dengan cara mengakhiri kebrutalan, merubah hubungan negatif menjadi hubungan positif dengan cara merubah struktur politik, sosial dan ekonomi yang menyebabkan hubungan kekuasaan antar kelompok tersebut menjadi negatif, selanjutnya memberdayakan masyarakat agar terlibat dalam proses perubahan tersebut tanpa kekerasan untuk membangun kondisi perdamaian dan keadilan yang berkelanjutan. Penyelesaian konflik penguasaan sumberdaya hutan, bukan hanya menempatkan siapa pemilik hutan tapi bagaimana hutan tersebut dapat memberi manfaat untuk manusia dan makhluk lain. Hutan merupakan kesatuan antara