Perbandingan TNGHS dan Sungai Utik Analisis Fisik, Sosial, Politik

99 Resmi di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Adapun di Hutan Sungai Utik ada konflik antara negara pusat dengan masyarakat lokal. Negara pusat dalam konteks ini adalah Departemen Kehutanan yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan BPKH. Adapun masyarakat lokal adalah Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Dalam konflik ini, melibatkan pengusaha pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK. Konflik di lapangan menghadapkan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan pengusaha pemegang IUPHHK PT. BRW. Di kawasan Sungai Utik juga terdapat konflik negara lokal dengan masyarakat lokal. Negara lokal adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, sedangkan masyarakat lokal adalah Masyarakat Dayak Iban dalam Ketemenggungan Jalai Lintang termasuk Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Untuk kepentingan studi ini akan dibatasi fokus perhatian pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik di kawasan Hutan Sungai Utik Desa Batu Lintang Kecamatan Embaloh Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Hutan Sungai Utik memiliki fungsi yang berbeda, sekalipun demikian keduanya memiliki kesamaan, yaitu lahan hutan tersebut diklaim sebagai lahan masyarakat adat. Di Taman Nasional Gunung Halimun Salak ada Masyarakat Adat Kasepuhan, sedangkan di Sungai Utik ada Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik. Perbandingan dua lokasi studi tersebut lebih jelasnya dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini: 100 Matrik 1. Perbandingan Lokasi Studi Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Hutan Sungai Utik TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK TNGHS HUTAN SUNGAI UTIK Jenis Hutan Konservasi Produksi Wilayah Studi Desa Sirna Resmi Dusun Sungai Utik Desa batu Lintang Luas Wilayah 4917 hektar, yang sebagian besar adalah taman nasional 4000 hektar. 9.453,50 Hektar, dengan luas wilayah hutan 6.856,77 hektar Masyarakat Adat Sekitar Hutan Masyarakat Kasepuhan yang terdiri atas 22 Kasepuhan, yaitu Di Banten ada 19 Kasepuhan, di Sukabumi 3 Kasepuhan, yaitu Kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Mulya, dan Cipta Gelar. Selain itu, masih ada beberapa Kasepuhan di Daerah Gunung Salak. Masyarakat Dayak Iban Ketemenggungan Jalai Lintang yang terdiri dari 7 sub suku: Dayak Iban Sungai Utik dan Dayak Iban Kulan di Desa Batu lintang Dayak Iban Apan, Dayak Iban Sungai Teblian, dan Dayak Iban Ungak di Desa langen Baru Dayak Iban Lauk Rugun dan Dayak Iban Mungguk di Desa Rantau Prapat Masyarakat yang menjadi Wilayah Studi Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi Abah Asep, yang berada di Desa Sirna Resmi. Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik dalam Ketemenggungan Jalai Lintang yang berada di Dusun Sungai Utik Desa Batu Lintang Jumlah Penduduk 4803 orang, penduduk Desa Sirna Resmi 279 orang penduduk Dusun Sungai Utik Sumber: Data Hasil Penelitian Lapangan, 2010-2012.

4.4. Multiple Basis of Land Rights danMultiple Basis of Access:

Dalam memahami penguasaan atas tanah dan sumberdaya alam, ada beberapa konsep yang berlaku di Indonesia. Ada tanah yang dimaknai sebagai hak milik land right, tetapi ada juga penguasaan tanah yang hanya dimaknai sebagai hak akses. Selanjutnya hak milik dan hak akses ini ada yang didefinisikan oleh negara, ada juga yang didefinisikan berdasarkan adat budaya masyarakat setempat. Adanya definisi hak yang berbeda antara negara dan masyarakat adat inilah yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih pengakuan hak oleh negara dan masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antara negara dan masyarakat adat. Konflik dalam pengakuan hak atas tanah dan sistem pengelolaan dan penguasaan sumberdaya alam antara negara dan masyarakat adat juga diakui 101 oleh negara dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR Republik Indonesia Nomor IXMPR2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dimana konflik terjadi akibat penetapan kawasan hutan secara sepihak dari zaman Hindia Belanda sampai era “Pemerintah Orde Baru” dan masih dipertahankan sampai sekarang. 4.4.a. Kebijakan Pertanahan Menurut Negara 4.4.a.1. Kebijakan Pertanahan Pada Masa Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, persoalan masyarakat adat sudah menjadi persoalan tersendiri untuk Pemerintah Belanda, dan Belanda mengakomodasinya dalam peraturan perundang-undangan saat itu. Melalui IGO Inlandshe Gemeente Ordonantie, Staatsblad 1906 No 83, Pemerintah Belanda mengakui pemerintahan desa di Jawa dan Madura dan IGOB Inlandshe Gemeente Ordonantie Biutengewsten Staatsblad 1938, No 490 yang mengakui struktur pemerintahan adat di sepuluh wilayah di luar Jawa-Madura. Oleh karena itu, di era Kolonial Belanda, pemerintah tidak berusaha menciptakan struktur baru bagi masyarakat desa, tetapi memberikan pengakuan hukum terhadap struktur pemerintahan adat di pedesaan Zakaria, 2000. Dengan keberadaan IGOB tersebut, Pemerintah Kolonial Belanda seakan- akan memberikan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat, namun ketika dihadapkan dengan penguasaan tanah dan sumberdaya, Pemerintah Kolonial mengeluarkan kebijakan yang lain yang disebut domeinverklaring. Kebijakan ini sudah dimulai sejak zaman Raffles tahun 1813. Ketika itu, Raffles mendeklarasikan bahwa hak penguasaan atas lahan di Jawa disatukan dalam kepentingan kedaulatan Eropa sebagai pewaris kedaulatan Jawa. Untuk menjamin penafsiran ekspansif Deklarasi Raffles, setiap lahan yang tidak digarap atau telah dibiarkan selama lebih dari 3 tahun, dianggap sebagai lahan sisa yang tidak ada pemiliknya. Pemerintah Kolonial Belanda menegakkan kembali Deklarasi Raffles dengan menyatakan bahwa lahan sisa di kawasan Jawa dan Madura merupakan milik negara. Belakangan, konsep ini juga diterapkan di wilayah kekuasaan tidak langsung Belanda, seperti Domeinverklaring untuk Sumatera Pasal 1, Staatsblad