Dampak Konflik Forest resources conflicts in West Java and West Kalimantan, Indonesia
152 menyebabkan terjadinya peningkatan adaptasi measyarakat sejalan dengan teori
konflik Lewis Coser. Menurut proposisi Dahrendorf dalam Turner, 1998, bahwa semakin intens
konflik, semakin besar tingkat perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. Semakin brutal konflik, semakin tinggi kecepatan perubahan struktural dan
reorganisasi yang terjadi. Berdasarkan proposisi Dahrendorf tersebut, dapat dikatakan bahwa konflik mendorong pada terjadinya perubahan kelembagaan.
Hanya saja jika merujuk pada proposisi Dahrendorf mestinya perubahan besar terjadi pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Namun faktanya justru
Masyarakat Kasepuhanlah yang menunjukkan fenomena perubahan struktural dan kelembagaan. Salah satu bentuk perubahan yang dialami oleh Masyarakat
Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik adalah perubahan struktural dan perubahan kelembagaan lebih jelasnya akan dijelaskan pada bab 6.
Salah satu bentuk perubahan yang dimiliki oleh masyarakat adat adalah meningkatnya kemampuan beradaptasi dengan situasi yang baru akibat terjadinya
konflik. Hal ini sejalan dengan pemikiran Lewis Coser dalam Kinseng, 2013 bahwa semakin suatu itu konflik mendorong peningkatan inovasi dan kreativitas
unit-unit suatu sistem sosial, pelepasan permusuhan sebelum ia mempolarisasi unit-unit suatu sistem sosial, mendorong tumbuhnya aturan normatif hubungan
konflik, peningkatan kesadaran akan isu-isu realistik, dan peningkatan jumlah koalisi asosiatif antara unit-unit sosial, maka semakin besar tingkat integrasi sosial
internal sistem secara keseluruhan dan semakin besar kapasitasnya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan ekternal. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kalau konflik kecil kecil dibiarkan akan meningkatkan kemampuan adaptasi. Dengan kata lain bahwa konflik membuat kemampan resiliensi
masyarakat meningkat dan variasi karena mereka menjadi terbiasa. Dampak konflik terhadap peningkatan resiliensi masyarakat tersebut terjadi pada
Masyarakat Kasepuhan dalam konflik di TNGHS dan pada Masyarakat Dayak Iban dalam konflik di Hutan Sungai Utik.
Berdasarkan fenomena yang ditunjukkan oleh Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, maka dapat dikatakan bahwa salah satu
dampak konflik ditingkat kelompok adalah resiliensi kelentingan. Konflik
153 menyebabkan masyarakat adat memiliki kelentingan. Apabila kelentingan
resiliensi didefinisikan sebagai the ability of people to recover quickly from shock, injury etc. Her natural resilience helped her to overcome the crisis kamus
oxford, maka dapat dikatakan bahwa baik Masyarakat Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban memiliki kelentingan resiliensi.
Dalam kasus TNGHS, ketika kelembagaan negara mendominasi kelembagaan lokal melalui kebijakan negara tentang perluasan taman nasional dan
melumpuhkan kelembagaan adat, kondisi tersebut telah memaksa kelembagaan adat berubah. Disatu sisi kelembagaan adat menjadi tidak memiliki ability untuk
mengambil manfaat atas hutan karena tidak adanya akses, namun terjadi peningkatan kemampuan masyarakat dalam beradaptasi dengan keadaan baru
akibat terjadinya konflik dengan BTNGHS. Kemampuan tersebut lebih tepatnya dikatakan sebagai kelentingan. Kelentingan pada Masyarakat Kasepuhan
ditunjukkan dengan kemampuan masyarakat menghindari serangan dengan cara menghindari konflik terbuka, secara sembunyi-sembunyi mereka tetap menggarap
kawasan leuweung garapan sambil tetap memperjuangkan untuk memperoleh hak akses terhadap hutan; kemampuan konsolidasi dengan cara menggalang aliansi
dengan kelompok Masyarakat Kasepuhan lain dan membentuk “Kesatuan
Masyarakat Adat Banten Kidul” SABAKI, kemampuan mengulur waktu dengan cara bernegosiasi, mendialogkan kembali tentang tata batas, akses bahkan zonasi,
dan kemampuan memeluk pihak lain dengan cara mengembangkan web of powernya dengan merangkul bukan hanya dengan LSM tetapi dengan pemerintah
daerah. Ketika akses terhadap sumberdaya hutan menjadi terbatas, dan tuntutan
perubahan dari masyarakatnya meningkat, Masyarakat Kasepuhan mulai mengembangkan ability lain yang dapat memberi akses pada Kasepuhan di ruang
politik lokal, melalui afiliasi yang dibangunnya dengan pemerintah daerah atau elit-elit politik nasional. Pada Masyarakat Kasepuhan, konflik menyebabkan
terjadinya perubahan dan perubahan tersebut merupakan bukti bahwa kelembagaan Kasepuhan mempunyai kelentingan resiliensi dengan cara
mengembangkan web of power yang sasarannya adalah otoritas politik di tingkat lokal.
154 Pada Masyarakat Dayak Iban berbeda dengan Masyarakat Kasepuhan.
Mereka tidak menghindari serangan melainkan melawan, dengan cara mengusir pengusaha dari kawasan, menyita alat-alat beratnya dan tetap bertahan
mempertahankan kawasan tersebut. Masyarakat Dayak Iban dalam perjuangannya melawan negara juga mengembangkan abilitynya untuk melakukan konsolidasi ke
dalam diantara warga Masyarakat Dayak Iban dan konsolidasi dengan Masyarakat Dayak Iban lain dalam Ketemenggungan Jalai Lintang. Mereka mengembangkan
web of power mereka dengan menjalin kolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat LSM.
5.5. Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Konflik Sumberdaya Alam Konflik sumberdaya hutan menjadi semakin kompleks manakala pemerintah
daerah dengan otonomi daerahnya turut masuk kedalam arena konflik. Pada kasus TNGHS, pemerintah daerah membantu Masyarakat Kasepuhan untuk
menyelesaikan konflik dengan BTNGHS, dengan mendukung keberadaan masyarakat adat di kawasan TNGHS. Pada kasus Hutan Sungai Utik, pemerintah
daerah mengeluarkan IUP untuk PT. RU di kawasan yang sama dengan IUPHHK untuk PT. BRW.
Pada kasus TNGHS, dukungan langsung Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi kepada Masyarakat Kasepuhan dilakukan dengan jalan menjembatani
penyelesaian konflik antara Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS. Pemerintah daerah membantu memfasilitasi pembuatan draf akademik untuk rancangan
kesepakatan antara Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS, walaupun usaha pemerintah daerah tersebut belum mencapai konsesus namun proses penyelesaian
konflik dengan jalan negosiasi sudah dilakukan. Selain dukungan langsung, pemerintah daerah juga pemberikan dukungan tidak langsung berupa alokasi dana
pembangunan bagi masyarakat adat untuk pembuatan jalan tembus dari Desa Sirna Resmi ke lokasi pemukiman Kasepuhan Cipta Gelar yang nyata-nyata
berada di tengah kawasan TNGHS. Keberadaan jalan tembus tersebut membuka akses masuk dari luar ke dalam kawasan. Masyarakat menjadi lebih mudah untuk
datang dan pergi dari dan ke dalam kawasan TNGHS. Hal tersebut bermakna bahwa pembangunan jalan tersebut merupakan bentuk dukungan pemerintah
daerah terhadap masyarakat adat dalam menentang kebijakan taman nasional.
155 Dalam kasus Hutan Sungai Utik, Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas
Hulu dengan kebijakan otonomi daerahnya turut memperunyam masalah dan menambah rumitnya konflik sumberdaya hutan. Melalui kewenangan yang
diperoleh berdasarkan legitimasi UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 22, pemerintah daerah menggunakan kewenangannya untuk mengelola lingkungan, termasuk
sumberdaya hutan didalamnya. Dengan dasar tersebut, Pemerintah Daerah Kapuas Hulu mengeluarkan izin usaha perkebunan IUP kepada PT. RU untuk usaha
perkebunan karet dengan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 tentang Izin Lokasi untuk Perkebunan Karet Seluar 14.000 Ha di Kecamatan Embaloh Hulu,
Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, yang kemudian dirubah peruntukannya menjadi sawit dengan Surat Bupati Nomor 525032DKHBPT-A tentang Persetujuan IUP
Perubahan dari Karet Menjadi Kelapa Sawit tanggal 10 Januari 2011. Pemerintah daerah dengan kebijakan IUPnya tersebut telah membuat konflik sumberdaya
hutan menjadi semakin kompleks, menghadapkan masyarakat adat vis avis dengan pemerintah pusat, dengan pengusaha pemegang IUPHHK, dengan
pemerintah daerah dan dengan pengusaha pemegang IUP. Keberadaan kebijakan pemerintah daerah tersebut telah memberi tekanan tersendiri bagi Masyarakat
Dayak Iban. Sebenarnya, kebijakan otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui
peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, peran serta masyarakat, dan peningkatan daya saing pemerintah daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Percepatan kesejahteraan masyarakat tersebut dilakukan
melalui pembagian kewenangan pusat dan daerah yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan diperbaiki dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Bab III tentang Pembagian Urusan Pemerintahan selanjutnya disebut UU otonomi daerah Pasal
10 menyebutkan bahwa 1 pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang
156 oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Selanjutnya dalam
Ayat 2 disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud, pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Adapun
urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud disebutkan dalam Aayat 3 yaitu meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c.
keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. 4 dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud, pemerintah
menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat
menugaskan kepada pemerintahan daerah dan atau pemerintahan desa. Berdasarkan Pasal 10 UU otonomi daerah tersebut bahwa yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat hanya 6 bidang yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Adapun
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang serta pengendalian lingkungan hidup menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah
provinsi Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 dan pemerintah daerah kabupaten kota Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004. Berdasarkan UU otonomi daerah
tersebut, daerah memiliki otoritas dalam perencanaan tata ruang wilayahnya termasuk bagaimana mengendalikan lingkungan hidup. Dengan kata lain daerah
memiliki tanggung jawab dan kewenangan dalam peruntukan ruang dan pengendalian lingkungan hidup termasuk hutan didalamnya.
Tanggung jawab daerah dalam pengendalian linkungan tersebut terkait dengan semangat awal otonomi daerah yang salah satunya adalah untuk
pengelolaan sumberdaya alam secara efektif, sebagaimana termuat dalam ketetapan TAP MPR Nomor IVMPR1999 tentang GBHN, Bab IV Arah
Kebijakan Huruf H Sumberdaya Alam Lingkungan Hidup Angka 3 menyebutkan bahwa: “mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap
terjaga...dan seterusnya”. Selanjutnya dalam Huruf G tentang Pembangunan
157 Daerah Angka 1 Umum disebutkan bahwa “ ........mengembangkan otonomi
daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab...”, termasuk di dalamnya
pemanfaatan sumberdaya alam. Lebih lanjut TAP MPR tersebut menyebutkan dalam Huruf H angka 4 yaitu: “mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan
ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang yang pengusahaannya diatur dengan undang-
undang”. Berdasarkan TAP MPR tersebut, semestinya keberadaan UU Otonomi Daerah dapat memberikan kewenangan
kepada daerah untuk mengelola sumberdaya alamnya secara efektif dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan kelestarian
lingkungan. TAP MPR tersebut memberi amanat untuk daerah dalam melaksanakan pembangunannya dengan mendayagunakan sumberdaya alam yang
ada untuk kesejahteraan masyarakat namun tetap menjaga kelestarian lingkungan. Berdasarkan fakta pada kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik,
dapat dikatakan bahwa kewenangan hutan utamanya masih ada pada negara pemerintah pusat. Hal tersebut menunjukkan ada ketidak-jelasan dan ketidak-
pastian hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam hutan. Kewenangan daerah dalam mengatur dan mengelola sumberdaya alam
didaerahnya belum sepenuhnya bisa dijalankan karena masih tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah pusat.
Hubungan kewenangan untuk pengendalian lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini diatur dalam
UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 17, yaitu bahwa: “hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara pemerintah dan
pemerintahan daerah meliputi: kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; bagi hasil atas
pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya; dan penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan. Pasal 17 tersebut mengatur
tentang pemanfaatan dan bagi hasil pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya yang pelaksanaannya diatur kemudian dalam peraturan
perundang-undangan lebih lanjut. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa otonomi
158 daerah atau desentralisasi penguasaan dan pendayagunaan sumberdaya alam
termasuk kehutanan belumlah bersifat final tetapi masih membutuhkan perjuangan dan masih akan menyeret daerah ke dalam konflik sumberdaya alam
yang melibatkan negara dan masyarakat adat Sebenarnya sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan secara tersendiri, antara lain Peraturan Pemerintah PP Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998
tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada Daerah, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
disamping UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan dan undang-undang tersebut mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah pengelolaan sumberdaya hutan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah PP Republik Indonesia Nomor 62
Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada Daerah, Bagian Kedua Tentang Kepada Daerah Tingkat II,
Pasal 5 bahwa: “kepada daerah tingkat II diserahkan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan, yang meliputi: a. penghijauan dan konservasi
tanah dan air; b. persuteraan alam; c. perlebahan; d. pengelolaan hutan milikhutan rakyat; e. pengelolaan hutan lindung; f. penyuluhan kehutanan; g. pengelolaan
hasil hutan non kayu; h. perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi pada areal buru; i. perlindungan hutan; dan j. pelatihan keterampilan masyarakat
di bidang kehutanan. berdasarkan peraturan pemerintah tersebut diketahui bahwa ada beberapa urusan kehutanan yang pengurusannya diserahkan kepada daerah,
termasuk pengelolaan hasil hutan non kayu, mencakup kegiatan pengusahaan, pemungutan, dan pemasaran hasil hutan non kayu. Dari sejumlah urusan yang
diserahkan kepada daerah maka yang dapat diambil manfaatnya oleh daerah dari keberadaan hutan di daerahnya adalah pemanfaatan hasil hutan non kayu. Adapun
pemanfaatan hasil hutan kayu masih menjadi kewenangan pemerintah pusat, apalagi mengalihkan fungsi kawasan hutan menjadi daerah perkebunan tidak
diatur dalam PP tersebut. Selanjutnya, UU Nomor 41 Tahun 1999 Bab VIII tentang Penyerahan
Kewenangan, Pasal 66 menyebutkan bahwa: 1 dalam rangka penyelenggaraan
159 kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah
daerah. 2 pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam
rangka pengembangan otonomi daerah. 3 ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan peraturan pemerintah.
Berdasarkan UU di atas diketahui bahwa dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada
pemerintah daerah yang dalam pelaksanaan teknisnya diatur dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang terbit setelah tahun 1999 tentang
penyerahan kewenangan kepada daerah tidak ditemukan. Peraturan yang ada masih menggunakan peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 62 tahun
1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah.
Dengan demikian, seharusnya bahwa keberadaan kebijakan otonomi daerah tersebut membawa pengaruh positif pada pengelolaan sumberdaya alam
khususnya kehutanan, sebagaimana yang dikatakan oleh Raharjo dalam Subadi 2010 bahwa “dengan otonomi daerah dalam pemanfaatan sumberdaya alam
SDA untuk kesejahteraan rakyat, telah membawa perubahan positif pada hubungan antara rakyat dengan pembuat kebijakan policy maker menjadi lebih
dekat sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat, terbukanya akses rakyat dalam pembu
atan kebijakan”. Namun jika melihat kasus konflik di dua lokasi penelitian TNGHS maupun Hutan
Sungai Utik, apa yang dikemukakan oleh Raharjo dalam Subadi 2010 tidak sepenuhnya benar. Ketidak jelasan hukum telah membuat otonomi daerah justru
telah membuat konflik sumberdaya alam menjadi semakin rumit. Selama masih ada ketidak-pastian hukum dan otonomi daerah dijalankan setengah hati, dimana
pemerintah pusat masih mengontrol pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, maka peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam, termasuk hutan hanya akan membuat konflik sumberdaya alam semakin rumit dan masyarakat adat semakin jauh dari perjuangannya untuk
memperoleh hak kelola hutan sebagai hutan adat mereka.
160