Dampak Konflik Forest resources conflicts in West Java and West Kalimantan, Indonesia

152 menyebabkan terjadinya peningkatan adaptasi measyarakat sejalan dengan teori konflik Lewis Coser. Menurut proposisi Dahrendorf dalam Turner, 1998, bahwa semakin intens konflik, semakin besar tingkat perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. Semakin brutal konflik, semakin tinggi kecepatan perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. Berdasarkan proposisi Dahrendorf tersebut, dapat dikatakan bahwa konflik mendorong pada terjadinya perubahan kelembagaan. Hanya saja jika merujuk pada proposisi Dahrendorf mestinya perubahan besar terjadi pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Namun faktanya justru Masyarakat Kasepuhanlah yang menunjukkan fenomena perubahan struktural dan kelembagaan. Salah satu bentuk perubahan yang dialami oleh Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik adalah perubahan struktural dan perubahan kelembagaan lebih jelasnya akan dijelaskan pada bab 6. Salah satu bentuk perubahan yang dimiliki oleh masyarakat adat adalah meningkatnya kemampuan beradaptasi dengan situasi yang baru akibat terjadinya konflik. Hal ini sejalan dengan pemikiran Lewis Coser dalam Kinseng, 2013 bahwa semakin suatu itu konflik mendorong peningkatan inovasi dan kreativitas unit-unit suatu sistem sosial, pelepasan permusuhan sebelum ia mempolarisasi unit-unit suatu sistem sosial, mendorong tumbuhnya aturan normatif hubungan konflik, peningkatan kesadaran akan isu-isu realistik, dan peningkatan jumlah koalisi asosiatif antara unit-unit sosial, maka semakin besar tingkat integrasi sosial internal sistem secara keseluruhan dan semakin besar kapasitasnya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan ekternal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kalau konflik kecil kecil dibiarkan akan meningkatkan kemampuan adaptasi. Dengan kata lain bahwa konflik membuat kemampan resiliensi masyarakat meningkat dan variasi karena mereka menjadi terbiasa. Dampak konflik terhadap peningkatan resiliensi masyarakat tersebut terjadi pada Masyarakat Kasepuhan dalam konflik di TNGHS dan pada Masyarakat Dayak Iban dalam konflik di Hutan Sungai Utik. Berdasarkan fenomena yang ditunjukkan oleh Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, maka dapat dikatakan bahwa salah satu dampak konflik ditingkat kelompok adalah resiliensi kelentingan. Konflik 153 menyebabkan masyarakat adat memiliki kelentingan. Apabila kelentingan resiliensi didefinisikan sebagai the ability of people to recover quickly from shock, injury etc. Her natural resilience helped her to overcome the crisis kamus oxford, maka dapat dikatakan bahwa baik Masyarakat Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban memiliki kelentingan resiliensi. Dalam kasus TNGHS, ketika kelembagaan negara mendominasi kelembagaan lokal melalui kebijakan negara tentang perluasan taman nasional dan melumpuhkan kelembagaan adat, kondisi tersebut telah memaksa kelembagaan adat berubah. Disatu sisi kelembagaan adat menjadi tidak memiliki ability untuk mengambil manfaat atas hutan karena tidak adanya akses, namun terjadi peningkatan kemampuan masyarakat dalam beradaptasi dengan keadaan baru akibat terjadinya konflik dengan BTNGHS. Kemampuan tersebut lebih tepatnya dikatakan sebagai kelentingan. Kelentingan pada Masyarakat Kasepuhan ditunjukkan dengan kemampuan masyarakat menghindari serangan dengan cara menghindari konflik terbuka, secara sembunyi-sembunyi mereka tetap menggarap kawasan leuweung garapan sambil tetap memperjuangkan untuk memperoleh hak akses terhadap hutan; kemampuan konsolidasi dengan cara menggalang aliansi dengan kelompok Masyarakat Kasepuhan lain dan membentuk “Kesatuan Masyarakat Adat Banten Kidul” SABAKI, kemampuan mengulur waktu dengan cara bernegosiasi, mendialogkan kembali tentang tata batas, akses bahkan zonasi, dan kemampuan memeluk pihak lain dengan cara mengembangkan web of powernya dengan merangkul bukan hanya dengan LSM tetapi dengan pemerintah daerah. Ketika akses terhadap sumberdaya hutan menjadi terbatas, dan tuntutan perubahan dari masyarakatnya meningkat, Masyarakat Kasepuhan mulai mengembangkan ability lain yang dapat memberi akses pada Kasepuhan di ruang politik lokal, melalui afiliasi yang dibangunnya dengan pemerintah daerah atau elit-elit politik nasional. Pada Masyarakat Kasepuhan, konflik menyebabkan terjadinya perubahan dan perubahan tersebut merupakan bukti bahwa kelembagaan Kasepuhan mempunyai kelentingan resiliensi dengan cara mengembangkan web of power yang sasarannya adalah otoritas politik di tingkat lokal. 154 Pada Masyarakat Dayak Iban berbeda dengan Masyarakat Kasepuhan. Mereka tidak menghindari serangan melainkan melawan, dengan cara mengusir pengusaha dari kawasan, menyita alat-alat beratnya dan tetap bertahan mempertahankan kawasan tersebut. Masyarakat Dayak Iban dalam perjuangannya melawan negara juga mengembangkan abilitynya untuk melakukan konsolidasi ke dalam diantara warga Masyarakat Dayak Iban dan konsolidasi dengan Masyarakat Dayak Iban lain dalam Ketemenggungan Jalai Lintang. Mereka mengembangkan web of power mereka dengan menjalin kolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat LSM. 5.5. Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Konflik Sumberdaya Alam Konflik sumberdaya hutan menjadi semakin kompleks manakala pemerintah daerah dengan otonomi daerahnya turut masuk kedalam arena konflik. Pada kasus TNGHS, pemerintah daerah membantu Masyarakat Kasepuhan untuk menyelesaikan konflik dengan BTNGHS, dengan mendukung keberadaan masyarakat adat di kawasan TNGHS. Pada kasus Hutan Sungai Utik, pemerintah daerah mengeluarkan IUP untuk PT. RU di kawasan yang sama dengan IUPHHK untuk PT. BRW. Pada kasus TNGHS, dukungan langsung Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi kepada Masyarakat Kasepuhan dilakukan dengan jalan menjembatani penyelesaian konflik antara Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS. Pemerintah daerah membantu memfasilitasi pembuatan draf akademik untuk rancangan kesepakatan antara Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS, walaupun usaha pemerintah daerah tersebut belum mencapai konsesus namun proses penyelesaian konflik dengan jalan negosiasi sudah dilakukan. Selain dukungan langsung, pemerintah daerah juga pemberikan dukungan tidak langsung berupa alokasi dana pembangunan bagi masyarakat adat untuk pembuatan jalan tembus dari Desa Sirna Resmi ke lokasi pemukiman Kasepuhan Cipta Gelar yang nyata-nyata berada di tengah kawasan TNGHS. Keberadaan jalan tembus tersebut membuka akses masuk dari luar ke dalam kawasan. Masyarakat menjadi lebih mudah untuk datang dan pergi dari dan ke dalam kawasan TNGHS. Hal tersebut bermakna bahwa pembangunan jalan tersebut merupakan bentuk dukungan pemerintah daerah terhadap masyarakat adat dalam menentang kebijakan taman nasional. 155 Dalam kasus Hutan Sungai Utik, Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu dengan kebijakan otonomi daerahnya turut memperunyam masalah dan menambah rumitnya konflik sumberdaya hutan. Melalui kewenangan yang diperoleh berdasarkan legitimasi UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 22, pemerintah daerah menggunakan kewenangannya untuk mengelola lingkungan, termasuk sumberdaya hutan didalamnya. Dengan dasar tersebut, Pemerintah Daerah Kapuas Hulu mengeluarkan izin usaha perkebunan IUP kepada PT. RU untuk usaha perkebunan karet dengan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 tentang Izin Lokasi untuk Perkebunan Karet Seluar 14.000 Ha di Kecamatan Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, yang kemudian dirubah peruntukannya menjadi sawit dengan Surat Bupati Nomor 525032DKHBPT-A tentang Persetujuan IUP Perubahan dari Karet Menjadi Kelapa Sawit tanggal 10 Januari 2011. Pemerintah daerah dengan kebijakan IUPnya tersebut telah membuat konflik sumberdaya hutan menjadi semakin kompleks, menghadapkan masyarakat adat vis avis dengan pemerintah pusat, dengan pengusaha pemegang IUPHHK, dengan pemerintah daerah dan dengan pengusaha pemegang IUP. Keberadaan kebijakan pemerintah daerah tersebut telah memberi tekanan tersendiri bagi Masyarakat Dayak Iban. Sebenarnya, kebijakan otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, peran serta masyarakat, dan peningkatan daya saing pemerintah daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Percepatan kesejahteraan masyarakat tersebut dilakukan melalui pembagian kewenangan pusat dan daerah yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan diperbaiki dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Bab III tentang Pembagian Urusan Pemerintahan selanjutnya disebut UU otonomi daerah Pasal 10 menyebutkan bahwa 1 pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang 156 oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Selanjutnya dalam Ayat 2 disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Adapun urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud disebutkan dalam Aayat 3 yaitu meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. 4 dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud, pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan atau pemerintahan desa. Berdasarkan Pasal 10 UU otonomi daerah tersebut bahwa yang menjadi kewenangan pemerintah pusat hanya 6 bidang yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Adapun perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang serta pengendalian lingkungan hidup menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah provinsi Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 dan pemerintah daerah kabupaten kota Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004. Berdasarkan UU otonomi daerah tersebut, daerah memiliki otoritas dalam perencanaan tata ruang wilayahnya termasuk bagaimana mengendalikan lingkungan hidup. Dengan kata lain daerah memiliki tanggung jawab dan kewenangan dalam peruntukan ruang dan pengendalian lingkungan hidup termasuk hutan didalamnya. Tanggung jawab daerah dalam pengendalian linkungan tersebut terkait dengan semangat awal otonomi daerah yang salah satunya adalah untuk pengelolaan sumberdaya alam secara efektif, sebagaimana termuat dalam ketetapan TAP MPR Nomor IVMPR1999 tentang GBHN, Bab IV Arah Kebijakan Huruf H Sumberdaya Alam Lingkungan Hidup Angka 3 menyebutkan bahwa: “mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga...dan seterusnya”. Selanjutnya dalam Huruf G tentang Pembangunan 157 Daerah Angka 1 Umum disebutkan bahwa “ ........mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab...”, termasuk di dalamnya pemanfaatan sumberdaya alam. Lebih lanjut TAP MPR tersebut menyebutkan dalam Huruf H angka 4 yaitu: “mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang yang pengusahaannya diatur dengan undang- undang”. Berdasarkan TAP MPR tersebut, semestinya keberadaan UU Otonomi Daerah dapat memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumberdaya alamnya secara efektif dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan kelestarian lingkungan. TAP MPR tersebut memberi amanat untuk daerah dalam melaksanakan pembangunannya dengan mendayagunakan sumberdaya alam yang ada untuk kesejahteraan masyarakat namun tetap menjaga kelestarian lingkungan. Berdasarkan fakta pada kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, dapat dikatakan bahwa kewenangan hutan utamanya masih ada pada negara pemerintah pusat. Hal tersebut menunjukkan ada ketidak-jelasan dan ketidak- pastian hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam hutan. Kewenangan daerah dalam mengatur dan mengelola sumberdaya alam didaerahnya belum sepenuhnya bisa dijalankan karena masih tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah pusat. Hubungan kewenangan untuk pengendalian lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 17, yaitu bahwa: “hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi: kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; bagi hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya; dan penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan. Pasal 17 tersebut mengatur tentang pemanfaatan dan bagi hasil pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya yang pelaksanaannya diatur kemudian dalam peraturan perundang-undangan lebih lanjut. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa otonomi 158 daerah atau desentralisasi penguasaan dan pendayagunaan sumberdaya alam termasuk kehutanan belumlah bersifat final tetapi masih membutuhkan perjuangan dan masih akan menyeret daerah ke dalam konflik sumberdaya alam yang melibatkan negara dan masyarakat adat Sebenarnya sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan secara tersendiri, antara lain Peraturan Pemerintah PP Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada Daerah, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disamping UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan dan undang-undang tersebut mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pengelolaan sumberdaya hutan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah PP Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada Daerah, Bagian Kedua Tentang Kepada Daerah Tingkat II, Pasal 5 bahwa: “kepada daerah tingkat II diserahkan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan, yang meliputi: a. penghijauan dan konservasi tanah dan air; b. persuteraan alam; c. perlebahan; d. pengelolaan hutan milikhutan rakyat; e. pengelolaan hutan lindung; f. penyuluhan kehutanan; g. pengelolaan hasil hutan non kayu; h. perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi pada areal buru; i. perlindungan hutan; dan j. pelatihan keterampilan masyarakat di bidang kehutanan. berdasarkan peraturan pemerintah tersebut diketahui bahwa ada beberapa urusan kehutanan yang pengurusannya diserahkan kepada daerah, termasuk pengelolaan hasil hutan non kayu, mencakup kegiatan pengusahaan, pemungutan, dan pemasaran hasil hutan non kayu. Dari sejumlah urusan yang diserahkan kepada daerah maka yang dapat diambil manfaatnya oleh daerah dari keberadaan hutan di daerahnya adalah pemanfaatan hasil hutan non kayu. Adapun pemanfaatan hasil hutan kayu masih menjadi kewenangan pemerintah pusat, apalagi mengalihkan fungsi kawasan hutan menjadi daerah perkebunan tidak diatur dalam PP tersebut. Selanjutnya, UU Nomor 41 Tahun 1999 Bab VIII tentang Penyerahan Kewenangan, Pasal 66 menyebutkan bahwa: 1 dalam rangka penyelenggaraan 159 kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. 2 pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. 3 ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan peraturan pemerintah. Berdasarkan UU di atas diketahui bahwa dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah yang dalam pelaksanaan teknisnya diatur dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang terbit setelah tahun 1999 tentang penyerahan kewenangan kepada daerah tidak ditemukan. Peraturan yang ada masih menggunakan peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 62 tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah. Dengan demikian, seharusnya bahwa keberadaan kebijakan otonomi daerah tersebut membawa pengaruh positif pada pengelolaan sumberdaya alam khususnya kehutanan, sebagaimana yang dikatakan oleh Raharjo dalam Subadi 2010 bahwa “dengan otonomi daerah dalam pemanfaatan sumberdaya alam SDA untuk kesejahteraan rakyat, telah membawa perubahan positif pada hubungan antara rakyat dengan pembuat kebijakan policy maker menjadi lebih dekat sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat, terbukanya akses rakyat dalam pembu atan kebijakan”. Namun jika melihat kasus konflik di dua lokasi penelitian TNGHS maupun Hutan Sungai Utik, apa yang dikemukakan oleh Raharjo dalam Subadi 2010 tidak sepenuhnya benar. Ketidak jelasan hukum telah membuat otonomi daerah justru telah membuat konflik sumberdaya alam menjadi semakin rumit. Selama masih ada ketidak-pastian hukum dan otonomi daerah dijalankan setengah hati, dimana pemerintah pusat masih mengontrol pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, maka peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk hutan hanya akan membuat konflik sumberdaya alam semakin rumit dan masyarakat adat semakin jauh dari perjuangannya untuk memperoleh hak kelola hutan sebagai hutan adat mereka. 160

5.6. Peran LSM Dalam Konflik Sumberdaya Hutan

Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik bukan hanya melibatkan masyarakat adat dan negara yang saling berhadapan, tetapi juga melibatkan lembaga swadaya masyarakat LSM yang berusaha membantu kedua belah pihak untuk dapat menyelesaikan konflik. Pada kasus TNGHS, LSM-LSM tersebut ada yang mendukung program BTNGHS, ada juga yang mendukung perjuangan Masyarakat Kasepuhan untuk memperoleh hak akses kelola hutan. Salah satu LSM yang mendukung program negara BTNGHS adalah JICA. JICA berusaha menjembatani kepentingan lingkungan dan kepentingan masyarakat. Dengan konsep “model kampung konservasi MKK”, JICA mencoba membantu TNGHS dalam mereboisasi kembali hutan yang gundul melalui konsep partisipasi masyarakat, dan melakukan pengembangan usaha ekonomi produktif untuk masyarakat di dalam kawasan. Adapun LSM-LSM yang pernah datang dan mendukung perjuangan Masyarakat Kasepuhan adalah SABAKI, SKEPI, PERAN, PUSAKA, LATIN, RMI, AMAN, RESPEK. Namun yang secara kontinyu dan terus menerus melakukan pendampingan terhadap masayarakat adalah LSM SABAKI dan AMAN. LSM SABAKI merupakan organisasi paguyuban masyarakat adat Banten Kidul dimana seluruh Kasepuhan menjadi anggotanya. Melalui SABAKI inilah Masyarakat Kasepuhan bekerjasama dengan pemerintah daerah, bukan hanya Pemerintah Kabupaten Sukabumi, termasuk juga Pemerintah Kabupaten Lebak untuk melakukan negosiasi dengan Departemen Kehutanan Republik Indonesia terkait usulan revisi SK Menhut No. 175Kpts-II2003 tentang Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Adapun AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah organisasi yang memayungi masyarakat adat di seluruh nusantara. Masyarakat Kasepuhan selalu dilibatkan dalam kongres AMAN. Abah Asep turut hadir di beberapa kongres AMAN, antara lain tahun 2007 mengikuti rapat kerja raker AMAN di Sasana Langgeng Budaya TMII, tahun 2009 bulan Agustus abah juga hadir dalam kongres AMAN di Halmahera. Networking Masyarakat Kasepuhan dengan AMAN terbentuk karena kesamaan ideologi pembelaan terhadap masyarakat adat dan kesamaan nasib sesama “masyarakat adat” yang umumnya memiliki 161 masalah yang sama terkait dengan konflik tenurial dengan negara. Keberadaan LSM AMAN bukan hanya membantu perjuangan masyarakat pada level kebijakan di tingkat pusat tapi juga berusaha menyelesaikan masalah di tingkat grassroot. LSM juga pernah membantu Masyarakat Kasepuhan dalam membuatkan naskah akademik mengenai “pengelolaan hutan oleh masyarakat adat”. Bantuan tersebut berasal dari LSM PUSAKA dan PERAN. Konsep naskah akademik tersebut sudah disampaikan kepada Bupati Kabupaten Sukabumi dan anggota DPR, namun belum ada tindak lanjutnya sampai sekarang. Dalam kasus Hutan Sungai Utik, keberadaan LSM mendukung perjuangan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik untuk mendapatkan pengakuan hak atas hutan adat mereka. Perjuangan Masyarakat Sungai Utik lebih banyak disuarakan oleh para LSM yang mengaku mewakili dan atas nama masyarakat. LSM-LSM yang berkiprah di Sungai Utik antara lain AMAN dan LSM-LSM yang berada dibawah Yayasan Pancur Kasih. Beberapa perjuangan yang dilakukan melalui LSM AMAN antara lain konsolidasi dan penguatan masyarakat adat, pemetaan partisipatif di wilayah kelola masyarakat adat, memperkuat organisasi masyarakat adat, termasuk kelembagaan adat, mendorong perubahan paradigma kebijakan-kebijakan yang belum berpihak kepada masyarakat adat, mendorong lahirnya UUPPHMA undang undang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Beberapa pendekatan multi pihak yang dijalankan oleh AMAN dengan melakukan MoU dengan negara, antara lain MoU AMAN-Kementerian Lingkungan Hidup, AMAN-Komisi Nasional Hak Asasi Manusia KOMNAS HAM, AMAN-Badan Pertanahan Nasional BPN. MoU AMAN dan BPN meliputi beberapa hal: pertukaran informasi dan pengetahuan di kalangan badan pertanahan nasional dan aliansi masyarakat adat nusantara dalam rangka meningkatkan pemahaman visi, misi, peran dan tugas masing-masing; memformulasikan kebijakan untuk mengakomodasi hak-hak masyarakat adatnya dalam konteks pembaruan hukum dan peraturan perundang- undangan nkri; identifikasi dan inventarisasi keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya sebagai landasan proses legalisasi menuju perlindungan hukum hubungannya antara wilayah adat dan masyarakat adatnya; merumuskan