Multiple Basis of Land Rights danMultiple Basis of Access:

101 oleh negara dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR Republik Indonesia Nomor IXMPR2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dimana konflik terjadi akibat penetapan kawasan hutan secara sepihak dari zaman Hindia Belanda sampai era “Pemerintah Orde Baru” dan masih dipertahankan sampai sekarang. 4.4.a. Kebijakan Pertanahan Menurut Negara 4.4.a.1. Kebijakan Pertanahan Pada Masa Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, persoalan masyarakat adat sudah menjadi persoalan tersendiri untuk Pemerintah Belanda, dan Belanda mengakomodasinya dalam peraturan perundang-undangan saat itu. Melalui IGO Inlandshe Gemeente Ordonantie, Staatsblad 1906 No 83, Pemerintah Belanda mengakui pemerintahan desa di Jawa dan Madura dan IGOB Inlandshe Gemeente Ordonantie Biutengewsten Staatsblad 1938, No 490 yang mengakui struktur pemerintahan adat di sepuluh wilayah di luar Jawa-Madura. Oleh karena itu, di era Kolonial Belanda, pemerintah tidak berusaha menciptakan struktur baru bagi masyarakat desa, tetapi memberikan pengakuan hukum terhadap struktur pemerintahan adat di pedesaan Zakaria, 2000. Dengan keberadaan IGOB tersebut, Pemerintah Kolonial Belanda seakan- akan memberikan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat, namun ketika dihadapkan dengan penguasaan tanah dan sumberdaya, Pemerintah Kolonial mengeluarkan kebijakan yang lain yang disebut domeinverklaring. Kebijakan ini sudah dimulai sejak zaman Raffles tahun 1813. Ketika itu, Raffles mendeklarasikan bahwa hak penguasaan atas lahan di Jawa disatukan dalam kepentingan kedaulatan Eropa sebagai pewaris kedaulatan Jawa. Untuk menjamin penafsiran ekspansif Deklarasi Raffles, setiap lahan yang tidak digarap atau telah dibiarkan selama lebih dari 3 tahun, dianggap sebagai lahan sisa yang tidak ada pemiliknya. Pemerintah Kolonial Belanda menegakkan kembali Deklarasi Raffles dengan menyatakan bahwa lahan sisa di kawasan Jawa dan Madura merupakan milik negara. Belakangan, konsep ini juga diterapkan di wilayah kekuasaan tidak langsung Belanda, seperti Domeinverklaring untuk Sumatera Pasal 1, Staatsblad 102 1874-94f, Domeinverklaring untuk Manado Pasal 1, Staatsblad 1877-55, Domeinverklaring untuk Borneo Kalimantan Pasal 1 Staatsblad 1888-58. Lihat Lynch dan Harwell, 2002 dalam Steni, 2008. Selanjutnya, dalam pelaksanaan Domeinverklaring tersebut, negara kolonial mempromosikan sertifikat-sertifikat tanah. Tanah yang bersertifikat ini dikeluarkan dari Domeinverklering. Hal ini tentu saja tidak terjangkau oleh hukum-hukum adat. Domeinverklaring atau pernyataan tanah negara lewat Agrarische Besluit yang melaksanakan Agrariche Wet tahun 1870 dan Bosch Ordonantie Peraturan Pelaksana Tentang Kehutanan tahun 1920, sekalipun IGOB mengakui keberadaan masyarakat adat, namun melalui Domeinverklaring ini, negara menggusur penguasaaan sumberdaya oleh masyarakat adat yang tidak memiliki bukti formal. Dengan begitu, pengakuan atas hukum adat adalah bagian dari upaya preservasi agar masyarakat adat tidak memiliki peluang dan kesempatan untuk mengklaim hak-hak yang setara, sebagaimana tertuang dalam semangat hukum liberal. Dengan demikian, di atas tanah-tanah masyarakat adat, hukum Barat secara bebas diterapkan karena kawasan-kawasan tersebut sudah sejak dini ditetapkan sebagai kawasan negara. Struktur-struktur adat pun diakui tetapi sekaligus dimanfaatkan untuk kepentingan kolonial, dimana menunjuk struktur pribumi adalah kecerdikan politik yang canggih karena kekuatan kontrol kolonial melebur masuk jauh ke relung-relung ketaatan tradisional warga adat kepada tetua mereka Zakaria, 2000, McCarthy, 2001, dalam Steni, 2008. Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat ini tertuang dalam Osamu Seirei No. 27 2602 atau 1942, kemudian diganti dengan Osamu Seirei No. 30 tahun 1942. Berdasarkan UU Osamu Senrei No.1 Tahun 1942, UU dari pemerintah terdahulu tetap diakui selama tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer. Dengan demikian kebijakan negara pada saat itu sama dengan kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. 4.4.a.2. Kebijakan Pertanahan Setelah Indonesia Merdeka Setelah Indonesia merdeka, Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konsep Negara Republik Indonesia, bahwa hak tanah seutuhnya merupakan hak negara, sebagaimana yang tertulis dalam UUD 1945 Pasal 33 103 Ayat 3, yaitu Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Dari apa yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar tersebut mengisyaratkan bahwa tanah termasuk sumberdaya hutan adalah milik negara, artinya rightnya ada pada negara. Sebenarnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, telah diatur mengenai hak masyarakat adat, yaitu pada pasal 18B2, bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya dalam pasal 28I 3 disebutkan bahwa Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dengan demikian, UUD 1945 mengakui adanya kesatuan masyarakat adat dan hak-haknya dengan syarat bahwa masyarakat hukum adat tersebut sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diatur dalam undang-undang. Selanjutnya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat ini disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang UU No. 22 Tahun 1948, Peraturan tentang penetapan aturan-aturan pokok mengenai pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri. Dalam penjelasan pasal 18 UU ini disebutkan bahwa menurut undang-undang pokok ini, daerah otonom yang terbawah ialah desa, negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 18 UU tersebut disebutkan bahwa “untuk memenuhi Pasal 33 UUD 1945, negara dengan rakyat Indonesia harus makmur. Untuk mendapatkan kemakmuran ini harus dimulai dari bawah, dari desa ”. Oleh karena itu desa harus dibuat dalam keadaan senantiasa bergerak maju, dinamis. maka untuk kepentingan itu pemerintahan desa dimasukkan didalam lingkungan pemerintahan yang diatur dengan sempurna modern. Untuk mengatur daerah di bagian Timur Indonesia UU Negara Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950, telah diterbitkan Undang-Undang Negara Indonesia Timur. Menurut Ayat 5 Pasal 17 Undang-Undang tersebut, Kepala 104 Daerah Swapraja diangkat oleh pemerintah pusat dari keturunan keluarga Swapraja dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat-istiadat di daerah atas pencalonan dari D.P.R.D. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Swapraja yang bersangkutan. Pada undang-undang inipun tersurat adanya pengakuan atas adat istiadat. Undang-Undang Negara Indonesia Timur NIT No.441950 adalah satu-satunya undang-undang dari Pemerintahan N.I.T. dahulu yang berlaku di Indonesia Timur dan yang mengatur pokok-pokok tentang pemerintahan daerah. Namun kemudian UU No. 22 Tahun 1948 dan Undang-Undang Negara Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950 ini dibatalkan dengan pemberlakukan UU Nomor 1 Tahun 1957 yang selanjutnya diganti dengan UU Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang dilengkapi dengan UU Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja, dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Tonggak penting pengakuan atas tanah dan sumberdaya alam negara maupun masyarakat hukum adat ada pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria disebut UUPA. Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 disebutkan bahwa 1 Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Selanjutnya dalam Ayat 2 Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 disebutkan bahwa Hak menguasai dari negara termaksud dalam Ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Pasal tersebut menegaskan bahwa negara memiliki hak menguasai atas bumi, air dan kekayaan didalamnya. UUPA juga mengakui adanya hak ulayat pada Pasal 3 Undang-Undang tersebut, sebagai berikut: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum 105 adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi ”. Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa “Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan negara sebagai yang disebut dalam pasal 1 dan 2 maka didalam pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3 tersebut menentukan, bahwa: Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan yang lebih tinggi. Pengaturan mengenai hak masyarakat dan hukum adat ini juga termuat dalam Pasal 5, Pasal 16 UUPA ini. Hukum adat dan hak ulayat mendapat perhatian dalam UU Pokok Agraria ini, bahkan disebutkan dalam Pasal 22, bahwa 1 Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah. Selanjutnya dalam Pasal 50, bahwa 1 Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan undang-undang. Pasal 56 menyebutkan bahwa selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Namun dalam penjelasan UU Nomor 5 Tahun 1960 tersebut diterangkan sebagai berikut: “karena sebagai akibat dari politik hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum-adat disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum Barat. UUPA bermaksud menghilangkan dualisme itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian. Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada 106 hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat. Agar tidak terjadi dualisme hukum yaitu antara hukum adat dan hukum Barat, maka dalam batang tubuh UUPA disebutkan bahwa sebagai acuan utama adalah hukum adat. Namun dalam penjelasan disebutkan bahwa “Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk ”. Dengan demikian UUPA hanya menegaskan bahwa negara menguasai tanah dan kekayaan di dalamnya termasuk seluruh sumberdaya alam. Sekalipun ada pengakuan atas hukum adat dan tanah ulayat namun ketika dianggap bertentangan dengan kepentingan negara nasional, maka hukum adat dengan tanah ulayatnya harus direlakan untuk kepentingan negara. Pada tahun berikutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, negara melakukan penyeragaman desa, dan masih mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum. Undang-undang ini tidak memberi ruang bagi masyarakat adat menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan konsep adatnya, sehingga di beberapa tempat terjadi dualisme kepemimpinan yaitu pemimpin adat dan kepala desa. Selanjutnya, dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, juga ada pengakuan negara terhadap hak ulayat yang dimiliki oleh suatu komunitas. Namun pengakuan ini hanya bersifat retorika, karena dalam prakteknya ada aturan lain dari negara dimana demi kepentingan orang banyak atau demi kepentingan negara, maka klaim atas tanah hak ulayat oleh komunitas adat tersebut bisa digugurkan. Pengakuan terhadap masyarakat adat ini juga disebutkan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengakui kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat dan asal usul. Selain itu, ada juga pengakuan terhadap masyarakat adat terpencil di dalam Keppres No. 1111999 107 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil, dan dalam Keputusan Menteri Sosial Kepmensos RI No. 6PEGHUK2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Dalam hubungannya dengan pengaturan hubungan pemerintahan pusat dan daerah, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat MHA juga disebutkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebutkan pula dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa. Selanjutnya, dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia lihat Pasal 2 Ayat 9 UU Nomor 32 Tahun 2004. Begitupun dengan PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa, disebutkan bahwa salah satu kewajiban kepala desa dalam Pasal 15 Ayat 1 Huruf m, yaitu membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat. Berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah dan desa, maka sebetulnya undang-undang ini telah menempatkan masyarakat hukum adat dan adatnya sebagai bagian dari hukum negara yang harus diakui dan dihormati keberadaannya, artinya seluruh peraturan daerah yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan hukum masyarakat adat dan adat istiadat masyarakatnya. Lebih lanjut kebijakan mengenai kelola adat atas hutan diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999, mengakui hutan adat dan hak masyarakat hukum adat di kawasan hutan secara terbatas sekali. Namun UU tersebut belum ditindak lanjuti dengan peraturan pemerintah PP. Sederet peraturan perundang-undangan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut hanya mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, hukum adat dan hak ulayat, namun dalam prakteknya masih setengah hati, dimana hukum adat atau hak masyarakat adat diakui ketika tidak bertentangan dengan hak dan hukum negara. 108 4.4..b. Sejarah Penguasaan Tanah Masyarakat Adat Berikut ini akan digambarkan bagaimana masyarakat memaknai hak dan akses terhadap sumberdaya alam. Adapun pemaknaan hak dan akses menurut Mayarakat Adat berbeda-beda. Hak milik dan akses setiap masyarakat memiliki karakteristik berbeda-beda untuk setiap masyarakat suku bangsa. Dalam tulisan ini akan ditampilkan dua kasus hak penguasaan dan hak akses pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Pada kedua masyarakat ini mengenal dua sistem penguasaan tanah, yaitu sistem penguasaan komunal dan sistem penguasaan individu. Sekalipun sistem penguasaannya sama, namun penanda atas kekuasaan tersebut dan sejarah penguasaan tanah adat pada Masyarakat Kasepuhan berbeda dengan sejarah penguasaan tanah adat pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. 4.4.b.1. Penguasaan Tanah Menurut Masyarakat Kasepuhan Sejarah keberadaan Masyarakat Kasepuhan di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak sudah sejak 634 tahun yang lalu. Menurut Abah Asep bahwa dari cerita turun-temurun, diketahui Masyarakat Kasepuhan adalah sisa-sisa kerajaan Pakuan Padjadjaran. Masyarakat Kasepuhan menandai wilayahnya dengan makam keramat. Makam keramat itulah yang menjadi simbol keberadaan Masyarakat Kasepuhan sejak dulu dan menjadi tonggak penguasaan adat atas teritori tersebut. Secara komunal seluruh Masyarakat Kasepuhan mengakui bahwa Kawasan Halimun Salak adalah kawasan adat. Pada kawasan komunal ini dibagi lagi sesuai peruntukkan, ada kawasan hutan, ada kawasan lahan pertanian dan pemukiman. Pada kawasan hutan, penguasaan hutan diakui sebagai penguasaan bersama seluruh Masyarakat Kasepuhan, tidak ada batas yang terpisah untuk masing- masing Kasepuhan. Pengaturannya didasarkan atas tradisi nenek moyang yang dijaga secara turun temurun. Menurut Abah Asep bahwa “klaim atas wilayah Gunung Halimun Salak oleh Masyarakat Kasepuhan sudah sejak lama, sejak sebelum Indonesia merdeka, bahkan sejak sebelum Indonesia dijajah. Penguasaan tanah adat pada Masyarakat Kasepuhan sudah dimulai sejak 634 tahun yang lalu sejak perpindahan pertama dari Jasinga ke Bogor” 109 Wilayah Kasepuhan, sejak tahun 1932 berpusat di Cicemet, kemudian tahun 1941 meluas ke wilayah Lebak Salak, Cijaha, Jeruk Nipis, Sodong Lebak Nangka, Cisuren. Dalam kawasan tersebut, hak akses masyarakat dibatasi berdasarkan adat aturan nenek moyang, yang dipercaya oleh masyarakat masih mengatur dan mengontrol kawasan tersebut sekalipun mereka sudah tidak ada lagi didunia ini. Berdasarkan tanda leluhur yang ditinggalkan, wilayah adat batas tanah adat yang diklaim oleh Masyarakat Kasepuhan, sebagai berikut: 1. Sebelah Selatan adalah Wilayah Jampang Pandai Domas 2. Laut sampai ke Puseran Agung 3. Timur di Gunung Sumping 4. Barat di Ujung Kulon 5. Utara di Baduy Bogor. Dalam konteks di atas bisa dikatakan bahwa penguasaan lahan atau kawasan tidak pernah berpindah tangan melainkan masih menjadi hak dari para pionir pembuka kawasan yang pertama kali yaitu nenek moyang. Konsep ini hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Li 1996 bahwa hak properti berasal dari pembukaan lahan awal menjadi hak tak terbantahkan untuk menanam pohon komersial dan mengklaim penguasaan sepenuhnya. Kondisi ini masih dipraktekkan di sejumlah kawasan adat di Indonesia termasuk di kawasan Masyarakat Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Penghormatan terhadap nenek moyang dalam bentuk ritual pemberian sesajen dan sejumlah doa dipanjatkan kepada roh nenek moyang untuk meminta izin manakala mereka mau memasuki kawasan atau untuk mengambil manfaat dari kawasan tersebut termasuk untuk memotong kayu maupun mengolah lahan pertanian, bahkan untuk kawasan tertentu memasukinya saja harus melakukan ritual untuk meminta izin mereka. Mekanisme permintaan izin ini dipimpin oleh abah selaku ketua adat Kasepuhan atau tuai rumah selaku penguasa rumah panjang di Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Pada kawasan lahan pertanian, setiap komunitas Kasepuhan mempunyai klaim penguasaan atas kawasan yang berbeda-beda, dengan batas dan luasan yang sangat jelas. Penguasaan tanah tersebut ada yang bersifat komunal tanah adat ada yang bersifat individual. Tanah adat biasanya dikerjakan secara bersama-sama 110 oleh incuputu warga Masyarakat Kasepuhan, selanjutnya hasilnya akan disimpan di lumbung adat yang pemanfaatannya diatur oleh abah selaku ketua adat kepala suku. Tanah komunal ini dalam istilah adat disebut tanah ulayat atau tanah adat. Dalam persepsi masyarakat bahwa hak ulayat ini adalah hak milik adat dan dikuasai oleh abah selaku ketua adat. Hak yang dimiliki oleh abah ini adalah hak pakai bukan hak milik. Namun menurut Li 1996, pengakuan atas hak ulayat ini lemah dan tunduk pada kepentingan nasional. Akibatnya, seringkali negara dengan mudah mengambil tanah tersebut. Hak ulayat dimaknai oleh negara sebagai tanah negara lihat juga Moniaga, 1993. Dalam Masyarakat Kasepuhan, selain penguasaan secara komunal, ada juga penguasaan yang diakui secara individual. Luasan penguasaan individual ini pada masa lalu diperoleh dari hasil kerja individu tersebut, yaitu seberapa jauh dan seberapa luas tanah yang dapat digarap oleh individu tersebut. Dimasa lalu, masyarakat melakukan praktek perladangan berpindah. Kawasan yang pernah dibuka sebagai ladang atau lahan pertanian menjadi hak milik dari orang yang membuka lahan tersebut. Setelah ladang tersebut ditinggalkan, penguasaan lahan tersebut masih menjadi penguasaan pelopor orang yang pertama membuka ladang dan diwariskan kepada keturunannya. Jadi orang-orang Kasepuhan sekarang hanya meneruskan apa yang diperoleh nenek moyangnya di masa lalu. Ketika ladang ditinggalkan oleh pemiliknya, karena pemilik ladang tersebut berpindah ke tempat lain yang lebih subur, maka ladang tersebut bisa digarap oleh orang lain melalui hak pinjam. Artinya, orang lain bisa meminjam lahan tersebut untuk digarap sebagai lahan pertaniannya, namun status penguasaannya tetap ada pada orang yang pertama pioner dan keturunannya, namun perjanjian peminjaman inipun harus melalui dan seizin dari abah selaku ketua adat. Selain ada hak pinjam, ada juga hak akses yang bisa diperoleh orang lain tanpa harus meminta izin terlebih dahulu, apabila kawasan tersebut memang tidak digarap atau lahan kosong. Akses tersebut berupa mengambil manfaat dari kawasan tersebut, seperti pengambilan kayu bakar, atau tanaman-tanaman yang masih tersisa di lahan tersebut. Namun apabila dilahan tersebut ada pohon kayu komersial atau tanaman komersial lainnya seperti kapolaga, maka akses untuk orang lain tersebut menjadi hilang. Artinya lahan tersebut tidak kosong atau 111 ditinggalkan, melainkan ada pengalihan peruntukan dari ladang pertanian menjadi perkebunan kayu atau tanaman komersial lain. Seperti yang diungkapkan oleh Li 1996, bahwa dalam konsep perladangan berpindah gagasan warisan budaya tidak diuraikan. Tanah terus menjadi milik nenek moyang yang pertama kali membersihkan lahan tersebut, dan semua generasi muda secara efektif meminjam dari mereka. Apa yang dikemukakan Li tersebut terjadi juga pada Masyarakat Kasepuhan dimana generasi sekarang ketika akan menggarap lahan harus mengadakan upacara ritual terlebih dahulu, meminta izin kepada roh nenek moyang untuk menggarap lahan. Dengan demikian, masyarakat generasi sekarang mengerjakan lahan yang dipinjam dari nenek moyang mereka. Lahan tersebut secara adat tidak dapat diperjual-belikan, mereka hanya boleh menggarap lahan tersebut. Jika lahan tersebut penguasaannya akan dialihkan kepada orang lain, maka harus melalui izin nenek moyang melalui upacara ritual yang dipimpin oleh abah. Apabila dilihat dari konteks negara, tanah-tanah penguasaan individu dalam adat Kasepuhan tersebut adalah juga tanah-tanah yang diklaim sebagai tanah hak guna usaha HGU yang dikuasai oleh Perum Perhutani dulunya. Secara formal Perum Perhutani memiliki hak property di kawasan tersebut berupa HGU, Masyarakat Kasepuhan memiliki hak tersebut berdasarkan persepsi adat budaya dan tradisi mereka, namun secara formal mereka tidak memiliki hak. Baik Perhutani maupun Masyarakat Kasepuhan keduanya memiliki akses yang sama pada kawasan yang sama. Tumpang tindih klaim penguasaan tersebut di masa lalu tidak menyebabkan konflik, karena ada pengaturan yang disepakati bersama antara Masyarakat Kasepuhan dan Perum Perhutani dalam memanfaatkan kawasan. Masyarakat Kasepuhan memanfaatkan lahan tersebut untuk kawasan pertanian padi, palawija dan pohon-pohon kayu yang tidak komersial, sedangkan Perhutani memanfaatkan lahan tersebut untuk menanam pohon-pohon kayu komersial. Sebagian hasil pertanian masyarakat diberikan kepada Perhutani sebesar 15- 25 dari hasil tani tergantung besarnya jumlah hasil tani istilah mereka cukai Perhutani, sesuai kesepakatan. 112 Konflik antara negara dan masyarakat terjadi setelah tahun 2003, dimana status HGU Perum Perhutani dicabut dan dialihkan menjadi kawasan taman nasional. Ketika status kawasan tersebut menjadi kawasan taman nasional, maka negara tidak lagi memberi ruang yang bebas termasuk tidak ada pengakuan atas penguasaan masyarakat adat. Masyarakat harus keluar dari wilayah lahan garapan mereka. Ketika lahan garapan yang menjadi livelihood mereka terancam maka konflik masyarakat dan negara menjadi tidak terelakkan. 4.4.b.2. Penguasaan Tanah Menurut Masyarakat Dayak Iban Adapun sejarah penguasaan tanah adat pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik masih baru. Sungai Utik juga berfungsi sebagai bukti penguasaan wilayah sebagaimana perjanjian dengan suku Embaloh. Wilayah adat yang didiami oleh Masyarakat Dayak Iban sekarang ini dulunya merupakan wilayah penguasaan suku Dayak Embaloh. Dayak Iban sendiri dulunya berasal dari Lanjak. Suatu hari beberapa orang Dayak Iban pergi untuk menentukan kawasan yang cocok dan subur bagi lahan pertanian, maka pergilah beberapa orang Iban yaitu Ijon, Tapao, Erman, Kumok, Nawan bersama dengan Unyob dari suku Embaloh, sambil mereka mencari “rotan, nyatu, dan kubal”. Akhirnya mereka menemukan wilayah baru yang subur. Sepulang dari kerja mereka pergi ke Lanjak dan melaporkan kepada Pateh Judan bahwa mereka menemukan daerah baru yang cocok, namun wilayah tersebut adalah wilayah Suku Dayak Embaloh. Oleh Pateh Judan, kemudian meminta wilayah baru tersebut kepada pemiliknya yaitu Malin Apai Melunsa suku Dayak Embaloh, untuk ditempati. Melunsa setuju daerah tersebut ditempati oleh suku Iban. Apalagi suku Iban dianggap sebagai pelindung bagi suku Embaloh dari serangan musuh. 113 Sejarah asal usul Dayak Iban Sungai Utik menempati daerah baru ini hampir sama dengan sejarah Dayak di Sanggau lihat Peluso, 2005. Sekalipun alasan kepindahan dua adat tersebut sedikit berbeda, dimana Dayak Iban pindah ke Sungai Utik dengan suatu konpensasi bahwa mereka harus menjadi pelindung Dayak Embaloh dari serangan musuh dan penguasaan seluruh kawasan Sungai Utik menjadi hak milik Dayak Iban bahkan digambarkan dengan hantu sekalipun yang ada didalamnya diberikan kepada orang Dayak Iban. Sementara Dayak Salako pindah ke Sanggau dengan transaksi jual beli dengan penghuni sebelumnya. Namun demikian, ada suatu kesamaan yang menandai pertukaran tersebut yaitu “tembawang” bekas rumah panjang. Hal tersebut bermakna bahwa dalam pertukaran tersebut juga dimaksudkan untuk mengakui tenaga kerja dan klaim dari para leluhur yang telah menciptakan sumberdaya yang berharga yaitu hutan ditebang untuk ladang dan tembawang tersebut. Dalam Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dikenal tiga jenis tembawai: a. Tembawai Rumah Panjae, suatu perkampungan yang dihuni selama beberapa tahun, kemudian ditinggalkan, karena pindah ke pemukiman yang baru. Tembawai biasanya ditumbuhi beragam jenis tanaman buah-buahan seperti durian, rambutan, langsat, asam, pinang, cempedak, rambai dan lain-lainnya. Selain ditumbuhi oleh tanaman buah-buahan juga ditumbuhi oleh tanaman Perjanjian antara Suku Dayak Iban dengan suku Dayak Embaloh, sebagai berikut: 1. Kalau suku Iban menempati daerah suku Embaloh Mbaloh, maka harus mengikuti kebiasaan suku Embaloh dan tidak boleh menggangu orang Embaloh atau orang lain. Dengan bahasa lain yaitu “bedilang besai, bejabung panjai, bedok betalaga darah ”. 2. Daerah yang diserahkan Malin Apai Melunsa adalah dari muara sampai uncak Sungai Utik. 3. Apa yang ada di wilayah Sungai Utik, adalah milik orang Sungai Utik, hantu sekalipun. 4. Selama ada orang Iban di Sungai Utik walaupun satu orang saja, apa yang ada masih milik orang tersebut, kecuali orang Iban Sungai Utik pindah semua, baru wilayah kembali ke suku Embaloh. 5. Orang suku Mbaloh Ulak Paoh tidak boleh mengganggu wilayah yang sudah diserahkan kepada orang Iban di Sungai Utik. Untuk mengukuhkan perjanjian tersebut, diadakan sumpah dengan beras kuning, 2 ekor babi, 2 ekor ayam, disertai dengan berkempit darah satu sama lain, juga memakai kujur. Dengan diangkatnya sumpah, baru suku Iban pindah ke wilayah yang diserahkan oleh suku Mbaloh Ulak Paoh tersebut. Ada satu tanda mata dari suku Embaloh yang diberikan dengan suku Iban yaitu tembawang Embaloh.. 114 lain seperti rotan, tengkawang, dan bermacam jenis tanaman bumbu- bumbuan. b. Tembawai Dampa’ sementara, suatu lokasi bekas perkampungan rumah panjae namun sifatnya sementara karena masyarakat lari dari “sesuatu” perkampungan, maka mereka membuat “dampa”. Tembawai ini biasanya ditempati 1-2 tahun, tidak ditanami tanaman buah-buahan, tetapi biasa ditanami pinang. c. Tembawai Langkao Umai, suatu tempat bekas mendirikan pondok ladang. Disekitar pondok ladang biasanya ditanami tanaman sayur-sayuran, bumbu- bumbuan, pisang, dan lain-lain. Dalam kasus pemindah-tanganan penguasaan tersebut juga diperlukan praktek ritual tertentu untuk menenangkan para leluhur sehingga menerima keberadaan komunitas baru yang akan menempati wilayah tersebut. Dalam menentukan hal pertukaran, para pemimpin adat pada saat itu melakukan pertukaran dengan suatu perjanjian, apa saja yang dipertukarkan termasuk menghitung jumlah pohon berdiri, luas bentang bidang tanah dan jumlah tembawang dalam wilayah yang dipertukarkan. Dalam kasus Sungai Utik, kawasan Sungai Utik dari muara sampai uncak Sungai Utik diserahkan oleh Suku Embaloh Ulak Paoh kepada orang Dayak Iban termasuk seluruh kekayaan yang ada didalamnya. Tiang pancang Tembawang Tembawai peninggalan Suku Embaloh masih dipelihara sampai sekarang sebagai tanda pengingat perjanjian di masa lalu. Selama masih ada orang Sungai Utik yang tinggal di daerah ini, kawasan ini masih menjadi milik orang Dayak Iban Sungai Utik, maka keturunan Suku Embaloh tidak boleh mengganggu hak penguasaan orang Dayak Iban di Sungai Utik, namun apabila sudah tidak ada seorangpun dari Suku Dayak Iban yang mau tinggal di daerah ini, maka wilayah tersebut kembali menjadi hak Dayak Embaloh Ulak Paoh. Dalam kasus Sungai Utik, hak yang diperoleh Dayak Iban adalah hak penguasaan total atas lokasi tersebut, sehingga apapun yang akan dilakukan oleh orang Dayak Sungai Utik terhadap kawasan tersebut, suku Embaloh tidak akan menggugat apapun. Hal ini berbeda dengan suku Dayak yang diceritakan oleh Peluso 2005, ketika sekitar tahun 1977, lebih dari 50 tahun setelah ritual 115 transfer, warga desa baru memutuskan untuk memindahkan rumah panjang ke sebuah lokasi di hutan di mana sekelompok pohon durian harus dipotong. Berita dari rencana untuk memotong pohon-pohon durian tersebut tersebar dengan cepat. Pemimpin adat saat itu dari desa pertama yang sudah pindah ke arah hilir, menuntut kompensasi tambahan adat, bukan hanya untuk keturunan langsung dari penanam pohon durian tersebut tetapi juga untuk seluruh desa. Pembayaran itu dimaksudkan untuk membiayai pesta dan upacara untuk menenangkan arwah para leluhur yang telah menanam pohon-pohon tersebut. Selain itu, warga baru tidak keberatan, mereka membayar denda terkait dengan menebang pohon durian dan memberikan makanan yang diperlukan untuk upacara ritual. Baik dalam kasus Sungai Utik maupun kasus Sanggau dalam Peluso, 2005, penduduk desa saat ini bersedia untuk mengakui klaim penghuni lama roh nenek moyang. Pengakuan atas hak “pelopor” tersebut dilakukan melalui upacara ritual, dimana apapun yang akan dilakukan oleh masyarakat terhadap tanah dan hutan serta pepohonan di atasnya, baik untuk menebang pohon karena alasan berladang ataupun untuk memindahkan rumah panjang baru, maka upacara ritual harus dilakukan untuk meminta izin dari roh nenek moyang, sekalipun roh nenek moyang tersebut bukan nenek moyang dari keturunan komunitas baru. Mungkin mereka takut pembalasan spiritual jika nenek moyang dari penanam pohon-pohon tersebut tidak diakui secara ritual. Apapun alasannya, insiden ganti rugi atas pemotongan pohon durian itu mengungkapkan bahwa baik sistem hukum maupun pengertian teritorial masyarakat selalu dan selamanya menentukan apa yang sebenarnya akan terjadi. Dalam kasus Sungai Utik, hak penguasaan tanah selain ada yang bersifat komunal ada juga hak penguasaan pribadi. Hak pribadi ini didasarkan atas kemampuan setiap individu atau keluarga dalam membuka hutan untuk berladang. Selanjutnya mereka akan berpindah ke tempat yang baru untuk berladang di tempat yang lebih subur. Namun setiap bekas ladang yang mereka buka sekalipun sudah mereka tinggalkan, penguasaannya melekat pada orang pertama yang membuka ladang tersebut. Sampai saat ini Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik masih menjalankan pola pertanian ladang berpindah, namun masyarakat sendiri menolak dikatakan 116 seperti itu karena terkesan merusak lingkungan. Mereka lebih suka disebut sebagai pertanian bergulir gilir balik. Karena menurut mereka, pola pertanian yang mereka lakukan tersebut akan membuat mereka kembali menggarap lahan yang sama setelah jangka waktu sekian tahun, paling cepat setelah 5 lima tahun atau paling lama 20 dua puluh tahun. Semua lahan bekas ladang yang pernah mereka buka tersebut yang disebut damun bekas ladang menjadi hak penguasaan mereka. Bekas ladang ini jumlahnya cukup luas seluas 2,370.75 hektar yang dikatagorikan oleh negara sebagai lahan kritis. Pada lahan bekas ladang menjadi hak penguasaan mereka yang pernah menggarap lahan tersebut. Mereka akan kembali menggarap lahannya apabila dipandang bahwa lahan tersebut sudah subur, biasanya ditandai dengan tumbuh suburnya pohon kayu di lahan tersebut tanpa mereka tanam. Lahan tersebut juga boleh dipinjamkan kepada tetangganya apabila tetangganya kehabisan lahan subur. Menurut mereka, sekarang ini sudah tidak bisa membuka lahan baru, jadi pertanian bergulir mereka hanya diseputar lahan yang ada. Perpindahan dari satu lahan ke lahan yang lain untuk pertanian tersebut tentu harus seizin roh nenek moyang yang akan ditenangkan melalui upacara ritual yang dipimpin oleh “tuai rumah ”. Tuai rumah akan membekali mereka dengan berbagai upacara ritual. Pada kasus Dayak Iban Sungai Utik, maka hak property suatu kawasan melekat pada pelopor pertama nenek moyang, sedangkan manusia masa kini termasuk keturunannya hanya memiliki hak akses. Hak akses masyarakat meliputi hak untuk menggarap lahan pertanian dan hak untuk menanami ladang dengan berbagai komoditas komersial pada kawasan kampong endor kerja kawasan yang diperuntukkan bagi lahan pertanian, hak untuk memotong kayu untuk kebutuhan membangun rumah pada kawasan kampong galou. Namun mereka memiliki beberapa batasan atas hak, ada exclusion dari lokasi, yaitu ada tanah mali dimana mereka sama sekali tidak boleh memasuki wilayah tersebut sekalipun tanah tersebut berada pada kawasan kampong endor kerja. 117 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

5.1. Penyebab dan Bentuk Konflik

Konflik dalam penguasaan sumberdaya hutan pada dua kawasan konflik yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS dan Hutan Sungai Utik disebabkan karena adanya kebijakan negara tentang tata kelola hutan. Di TNGHS, negara mengeluarkan kebijakan tentang pelestarian hutan, sedangkan di Hutan Sungai Utik, negara mengeluarkan kebijakan pemanfaatan hutan. Konflik ini melibatkan berbagai macam aktor dengan berbagai kepentingan. Di kawasan TNGHS, konflik yang terjadi adalah konflik negara dengan Masyarakat Kasepuhan. Negara dalam arti pemerintah pusat Departemen Kehutanan dalam tataran kebijakan, dan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak BTNGHS dalam tataran praktis pengelolaan hutan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Adapun di Sungai Utik, konflik terjadi antara negara dengan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Negara dalam arti pemerintah pusat Departemen Kehutanan dan pemerintah daerah Kabupaten Kapuas Hulu dalam tataran kebijakan. Kebijakan negara tersebut melahirkan rezim penguasaan hutan pada tataran praktis oleh pengusaha baik pengusaha yang mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK dari pemerintah pusat maupun pengusaha yang mengantongi izin usaha perkebunan IUP dari pemerintah daerah. Bentuk konflik pada kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik tersebut berupa konflik laten sampai konflik terbuka. Pada kawasan TNGHS, sebenarnya konflik sudah ada sejak lama, sejak terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan melalui klaim oleh masyarakat dan klaim oleh pihak lain atau Negara Hindia Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun dalam perjalanan sejarah konflik ini timbul tenggelam, kadang muncul ke permukaan menjadi konflik terbuka, kadang hanya sekedar konflik laten yang muncul di ruang wacana, tapi ketika terjadi konsensus maka konflikpun mereda. Dalam kasus Hutan Sungai Utik, telah terjadi konflik fisik antara pihak masyarakat adat dengan pengusaha pemegang IUPHHK yang merupakan representasi negara di kawasan. Konflik ini berujung pada pengusiran secara fisik 118 termasuk perusakan alat-alat berat dari lokasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pengusaha. Namun setelah pengusaha terusir dari lokasi konflikpun mereda, berubah menjadi konflik laten di ruang wacana. 5.1.a. Kasus Konflik TNGHS: Kebijakan Negara Tentang Pelestarian Hutan Setelah merdeka, Negara Kesatuan Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak di tahun 2003 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.175Kpts-II2003. Taman Nasional Gunung Halimun bergabung dengan kawasan Gunung Salak di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun- Salak seluas 113.357 hektar ha. Penggabungan kedua kawasan ini mencakup pula beberapa kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani. Dampak dari penggabungan hutan tersebut menyebabkan masyarakat kehilangan akses dan berbagai macam haknya. Jika mengacu pada teori property right dari ostrom dan schlager 1990, dapat dibedakan hak yang dimiliki oleh masyarakat sebelum dan sesudah tahun 2003, sebagai berikut: Tabel 9. Hak Masyarakat Kasepuhan Sebelum dan Sesudah Tahun 2003 Tipe hak right Sebelum tahun 2003 Sesudah tahun 2003 Access right Ya Tidak ya tapi terbatas Withdrawal right Ya Tidak Management right Ya Tidak Exclusion right Ya Tidak Alienation diversion right Tidak Tidak Sejak tahun 2003, masyarakat mulai kehilangan berbagai macam hak, hak untuk mengelola hutan berdasarkan konsep mereka, hak untuk memanfaatkan hasil hutan, bahkan terlarang untuk memotong pohon yang pernah mereka tanam di lahan pekarangan mereka sendiri. Satu-satunya hak yang masih ada adalah hak akses untuk memasuki kawasan hutan karena beberapa masyarakat terlanjur bermukim di lokasi tersebut. Dalam kontek ini, kondisi Masyarakat Kasepuhan menunjukkan bahwa mereka kehilangan berbagai macam hak, walaupun masih ada akses untuk memasuki kawasan tapi sifatnya sangat terbatas. Ketiadaan hak property right membuat akses juga terbatas. Konflik menjadi tidak terhindarkan manakala kebijakan perluasan TNGHS tersebut menyebabkan Masyarakat