Ruang Lingkup Penelitian Forest resources conflicts in West Java and West Kalimantan, Indonesia

15 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Konflik

Teori konflik berpandangan bahwa sistem sosial terbentuk sebagai respon atas konflik yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Raho 2007 bahwa teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Kemunculan teori konflik merupakan reaksi atas berbagai kritik terhadap teori struktural fungsional. Menurut Ritzer dan Goodman 2004, bahwa Teori konflik muncul sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik terhadap fungsionalisme struktural. Oleh karena itu teori konflik dapat dikatakan sebagai antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat, sedangkan teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Selanjutnya Ritzer dan Goodman 2004 mengemukakan bahwa fungsionalisme struktural melihat harmoni dari norma-norma dan nilai-nilai, teori konflik melihat paksaan, dominasi, dan kekuasaan. Menanggapi kedua teori tersebut, Dahrendorf melihat kedua teori sebagai teori yang menangani situasi yang berbeda, tergantung pada fokus penelitian. Menurut Dahrendorf, fungsionalisme berguna untuk memahami konsensus sementara teori konflik tepat untuk memahami konflik dan pemaksaan. Teori konflik berasal dari berbagai sumber, seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel lihat Ritzer dan Goodman, 2004. Salah satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakkan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori ini tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural fungsionalnya. Menurut Ritzer dan Goodman 2004, teori ini lebih merupakan sejenis fungsionalisme struktural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya. Seperti fungsionalis, ahli teori 16 konflik berorientasi ke studi struktur dan institusi sosial. Sedikit sekali pemikiran teori konflik yang berlawanan secara langsung dengan fungsionalis. Antitesis terbaik dari teori konflik ditunjukkan oleh karya Dahrendorf 1958, 1959. Melalui karya Dahrendorf, pendirian teori konflik sejajar dengan teori fungsionalis. Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik yang dibedakan dari teori fungsionalis, sebagai berikut: 1. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah statis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara seimbang, tetapi menurut teori konflik khususnya Dahrendorf, masyarakat setiap saat tunduk pada perubahan. 2. Fungsionalis menekankan pada keteraturan dalam masyarakat, sedangkan teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. 3. Fungsionalis menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas, sedangkan teori konflik melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. 4. Fungsionalisme cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai dan moral. Teoritisi konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di atas. Dengan kata lain, teori konflik melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. 5. Fungsionalisme memusatkan perhatian pada kohesi yang diciptakan oleh nilai bersama masyarakat. Teoritisi konflik menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat lihat Ritzer dan Goodman, 2004. Menurut Turner 1998 Dahrendorf adalah orang pertama yang mengemukakan teori konflik modern yang mendapatkan sambutan dari khalayak luas. Pada akhir 1950-an, Ralf Dahrendorf terus-menerus menyatakan bahwa skema Parsonian, dan fungsionalisme pada umumnya, menyajikan sebuah visi masyarakat yang terlalu konsensual, terpadu, dan statis, dengan istilahnya utopia. Untuk meninggalkan utopia, Dahrendorf menawarkan saran berikut: さ Berkonsentrasi pada masa depan tidak hanya pada masalah kongkrit tetapi pada masalah yang melibatkan penjelasan dalam hal kendala, konflik dan perubahan” Concentrate in the future not only on concrete problems but on such problems as