Konflik Sumberdaya Hutan Forest resources conflicts in West Java and West Kalimantan, Indonesia
31 Penyebab konflik sumberdaya antara masyarakat dan negara bisa berasal
dari berbagai faktor, salah satunya adalah adanya perubahan kelembagaan yang dibuat negara yang secara langsung atau tidak langsung berbenturan dengan
kelembagaan adat. Knight 1992 lebih lanjut menjelaskan bahwa setelah negara menjadi titik fokus untuk konflik atas perubahan kelembagaan, lembaga-lembaga
negara menjadi sumber konflik baru. Hal tersebut terjadi karena lembaga-lembaga negara tersebut terlibat dalam persaingan otoritas dalam membuat kelembagaan
aturan negara, dimana aturan negara disusun berdasarkan atas persaingan politik yang mempengaruhi distribusi otoritas dalam pengambilan keputusan negara.
Sumber konflik baru ini secara signifikan dapat menyulitkan tawar menawar yang mendasari atas perubahan kelembagaan.
Selanjutnya Knight 1992 menjelaskan bahwa konflik atas perubahan kelembagaan formal sebagian bergantung pada konflik atas lembaga-lembaga
politik. Hal tersebut akan menjadi masalah diantara aktor-aktor yang berkonflik karena adanya ketidak-pastian tentang masa depan kelembagaan, yang secara
signifikan dapat mempengaruhi keuntungan kelembagaan di arena politik. Jika ketidak-pastian politik tinggi, maka aktor-aktor strategis akan dihadapkan pada
dua pilihan, yaitu disatu sisi dituntut untuk merancang pengaturan kelembagaan yang meminimalkan efek distribusi harapan, sementara disisi lain harus dapat
merancang kelembagaan yang dapat dengan mudah dirubah. Berdasarkan penjelasan di atas mengenai definisi konflik dan penyebab
konflik dapat dikatakan bahwa konflik sumberdaya hutan terjadi karena adanya benturan kelembagaan hutan yang dirancang oleh negara dengan kelembagaan
masyarakat yang sudah ada sejak lama. Benturan terjadi karena kelembagaan negara tidak murni mencerminkan kepentingan negara untuk mensejahterakan
masyarakatnya, melainkan ada kepentingan-kepentingan lain ekonomi global dan politik, dimana kelembagaan negara merupakan hasil dari perebutan otoritas
antara aktor negara dan lembaga-lembaga politik. Dalam pengaturan kelembagaan atas sumberdaya hutan, bukan hanya
mencerminkan tarik menarik kepentingan antara berbagai lembaga negara, kepentingan sosial, ekonomi maupun kepentingan politik, tidak jarang juga
melibatkan adanya perebutan kepentingan negara dan aktor ekonomi. Analisis
32 North 1981 mengenai konflik antara negara dan pemilik sumberdaya ekonomi,
menunjukkan bahwa keduanya memiliki kepentingan yang sama terhadap hak milik masyarakat. aktor-aktor ekonomi ingin menetapkan hak-hak yang
memberikan keuntungan distribusi dalam interaksi ekonomi. aktor negara ingin menetapkan hak-hak yang memantapkan kepentingan negara, yaitu kepentingan
pendapatan ekonomi dan kepentingan politik dalam mempertahankan tingkat pertumbuhan agregat untuk memuaskan para aktor sosial dalam rangka
mempertahankan kekuasaan. Analisis North lebih lanjut menjelaskan bahwa kepentingan negara dapat meningkatkan inefisiensi lembaga sosial. Pada
kenyataannya, ada banyak situasi di mana kepentingan negara akan menciptakan aturan kelembagaan yang lebih efisien dibandingkan yang diinginkan oleh pelaku
swasta. Menurut Knight 1992 bahwa ada dua kasus di mana negara dapat memilih
sebuah lembaga yang lebih efisien secara sosial. Pertama, aktor negara secara langsung dipengaruhi oleh konsekuensi dari aturan tersebut dan akan
mendapatkan keuntungan material dari aturan sosial yang lebih efisien. Kedua, negara dapat memilih sebuah lembaga sosial yang lebih efisien jika aktor negara
secara tidak langsung dipengaruhi oleh aturan tersebut yang memberikan efek pada mereka untuk tetap berkuasa dan mereka akan mendapatkan keuntungan
politis dari aturan yang lebih menguntungkan secara sosial. Penjelasan Knight tersebut menunjukkan bahwa konflik yang melibatkan negara dan masyarakat
setidaknya disebabkan karena adanya perubahan kelembagaan yang secara langsung mempengaruhi distribusi akses sumberdaya masyarakat atau berbenturan
dengan kelembagaan masyarakat. Keputusan untuk memilih kelembagaan seperti apa yang akan diputuskan oleh aktor-aktor negara sangat terkait dengan berbagai
kepentingan, terutama kepentingan politik dari aktor-aktor yang berkuasa atau kepentingan ekonomi bagi masuknya pendapatan negara atau aktor-aktor negara.
Kentalnya kepentingan politik dan ekonomi global dalam kelembagaan pengaturan hutan telah menyebabkan hutan menjadi sumber konflik. Meskipun
pengelolaan hutan selalu mengandung prinsip-prinsip peningkatan kesejahteraan dan kelestarian hutan, namun fakta sepanjang sejarah pengurusan dan
pengelolaannya menunjukkan bahwa hutan hanya meningkatkan kesejahteraan
33 sekelompok kecil masyarakat melalui mekanisme politik kekuasaan yang
berorientasi pada kepentingan segelintir elit politik dan komunitas pemilik modal. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Iskandar dan Nugraha 2004 bahwa sistem
pengelolaan hutan yang hanya bertumpu pada kepentingan politik yang berorientasi pada kekuasaan justru telah menyengsarakan sebagian besar
masyarakat melalui sistem pengelolaan hutan yang sarat praktek kolusi, korupsi dan nepotisme sekaligus mengabaikan terhadap prinsip kelestarian hutan,
sehingga menimbulkan terjadinya berbagai bencana, antara lain: bencana banjir dan tanah longsor di musim hujan maupun bencana kekeringan di musim
kemarau. Apa yang dikemukakan oleh Iskandar dan Nugraha 2004 tersebut juga
menunjukkan bahwa konflik sumberdaya hutan membawa dampak pada kerusakan hutan dan terjadinya berbagai bencana. Di beberapa kawasan hutan
ditemukan hutan yang mengalami tingkat kerusakan yang sangat tinggi dimana adanya dominasi yang dilakukan oleh penguasa baik negara maupun pengusaha
yang melibatkan masyarakat lokal adat dalam kegiatan ekploitasi hutan. Woodhouse 1972 sudah memperingatkan bahwa ketika manusia mulai
menggunakan segala cara untuk mencapai kesejahteraan, dengan alasan untuk kepentingan pembangunan, manusia mulai mengekploitasi sumberdaya alam.
Berbagai kekayaan yang terkandung di darat dan di laut diekploitasi sebesar- besarnya untuk kepentingan manusia mencapai kehidupan yang lebih baik sebagai
tujuan dari pembangunan. Ketika hutan menjadi sebuah komoditas dimana pengusaha dan negara
menjadi aktor utama dalam mengekploitasi hutan, masyarakat lokal yang sebelumnya bekerja untuk menjaga kelestarian hutan melalui kelembagaan
adatnya, mulai berubah dan turut berpartisipasi dalam kerusakan hutan tersebut, dengan menjadi pekerja dari para pengusaha. Seperti yang ditemukan dalam
studinya McCarthy bahwa dalam kegiatan pengrusakan hutan tersebut terutama kasus pembalakan liar melibatkan keberadaan masyarakat lokal indigineous
people. Masyarakat lokal terlibat dalam pembalakan liar biasanya dibayar untuk kontribusi kerja mereka dan bukan sebagai fungsi dari nilai pasar kayu
McCarthy, 2000a dalam Yonariza dan Webb, 2007. Berdaasarkan penjelasan
34 tersebut dapat dikatakan bahwa perubahan kelembagaan dalam pengaturan hutan
dapat menimbulkan dua sebab, yaitu kerusakan hutan disatu sisi dan perubahan kelembagaan dan organisasi sosial disisi yang lain.