Sikap masyarakat yang kedua adalah dilandasi karena pertimbangan ekonomi

98 Sungai Utik mengikuti berbagai macam lokakarya yang terkait dengan lingkungan membuat pemahaman mereka tentang pentingnya lingkungan jauh lebih baik dibandingkan dengan masyarakat dusun lain. Sekalipun Ketemenggung an Jalai Lintang sudah menolak “perkebunan sawit” dengan sumpah beras kuning, namun beberapa masyarakat memutuskan untuk menerima rencana pemerintah untuk membangun perkebunan sawit seperti yang terjadi di Dusun Ungak. Karena suara terbanyak memutuskan menerima “perkebunan sawit”, maka tuai rumah mengikuti keputusan masyarakat. Suara masyarakat mayoritas akhirnya yang menentukan. Namun demikian, keputusan ini bertentangan dengan keputusan ketemenggungan, sehingga di kalangan Masyarakat Dayak Iban di tujuh dusun dalam Ketemenggungan Jalai Lintang telah terjadi saling mencurigai konflik laten antar dusun. Dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Masyarakat dapat diketahui bahwa ada kesamaan dan perbedaan pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan Masyarakat Dayak Iban di dusun-dusun lain dalam Ketemenggungan Jalai Lintang. Berdasarkan perbandingan dengan Dusun-Dusun lain dapat dikatakan bahwa Sungai Utik mempunyai kekhasan yaitu sekalipun mengalami masalah yang sama, namun sikap yang ditunjukkan oleh Masyarakat Sungai Utik berbeda. Masyarakat tetap berusaha mempertahankan hutannya sekalipun sikapnya tersebut membawa Sungai Utik berkonflik dengan berbagai pihak.

4.3. Perbandingan TNGHS dan Sungai Utik Analisis Fisik, Sosial, Politik

Studi ini mengenai konflik sumberdaya hutan pada dua lokasi yang berbeda yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS di Provinsi Jawa Barat- Banten dan hutan Sungai Utik Provinsi Kalimantan Barat. Pada wilayah TNGHS, ada konflik antara negara dengan masyarakat adat. Negara dalam konteks ini adalah Departemen Kehutanan yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam PHKA Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, sedangkan masyarakat dalam konteks ini adalah Masyarakat Kasepuhan. Di tingkat grassroot, konflik menghadapkan Masyarakat Kasepuhan dengan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak BTNGHS selaku pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Untuk kepentingan penelitian ini akan difokuskan pada Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi di Desa Sirna 99 Resmi di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Adapun di Hutan Sungai Utik ada konflik antara negara pusat dengan masyarakat lokal. Negara pusat dalam konteks ini adalah Departemen Kehutanan yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan BPKH. Adapun masyarakat lokal adalah Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Dalam konflik ini, melibatkan pengusaha pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK. Konflik di lapangan menghadapkan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan pengusaha pemegang IUPHHK PT. BRW. Di kawasan Sungai Utik juga terdapat konflik negara lokal dengan masyarakat lokal. Negara lokal adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, sedangkan masyarakat lokal adalah Masyarakat Dayak Iban dalam Ketemenggungan Jalai Lintang termasuk Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Untuk kepentingan studi ini akan dibatasi fokus perhatian pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik di kawasan Hutan Sungai Utik Desa Batu Lintang Kecamatan Embaloh Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Hutan Sungai Utik memiliki fungsi yang berbeda, sekalipun demikian keduanya memiliki kesamaan, yaitu lahan hutan tersebut diklaim sebagai lahan masyarakat adat. Di Taman Nasional Gunung Halimun Salak ada Masyarakat Adat Kasepuhan, sedangkan di Sungai Utik ada Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik. Perbandingan dua lokasi studi tersebut lebih jelasnya dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini: