Kesimpulan Forest resources conflicts in West Java and West Kalimantan, Indonesia
244 memaknai hutan sebagai ruang kehidupan. Pemaknaan dari negara atas hutan
cenderung mendominasi pemaknaan masyarakat atas hutan, karena negara memainkan peraturan perundang-undangan sebagai alat kekuasaan, sementara
masyarakat dipaksa untuk mematuhi aturan yang datang dari negara sebagai konsekuensi warga negara Indonesia.
Konflik tenurial terjadi karena adanya tumpang tindih klaim atas penguasaan lahan tanah. Klaim penguasaan lahan oleh negara didasarkan atas
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, antara lain: Pasal 33 UUD 1945, UUPA dan UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menyiratkan
bahwa negara menjadi penguasa atas seluruh tanah hutan dan kekayaan alam didalamnya. Sedangkan masyarakat adat mengklaim kepemilikan lahan hutan
berdasarkan hukum adat ulayat. Klaim masyarakat adat atas tanah berbenturan dengan klaim oleh negara selaku penguasa seluruh tanah berdasarkan peraturan
perundang-undangan negara. Bila dilihat dari aspek kesejarahan, Masyarakat Kasepuhan selalu terlibat
konflik dengan negara sejak dulu, sejak zaman penjajahan, namun, konflik selalu mereda ketika masyarakat mempunyai akses terhadap tanah untuk kepentingan
livelihood dan akses terhadap pengaturan hutan berdasarkan pengetahuan lokal masyarakatnya. Sekalipun mereka kehilangan hak property right atas tanah
tersebut, selama memiliki akses terhadap kawasan, masyarakat dapat menerima keberadaan penguasaan tanah yang diklaim oleh negara.
Pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, sejarah membuktikan bahwa keberadaan mereka di kawasan tersebut sangat dominan. Mereka memiliki semua
hak akses terhadap hutan, bahkan keberadaan kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah tidak mampu mengeluarkan masyarakat dari kawasan tersebut.
Sekalipun secara formal mereka tidak memiliki property right, namun mereka mempunyai akses, mereka mempunyai ability untuk mengelola dan mengambil
manfaat dari kawasan hutan. Namun demikian, mereka tetap hidup dalam kecemasan karena klaim penguasaan negara atas kawasan tersebut tidak pernah
dicabut. Oleh karena itu, hak kepemilikan merupakan hal yang penting bagi kedua masyarakat baik Kasepuhan maupun Dayak Iban dalam rangka menjamin
kelangsungan akses dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.
245 Konflik otoritas adalah konflik yang timbul karena pertentangan kekuasaan
kewenangan diantara dua kelembagaan. Konflik otoritas ini melibatkan kelembagaan sebagai alat otoritas. Otoritas inilah yang menjadi legitimasi masing-
masing pihak yang saling berhadapan. Dalam kasus konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, setidaknya terdapat dua otoritas yang saling
berhadapan yaitu otoritas negara dan otoritas masyarakat. Otoritas negara bersumber dari peraturan perundang-undangan kebijakan negara, sedangkan.
otoritas masyarakat adat bersumber dari tradisi budaya kelembagaan lokal. Dalam kasus Sungai Utik, negara dengan otoritas formalnya telah memberikan
otoritas pemanfaatan hutan pada aktor pengusaha, sehingga konflik otoritas di Hutan Sungai Utik pada level grassroot menghadapkan Masyarakat Dayak Iban
Sungai Utik dengan pengusaha selaku pemegang otoritas IUPHHK dan pengusaha pemegang IUP. Setiap otoritas berusaha untuk menyingkirkan otoritas lain dan
menjadi otoritas satu-satunya di kawasan tersebut. Semakin tajam konflik sumberdaya hutan maka semakin terlihat adanya pihak yang tersubordinasi dan
pihak lain yang menjadi superordinat. Dalam kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik ditemukan bahwa
negara dengan otoritas formalnya menduduki posisi otoritas superordinat sedangkan masyarakat menjadi pihak yang subordinat. Sebagai pihak yang
subordinat, masyarakat adat melakukan perjuangan untuk memperoleh otoritas atas penguasaan sumberdaya hutan. Dalam kasus TNGHS, distribusi otoritas yang
tidak merata antar kelompok konflik inilah yang menyebabkan konflik terus terjadi. Dalam kasus Sungai Utik, soliditas kelembagaan membuat Masyarakat
Dayak Iban Sungai Utik selaku pihak yang tersubordinasi mampu mempertahankan otoritasnya dengan menguasai kontrol atas sumberdaya Hutan
Sungai Utik. Konflik livelihood terjadi ketika ada perbedaan tindakan sosial akan
sumberdaya hutan yang didasarkan atas kepentingan yang berbeda. Kepentingan masyarakat adat berhadapan dengan keberadaan kepentingan negara. Dalam kasus
di TNGHS, Konflik menghadapkan kepentingan negara BTNGHS dengan Masyarakat Kasepuhan. Sebenarnya baik BTNGHS negara maupun Masyarakat
246 Kasepuhan sama-sama berkepentingan terhadap hutan untuk konservasi, hanya
saja model konservasi yang dikembangkan kedua belah pihak berbeda. Dalam konsepnya Masyarakat Kasepuhan, hutan disamping untuk konservasi juga
merupakan basis livelihood mereka. Pada kasus Sungai Utik, konflik terjadi antara Masyarakat Dayak Iban melawan negara dan pengusaha. Masyarakat adat
mempertahankan sumberdaya hutan karena alasan konservasi dan ekonomi livelihood, sementara negara dan pengusaha menginginkan sumberdaya hutan atas
alasan ekonomi komersial pasar global kapitalis. Basis konflik pada level grassroot ini adalah akuisisi materi, dimana ada tarik menarik kepentingan
ekonomi. Perbedaan kepentingan membuat perbedaan perlakuan terhadap hutan.
Dalam konsep masyarakat adat hutan bukan hanya sebagai kumpulan vegetasi melainkan sumber livelihood masyarakatnya. Namun demikian, pemanfaatan
hutan menurut masyarakat adat tersebut diatur dengan tradisi budaya, dimana tidak setiap tempat boleh dimanfaatkan sebagai lahan garapan, begitupun dengan
pengambilan manfaat dari kayu mensyaratkan adanya pembatasan pengambilan dan tindakan penanaman sebelum pengambilan. Masyarakat memanfaatkan hutan
dengan mempertimbangkan keberlangsungan hutan dan kehidupan makhluk- makhluk lain yang hidupnya bergantung pada hutan. Hal ini berbeda dengan
konsep hutan dalam kepentingan negara. Negara dalam kasus hutan produksi boleh memanfaatkan hutan baik kayu maupun non kayu dalam jumlah sesuai
dengan kepentingan pasar, tanpa memperhitungkan terganggunya ekosistem hutan.
Dampak dari konflik sumberdaya hutan tersebut pada level kelompok menyebabkan kelentingan masyarakat meningkat. Kelentingan tersebut dinilai
berdasarkan kemampuan
bertahan survival,
kemampuan konsolidasi,
kemampuan mengulur waktu dan kemampuan memeluk pihak lain. Kelentingan pada Masyarakat Kasepuhan ditunjukkan dengan kemampuan masyarakat
menghindari serangan, menghindari konflik terbuka, menggalang aliansi dengan kelompok Masyarakat Kasepuhan lain dan membentuk kesatuan Masyarakat Adat
Banten Kidul SABAKI, menggalang bantuan dari pihak lain, kemampuan mengembangkan web of powernya dengan cara merangkul LSM dan pemerintah
247 daerah untuk bernegosiasi dengan BTNGHS mendialogkan kembali tentang tata
batas, akses bahkan zonasi Kelentingan pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik ditunjukkan dengan
cara melawan dan konflik terbuka, mempertahankan hak akses atas hutan dan mengusir lawan dari kawasan, meningkatkan soliditas dengan seluruh anggota
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan sesama suku Dayak Iban dalam Ketemenggungan Jalai Lintang, mengembangkan web of powernya dengan
merangkul LSM baik nasional maupun internasional, yang membantu masyarakat dalam hal pemetaan, meraih sertifikat ekolabeling, propaganda mengenai
pengelolaan hutan lestari berbasis pengetahuan masyarakat adat dalam rangka perjuangannya memperoleh pengakuan sebagai hutan adat.
Berdasarkan fenomena-fenomena yang ditemukan dilapangan, maka konflik sumberdaya hutan pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban
Sungai Utik melahirkan teori baru yaitu “Teori Kelentingan Sosial Dalam Perebutan Sumberdaya Hutan
”. Kelentingan tersebut dipahami sebagai struggle for survival. Dengan kata lain bahwa complex social conflict menghadirkan
kelentingan sosial. Setiap masyarakat mempunyai tingkat kelentingan yang berbeda-beda. Masyarakat dengan kelentingan yang tinggi memungkinkan
terjadinya penyelesaian konflik dengan cara dialog.