Latar Belakang Forest resources conflicts in West Java and West Kalimantan, Indonesia

2 terjadi antara masyarakat adat di Dusun Senaru, Desa Senaru Lombok Barat dengan PT. TBA yang mendapatkan izin pemanfaatan hutan IPH dan dilanjutkan dengan izin pengembangan hutan tanaman industri HTI seluas 500 hektar ha; tahun 1992, konflik terjadi antara Masyarakat Dayak Bahau di Mutalibak Kecamatan Long Hubung Kutai Kalimantan Timur dengan PT. LPT yang membangun HTI di wilayah adat; tahun 1993 terjadi 2 dua kasus perlawanan yang dilakukan masyarakat terhadap HTI yakni Masyarakat Sugapa di Tapanuli Utara yang tanahnya diserobot oleh PT IIU, serta Masyarakat Jelmusibak di Kalimantan Timur; tahun 1994 terdapat 6 kasus yakni konflik yang melibatkan Masyarakat Benakat di Muara Enim dan Masyarakat Bayat di Musi Banyuasin, keduanya di Provinsi Sumatera Selatan; kasus Masyarakat Sandai, Empurang dan Semandang Kanan di Ketapang Provinsi Kalimantan Barat serta kasus Masyarakat Dayak Pasir di Kalimantan Timur; tahun 1995, terjadi 3 tiga kasus yakni konflik yang melibatkan Masyarakat Palawe di Musi Rawas, Masyarakat Babat dan Sungai Ibul di Muara Enim, keduanya di Sumatera Selatan serta kasus Kota Baro di Aceh Besar lihat, Fuad dan Maskanah, 2000. Konflik sumberdaya hutan antara pengusaha dengan masyarakat non adat, antara lain contohnya: konflik akibat adanya klaim PT. SK terhadap sekitar 100 ha tanah warga di Kecamatan Dampelas Sojol yang telah ditanami coklat oleh masyarakat; konsesi perkebunan PT. H di Dataran Napu, Kabupaten Poso menyebabkan hilangnya tanah warga masyarakat lokal beberapa desa di sekitar daerah tersebut; perampasan tanah masyarakat oleh PT. PTPN XIV di Tomata; dan PT. HIP mencaplok lahan penduduk Desa Pomayagon di Kecamatan Momunu untuk dijadikan areal kelapa sawit lihat Fuad dan Maskanah, 2000. Konflik antara pengusaha dengan masyarakat non adat umumnya terjadi karena adanya tumpang tindih klaim atas tanah yang diperuntukkan bagi perkebunan. Belajar dari pengalaman hasil penelitian sebelumnya, konflik sumberdaya hutan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa peneliti menyebutkan, antara lain: 1. Menurut Blaikie 1985 bahwa kebanyakan sistem pengelolaan hutan di dunia ketiga telah gagal mengatasi kemerosotan hutan maupun kemiskinan pedesaan. Beberapa sistem negara bahkan memperparah kemerosotan hutan 3 karena makin merunyamkan kemiskinan penduduk desa yang tinggal di pinggiran hutan. Hasil kontra-produktif demikian sebagian disebabkan oleh tata hukum dan keorganisasian gaya kolonial yang masih mendominasi pengelolaan hutan oleh negara. 2. Negara kolonial dan negara masa kini sering mengambil alih kawasan hutan yang luas untuk perkebunan, atau untuk proyek pembangunan besar yang merampas dan mencampakkan sistem hak-hak kepemilikan tanah yang sudah lebih dulu ada dan menetapkan aturan hukum yang baru untuk tata guna tanah dan sumberdaya. Sering kali pengambil-alihan ini diberi alasan pembenar dalam klaim bahwa perubahan itu demi kepentingan bersama bagi kemaslahatan sebesar-besarnya lihat Peluso, 2006. 3. Menurut Gautam et al 2000 dan Sembiring 2002, bahwa hutan digunakan sebagai kendaraan politik. Konsesi hutan yang diberikan secara tidak transparan kepada sejumlah kecil perseorangan atau perusahaan yang sangat berpengaruh dan memiliki kedekatan dengan kekuasaan. 4. Hutan sebagai instrumen ampuh bertumbuhnya kekuasaan ekonomi dan politik di tangan sejumlah orang. Pada tahun 1998, 12 Perusahaan yang erat terkait dengan elit politik dan militer mengendalikan sekitar 60 juta hektar konsesi hutan di Indonesia McCarthy, 2000a. 5. Tumpang tindih wilayah kebijakan hak pengusahaan hutan HPH, dan izin penebangan skala 100 hektar. Tumpang tindih wilayah kebijakan tersebut terjadi karena kawasan hutan yang masih berkayu menjadi incaran para pemilik HPH, dan masuk dalam rencana tebang mereka, sementara izin penebangan skala 100 hektar juga memilih areal yang kayunya banyak, mudah dikeluarkan dan tidak jauh dari kawasan pemilik izin lihat Contreras- Hermosilla dan Fay, 2006. 6. Tumpang tindih antara areal hutan lindung dengan konsesi hutan HPH serta tarik menarik kepentingan antar instansi sektoral dalam menentukan peruntukkan suatu wilayah hutan. Contoh konflik yang terjadi di Sulawesi Tengah menunjukkan adanya tumpang tindih antara areal hutan lindung dengan konsesi hutan HPH serta tarik menarik kepentingan antar instansi sektoral dalam menentukan peruntukkan suatu wilayah hutan. Di Poso 4 Sulawesi Tengah tercatat adanya izin perkebunan seluas 8600 ha dari Pemerintah Daerah Kabupaten bagi PT SK, padahal kawasan tersebut merupakan hutan lindung lihat Fuad dan Maskanah, 2000. 7. Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di hutan juga melibatkan persoalan overlapingnya tata aturan kelembagaan yang ada dalam pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, antara lain: keberadaan Undang-Undang UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sekarang sudah diperbaharui menjadi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 membuat pengelolaan sektor kehutanan menjadi semakin tidak jelas; sebuah keputusan presidenKeppres Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional menetapkan bahwa urusan menyangkut penguasaan dan kepemilikan atas tanah berada di bawah kewenangan pemerintah pusat sementara UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan otonomi kepada kabupaten untuk membuat keputusan menyangkut urusan-urusan pertanahan, termasuk penyelesaian konflik lihat Sembiring, 2002. 8. Memberikan Departemen Kehutanan kewenangan utama menetapkan batas, fungsi dan kawasan hutan. Tetapi, pemerintah daerah tidak selalu menghormati kewenangan tersebut, sebagian karena keputusan menteri tidak memiliki status hukum untuk mengubah keputusan-keputusan tingkat lokal Effendi, 2002. Berdasarkan kasus-kasus konflik sumberdaya hutan di Indonesia dan pendapat para peneliti sebelumnya, maka penyebab konflik sumberdaya hutan antara lain karena: kebijakan negara dibidang kehutanan telah menegasikan keberadaan masyarakat lokal yang hidup di dalam dan sekitar hutan; tumpang tindih kepemilikan hutan negara dengan masyarakat; dan tumpang tindih kebijakan antar instansi sektoral dan tumpang tindih kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Konflik tersebut melibatkan banyak pihak dengan bnyak kepentingan.

1.2. Perumusan Masalah

Dalam perspektif historis, periode waktu penguasaan kawasan hutan oleh negara tidaklah sama dengan periode waktu penguasaan kawasan hutan oleh 5 masyarakat. Negara sebagai sebuah entitas sosial politik, keberadaan dan eksistensinya secara resmi baru diakui sejak diproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia RI pada tahun 1945. Penetapan status kawasan hutan negara baru dilakukan pada tahun 1970 sejak diundangkannya secara resmi Undang- Undang UU RI Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Sementara itu, keberadaan masyarakat khususnya masyarakat adat sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun hak penguasaan masyarakat adat atas tanah tersebut tidak diakui oleh negara karena tidak memiliki surat-surat resmi. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UUPA Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 mengatur bahwa semua tanah harus didaftarkan, dan lahan tanpa judul diasumsikan milik negara. Hal tersebut bermakna bahwa tanah tanpa surat-surat resmi diasumsikan menjadi milik negara. Sementara itu, hak-hak adat tradisional untuk mengontrol sumberdaya hanya diakui sejauh tidak bertentangan dengan hukum nasional. Hak masyarakat hukum adat MHA untuk mengelola sumberdaya hutan adalah hak yang menurut hukum nasional bersumber dari delegasi wewenang hak menguasai negara kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Pasal 2 Ayat 4, bahwa: “Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pem erintah”. Namun demikian, Pasal 2 Ayat 4 tersebut tidak ditindak-lanjuti dengan peraturan yang lebih rendah untuk operasionalisasinya. Ketiadaan peraturan lebih lanjut dari Pasal 2 Ayat 4 UUPA tersebut berakibat pada keterbatasan hak dari MHA. MHA hanya diberikan hak untuk memanfaatkan sumberdaya hutan sebagaimana tertuang dalam Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 6 Peraturan Pemerintah PP No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Pasal 1 Keputusan Menteri Kehutanan No. 251Kpts-II93 tentang Ketentuan Hak Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat atau Anggotanya di dalam Areal HPH.