Jenis Konflik: Pemaknaan, Tenurial, Authority dan Livelihood a. Konflik Pemaknaan

128 dalam bentuk pemaknaan tempat didalam hutan sesuai dengan fungsinya. Masyarakat Dayak Iban memandang hutan sebagai sebuah kawasan yang tidak hanya terdiri dari vegetasi tumbuhan kayu melainkan juga hutan memiliki fungsi sebagai sumber air, sumber makanan dan tempat dimana mereka dapat bertapa untuk mendekatkan diri pada “betara” sang penguasa hutan dan alam semesta. Selanjutnya hutan bagi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik adalah kekayaan masyarakat. Hutan Sungai Utik merupakan hutan primer yang masih banyak kayu-kayu berdiameter besar, bukan hanya di hutan simpan, kayu-kayu dengan diameter lebih dari satu meter juga terdapat di lahan garapan masyarakat. Hutan ini nantinya akan diwariskan kepada anak-cucu Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, sebagaimana dikemukakan oleh Ape Janggut bahwa: “Meskipun tidak mempunyai harta materi yang banyak, tapi kami akan mewariskan hijaunya hutan kepada anak cucu nantinya. Kami mempertahankan hutan karena kami tidak ingin kelak anak-cucu kami tidak tahu apa- apa”. Dalam sistem pengelolaan kawasan, baik Masyarakat Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki pengetahuan, nilai-nilai budaya dan tradisi yang khas yang selama bertahun-tahun secara turun temurun telah digunakan untuk mengatur dan mengelola kawasan hutan berdasarkan pengetahuan lokal indigenous knowledge tentang tata kelola hutan yang mereka bagi dalam beberapa zona. Masyarakat Kasepuhan membaginya dalam 4 wewengkon, yaitu: leuweung titipan, leuweung tutupan, leuweung cawisan dan leuweung garapan. Sedangkan Masyarakat Dayak Iban membaginya dalam tiga kampong yaitu kampong taroh, kampong galao, dan kampong endor kerja. Sistem pengelolaan tersebut berdasarkan atas fungsi dari masing-masing kawasan, sebagai wilayah lindung keramat; bertani ladang; berkebun, dan berdasarkan pada peruntukan yaitu berburu, meramu dan mengambil manfaat tanaman obat- obatan. Tata kelola hutan dalam konsep masyarakat adat tersebut bukan hanya sekedar konsep zonasi, namun merupakan sistem pengetahuan karena basis dari pengetahuan masyarakat tersebut adalah sejarah. Adapun pemaknaan hutan menurut negara dipengaruhi oleh sistem pengetahuan negara yang bersumber dari pengetahuan ilmiah scientific knowledge. Peraturan perundang-undangan adalah wujud dari pengetahuan 129 ilmiah. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, taman nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Sementara itu, berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 28 bahwa 1 pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. 2 pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi Pasal 1, bahwa hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan, industri dan eksport. Selanjutnya dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18Menhut-II2004 disebutkan bahwa hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Kawasan hutan produksi adalah wilayah tertentu yang ditunjuk danatau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Lebih lanjut, untuk memperoleh izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dengan kegiatan restorasi ekosistem perlu adanya kriteria kawasan hutan produksi yang dapat diberikan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dengan kegiatan restorasi ekosistem. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, diketahui bahwa negara memaknai hutan sebagai sumber ekonomi, sementara itu masyarakat memaknai hutan sebagai ruang kehidupan. Pengetahuan memberi kekuasaan kepada para pihak untuk mengontrol dan mengelola sumberdaya hutan. Pemaknaan dari negara atas hutan cenderung mendominasi pemaknaan masyarakat atas hutan, 130 karena negara memainkan UU sebagai alat kekuasaan, sementara masyarakat dipaksa untuk mematuhi aturan yang datang dari negara sebagai konsekuensi warga negara Indonesia. Baik tentang konservasi hutan maupun pemanfaatan hutan, pengetahuan negara didukung oleh kekuatan kekuasaan politik dan kelembagaan yang secara legitimasi memberikan kekuatan kepada negara untuk mempengaruhi bahkan mendominasi sistem pengetahuan tradisional yang dianut oleh masyarakat adat. Dominasi sistem pengetahuan negara atas masyarakat adat melahirkan perilaku perlawanan dari masyarakat melalui perjuangan di ruang pengetahuan, antara lain pada arena seminar, pertemuan ilmiah, negosiasi dan kesepakatan-kesepakatan yang dibangun. Dalam konteks seperti ini, maka pendekatan Foucault digunakan untuk melihat bagaimana konstelasi kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dimainkan, dimana pengetahuan dipandang sebagai kekuasaan. Melalui politik mikro kekuasaan, dapat dilihat bagaimana negara dengan pengetahuan modern berusaha mengkooptasi pengetahuan masyarakat dan meyakinkan masyarakat bahwa pengetahuan negara mampu menjawab berbagai permasalahan di sekitar hutan, melalui kelembagaan negara dan berbagai ruang komunikasi yang telah diintroduksir kepada masyarakat adat. 5.2.b. Konflik Tenurial Pengetahuan dan pemaknaan atas tata kelola hutan di dua kawasan hutan TNGHS dan Hutan Sungai Utik melahirkan klaim penguasaan atas hutan. Klaim atas penguasaan lahan inilah yang melahirkan konflik tenurial, yaitu konflik atas tanah, dimana tanah termasuk konsesi, perkebunan, kawasan lindung, kawasan masyarakat subsisten selalu menemukan diri mereka dalam situasi konflik atas penguasaan tanah dan sumberdaya hutan. Konflik tenurial dalam kawasan hutan selama ini terjadi akibat adanya klaim penguasaan lahan oleh negara dan masyarakat. Klaim penguasaan lahan oleh negara didasarkan atas peraturan perundang-undangan, sedangkan masyarakat adat mengklaim penguasaan lahan hutan berdasarkan hukum adat ulayat. Dalam konsep negara, adanya dualisme system pertanahan yaitu system pertanahan yang diatur dalam UU Agraria dan dalam UU Kehutanan. Tanah dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia diatur dalam UUD 1945 Pasal 131 33 Ayat 3 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Undang-undang tersebut memberi makna bahwa tanah dan kekayaan di dalamnya adalah dalam penguasaan negara. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 4 Ayat 1 bahwa atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama- sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. 2 hak-hak atas tanah yang dimaksud memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam pasal 5 disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan-perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Sementara itu, dalalm UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 4 Ayat 1, bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam Pasal 4 Ayat 3, bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: hutan negara, dan hutan hak. Hutan negara dapat berupa hutan adat, dimana hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang 132 bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah. Dualisme system pertanahan menurut UUPA dan menurut UU Kehutanan ini memberikan hak penguasaan atas tanah kawasan hutan pada sistem penguasaan lahan menurut negara pemerintah dan masyarakat adat. Namun demikian disebutkan bahwa hak penguasaan oleh masyarakat adat tersebut diakui selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara dan selama masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya Faktanya, pada kawasan hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, berlaku dua sistem penguasaan lahan, yaitu sistem penguasaan lahan menurut negara dan masyarakat. Secara de jure kawasan hutan berada dalam penguasaan negara, namun secara de facto dikuasai oleh masyarakat yang secara turun temurun tinggal dan menggantungkan hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Klaim wilayah menurut masyarakat adat ditentukan berdasarkan aspek historis, sebagai berikut: Matrik 2. Klaim Wilayah Menurut Masyarakat Adat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik TNGHS Sungai Utik Aktor lokal Masyarakat Kasepuhan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Lamanya tinggal di kawasan Sejak 634 tahun yang lalu Sejak 1972 Penanda klaim atas wilayah adat Makam keramat nenek moyang Tembawai bekas rumah panjang Penanda klaim atas kepemilikan individual Ladang dan bekas bukaan ladang Ladang dan bekas bukaan ladang ladang yang ditinggalkan damun Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa Masyarakat Kasepuhan sudah ada di lokasi sejak 634 tahun yang lalu sejak perpindahan pertama komunitas Kasepuhan dari jasinga ke bogor. Adapun sejarah penguasaan wilayah Sungai Utik oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik relatif masih baru sejak 1972. Sebelumnya suku Dayak Iban tersebut berasal dari Lanjak tahun 1800-an, tercatat ada 12 tembawai bekas rumah panjang sebelum sampai di Dusun Sungai Utik. Sebelum tahun 1972, wilayah Sungai Utik dikuasai oleh Dayak Embaloh, selanjutnya wilayah tersebut diberikan dari Suku Embaloh kepada Dayak Iban dengan sebuah perjanjian adat lihat bab 4. 133 Dalam kepemilikan tanah menurut adat, ada yang disebut kepemilikan kolektif, ada kepemilikan individu. Kepemilikan kolektif adalah kepemilikan adat, yaitu apa yang disebut sebagai kepemilikan adat atau tanah ulayat. Adapun kepemilikan individu ini baik di Masyarakat Kasepuhan maupun pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik ditandai dengan bekas ladang. Orang yang pertama kali membuka ladang, maka dialah yang akan menjadi pemilik lahan tersebut. Bekas ladang dalam istilah Dayak Iban disebut “damun”. Baik kepemilikan kolektif maupun kepemilikan individu, tanah tersebut disebut tanah adat atau tanah dalam penguasaan adat. Masalahnya klaim tanah oleh masyarakat adat tersebut tidak memiliki bukti hitam diatas putih sertifikat, melainkan hanya aspek kesejarahan. Klaim tersebut akan berbenturan dengan klaim oleh negara selaku penguasa seluruh tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan negara. Berdasarkan UUPA Pasal 19 Ayat 1, bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan- ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Hal tersebut bermakna bahwa semua tanah harus terdaftar. Tanah tanpa judul diasumsikan milik negara MacAndrews, 1986. Artinya bahwa tanah tanpa sertifikat diakui sebagai tanah negara. Dengan demikian, konflik sumberdaya hutan pada TNGHS dan Hutan Sungai Utik menunjukkan adanya konflik atas tanah dan sumberdaya hutan dimana masing-masing pihak mengklaim bahwa tanah dan sumberdaya hutan tersebut merupakan miliknya. Negara mengklaim bahwa kawasan hutan tersebut sebagai hutan negara, TNGHS sebagai hutan konservasi sedangkan Hutan Sungai Utik sebagai hutan produksi. Adapun masyarakat adat juga mengklaim bahwa kawasan tersebut sebagai kawasan hutan adat. Oleh karena itu, konflik pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dapat disebut juga sebagai konflik tenurial. Konflik tenurial ini terjadi berawal dari adanya politik teritorialisasi. Melalui perspektif historis dapat dijelaskan teritorialisasi kawasan hutan yang bermula dari sistem lokal yang dijalankan masyarakat hingga masuknya politik teritorialisasi yang diperkenalkan pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia 134 merdeka. Realitas konflik sumberdaya hutan sebagai politik teritorialisasi pernah dikemukakan juga oleh Maring 2010 dalam melihat masyarakat sekitar Gunung Noge. Sama halnya dengan apa yang terjadi di Masyarakat Lerokloang Flores NTT Maring, 2010, bahwa sistem teritorialisasi yang dijalankan Masyarakat Kasepuhan di TNGHS dan Masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik bisa dilihat dalam dua hal, yaitu sejarah teritorialisasi sistem penguasaan tanah dan teritorialisasi penguasaan atau pemanfaatan sumberdaya alam. Matrik 3. Teritorialisasi Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik TNGHS Sungai Utik Sistem penguasaan tanah Sistem penguasaan tanah adat dan penguasaan individu. Sistem penguasaan tanah adat dan penguasaan individu. Pemanfaatan sumberdaya alam Melalui konsep zonasi menurut adat Melalui konsep zonasi menurut adat Berdasarkan tabel di atas, bahwa sistem penguasaan tanah pada Masyarakat Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik terdiri atas dua sistem penguasaan tanah yaitu penguasaan tanah adat dan penguasaan tanah individu. Adapun sistem pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan melalui konsep zonasi menurut adat. Masyarakat Kasepuhan membagi hutan ke dalam 4 wewengkon zonasi yaitu leuweung titipan, leuweung tutupan, leuweung cawisan dan leuweung garapan, sedangkan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik membagi hutan kedalam 3 kawasan yaitu kampong taroh, kampong galao dan kampong endor kerja. Setiap zona tersebut mencerminkan adanya hak, kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Adapun hak yang dimiliki masyarakat dapat didentifikasi sebagai berikut: hak penggunaan kawasan baik untuk nilai ekonomi langsung maupun tidak langsung; hak meminjamkan atau mengalihkan kepemilikan; mekanisme kontrol atas penggunaan hak; kewajiban dan larangan bagi setiap individu yang terikat atas hak tersebut; dan simbol-simbol adat yang menandai adanya kepemilikan atas sumberdaya hutan. Dikedua masyarakat baik Kasepuhan maupun Dayak Iban Sungai Utik memperlihatkan bahwa hak kepemilikan tidak didasarkan atas pemberian negara atau dokumentasi formal, namun lebih memperlihatkan suatu perkembangan dinamis di tingkat lokal. Bagaimana masyarakat sepanjang sejarah 135 penguasaan atas tanah dan sumberdaya hutan tersebut mengembangkan pengetahuan dan norma-norma yang memberi hak, kewajiban dan larangan bagi masyarakatnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Bila dilihat dari aspek kesejarahan, dapat dikemukakan bahwa dalam sejarah TNGHS, terjadi beberapa kali tumpang tindih klaim pengusaan tanah oleh pemerintah dari mulai Zaman Hindia Belanda sampai masa Indonesia merdeka, dengan klaim oleh Masyarakat Adat Kasepuhan. Pengalaman pada Masyarakat Kasepuhan menunjukkan bahwa sejak masa penjajahan telah terjadi perampasan tanah-tanah masyarakat untuk kepentingan negara. Selanjutnya negara membatasi ruang gerak masyarakat dengan menyediakan tanah-tanah yang diperuntukkan untuk huma, namun dalam statusnya tanah tersebut merupakan tanah negara. lihat Zwart, 1924: 33, Thieme, 1920 dalam Galudra et al., 2005. Beberapa kali Masyarakat Kasepuhan kehilangan hak atas tanah. Sampai pada akhirnya di tahun 1957, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 tentang Penyerahan Sebagian dari Urusan Pemerintah Pusat Dilapangan Perikanan Laut, Kehutanan dan Karet Rakyat Kepada Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I, yang menyebutkan bahwa kegiatan pengelolaan hutan serta eksploitasinya, terutama di Jawa dan Madura, diserahkan kepada Pemerintah Daerah Swatantra. Selanjutnya dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 disebutkan bahwa pemerintah daerah mengatur pemberian izin kepada penduduk yang tinggal di sekitar hutan yang bersangkutan untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya untuk dipergunakan sendiri oleh penduduk termaksud. Berdasarkan PP tersebut, maka pada masa ini negara pemerintah daerah mengizinkan masyarakat lokal melakukan aktivitas di kawasan Gunung Halimun Salak, dengan mewajibkan masyarakat tersebut memberikan sebagian hasil panennya kabubusuk kepada pemerintah daerah. Keputusan pemerintah daerah tersebut menandai adanya kesepakatan antara pemerintah negara dengan masyarakat, dimana masyarakat mengakui adanya “right” negara di kawasan tersebut, namun mereka pun memiliki “akses” terhadap hutan, baik untuk kegiatan ekonomi livelihood, maupun untuk tradisi budaya adat Kasepuhan yang mengelola hutan melalui konsep pengetahuan lokal tentang “wewengkon”. 136 Ketika di tahun 1992, negara melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282Kpts-II1992, merubah status hutan cagar alam Gunung Halimun Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun seluas 40.000 hektar. Di luar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, pengelolaannya dilakukan oleh Perhutani dan berstatus sebagai hutan produksi. Pada masa ini, masyarakat masih diizinkan untuk melalukan aktivitas didalam kawasan hutan, mengelola hutan bersama-sama dengan Perum Perhutani, dengan memberikan sebagian hasil panen 15-25 kepada Perum Perhutani. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat mengakui “right” negara, selama mereka memiliki “akses” terhadap hutan, baik untuk kegiatan ekonomi livelihood maupun untuk tradisi budaya dalam pengelolaan kawasan hutan berdasarkan pengetahuan lokal. Pada tahun 2003 negara menerbitkan SK Menteri Kehutanan No.175Kpts- II2003 tentang Penunjukkan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas Pada Kelompok Hutan Gunung Halimun Dan Kelompok Hutan Gunung Salak Seluas 113.357 Hektar Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun- Salak. Berdasarkan SK tersebut, semua kawasan Gunung Halimun Salak menjadi taman nasional. Dasar pertimbangan diterbitkannya SK ini adalah kerusakan hutan pada kawasan pengelolaan oleh Perum Perhutani dan masyarakat adat. Sejak saat itu Masyarakat Kasepuhan bukan hanya kehilangan “right”, melainkan juga kehilangan akses. Kondisi ini tentu saja akan menempatkan negara dan masyarakat pada situasi konflik. Masyarakat Kasepuhan selalu terlibat dalam konflik dengan negara sejak dulu, sejak zaman penjajahan, namun konflik selalu mereda ketika masyarakat mempunyai akses terhadap tanah untuk kepentingan livelihood dan akses terhadap pengaturan hutan berdasarkan pengetahuan lokal masyarakatnya. Sekalipun mereka kehilangan hak property right atas tanah tersebut, selama memiliki akses terhadap kawasan, masyarakat dapat menerima keberadaan kepemilikan yang diklaim oleh negara. Ribot dan peluso 2003 mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu, dalam hal ini sesuatu tersebut adalah sumberdaya hutan. Namun ketika aksespun tidak ada maka konflik menjadi tidak terelakkan. 137 Sejarah penguasaan kawasan Hutan Sungai Utik berbeda dengan TNGHS. Penguasaan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik di kawasan Hutan Sungai Utik baru dimulai sejak tahun 1972. Masyarakat Dayak Iban mewarisi kawasan tersebut dari Suku Dayak Embaloh. Tahun 1984, tahun 1997, tahun 2004 menjadi momentum penting dalam sejarah penguasaan kawasan hutan oleh negara. Pada tahun-tahun tersebut terjadi konflik fisik secara terbuka antara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan pengusaha yang mengantongi izin IUPHHK dari negara sebagai reaksi masyarakat atas kebijakan negara. Sekalipun masyarakat berhasil mengusir pengusaha dari lokasi, namun konflik tenurial tidak pernah reda. Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan “right” tidak pernah berhenti. Fakta tersebut menunjukkan bahwa sekalipun jangka waktu penguasaan atas tanah dan Hutan Sungai Utik belum lama sejak tahun 1972, namun sejarah membuktikan bahwa keberadaan mereka di kawasan tersebut sangat dominan. Mereka memiliki semua hak akses terhadap hutan. Bahkan keberadaan kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah tidak mampu mengeluarkan masyarakat dari kawasan tersebut. Sekalipun secara formal mereka tidak memiliki property right, namun mereka mempunyai akses. Mereka mempunyai ability untuk mengelola dan mengambil manfaat dari kawasan hutan. Menurut ribot dan peluso 2003, dengan memfokuskan pada kemampuan ability dari pada right sebagaimana dalam theory property, formulasi ini membawa perhatian pada berbagai hubungan sosial yang dapat memaksa atau memungkinkan masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari sumberdaya tanpa memfokuskan pada hubungan property saja. Artinya sekalipun Masyarakat Dayak Iban tidak memiliki property right dalam konsep negara tetapi mereka mempunyai akses terhadap hutan. Akses adalah lebih mirip dengan bundle power ikatan kekuasaan ketimbang property yang merupakan suatu ikatan right bundle of right. Sehingga bagaimanapun juga hak kepemilikan merupakan hal yang penting bagi kedua masyarakat baik Kasepuhan maupun Dayak Iban dalam rangka menjamin kelangsungan akses. Sebagaimana diakui oleh Bromley 1998; 200, McCay dan Acheson 1987, Lynch Harwell 2006 bahwa hak kepemilikan merupakan faktor penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. 138 5.2.c. Konflik Authority Konflik Otoritas Klaim atas penguasaan kawasan memberi otoritas kepada masing-masing aktor untuk mengelola dan memanfaatkan hutan. Keberadaan tumpang-tindih klaim atas kawasan hutan oleh masing-masing aktor menunjukkan adanya otoritas aktor yang saling berhadapan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya konflik otoritas. Konflik otoritas ini melibatkan kelembagaan sebagai alat otoritas. Otoritas inilah yang menjadi legitimasi masing-masing pihak yang saling berhadapan. Semua pihak mengklaim bahwa sumberdaya hutan tersebut adalah wilayah otoritasnya. Wujud kekuasaan muncul dalam bentuk institusi dan aktor. Melalui institusi inilah kekuasaan aktor bekerja. Dalam kasus konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, setidaknya terdapat dua otoritas yang saling berhadapan yaitu otoritas negara dan otoritas masyarakat. Masyarakat mengklaim memiliki otoritas atas kawasan hutan, dimana dengan pengetahuan lokalnya selama turun temurun masyarakat telah hidup bersama hutan. Hutan menjadi ciri penanda dari teritori masyarakat adat. Dengan kata lain hutan adalah bagian dari ciri kekuasaan masyarakat adat atas kawasan tersebut, atau dapat juga dikatakan bahwa hutan menjadi penanda otoritas masyarakat adat atas kawasan tersebut. Ketika negara menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan negara melalui kebijakan konservasi ataupun kebijakan IUPHHK, sebenarnya negara sedang menandai kawasan tersebut sebagai wilayah teritorinya. Dengan kata lain menandai adanya otoritas negara yang bekerja pada kawasan tersebut. Otoritas negara atas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan ditandai dengan adanya kelembagaan baru yang diterbitkan oleh negara, berupa kebijakan negara dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Ketika ada dua otoritas yang bekerja pada satu kawasan, maka konflik pun menjadi tidak terhindarkan. Konflik terjadi karena adanya perebutan otoritas antara pihak negara selaku pemilik formal otoritas atas sumberdaya hutan dengan masyarakat adat. Otoritas negara diperoleh berdasarkan peraturan perundang-undangan, sedangkan otoritas masyarakat diperoleh berdasarkan tradisi budaya dan historis yang diwariskan secara turun temurun. Pada kasus Hutan Sungai Utik, aktor negara dengan otoritas yang formal yang dimilikinya telah memberikan otoritas pemanfaatan hutan pada pengusaha, 139 sehingga pada kasus Sungai Utik konflik otoritas tersebut berada pada dua level, yaitu level grassroot menghadapkan masyarakat dan pengusaha, sedangkan pada level kebijakan menghadirkan pertentangan otoritas antara masyarakat dan negara. Negara dalam arti pemerintah pusat Departemen Kehutanan yang mengeluarkan IUPHHK, dan pemerintah daerah Kabupaten Kapuas Hulu yang mengeluarkan IUP. Semakin tajam konflik sumberdaya alam hutan maka semakin terlihat adanya pihak yang tersubordinasi dan pihak lain yang menjadi superordinat. Dalam kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik ditemukan bahwa negara dengan otoritas formalnya menduduki posisi otoritas superordinat yang mengendalikan subordinat. Menurut Dahrendorf bahwa dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak superordinat dan subordinat. Dengan demikian maka tampaklah bahwa ada pembagian wewenang dan otoritas yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai. Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan otoritas di antara kelompok yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Dengan demikian konflik terjadi karena adanya pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan. Dalam kasus TNGHS, jelas terlihat hubungan kekuasaan antara kelompok-kelompok konflik yaitu Masyarakat Kasepuhan sebagai pihak yang tersubordinasi dan BTNGHS sebagai pihak yang superordinat. Sebagai pihak yang subordinat, Masyarakat Kasepuhan melakukan perjuangan untuk memperoleh otoritas atas penguasaan sumberdaya hutan. Distribusi otoritas yang tidak merata antar kelompok konflik inilah yang menyebabkan konflik terus terjadi. Dalam kasus Sungai Utik, kesadaran akan adanya masalah dan musuh bersama membuat Masyarakat Dayak Iban sangat solid untuk berjuang mempertahankan otoritasnya, perjuangan yang terus menerus ini melahirkan formasi baru dimana Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik selaku pihak yang tersubordinasi mampu mempertahankan otoritasnya dengan menguasai kontrol atas sumberdaya Hutan Sungai Utik. 140 Matrik 4. Analisis Perbandingan Otoritas Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan SDH di TNGHS dan Hutan Sungai Utik No Indikator Kasepuhan Dayak Iban Sungai Utik 1 Otoritas tertinggi Abah Tuai Rumah dan musyawarah adat 2 Kewenangan dalam SDH SDA Abah mengatur tata cara bagaimana memperlakukan hutan dan sumberdaya alam lainnya; memimpin upacara untuk meminta izin kepada roh nenek moyang ketika ada warga yang akan memasuki hutan atau mengambil manfaat atas hutan; memiliki kewenangan dalam menentukan sanksi bagi warga yang melanggar peraturan Tuai Rumah mengatur tata cara bagaimana memperlakukan hutan dan sumberdaya alam lainnya; memimpin upacara untuk meminta izin kepada roh nenek moyang ketika ada warga yang akan memasuki hutan atau mengambil manfaat atas hutan; memiliki kewenangan dalam menentukan sanksi bagi warga yang melanggar peraturan 3 Basis legitimasi kekuasaan Adat melalui wangsit yang dikukuhkan oleh musyawarah adat yang diwakili oleh setiap kolot lembur perwakilan kampung. Adat melalui sejarah pertama kali yang menancapkan tiang di rumah panjae atau kepemilikan tanah yang paling banyak selanjutnya otomatis diwariskan kepada keturunannya. 4 Potensi konflik otoritas yang terjadi Konflik memungkinkan terjadi didalam Kasepuhan itu sendiri, karena adanya strata dalam kelembagaan Kasepuhan. Konflik antara Kasepuhan yang satu dengan Kasepuhan yang lain dalam angka perebutan pengaruh di kalangan warganya. Konflik dengan negara dimana kelembagaan negara telah menegasikan hak akses Masyarakat Kasepuhan atas kelola hutan adat mereka yang berubah menjadi taman nasional Konflik memungkinkan terjadi di dalam rumah panjae, manakala ada persaingan antara tuai rumah dan kepala desa dalam rangka perebutan pengaruh atas warganya. Konflik dengan sesama Masyarakat Dayak Iban di dusun lain juga terjadi akibat perbedaan pandangan dalam memperlakukan sumberdaya hutan alam lainnya. Konflik dengan negara terjadi karena pengakuan negara atas hutan adat mereka sebagai hutan negara yang dilegitimsi dengan keluarnya izin IUPHHK dari pemerintah pusat dan IUP dari pemerintah daerah Berdasarkan matrik di atas, diketahui bahwa otoritas tertinggi pada Masyarakat Kasepuhan berada pada tangan “abah” kepala suku Masyarakat Kasepuhan. Kedudukan abah lebih tinggi dari kedudukan masyarakat biasa. Hal inilah yang membuat abah memiliki otoritas dominan dibandingkan anggota masyarakat lainnya. Basis legitimasi otoritas adat Masyarakat Kasepuhan adalah wangsit melalui abah yang dikukuhkan dengan musyawarah adat. Adapun pada 141 Masyarakat Dayak Iban, otoritas tertinggi ada pada “tuai rumah” dan musyawarah adat. Artinya kedudukan tuai rumah setingkat dengan masyarakat lainnya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh tuai rumah didasarkan atas musyawarah adat. Basis legitimasi Masyarakat Dayak Iban adalah sejarah pertama kali penancapan tiang atau kepemilikan tanah. Otoritas masyarakat adat dalam penguasaan sumberdaya hutan tersebut menjadi potensi konflik, baik konflik antara masyarakat adat dengan negara, maupun konflik didalam kelembagaan adat tersebut. Selanjutnya bukti adanya otoritas Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik dapat dibedakan berdasarkan nilai-nilai budaya, boundary, rules, dan territory. Matrik 5. Perbedaan Otoritas Antara Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban TNGHS Sungai Utik Nilai-nilai budaya Ada penetapan nilai nilai dan hukum adat yang ketat yang diberlakukan bagi warga hukum adatnya maupun pada masyarakat lain. Ada penetapan nilai nilai dan hukum adat yang ketat yang diberlakukan bagi warga hukum adatnya maupun pada masyarakat lain. Boundary Tidak ada batas yang jelas mengenai wilayah kekuasaan Ada batas yang jelas yang membedakan kawasan kekuasaan hukum dan nilai-nilai adat Rules Sanksi hukum lebih banyak berupa sanksi hukum yang abstrak berupa kualat dan kabendon sanksi gaib dari roh nenek moyang; Ketika berhadapan dengan hukum negara, maka yang digunakan adalah sanksi hukum negara. Sanksi hukum memiliki dua tipe. Pertama sanksi hukum adat yang nyata yang dibukukan dalam sebuah buku peraturan hukum adat dan sanksi abstrak “tulah” sanksi gaib dari roh nenek moyang; Ketika berhadapan dengan hukum negara pun, masyarakat lebih mendahulukan hukum adat. Territori klaim atas wilayah Klaim atas wilayah pada Masyarakat Kasepuhan tidak terlalu kuat, belum ada kesepakan yang jelas antara masing-masing Kasepuhan maupun dengan taman nasional. Klaim atas wilayah batas wilayah sangat jelas disepakati berdasarkan masing-masing subsuku yang saling berbatasan, sudah memiliki peta partisipatif walaupun belum diregistrasi oleh negara. Dengan membanding dua lokasi TNGHS dan Hutan Sungai Utik, diketahui bahwa otoritas masyarakat adat Kasepuhan tidak terlalu kuat dibandingkan dengan otoritas Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Kuatnya otoritas Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tersebut ditunjang oleh adanya territori yang jelas dan disepakati oleh masing-masing suku yang saling berbatasan. 142 5.2.d. Konflik Livelihood Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik disebut juga sebagai konflik livelihood. Konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan tindakan sosial akan sumberdaya hutan yang didasarkan atas kepentingan yang berbeda, dimana masyarakat adat memiliki kepentingan terhadap hutan sebagai sumber livelihood mereka, sedangkan negara memandang hutan dalam kerangka pembangunan nasional. Baik dalam konsep konservasi maupun hutan produksi, negara tidak memberi ruang masyarakat adat untuk membuka lahan garapan pada kawasan hutan bagi kepentingan livelihood masyarakat tersebut. Dalam kasus TNGHS, konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara negara dan Masyarakat Kasepuhan. Bagi Masyarakat Kasepuhan, hutan memiliki nilai manfaat yang tinggi bagi sumber penghidupan livelihood mereka, baik memanfaatkan hutan untuk diambil kayunya maupun manfaat dari non kayu termasuk pemanfaatan lahan hutan sebagai lahan garapan pertanian, sumber mata air, maupun sumber obat-obatan. Sekalipun demikian, pemanfaatan hutan oleh Masyarakat Kasepuhan tidaklah semena-mena melainkan didasarkan atas pengetahuan lokal dan aturan-aturan adat Kasepuhan. Misalnya dalam hal pemanfaatan kayu, dalam kelembagaan Kasepuhan pengambilan kayu dibolehkan hanya pada kawasan leuweung garapan dan leuweung cawisan, sementara itu terlarang mengambil kayu pada leuweung titipan dan leuweung tutupan. Selain itu, jika ingin mengambil kayu pada leuweung cawisan kawasan hutan yang kayunya boleh diambil, ada persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Jika masyarakat akan menebang satu pohon kayu, maka dia terlebih dahulu harus menanam 10 sampai 20 batang pohon kayu tersebut, sesuai syarat yang diberikan oleh abah berdasarkan jenis kayu yang akan diambil. Dalam kasus TNGHS, negara BTNGHS memiliki kepentingan terhadap hutan sebagai hutan konservasi taman nasional. Kepentingan negara terhadap hutan konservasi tercermin dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 33 bahwa 1 setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional; 2 perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional meliputi mengurangi, 143 menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli; 3 setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional. Selanjutnya dalam pasal 34 UU Nomor 5 Tahun 1990, menyebutkan bahwa 1 pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah; 2 di dalam zona pemanfaatan taman nasional, dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan; 3 untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional dengan mengikut sertakan rakyat. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tersebut diketahui bahwa hutan dalam konsep taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola oleh pemerintah dengan sistem zonasi, dengan memberi ruang pemanfaatan kawasan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Dalam upaya pemanfaatan inilah diperkenankan untuk melibatkan masyarakat, sementara aktivitas untuk pertanian terlarang di kawasan taman nasional. Pelarangan aktivitas pada kawasan taman nasional tersebut memberi konsekuensi kepada sistem livelihood ditingkat lokal, membuat Masyarakat Kasepuhan kehilangan sumber livelihood mereka. Konsep hutan menurut taman nasional negara jelas berbeda dengan konsep hutan menurut Masyarakat Kasepuhan. Dalam Masyarakat Kasepuhan dikenal konsep wewengkon leuweung. Konsep tersebut juga sama membagi lokasi kedalam beberapa zonasi. Hanya saja salah satu zona yang merupakan zona pemanfaaan leuweung garapan memperkenankan adanya kegiatan ekonomi livelihood masyarakatnya. Konsep hutan menurut Masyarakat Kasepuhan bukan hanya harus dijaga kelestariannya, tetapi hutan juga harus mampu memberikan kesejahteraan bagi mas yarakatnya. “leuweung hejo masyarakat ngejo” adalah simbol tujuan Masyarakat Kasepuhan untuk melestarikan hutan dan kesejahteraan masyarakatnya. Pada kasus Hutan Sungai Utik, konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara negara Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, pengusaha PT BRW yang mengantongi IUPHHK dan PT. RU yang mengantongi IUP dan Masyarakat Dayak Iban 144 Sungai Utik. Pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, hutan memiliki manfaat sebagai sumber livelihood masyarakatnya, sebagai tempat berburu, tempat mengambil kayu, tempat obat-obatan, penyedia bahan konsumsi, sumber mata air dan hutan cadangan. Sekalipun hutan dianggap sebagai sumber livelihood, namun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tidak semena-mena memanfaatkan hutannya. Masyarakat mengelola hutan berdasarkan pengetahuan lokal dan aturan-aturan adat. Misalnya dalam hal mengambil kayu, tidak semua tempat boleh diambil kayunya, hanya pada kawasan kampong galao dan kampong endor kerja kayunya boleh diambil. Selain pembatasan tempat, juga ada pembatasan jumlah pengambilan kayu yaitu tidak boleh lebih dari 30 pokok kayu dalam satu pengambilan untuk kepentingan rumah dan tidak untuk diperjual belikan. Selain pemanfaatan kayu, hutan juga dimanfaatkan sebagai lahan garapan pertanian atau tempat berladang. Walaupun demikian, masyarakat mengatur mana kawasan yang boleh diladangi, mana yang tidak boleh diladangi. Hanya kawasan kampong endor kerja yang dapat digarap oleh masyarakat sebagai tempat berladang. Konflik terjadi manakala kepentingan negara untuk melestarikan hutan telah menegasikan Masyarakat Kasepuhan dengan kepentingan livelihood-nya terhadap hutan. Dalam kasus Sungai Utik, sikap negara dalam memperlakukan hutan didasarkan atas konsep hutan produksi . Dalam konteks ini, negara Departemen Kehutanan memiliki tujuan untuk mengambil manfaat dari hutan bagi pendapatan negara sebesar-besarnya untuk kepentingan pembangunan. Negara berafiliasi dengan pengusaha untuk memanfaatan hutan seoptimal mungkin bagi pendapatan negara untuk kepentingan pembangunan yang didasarkan atas tuntutan pasar kapitalis. Selanjutnya peran negara dalam kehutanan di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, salah Satunya Peraturan Pemerintah PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Sesuai pasal 18 PP No. 6 Tahun 2007 tersebut, hutan dapat dimanfaatkan dan bahwa pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan kecuali pada kawasan cagar alam, zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Selanjutnya berdasarkan pasal 31 ayat 2 bahwa pemanfaatan hutan pada hutan produksi dapat berupa pemanfaatan hasil hutan kayu. Dengan PP Nomor 6 Tahun 2007 tersebut memberi ruang bagi negara 145 untuk memanfaatkan hutan sebesar-besarnya bagi peningkatan ekonomi, sebagai wujud sumbangsih subsektor kehutanan terhadap pembangunan bangsa, yang dinilai berdasarkan berapa besar sumbangan subsektor ini dalam pembangunan nasional, khususnya bagi peningkatan ekonomi. Bila dilihat dari sudut pandang ekonomi makro, peran subsektor kehutanan secara konvensional ditunjukkan oleh besaran persentase nilai tambah bruto NTB yang disumbangkan subsektor ini terhadap total produk domestik bruto PDB. Dalam penyajian angka PDB Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik BPS, subsektor kehutanan hanya mencakup komoditi primer dari kehutanan seperti kayu log, rotan, jasa kehutanan, dan lain-lain. Sementara itu sesuai Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, cakupan binaan oleh Departemen Kehutanan meliputi hasil produk primer kehutanan sampai industri kehutanan seperti industri penggergajian kayu, industri kayu lapis, panel kayu, dan veneer. Berdasarkan data BPS 2012, bahwa jika dilihat dari data PDB tahun 2000- 2011, PDB subsektor kehutanan menyumbang rata-rata 0,97 persen setiap tahunnya terhadap total PDB Indonesia, dengan penurunan setiap tahun. Data di tahun 2011 menunjukkan bahwa sebenarnya nilai PDB subsektor kehutanan lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar 51.638,1 milyar rupiah, namun jika dihitung berdasarkan total PDB Indonesia di tahun 2011 yaitu 7.427.086,1 milyar rupiah, maka sumbangan PDB subsektor kehutanan terhadap total PDB hanya 0,70, jauh lebih kecil dari prosentase sumbangan ditahun-tahun sebelumnya. Lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut: 146 Tabel 10. Kontribusi Subsektor Kehutanan Terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2000-2011 No Tahun Year Produk Domestik Bruto PDB Gross Domestic Product Miliar Rupiah Billion Rupiahs Kontribusi Subsektor Kehutanan Terhadap PDB Kehutanan Forestry Total PDB GDP Total Contribution of Forestry Sub Sector To GDP 1 2 3 4 5 1 2000 16.343,0 1.389.769,9 1,18 2 2001 16.962,1 1.646.322,0 1,03 3 2002 17.602,4 1.821.833,0 0,97 4 2003 18.414,6 2.013.674,6 0,91 5 2004 20.290,0 2.295.826,2 0,88 6 2005 22.561,8 2.774.281,1 0,81 7 2006 30.065,7 3.339.216,8 0,90 8 2007 36.154,1 3.950.893,2 0,92 9 2008 40.375,1 4.951.356,7 0,82 10 2009 44.952,1 5.613.441,7 0,80 11 2010 48.050,5 6.422.918,2 0,75 12 2011 51.638,1 7.427.086,1 0,70 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012. Salah satu sumber pendapatan di sektor kehutanan adalah dari pemanfaatan hasil hutan kayu melalui IUPHHK. Kawasan hutan yang telah dimanfaatkan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu berupa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK secara keseluruhan sampai dengan oktober 2009 adalah: jumlah IUPHHK-HA Hutan Alam sebanyak 299 unit dengan luasan 25.384.650 ha; jumlah IUPHHK-HTI Hutan Tanaman Industri sebanyak 211 unit dengan luasan 8.441.976 ha; dan jumlah IUPHHK-HTR Hutan Tanaman Rakyat sebanyak 9 unit dengan luas 21.157,35 ha. Sedangkan kawasan hutan yang telah dimanfaatkan untuk izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan IUPHKM sebanyak 55 izin dengan luas 7.708,09 ha. Departemen Kehutanan, 2009. Salah satu kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan IUPHHK adalah Hutan Sungai Utik. Hutan Sungai Utik ini adalah hutan yang masih primer, masih banyak potensi kayu yang ada dikawasan ini. Oleh karena itu, hutan ini menjadi incaran, bukan hanya oleh Departemen Kehutanan pemerintaah pusat untuk dijadikan kawasan IUPHHK, tetapi juga incaran pemerintah daerah untuk dijadikan kawasan IUP. 147 Perlakuan masyarakat terhadap hutan berbeda dengan perlakuan negara terhadap hutan. Sikap negara dalam memperlakukan hutan bersifat mendua, tergantung dari kebijakan negara tentang jenis hutan. Dalam kasus TNGHS, sikap negara dalam memperlakukan hutan didasarkan atas konsep pelestarian hutan taman nasional, yang mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan dalam kasus Hutan Sungai Utik, sikap negara didasarkan pada hutan produksi yang mengacu pada Peraturan Pemerintah PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Konflik terjadi manakala kepentingan negara untuk menjadikan hutan sebagai kawasan hutan produksi yang akan dimanfaatkan kayunya melalui perusahaan pemegang IUPHHK bertentangan dengan kepentingan livelihood Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang membatasi pengambilan kayu pada hutannya hanya untuk kepentingan membangun rumah sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan. Menurut Dahrendorf, konflik terjadi karena masing-masing pihak mengejar kepentingannya. Baik pihak negara selaku pihak yang memiliki kekuasaan akan mengejar kepentingannya, sementara masyarakat adat sebagai pihak yang tidak memiliki kekuasaan juga mengenjar kepentingannya. Padahal, kepentingan kedua pihak ini bertentangan. Itulah yang menjadi sumber konflik. Dalam kasus TNGHS, baik negara maupun Masyarakat Kasepuhan sebenarnya memiliki kepentingan yang sama terhadap hutan yaitu untuk pelestarian hutan. Namun konsep pelestarian negara dan Masyarakat Kasepuhan berbeda. Dalam konsep pelestarian hutan menurut Masyarakat Kasepuhan menyertakan kepentingan livelihood masyarakatnya. Hutan sebagai sumber livelihood masyarakat dan cadangan bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu, tujuan masyarakat melestarikan hutan karena mengemban tugas dari nenek moyang mereka untuk kelangsungan hutan bagi anak cucu mereka kelak di masa datang. Kepentingan kedua kelompok tersebut menjadi bertentangan, karena konsep taman nasional tidak memberi ruang bagi masyarakat untuk menggarap lahan garapannya yang berada dalam kawasan TNGHS. Sementara itu, dalam kasus Hutan Sungai Utik, konflik menjadi tidak terelakkan ketika ada perbedaan kepentingan terhadap hutan. Negara memiliki kepentingan untuk memanfaatkan hasil kayu dari hutan 148 melalui IUPHHK yang diberikan kepada pengusaha, sementara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki kepentingan untuk melestarikan hutan dan sumber livelihood masyarakatnya. Berdasarkan fakta di atas, dapat dipetakan kepentingan dari masing-masing pihak yang berkonflik di dua lokasi TNGHS dan Sungai Utik sebagai berikut: Matrik 6. Kepentingan Antar Aktor Dalam Penguasaan Sumberdaya Hutan di TNGHS dan Sungai Utik TNGHS Hutan Sungai Utik Aktor BTNGHS Masyarakat Kasepuhan Menteri Kehutanan Masyarakat Dayak Iban Pengusaha Kepentingan Kelestarian hutan konservasi Kelestarian hutan dan basis livelihood Potensi ekonomi nasional yang bernilai ekspor ekonomi kapitalis Kelestarian hutan dan basis livelihood Keuntungan ekonomi ekonomi kapitalis Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa ada perbedaan kepentingan negara dalam konflik di kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik. Di kawasan TNGHS, kepentingan negara untuk konservasi, sedangkan di Sungai Utik untuk kepentingan ekonomi kapitalis. Adapun masyarakat adat memiliki kepentingan yang sama untuk pelestarian hutan dan basis livelihood masyarakatnya. Baik dalam kasus TNGHS maupun Hutan Sungai Utik, kebijakan negara baik itu untuk kepentingan konservasi maupun ekonomi kapitalis telah meng “exclude” masyarakat adat dari tanah kawasan hutan yang selama ini diklaimnya. Bila melihat kedua gejala di dua lokasi dapat dikatakan bahwa apapun alasannya baik untuk konservasi maupun untuk alasan ekonomi kapitalis, kebijakan negara selalu menegasikan kelembagaan masyarakat adat.

5.3. Kedalaman Konflik Kebrutalan Konflik

Konflik antara negara dan masyarakat di TNGHS dan Hutan Sungai Utik mempunyai banyak bentuk, mulai dari konflik laten sampai konflik terbuka. Konflik mencapai puncaknya kedalaman konflik pada saat terjadinya konflik terbuka. Kedalaman konflik di TNGHS dengan di Hutan Sungai Utik berbeda. 149 Matrik 7. Kedalaman Konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik TNGHS Sungai Utik Derajat kedalaman Lempar isu Bersitegang Memenjarakan Pencabutan kualat Lempar isu; pengrusakan alat-alat milik perusahaan Pengusiran perusahaan dari lokasi kawasan hutan Pemberlakuan hukum adat, mendenda Menteri Kehutanan Puncak konflik Tahun 2003 terjadi pengrusakan fasilitas TNGHS Tahun 2005 negara memenjarakan masyarakat yang menebang kayu di lahan garapannya sendiri Tahun 1984 konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BI, terjadi pengusiran dan penyitaan alat berat milik PT. BI oleh masyarakat Tahun 1997, konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRU. Pengusiran dan penyitaan alat berat dari lokasi termsuk menghukum denda PT. BRU oleh masyarakat adat. Tahun 2004, konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRW. Pengusiran PT. BRW Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik menghukum adat Menteri Kehutanan, mensandera asisten Menteri Kehutanan dan menghukum denda. Hukum adat dibatalkan ketika Menteri Kehutanan memenuhi janjinya untuk datang ke rumah panjae Sungai Utik. Pada kasus TNGHS, kedalaman konflik terjadi di tahun 2003, pertama kalinya masyarakat bereaksi atas pelarangan aktivitas karena diberlakukannya “konsep taman nasional”. Protes masyarakat terhadap BTNGHS ini sampai pada pengrusakan fasilitas taman nasional. Selanjutnya konflik mencapai puncaknya ketika ada 5 lima orang Masyarakat Kasepuhan yang dipenjara. Hal tersebut terjadi ketika masyarakat tersebut mengambil kayu di lahan garapannya sendiri yang kebetulan kawasan tersebut masuk kedalam kawasan taman nasional. Masyarakat menganggap bahwa kayu-kayu tersebut merupakan kayu hasil tanaman yang ditanamnya sendiri di lahan kebun garapan miliknya. Namun karena lahan garapan tersebut berada pada kawasan taman nasional, maka ketika masyarakat mengambil hasil hutan kayu, maka dianggap sebagai pelanggaran ketentuan pencurian kayu, dan harus berurusan dengan ranah hukum. Dalam keadaan seperti ini, konflik mencapai ketegangannya dimana masyarakat adat tidak dapat menerima kalau warganya dihukum. Dalam kasus Sungai Utik, kedalaman konflik ditunjukkan oleh beberapa kejadian, antara lain: 1. Tahun 1984, ketika negara Menteri Kehutanan mengeluarkan IUPHHK untuk PT BI, masyarakat melawan dan mengusir PT. BI dari lokasi.