Hilangnya akses dalam penguasaan sumberdaya alam membuat kelentingan masyarakat meningkat.

234 penjara seperti yang pernah dialami oleh beberapa orang anggota Masyarakat Kasepuhan ditahun 2005. b. Meningkatnya kemampuan untuk membangun social-networking relationship melalui simbol-simbol kekuasaan, dalam upaya mendapatkan kembali akses terhadap sumberdaya hutan, antara lain melalui hubungan baik yang dibangun dengan LSM, pemerintah daerah dan elit-elit politik lokal maupun nasional. Kemampuan membangun jaringan kekuasaan ini telah setidaknya mengulur waktu bagi masyarakat agar tidak di ‘excluded” dari kawasan taman nasional. c. Kelentingan Masyarakat Kasepuhan memungkinkan menggeser konflik pada posisi win- win solution. 2. Perjuangan untuk memperoleh kembali otoritas dalam penguasaan sumberdaya alam membuat kelentingan masyarakat meningkat. Hal tersebut terjadi dalam kasus Masyarakat Dayak Iban, dimana keberadaan kebijakan negara tentang IUPHHK yang diberlakukan pada kawasan Hutan Sungai Utik, membuat otoritas penguasaan sumberdaya alam yang tadinya dipegang secara penuh oleh Masyarakat Dayak Iban menjadi tercerabut. Secara de jure otoritas penguasaan sumberdaya alam tersebut dipegang oleh negara, dan melalui otoritasnya, negara berhak melakukan pengalihan hak akses penguasaan sumberdaya kepada pihak lain pengusaha. Hal ini sudah dilakukan oleh negara pada tahun 1984, 1997 dan 2004. Perjuangan untuk memperoleh otoritas atas penguasaan sumberdaya alam inilah yang membuat kelentingan Masyarakat Dayak Iban meningkat. Masyarakat Dayak Iban menggunakan perlawanan fisik dalam rangka mempertahankan otoritas mereka terhadap sumberdaya alam dari upaya pengambil alihan oleh pengusaha IUPHHK yang berafiliasi dengan negara. Perlawanan tersebut berupa pengusiran pengusaha dari lokasi, penyitaan alat-alat berat milik pengusaha, menghukum denda pengusaha, sampai pada penyanderaan Asisten Menteri Kehutanan dan memaksa Menteri Kehutanan untuk datang ke lokasi dengan jalan menghukum adat sampai Menteri Kehutanan akhirnya datang ke Sungai Utik di tahun 2010 memenuhi permintaan Masyarakat Dayak Iban. Dalam upaya mempertahankan otoritasnya tersebut Masyarakat 235 Dayak Iban menang sementara karena masih mempunyai akses untuk mengelola hutannya. Namun, tidak berarti setelah itu masyarakat menjadi hidup tenang, karena tiga kali terlibat dalam konflik terbuka dengan pengusaha telah menyisakan pengalaman traumatik pada Masyarakat Dayak Iban. Selain itu, secara de jure hak penguasaan Hutan Sungai Utik masih dipegang oleh pengusaha yang memeperoleh IUPHHK. 3. Masyarakat dengan bentuk kelentingan yang berbeda akan menghasilkan hubungan-hubungan web of power yang berbeda. Web of power yang dimaksud adalah web of power yang melanggengkan knowledge tentang konservasi, preservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Masyarakat Kasepuhan membangun hubungan web of power dengan pemerintah daerah, LSM dan elit-elit politik baik tingkat lokal maupun nasional. Melalui dialog yang difasilitasi oleh pemerintah daerah dan LSM, Masyarakat Kasepuhan menerima pengelolaan kawasan Hutan Gunung Halimun Salak secara bersama-sama dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, selama Taman Nasional tersebut memberi akses pada Masyarakat Kasepuhan untuk mengelola hutan berdasarkan konsep pengetahuan adat, memberi ruang bagi penyediaan lahan garapan untuk livelihood mereka dan memberi ruang bagi keberadaan zona khusus untuk fungsi pemukiman Masyarakat Kasepuhan. Sementara itu, dalam upaya mempertahankan otoritasnya, Masyarakat Dayak Iban kemudian mengembangkan web of power-nya dengan LSM, melalui bantuan LSM inilah Masyarakat Dayak Iban melakukan pengembangan kelembagaan capacity building baik berupa peningkatan keterampilan individu dalam mewujudkan sumber livelihood baru dengan cara menanam karet, atau keterampilan membuat sarana-sarana pertanian termasuk peningkatan kemampuan dan pencitraan sebagai “Masyarakat perduli Hutan” yang keberadaaannya sudah diakui LEI dengan pemberian sertifikat ekolabeling. 4. Perbedaan kelentingan setiap masyarakat dipengaruhi oleh state of belief kosmologi masing-masing masyarakat. Masyarakat Kasepuhan memiliki state of belief: pancer pangawinan sara, 236 nagara jeung mokaha. “Sara” adalah agama. “Nagara” adalah pemerintahan . “Mokaha” adalah keselamatan atau Kasepuhan. Sara, nagara dan mokaha harus bersatu. Setiap keputusan yang diambil oleh Kasepuhan harus mengacu pada prinsip: ‘kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat jeung balarea’ harus mengacu kepada hukum, mendukung negara, mufakat dengan orang banyak. Hal ini bermakna bahwa ada kewajiban yang diamanatkan melalui tradisi Masyarakat Kasepuhan yaitu harus taat pada hukum baik hukum negara maupun hukum agama, mendukung setiap kebijakan negara dan menjungjung tinggi musyawarah dan mufakat dengan seluruh anggota Kasepuhan, walaupun dalam prakteknya cukup diwakili oleh abah selaku representasi incu putu anggota Masyarakat Kasepuhan dan pendapat roh nenek moyang wangsit. State of belief tersebut membuat Masyarakat Kasepuhan lebih permisif terhadap keberadaan negara dan berusaha menerima kebijakan negara sedemikian rupa. Sekalipun kebijakan tersebut mengancam livelihood mereka. Masyarakat masih berusaha berdialog dengan negara BTNGHS untuk memperoleh hak akses dan pengelolaan hutan secara kolaboratif bersama-sama dengan negara. Adapun state of belief Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik adalah: “tanah adalah darah ngau seput kitae ”, yaitu tanah adalah nafas. Artinya bahwa penguasaan Masyarakat atas tanah dan kawasan Hutan Sungai Utik tersebut bersifat otonom. Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tidak memberi ruang untuk keberadaan negara atau pihak lain dalam penguasaan hutan. State of belief inilah yang menyebabkan Masyarakat Dayak Iban tidak menerima opsi lain selain pengakuan atas Hutan Sungai Utik sebagai hutan adat. 5. State of belief kelompok yang berkonflik mempengaruhi intensitas dan kebrutalan violent konflik. Semakin state of beliefnya terpusat kedalam maka konflik akan semakin keras dan intens. State of belief Masyarakat Dayak Iban bersifat terpusat pada dirinya dimana melihat sumberdaya hutan sebagai bagian dari dirinya yang disebut darah dan nafas, menyebabkan Masyarakat dayak Iban sulit untuk berdialog dengan pihak lain kelompok konflik dan mendorong konflik kearah yang lebih intens dan violent ditunjukkan melalui kejadian-kejadian di tahun 1984, 1997 237 dan 2004 sebagi bukti kebrutalan konflik. Sedangkan state of belief Masyarakat Kasepuhan lebih melihat hubungan dirinya dengan dunia luar yang disimbolkan dengan konsep “sara, nagara jeung mokaha”, artinya ada pertimbangan agama, negara dan adat diselaraskan dan disejajarkan dalam tempat yang setara untuk menjalankan otoritas dalam pengaturan kehidupan Masyarakat Kasepuhan. State of belief yang demikian membuat konflik relatif tidak intens dan violent.

6. Perbedaan state of belief dan jenis hutan menyebabkan perbedaan readiness to dialogue

State of belief Masyarakat Kasepuhan dan jenis hutan taman nasional konservasi memungkinkan penyelesaian konflik dengan cara dialog. Dialog dengan Masyarakat Kasepuhan cukup dilakukan dengan pimpinan adatnya abah. Masyarakat Kasepuhan menerima keberadaan otoritas negara sebagai kawasan dengan menegosiasikan beberapa hal yaitu: tata batas hutan adat, akses terhadap hutan dan pendefinisian zonasi menurut negara disesuaikan dengan wewengkon adat. State of belief Masyarakat Dayak Iban dan jenis hutan Sungai Utik yang diperuntukkan sebagai kawasan IUPHHK, tidak memberi ruang pada negara untuk melakukan dialog dengan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Dialog dengan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik harus dilakukan di tingkat warga, dengan semua orang semua warga masyarakat. Sampai saat ini tuntutan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik adalah diperolehnya “right” dan pengakuan negara atas hutan tersebut sebagai “hutan adat” Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Berdasarkan fenomena di atas, dapat dikatakan bahwa resiliensi pada Masyarakat Kasepuhan ditandai dengan ciri: adu kuat, stand still masing-maing pihak bertahan dalam posisinya, defensif bertahan dalam situasi konflik, non violence tanpa kekerasan. Sementara pada Masyarakat Dayak Iban ditandai dengan cara: offensif menyerang, resistensi melawan, menyerang dan violence dengan kekerasan. Masyarakat Dayak Iban selain memiliki resiliensi juga memiliki resistensi. Apabila meminjam istilah Grotberg 1999, sumber resiliensi Masyarakat Dayak Iban berasal dari dukungan pihak lain I Have, sedangkan 238 sumber resiliensi Masyarakat Kasepuhan berasal dari kemampuan individu dalam menjalin hubungan dengan pihak lain I Can.

7.5. Implikasi Kebijakan

Pengalaman historis yang terjadi di kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik memberi bukti bahwa konflik sumberdaya hutan di kawasan tersebut selalu berulang, mengalami pasang surut. Konflik terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dan tumpang tindih klaim atas otoritas suatu kawasan. Setidaknya dua kelompok konflik yaitu masyarakat adat dan negara, dimana masyarakat adat menempati posisi peran sebagai kelompok subordinat dan negara memiliki posisi peran sebagai superordinat. Pengalaman menunjukkan bahwa di TNGHS, ada dimana konflik mereda dan menemukan konsensus bersama antara kelompok konflik, yaitu ketika pada tahun 1957, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 yang menyebutkan bahwa kegiatan pengelolaan hutan serta eksploitasinya, terutama di Jawa dan Madura, diserahkan kepada Pemerintah Daerah Swatantra tingkat I. Pada masa tersebut baik kepentingan negara dan kepentingan masyarakat bertemu. Masyarakat Kasepuhan diizinkan untuk menggarap kawasan hutan dengan mewajibkan mereka memberikan sebagian hasil panennya kabubusuk kepada pemerintah daerah. Pemberian kabubusuk tersebut sebagai wujud pengakuan Masyarakat Kasepuhan atas right yang dimiliki negara, sedangkan izin menggarap lahan menjadi bukti bahwa negara mengakui otoritas adat. Begitupun sewaktu pemerintah mengeluarkan kebijakan membagi dua kawasan Gunung Halimun Salak, sebagai kawasan lindung dibawah pengelolaan BKSDA 40.000 hektar dan kawasan hutan produksi dibawah tanggung jawab Perum Perhutani 73.357 hektar di tahun 1978. Pada masa tersebut Perhutanipun mengizinkan masyarakat untuk tetap tinggal dan menggarap lahan pertaniannya, sekalipun harus membayar 15-25 dari hasil pertanian mereka kepada Perhutani. Kebijakan tersebut disepakati bersama dan dianggap sebagai bagian dari pengakuan otoritas masing-masing. Dalam konteks Hutan Sungai Utik, konflik belum pernah sampai pada konsensus, yang terjadi bahwa konflik menemukan momentum kebrutalannya