Komposisi Jenis Struktur dan Komposisi Tegakan .1 Struktur Tegakan

5.1.2 Komposisi Jenis

Komposisi jenis adalah salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung pada suatu komunitas yang terganggu. Apabila komposisi tegakannya pulih, dapat dikatakan bahwa komunitas tersebut mendekati kondisi awalnya. Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di LOA TPTII umur dua dan tiga tahun PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah diperoleh komposisi jenis yang berbeda-beda pada setiap tingkat pertumbuhannya, yaitu semai, pancang, tiang, dan pohon. Pengambilan data analisis vegetasi dilakukan pada kelerengan yang berbeda, yaitu datar 0 –15, sedang 15–25, dan curam 25. Komposisi jenis pada tingkat pertumbuhannya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah jenis yang ditemukan pada hutan primer, LOA TPTII 1 tahun dan LOA TPTII 2 tahun pada berbagai kelerengan Kondisi Hutan Kelerengan Jumlah Jenis Semai Pancang Tiang Pohon LOA TPTII 1 tahun –15 59,0 56,0 56,0 56,0 15 –25 34,0 36,0 42,0 44,0 25 –45 57,0 61,0 60,0 62,0 Rata-rata 50,0 51,0 52,6 54,0 LOA TPTII 2 tahun –15 53,0 52,0 56,0 56,0 15 –25 31,0 32,0 42,0 44,0 25 –45 55,0 60,0 60,0 62,0 Rata-rata 46,3 48,0 52,6 54,0 LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif, = data Kirana 2008 Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa komposisi jenis untuk tingkat semai dan pancang mengalami penurunan pada LOA TPTII 2 tahun. Hal ini disebabkan karena penutupan tajuk yang bertambah rapat yang mengakibatkan berkurangnya cahaya matahari yang masuk ke lantai hutan. Sedangkan komposisi jenis pada tingkat tiang dan pohon tidak terjadi perubahan sama sekali terhadap LOA TPTII 1 tahun. Hal ini terjadi karena pada selang waktu satu tahun tidak terjadi penambahan jenis pada lokasi penelitian. Pada LOA TPTII 1 tahun, jumlah jenis terbesar untuk tingkat semai ditemukan pada kelerengan datar yaitu sekitar 59 jenis per hektar, untuk tingkat pancang pada kelas kelerengan curam yaitu 61 jenis per hektar, untuk tingkat tiang terdapat pada kelas kelerengan curam yaitu 60 jenis per hektar dan untuk tingkat pohon jumlah jenis terbesar terdapat pada kelas lereng curam yaitu 62 jenis per hektar. Pada LOA TPTII 2 tahun, jumlah jenis terbesar untuk tingkat semai ditemukan pada kelerengan curam yaitu sekitar 55 jenis per hektar, untuk tingkat pancang pada kelas kelerengan curam yaitu 60 jenis per hektar, untuk tingkat tiang terdapat pada kelas kelerengan curam yaitu 60 jenis per hektar dan untuk tingkat pohon jumlah jenis terbesar terdapat pada kelas lereng curam yaitu 62 jenis per hektar. 5.1.3 Indeks Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan suatu komunitas. Dalam menentukan tingkat keanekaragaman yang terdapat di areal pengamatan digunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Shannon Index of General Diversity. Indeks keanekaragaman Shannon- Wiener H’ merupakan parameter untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mengetahui keberlangsungan suksesi atau kestabilan dalam suatu komunitas hutan. Dari hasil penelitian pada LOA 2 tahun, nilai indeks keanekaragaman jenis dapat pada tiap- tiap tingkat pertumbuhan dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Indeks keanekaragaman jenis pada hutan primer, LOA TPTII 1 tahun dan LOA TPTII 2 tahun pada berbagai kelerengan Kondisi Hutan Kelerengan Tingkatan Vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon LOA TPTII 1 tahun –15 3,43 3,47 3,39 3,53 15 –25 2,51 2,79 3,12 3,42 25 –45 3,56 3,69 3,56 3,75 Rata-rata 3,16 3,32 3,36 3,56 LOA TPTII 2 tahun –15 3,37 3,41 3,39 3,53 15 –25 2,49 2,75 3,12 3,42 25 –45 3,74 3,67 3,55 3,75 Rata-rata 3,20 3,28 3,56 3,75 LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif, = data Kirana 2008 Berdasarkan hasil perhitungan keanekaragaman jenis yang dilakukan di LOA TPTII umur dua dan tiga tahun PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah diperoleh hasil yang berbeda-beda pada setiap tingkat pertumbuhannya, yaitu semai, pancang, tiang, dan pohon. Menurut Magurran 1988 besara n H’ dengan nilai 1,5 menunjukkan tingkat keanekaragaman tergolong rendah. Sedangkan jika nilai H’ = 1,5–3,5 maka tingkat keanekaragamannya tergolong sedang. Apabila besaran H’ memiliki nilai 3,5, maka tingkat keanekaragamannya dianggap tinggi. Berdasarkan Tabel 6 , nilai indeks keanekaragaman jenis H’ untuk tingkat semai dan pancang mengalami penurunan pada LOA TPTII 2 tahun. Nilai indeks keanekaragaman jenis H’ untuk tingkat semai pada tiap-tiap kelerengan yang terdapat LOA TPTII 2 tahun berkisar antara 2,62 –2,85, Untuk tingkat pancang nilai H’ berkisar antara 2,94–3,06, Nilai H’ untuk tingkat tiang berkisar antara 3,10 –3,27 dan untuk tingkat pohon nilai H’ berkisar antara 3,17–3,37. Berdasarkan kriteria di atas keanekaragaman jenis pada hutan primer tergolong sedang. Sedangkan keanekaragaman jenis di LOA 1 tahun dan LOA 2 tahun pada tingkat kelerengan datar dan sedang tergolong sedang karena nilai H’ berkisar antara 1,5 –3,5. Sedangkan pada kelas lereng curam keanekaragaman jenisnya tergolong tinggi karena nilai H’ dari 3,5. Soerianegara 1996 mengemukakan bahwa sering dinyatakan tentang menurunnya indeks keanekaragaman jenis, namun sampai saat ini belum ada ukuran mengenai tinggi rendahnya indeks keanekaragaman jenis di suatu daerah. Untuk Indonesia, dari perhitungan untuk berbagai tipe hutan, dapat dikatakan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis 3,5 ke atas dapat dikatakan tinggi.

5.1.4 Indeks Kekayaan Jenis

Dokumen yang terkait

Komposisi dan struktur tegakan areal bekas tebangan dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam Indonesia Intensif (TPII) di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawti, Kalimantan Tengah

3 49 107

Komposisi dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat)

3 21 271

Struktur Dan Komposisi Tegakan Pada Areal Bekas Tebangan Dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Tptj) (Di Areal Iuphhk Pt. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

3 30 125

Petubahan KOihposisi Dan Struktut Tegakan Hutan Produksi Alam Dengan Menggunakan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Ema Djuliawati, Kalimantan Tengah)

0 15 229

Model Struktur Tegakan Pasca Penebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

1 19 70

Pertumbuhan Tanaman Shorea leprosula Miq dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat)

1 9 81

Perkembangan vegetasi pada areal bekas tebangan dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur (TPTJ) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

1 24 109

Perkembangan tegakan pada areal bekas tebangan dengan teknik silvikultur Tebang pilih tanam Indonesia intensif (TPTII) (Di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

0 11 232

Perkembangan vegetasi pada areal bekas tebangan dengan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII): studi kasus di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah

2 16 96

Hubungan Lebar Jalur Tanam dengan Pertumbuhan Meranti Merah (Shorea leprosula Miq.) pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur

0 4 31