untuk bekerja di tempat yang lebih layak dan suami mereka tidak mengijinkan mereka untuk bekerja di tempat yang jauh dari rumah. Oleh karena itu, mereka
memutuskan untuk bekerja di tempat Bapak Rais, selain mereka bisa bekerja mencari nafkah mereka juga tetap bisa mengurus rumah tangganya.
Para pekerja dalam POS yang bekerja di perusahaan garmen terbagi menjadi, orang pertama adalah pengusaha dari perusahaan garmen, orang kedua
adalah orang yang bertugas menjadi penjahit baju sesuai dengan pesanan, orang ketiga adalah orang yang bertugas menjadi perantara yang membagi-bagikan
pekerjaan, serta orang keempat adalah para pekerja perempuan dalam POS itu sendiri, dan Bapak Rais merupakan orang ketiga. Bapak Rais menyediakan tempat
beserta alat-alat yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Perusahaan memberikan jaminan keluarga berupa THR sebesar Rp 50.000,00, pinjaman, serta
sembako bulanan berupa mie instan, kopi, gula dan garam. Bapak Rais dalam tugasnya memberikan kebebasan kepada pekerjanya untuk mengerjakan pekerjaan
baik di tempatnya maupun di rumah pekerjanya. Jam masuk kerja pun ia bebaskan, kalau ada pekerjanya yang ijin libur baik ijin sakit maupun beribadah
ataupun kegiatan lainnya ia memperbolehkan karena upah yang dibayarkan tergantung jumlah potong yang diselesaikan pekerja tersebut. Selain upah yang
rendah, jaminan keluarga dan jaminan kerja tersebut dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebetulnya para perempuan tersebut bekerja untuk
sektor formal, akan tetapi mereka diperlakukan sebagai pekerja tidak formal.
5.2 Ideologi Gender
versus Kebutuhan Ekonomi
Saptari dan Holzner 1997 mengatakan bahwa ideologi gender adalah segala aturan, nilai stereotipe yang mengatur hubungan antara perempuan dan
laki-laki, malalui pembentukan identitas feminin dan maskulin yang menjadi struktur dan sifat manusia, dimana ciri-ciri dasar dan sifat itu dibentuk sejak masa
kanak-kanak awal. Ideologi gender seringkali menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilakunya laki-laki maupun perempuan. Peran perempuan dalam dunia
kerja pun tidak terlepas dari nilai dan norma yang dianut kuat oleh masyarakat tersebut. Ideologi tersebut tertanam sejak masa kanak-kanak sehingga akan
melekat sangat kuat pada diri seseorang dan menjadi dasar untuk bersikap dan
berperilaku. Ideologi gender juga menyebabkan pengklasifikasian peran kerja perempuan dan laki-laki dalam dua sektor yang berbeda, dimana perempuan
bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga, sedangkan pria bertanggung jawab atas pekerjaan nafkah.
Keadaan ideologi gender yang menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga di Desa Jabon Mekar Bogor pun dianut sangat kuat. Hal ini dapat
dilihat dari pandangan perempuan menikah yang mempunyai anak dan bekerja di Desa Jabon Mekar Bogor tentang ideologi terhadap kerja yang digambarkan pada
Tabel 9.
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Ideologi Gender yang dianut di Desa Jabon Mekar Bogor, Tahun 2011
Ideologi Gender Jumlah orang
Persentase
Tidak sadar gender skor 9-13 32
64 Sadar gender skor 14-18
18 36
Total 50 100
Berdasarkan data pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa sebanyak 32 responden 64 persen di Desa Jabon Mekar Bogor masih menganut ideologi
gender, yaitu ideologi tidak sadar gender padahal responden tersebut merupakan perempuan yang bekerja. Sementara itu sebanyak 18 responden lainnya 36
persen termasuk dalam kategori ideologi sadar gender. Hasil tersebut menyatakan bahwa ideologi gender yang merupakan suatu
pandangan yang menunjukkan ketimpangan dalam membagi peran antara laki-laki dan perempuan, yaitu peran laki-laki dalam sektor publik dan perempuan dalam
sektor domestik masih kuat dianut oleh sebagian besar pekerja perempuan di Desa Jabon Mekar Bogor. Sebanyak 64 persen pekerja perempuan di desa tersebut
masih menganut pandangan yang membagi peran perempuan pada sektor domestik juga didukung oleh suami dan anggota keluarganya.
Hasil penelitian ini memang menggabarkan bahwa perempuan yang bekerja dengan POS di Desa Jabon Mekar masih menganut ideologi gender, yaotu
ideologi tidak sadar gender, akan tetapi mereka mengabaikan norma dan nilai
ideologi gender yang mereka anut. Para perempuan tersebut bekerja pada sektor publik yang berarti mereka telah melanggar ideologi gender yang mengharuskan
mereka bekerja pada sektor domestik saja. Ideologi gender berpandangan bahwa perempuan hanyalah pekerja rumah yang harus mengurus rumah tangga. Hal ini
mengakibatkan mereka hanya bisa bekerja dengan POS karena berada dekat dengan rumah, sehingga di samping mereka bisa bekerja menghasilkanuang,
mereka juga dapat mengurus rumah tangga. Pekerja perempuan di wilayah Desa Jabon Mekar Bogor memilih untuk
mengabaikan ideologi gender yang mereka anut dan memutuskan untuk bekerja di sektor publik. Hal tersebut mereka lakukan bukan tanpa alasan, melainkan
dilandasi oleh faktor ekonomi. Suami mereka pun pada awalnya tidak memperbolehkan istrinya untuk bekerja, namun karena keluarga mereka memiliki
masalah dengan keuangan rumah tangga mereka, yaitu tidak cukupnya pendapatan suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka suami mengijinkan
istrinya untuk bekerja. Perempuan diijinkan untuk bekerja oleh suaminya dengan syarat tidak boleh bekerja jauh dari rumah dan harus tetap mengurus
rumahtangganya. Desakan ekonomi dan persetujuan dari suami itulah yang mendorong perempuan untuk bekerja yang dapat membantu pendapatan keluarga
dan mengabaikan ideologi gender yang mereka anut. Hal ini didukung dengan pernyataan B 32 tahun selaku suami dari pekerja perempuan dalam POS:
”...harusnya sih istri ga kerja di luar, ngurus rumah aja. Tapi kan gaji saya kurang jadi saya bolehin aja istri saya kerja ngejait mute,
deket juga jadi bisa sambil ngurus rumah..” E 30 tahun selaku istri yang bekerja dengan POS juga mendukung dengan
pernyataan: ”...awalnya suami ga ngebolehin kerja, tapi karena gajinya kurang
dan ga bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari akhirnya dia ngijinin juga tapi kerjanya ga boleh jauh-jauh dan harus ngurusin rumah...”
5.3 Marjinalisasi Perempuan dalam