Perempuan di Desa Jabon Mekar bekerja dengan POS karena masih menganut ideologi yang tidak sadar gender, sehingga mereka memiliki kondisi
kerja yang rendah. Sebenarnya mereka tidak diperbolehkan bekerja oleh suaminya, namun karena upah yang diperoleh suami tidak mencukupi untuk
memenuhi kehidupan keluarga, maka suaminya pun mengijinkan istrinya untuk bekerja. Perempuan diperbolehkan oleh suaminya bekerja dengan syarat tidak
boleh bekerja jauh dari rumah dan tetap harus mengurus rumahtangganya, oleh karena itu perempuan bekerja dengan POS yang letaknya dekat dengan rumah
mereka, sehingga mereka tetap bisa mengurus rumahtangganya. Bekerja dengan POS mengakibatkan perempuan mengalami marjinalisasi karena mereka bekerja
pada jenis pekerjaan yang memiliki kelangsungan hidup yang tidak stabil dan upah yang diperoleh rendah. Mereka menganggap terjadinya marjinalisasi ini
bukan masalah, oleh karena itu marjinalisasi tetap terjadi pada perempuan yang bekerja di POS. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa dibutuhkannya suatu
penelitian lebih lanjut mengenai marjinalisasi perempuan untuk mengetahui apa saja yang menyebabkan terjadinya marjinalisasi perempuan tersebut serta dampak
apa saja yang ditimbulkan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, diketahui bahwa penelitian ini akan mengkaji marjinalisasi perempuan dalam POS dan dampaknya
terhadap kesejahteraan keluarga. Kemudian secara spesifik penelitian ini akan memusatkan perhatian permasalahan yang disebutkan di bawah ini:
1. Faktor-faktor apakah yang dapat mendorong perempuan untuk bekerja
dengan POS? 2
Bagaimanakah bentuk-bentuk marjinalisasi perempuan dalam POS? 3
Sejauhmanakah dampak marjinalisasi perempuan dalam POS terhadap kesejahteraan keluarga?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan
dilaksanakannya penelitian adalah sebagai berikut: 1.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mendorong perempuan untuk bekerja pada POS.
2. Mengetahui bentuk-bentuk marjinalisasi perempuan dalam POS.
3. Mengkaji dampak marjinalisasi perempuan dalam POS terhadap
kesejahteraan keluarga.
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari dilaksanakannya penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai marjinalisasi perempuan dalam POS dan
dampaknya terhadap kesejahteraan keluarga. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya:
1. Kegunaan bagi Penulis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan mengenai kesesuaian kondisi lapangan dengan teori yang ada serta didapatkan
pemahaman serta pengetahuan baru terkait marjinalisasi perempuan dan dampaknya terhadap kesejahteraan keluarga.
2. Kegunaan Penelitian bagi Masyarakat Awam
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan masyarakat mengenai POS, marjinalisasi perempuan, serta dampaknya terhadap kesejahteraan
keluarga. 3.
Kegunaan Penelitian bagi Civitas Akademik Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pikiran serta
dapat dijadikan referensi dalam melakukan penelitian maupun kegiatan akademis lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Industri Kecil dan Putting Out System
Industrialisasi dalam suatu tahap pembangunan dianggap sebagai suatu simbol kemajuan dan kesuksesan pembangunan di suatu negara. Selain itu
industrialisasi dianggap sebagai kunci yang dapat membawa masyarakat ke arah yang lebih sejahtera dan dapat mengatasi masalah kesempatan kerja yang semakin
terbatas pada sektor non pertanian. Implikasi lain yang menyatakan bahwa sektor industri sangat penting untuk dikembangkan adalah karena penanaman modal
yang dinilai sangat menguntungkan dibandingkan dengan sektor pertanian yang lebih lambat pertumbuhannya.
Industrialisasi menempati posisi sentral dalam ekonomi masyarakat modern dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi
peningkatan kemakmuran dan mobilitas perorangan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada sebagian besar penduduk dunia, terutama di negara-negara
maju. Bagi negara berkembang, industri sangat esensial untuk memperluas landasan pembangunan dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus
meningkat. Banyak kebutuhan umat manusia yang harus dipenuhi oleh barang dan jasa. Menurut Leibo dan Andarwati 2008, industri adalah suatu usaha atau
perusahaan yang mengolah bahan baku atau bahan mentah menjadi barang setengah jadi, untuk kemudian diolah lagi menjadi barang jadi dengan
menggunakan teknologi dan tenaga manusia, sehingga barang tersebut mempunyai nilai yang lebih tinggi dalam penggunaannya baik untuk masyarakat
setempat maupun di luar masyarakat setempat untuk menghasilkan uang atau pendapatan.
Kristanto 2002 mengatakan bahwa industri secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Industri dasar atau hulu
Industri hulu memiliki sifat sebagai berikut: padat modal, berskala besar, menggunakan teknologi maju dan teruji. Lokasinya selalu dekat dengan bahan
baku yang mempunyai energi sendiri, dan pada umumnya lokasi ini belum tersentuh pembangunan.
2. Industri hilir
Industri ini merupakan perpanjangan proses industri hulu. Pada umumnya industri ini mengolah bahan setengah jadi menjadi barang jadi, lokasinya selalu
diusahakan dekat pasar, menggunakan teknologi madya dan teruji, padat karya. 3.
Industri kecil Industri kecil banyak berkembang di pedesaan dan perkotaan, memiliki
peralatan sederhana. Walaupun hakikat produksinya sama dengan industri hilir, tetapi sistem pengolahannya lebih sederhana. Sifat industri ini padat karya.
Selain pengelompokkan di atas, Kristanto 2002 mengklasifikasikan industri secara konvensional sebagai berikut:
1. Industri primer; yaitu industri yang mengubah bahan mentah menjadi bahan
setengah jadi, misalnya pertanian, pertambangan. 2.
Industri sekunder; yaitu industri yang mengubah barang setengah jadi menjadi barang jadi.
3. Industri tersier; yaitu industri yang sebagian besar meliputi industri jasa dan
perdagangan atau industri yang mengolah bahan industri sekunder. Leibo dan Andarwati 2008 mengatakan bahwa putting out system sistem
kerja rumahan merupakan suatu strategi pengusaha dalam menekan ongkos produksi. Karena jenis usaha ini sifatnya musiman dan sangat tergantung pada
fluktuasi pasar maka sistem pengupahan yang biasa diterapkan adalah sistem borongan, yaitu upah yang dihitung berdasarkan satuan potongan dari jumlah
produk yang diselesaikan. Adapun yang menjadi ciri dari POS adalah: a Sistem kerja rumahan yang biasanya berlangsung tanpa adanya kontrak perjanjian secara
tertulis. b Sifat pekerjaan yang tidak tentu berdasarkan pesanan atau borongan bahkan musiman. c Sebagian besar pekerjanya adalah perempuan yang sebagian
besar merupakan ibu rumah tangga. d Biasanya pekerjaan tersebut dilakukan di
rumah masing-masing pekerja. e Jumlah tenaga kerja yang tidak tetap karena tidak ada ikatan kerja. POS tersebut dapat berada pada industri yang
diklasifikasikan oleh Kristanto 2002, yaitu industri hilir, industri kecil dan industri sekunder.
Corak kerja POS dinilai sebagai alternatif kerja bagi ibu rumah tangga. Kesempatan kerja dengan sistem kerja di rumah memberi peluang kepada ibu
rumah tangga untuk bekerja mencari nafkah tanpa harus meninggalkan pekerjaan rumah tangganya. Pekerja yang bekerja dengan sistem ini dibayar berdasarkan
jumlah barang yang diproduksi oleh si pekerja bukan berdasarkan jam kerja. Selain itu, majikan hanya memberikan material pendukung tanpa ada
perlindungan berupa APD ataupun jaminan sosial yang diberikan kepada pekerja. Kondisi ini sangat memprihatinkan khususnya bagi para pekerja yang
sebagian besar merupakan ibu rumah tangga perusahaan tidak memberikan jaminan, perlindungan, serta upah yang layak terhadap pekerja dan tidak
bertanggung jawab atas kecelakaan ataupun penyakit yang timbul pada saat bekerja padahal perusahaan dapat memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya
dari sistem kerja ini.
Perempuan bekerja secara umum didefinisikan sebagai perempuan yang melakukan suatu kegiatan secara teratur atau berkesinambungan dalam suatu
jangka waktu tertentu, dengan tujuan yang jelas yaitu untuk menghasilkan atau mendapatkan sesuatu dalam bentuk benda, uang, jasa maupun ide. Menurut Leibo
dan Andarwati 2008, perempuan pekerja POS merupakan perempuan bekerja yang masuk dalam industri akibat tidak tertampung dalam sektor pertanian di
desa. Munandar 1985 dalam Ciptoningrum 2009 yang mendorong seorang perempuan yang telah berkeluarga untuk bekerja yaitu untuk menambah
penghasilan keluarga, untuk secara ekonomis tidak bergantung pada suaminya, untuk menghindari kebosanan atau mengisi waktu kosong, karena ketidakpuasan
terhadap pernikahan, karena mempunyai minat atau keahlian tertentu yang ingin
dimanfaatkan, untuk memperoleh status dan pengembangan diri.
2.1.2 Ideologi Gender
Gender diartikan sebagai keadaan dimana individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki dan perempuan memperoleh pencirian sosial sebagai
laki-laki dan perempuan melalui atribut maskulinitas dan feminitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem simbol masyarakat yang bersangkutan.
Pengertian gender dan seks atau jenis kelamin dibedakan, bahwa seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis
kelamin tertentu, yaitu laki-laki dan perempuan yang secara kodrati memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda. Konsep gender adalah sifat yang melekat
pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan
budaya laki-laki dan perempuan Sugiarti dan Handayani, 2008. Fakih 1996 dalam Pratiwi 2009 mengungkapkan bahwa konsep gender
menunjuk pada suatu sifat yang melekat pada kaum pria maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, seperti perempuan dianggap lemah
lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Seks adalah pembedaan jenis kelamin berdasarkan
alat dan fungsi biologis yang tidak dapat dipertukarkan, seperti laki-laki tidak dapat menstruasi dan tidak dapat hamil, sedangkan perempuan tidak bersuara
berat, tidak berkumis, karena keduanya memiliki hormon yang berbeda. Sifat ini selanjutnya akan menentukan perbedaan status, peran, dan tata hubungan antar
jenis kelamin yang berbeda dan mengatur berbagai bidang kehidupan masyarakat. Indrizal 1996 dalam Wulansari 2002 menjelaskan perbedaan
penggunaan konsep gender dan konsep perbedaan seksual sebagai berikut; gender lebih menunjuk pada pembedaan sosial atas dasar jenis kelamin, dibangun secara
sosial budaya, tidak dimiliki sejak lahir tidak bersifat kodrati dan karenanya dapat dirubah, sedangkan perbedaan seksual lebih menunjuk pada pembedaan
secara biologis, dipunyai sejak lahir bersifat kodrati dan karenanya tidak dapat berubah. Misalnya, pada zaman dahulu di suatu suku tertentu perempuan lebih
kuat dari laki-laki, tetapi di tempat lain laki-laki yang lebih kuat. Di suku tertentu, perempuan kelas bawah di perdesaan lebih kuat dibandingkan kaum laki-laki
kelas menengah di kota Fakih 1996 dalam Sugiarti dan Handayani 2008.
Jika ditarik benang merah, maka didapat kesimpulan bahwa gender adalah pembedaan sosial berupa sifat atas dasar jenis kelamin yang dibentuk oleh faktor
sosial budaya yang membentuk anggapan tentang peran sosial berdasarkan jenis kelamin tersebut dan sebagai hasil konstruksi sosial dan kultural.
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan
sains tentang ide. Ideologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cara berpikir seseorang atau suatu golongan KBBI 2007. Oleh karena itu, ideologi
gender dapat diartikan sebagai suatu pemikiran seseorang atau kelompok bahwa adanya pembedaan sosial berupa sifat atas dasar jenis kelamin yang dibentuk oleh
faktor sosial budaya yang membentuk anggapan tentang peran sosial berdasarkan jenis kelamin tersebut dan sebagai hasil konstruksi sosial dan kultural.
Saptari dan Holzner 1997 mengatakan bahwa ideologi gender adalah segala aturan, nilai stereotipe yang mengatur hubungan antara perempuan dan
laki-laki, malalui pembentukan identitas feminin dan maskulin yang menjadi struktur dan sifat manusia, dimana ciri-ciri dasar dan sifat itu dibentuk sejak masa
kanak-kanak awal. Seorang antropolog, Alice Schlegel dalam Saptari dan Holzner 1997 menggunakan istilah gender meaning pengertian gender yang
mempunyai arti yang serupa dengan ideologi gender, yaitu bagaimana kedua jenis kelamin “dipersepsikan, dinilai, dan diharapkan untuk bertingkah laku”.
2.1.3 Marjinalisasi
Ketidakadilan gender atau ketimpangan gender merupakan akibat dari adanya sistem struktur sosial dimana salah satu jenis kelamin laki-laki maupun
perempuan menjadi korban. Ketidakadilan gender atau ketimpangan gender ini terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang
peradaban manusia dalam berbagai bentuk dan cara yang menimpa kedua belah pihak, walaupun dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak dialami perempuan.
Jika hal tersebut terus berlanjut maka akan membahayakan bagi kaum perempuan. Banyak istilah yang dipakai untuk mengekspresikan fenomena ketidakadilan itu
antara lain: marjinalisasi, subordinasi, eksploitasi, dll.
De Vries 2006 dalam Siyamitri 2009 pun menjelaskan bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang sering terjadi pada perempuan, yaitu: pertama,
subordinasi yang merupakan pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini adalah perempuan. Pandangan bahwa perempuan itu
emosional mengakibatkan mereka kurang diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan; kedua, pelabelan negatif stereotype yaitu pembentukan
citra buruk perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi tidak berdaya dalam masyarakat; ketiga, marjinalisasi sebagai akibat langsung dari subordinasi
perempuan serta melekatnya label-label buruk pada diri perempuan, perempuan tidak memiliki akses dan kontrol yang sama dengan laki-laki dalam penguasaan
sumber-sumber ekonomi. Lebih jauhnya, hal ini akan berimplikasi pada termarjinalisasinya kebutuhan dan kepentingan perempuan; keempat, beban kerja
berlebih, perempuan selalu diindikasikan dengan pekerjaan domestik. Pada kalangan keluarga miskin, beban ganda terjadi dimana kaum perempuan harus
bekerja di sektor domestik dan produktif, sehingga beban kerja perempuan menjadi sangat berat. Kelima, kekerasan yaitu suatu serangan terhadap fisik
maupun psikologis seseorang dalam hal ini dilakukan terhadap perempuan. Salah satu bentuk ketidakadilan atau ketimpangan gender yang terjadi
dalam keluarga dan masyarakat serta di tempat kerja adalah marjinalisasi. Sugiarti dan Handayani 2008 mengatakan bentuk manifestasi ketidakadilan gender
adalah proses marjinalisasi atau pemiskinan terhadap kaum perempuan. Marjinalisasi sering disebut sebagai pemiskinan ekonomi. Marjinalisasi yang
disebabkan oleh perbedaan gender salah satunya adalah adanya program di bidang pertanian dikenal dengan revolusi hijau yang memfokuskan pada petani laki-laki
yang mengakibatkan banyak perempuan tergeser dan menjadi miskin. Contoh lain adanya pekerjaan khusus perempuan seperti: guru taman kanak-kanak, pekerja
pabrik yang berakibat pada penggajian yang rendah. Sesungguhnya banyak proses di dalam masyarakat dan negara yang memarginalkan masyarakat, seperti proses
eksploitasi namun ada salah satu bentuk kemiskinan berakibat hanya pada jenis kelamin tertentu perempuan yang disebabkan oleh keyakinan gender.
Saptari dan Holzner 1997 mengatakan marjinalisasi sebagai proses penyingkiran. Scott 1986 dalam Saptari dan Holzner 1997 mensinyalir bahwa
dalam diskusi tentang marjinalisasi terdapat kerancuan di kalangan peneliti tentang berbagai bentuk marjinalisasi, yaitu:
1. Sebagai proses pengucilan exclusion
Di sini yang dimaksudkan ialah bahwa perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau dari jenis-jenis kerja upahan tertentu. Marjinalisasi ini sering
disebut sebagai marginalization as exclusion from productive employment. 2.
Sebagai proses pergeseran perempuan ke pinggiran margins dari pasar tenaga kerja
Yang dimaksudkan di sini ialah kecendrungan bagi perempuan untuk bekerja pada jenis-jenis pekerjaan yang mempuanyai kelangsungan hidup yang tidak
stabil; yang upahnya rendah; atau yang dinilai tidak terampil. Marjinalisasi ini sering disebut sebagai marginalization as concentration on the margins of the
labour market. 3.
Sebagai proses feminisasi atau segregasi Dengan adanya pemusatan tenaga kerja perempuan ke dalam jenis-jenis
pekerjaan tertentu sudah ter”feminisasi” dilakukan semata-mata oleh perempuan. Walaupun dalam literatur feminisasi tidak identik dengan
marjinalisasi, keadaan demikianlah yang biasanya digambarkan. Segregasi di sini adalah pemisahan pekerjaan yang semata-mata dilakukan oleh laki-laki
dan oleh perempuan. Marjinalisasi ini sering disebut sebagai marginalization as feminization or segregation.
4. Sebagai proses ketimpangan ekonomi yang semakin meningkat
Gejala ini kurang lebih sama dengan gejala proses pergeseran perempuan ke pinggiran margins dari pasar tenaga kerja. Biasanya dalam pengertian ini,
marjinalisasi menunjuk pada ketimpangan upah antara laki-laki dan perempuan. Marjinalisasi ini sering disebut sebagai marginalization as
economic inequality. Berkaitan dengan marjinalisasi perempuan lebih lanjut Scott 1986 dalam
Saptari dan Holzner 1997 menyatakan bahwa fenomena ini merupakan suatu proses, bersifat kontekstual dan relatif. Sebagai sebuah proses, marjinalisasi
menyangkut perubahan peran dan kedudukan perempuan dalam jangka waktu
tertentu berkaitan dengan siklus ekonomi. Bersifat kontekstual, dalam arti proses tersebut tidak dapat dilihat terpisah dari kondisi sosial, ekonomi, politik di tempat
buruh perempuan berdomisili. Bersifat relatif, berkaitan dengan perbandingan antara lelaki dan perempuan. Secara keseluruhan, hal tersebut termasuk persoalan
dinamika permintaan dan penawaran tenaga kerja. Marjinalisasi dalam penelitian ini dilihat dari kondisi kerja yang diperoleh
perempuan dari hasil bekerja. Indikator kondisi kerja tersebut mengacu pada penelitian Siyamitri 2009 yang terdiri dari pendapatan atau upah, jaminan
keluarga, dan jaminan kerja. Apabila kondisi kerja perempuan rendah maka terjadilah marjinalisasi perempuan.
2.1.4 Kontribusi Ekonomi
Bekerjanya perempuan berhubungan dengan berapa banyak kontribusi ekonomi yang diberikan perempuan ke dalam rumah tangganya. Kontribusi
ekonomi perempuan adalah pendapatan yang dihasilkan oleh perempuan dan dibawa serta disumbangkan oleh perempuan ke dalam pendapatan keluarga. Levy
1971 dalam Sajogyo 1983 mengatakan bahwa keluarga merupakan unit terkecil dari sistem kekerabatan. Alokasi ekonomi dalam keluarga diperlukan,
mengingat konsumsi anggota-anggotanya akan barang dan jasa makanan, pakaian, perumahan dan lain-lain yang harus diperoleh karena usaha-usaha
produktif yaitu pencaharian nafkah barang, jasa daripada anggota-anggotanya pula.
Mengenai sumber penghasilan dari usaha produktif atau mencari nafkah, Levy 1971 dalam Sajogyo 1983 menyatakan pentingnya membedakan:
1. Apakah itu karena usaha bersama kesatuan keluarga ataukah karena usaha
seseorang atau beberapa orang anggota keluarga yang menggabungkan diri ke dalam kesatuan-kesatuan produktif atau pencarian nafkah di luar keluarga.
2. Apakah hasil dari usaha produktif atau mencari nafkah barang dan jasa
diusahakan untuk dan dikuasai langsung oleh keluarga itu sendiri ataukah diusahakan untuk pihak luar dan dengan penghasilan uang itu dibelikan
barang atau jasa-jasa bagi konsumsi keluarga itu: hal pertama, keluarga yang
“selfsufficient” sudah jarang ada; dalam hal kedua adalah yang umum, dimana masih tetap ada sebagian yang diusahakan untuk langsung dikonsumsi
sendiri, yaitu jasa-jasa pekerjaan rumah tangga yang dikerjakan sendiri oleh keluarga.
Menurut Saptari dan Holzner 1997, dalam perumusan rumah tangga sering terdapat ide bahwa penghasilan yang beraneka ragam sumbernya ini akan
selalu digabungkan ke dalam satu dompet dengan maksud agar bisa dikonsumsikan secara bersama-sama pula. Sajogyo 1983 juga mengatakan
bahwa semua penghasilan dari semua pencari nafkah dalam keluarga dikumpulkan menjadi satu “dana bersama”, yang dipergunakan untuk keperluan
bersama antara lain sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota yang diakui, menurut “pos-pos pengeluaran” sesuai dengan norma-norma tingkat
hidup keluarga itu, akan tetapi Saptari dan Holzner 1997 menyatakan kesulitan dalam mendefinisikan rumah tangga sebagai kesatuan dimana penghasilan semua
dikumpulkan di satu tangan dan konsumsi dilakukan bersama. Semakin beragam sumber penghasilan para anggota suatu rumah tangga, semakin besar
kemungkinan bahwa masing-masing anggota akan menahan sebagian atau seluruh penghasilannya untuk kepentingan sendiri baik untuk dikonsumsikan langsung
maupun untuk disimpan atau diinvestasikan untuk masa depannya sendiri. Dari hasil penelitian Ariani 1986 dalam Rahayu 1996, diketahui bahwa
perempuan yang menyumbangkan pendapatannya dalam pendapatan keluarga lebih dilibatkan dalam pengambilan keputusan dibandingkan dengan perempuan
yang tidak menyumbangkan pendapatannya.
2.1.5 Otonomi Perempuan
Besar kecilnya kontribusi ekonomi perempuan akan berhubungan dengan besar kecilnya otonomi perempuan dalam keluarganya. Ihromi 1995 dalam
Safitri 2006 mengatakan bahwa otonomi perempuan diartikan sebagai kemampuan perempuan untuk bertindak, melakukan kegiatan, mengambil
keputusan untuk bertindak berdasarkan kemauan sendiri, jadi bukan karena disuruh orang, atau dipaksa oleh orang lain. Dengan demikian, otonomi
perempuan dapat dilihat dari seberapa banyak perempuan mengambil keputusan dalam berbagai kegiatan.
Otonomi perempuan dalam keluarga dilihat dari sejauhmana perempuan memiliki kekuasaan dalam seluruh kegiatan baik dalam kegiatan produktif,
reproduktif, maupun sosial. Kekuasaan diukur dengan banyaknya frekuensi perempuan mengambil keputusan dalam waktu tertentu. Jenis keputusan
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu keputusan oleh istri sendiri, keputusan bersama suami istri, dan keputusan suami sendiri Sajogyo, 1983.
Selanjutnya untuk kepentingan analisis, keputusan dikelompokkan lagi menjadi keputusan istri sendiri yang menggambarkan otonomi perempuan tinggi dan
keputusan suami sendiri yang menggambarkan otonomi perempuan rendah. Ihromi 1995 dalam Safitri 2006 juga mengatakan bahwa pengambilan
keputusan dalam keluarga adalah hal mendesak untuk dikaji dan dicari jalan pemecahannya, karena ini akan berkorelasi dalam pola relasi gender. Hal yang
dapat dijelaskan dari pengambilan keputusan adalah suatu proses interaksi yang dilakukan suami dan istri, bagaimana keputusan diambil, sampai kepada siapa
yang memutuskan. Stoler 1977 dalam Sajogyo 1983 mengemukakan bahwa otonomi
perempuan dan kekuasaan sosialnya merupakan fungsi dari kemampuannya memperoleh sumber-sumber strategis dalam rumah tangga dan masyarakat luas.
Dalam hal ini, yang menjadi sumbernya adalah kontribusi perempuan dalam keluarga dan masyarakat setelah dia bekerja di bidang nafkah strategis.
Upaya mencapai otonomi pribadi perempuan telah dikembangkan pada konferensi-konferensi perempuan internasional di Dunia Ketiga dan Pertama. Hal
ini berarti para perempuan mempunyai akses ke sumberdaya mereka sendiri, dengan demikian otonomi ini mempunyai perspektif ekonomi. Otonomi juga
mempunyai perspektif relasional bila otonomi diartikan sebagai hak untuk menentukan hidup sendiri misalnya, pendidikan, perkawinan, jumlah anak,
keikutsertaan dalam politik, dan sebagainya. Otonomi merupakan konsep yang lebih penting daripada pembangunan karena otonomi mempunyai kemampuan
untuk membawa perempuan menjadi manusia yang memiliki nilai-nilai hidup
sendiri dalam masyarakat.
2.1.6 Kesejahteraan Keluarga
Besar kecilnya otonomi perempuan akan berhubungan dengan kesejahteraan keluarganya. Menurut Badudu-Zain 1994 dalam Aryati 1999,
kesejahteraan adalah hal atau keadaan sejahtera; keselamatan dan ketentraman serta kemakmuran. Kesejahteraan juga merupakan sejumlah kepuasan yang
diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, walaupun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat
relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tertentu Sawidak, 1985 dalam Nurohmah, 2003,
namun dibutuhkan alat ukur yang logis untuk mengukur kesejahteraan. Kesejahteraan di sini adalah kecukupan kebutuhan pangan, pendidikan anak, dan
kesehatan. Tingkat kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada
satu kurun waktu tertentu. BPS 2006 menyatakakan berbagai indikator kesejahteraan yang terdiri
dari kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, serta sosial lainnya. Penelitian ini
hanya memfokuskan pada indikator pendidikan anak, kesehatan dan pola konsumsi untuk melihat kesejahteraan keluarga pekerja perempuan.
2.2 Kerangka Pemikiran
Perempuan yang bekerja pada industri semakin meningkat, namun pendidikan yang dimiliki perempuan tidak memenuhi ketentuan formal. Oleh
karena itu, perempuan bekerja pada tempat-tempat tertentu saja, yaitu bekerja dengan putting out system sistem kerja rumahan. Sistem ini biasanya dipakai di
perusahaan-perusahaan yang berusaha mengurangi biaya produksi, yaitu dengan cara tidak menyediakan tempat untuk para pekerjanya bekerja dikerjakan di
rumah dan juga tidak menjamin kelestarian kerja. Walaupun perempuan sudah bisa bekerja produktif, namun ideologi gender tidak sepenuhnya ditinggalkan
mereka baik oleh pekerja maupun perusahaan. hal ini berhubungan dengan kondisi kerja perempuan sehingga terjadinya marjinalisasi dalam POS ini.
Marjinalisasi perempuan dalam putting out system di sini dapat dilihat dalam hal upah, jaminan kerja serta jaminan keluarga yang diperoleh dari
perusahaan tempat ia bekerja. Pekerja perempuan dalam putting out system ini membawa pekerjaan mereka ke rumah karena adanya anggapan bahwa perempuan
merupakan pekerja sambilan sehingga pekerjaan dapat dikerjakan di rumah berbarengan dengan pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan perempuan tersebut
dianggap pekerjaan yang ringan sehingga mereka mendapat upah yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yang bekerja di pabrik. Selain itu,
perempuan juga tidak diberikan jaminan kerja dan jaminan keluarga seperti yang diterima oleh pekerja laki-laki di pabrik.
Perempuan bekerja sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga maupun membantu suaminya, sehingga upah yang diterima perempuan akan berhubungan
dengan kontribusi ekonomi perempuan yang dibawa ke dalam pendapatan keluarganya. Kontribusi ekonomi perempuan tersebut berhubungan dengan
marjinalisasi perempuan. Semakin tingginya marjinalisasi perempuan, maka semakin kecil kontribusi ekonomi perempuan. Kontribusi ekonomi perempuan ini
juga berhubungan dengan otonomi perempuan dalam keluarga. Semakin rendah kontribusi ekonomi perempuan, maka semakin rendah otonomi perempuan dalam
keluarga. Otonomi perempuan diartikan sebagai kemampuan perempuan untuk
bertindak, melakukan kegiatan, dan mengambil keputusan untuk bertindak berdasarkan kemauan sendiri. Otonomi perempuan dalam keluarga ini dilihat dari
pengambilan keputusan oleh perempuan dalam bidang produktif, reproduktif, dan sosial. Otonomi perempuan dalam keluarga diduga dapat berhubungan dengan
kesejahteraan keluarga. Apabila otonomi perempuan tinggi, maka kesejahteraan keluarga akan tinggi. Kesejahteraan keluarga dilihat dari pemenuhan dalam
bidang pendidikan anak, kesehatan, dan pola konsumsi. Alur berpikir dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan: :
terdapat hubungan
: terdapat hubungan tetapi tidak diuji
2.3 Hipotesis Penelitian