Relasi Kekuasaan Antar Aktor dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perairan
72 Sebagian besar hasil tangkapan ikan di Sungai Siak Kecil yang dijual kepada
pedagang pengumpul selanjutnya dipasarkan di Sei Pakning, Ibu Kota Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, dengan jarak tempuh 6-8 jam perjalanan kapal
kayu. Karena jauhnya jarak dan lamanya waktu tempuh antara lokasi penangkapan dengan konsumen akhir, biasanya nelayan menjual ikan dalam
bentuk awetan, kecuali ikan tapah yang selalu dijual dalam kondisi masih hidup. Pengawetan ikan juga dilakukan karena alasan melimpahnya hasil tangkapan pada
musim panen raya. Proses pengawetan ikan ada dua macam, tergantung jenis ikan. Ikan kepar, tuakang, dan bujuk biasanya diawetkan dengan cara penggaraman
menjadi ikan asin, sedangkan ikan selais dan baung biasanya diawetkan dengan pengasapan menjadi ikan salai. Sementara itu, ikan toman dan gabus selain dijual
sebagai ikan hidup juga sering diawetkan dengan pengasapan. 4.3.5 Analisis Keberlanjutan Kelembagaan dalam Pemanfaatan Sumber
Daya Perairan
Masyarakat nelayan lokal di dalam wilayan perairan Cagar Biosfer GSKBB pada umumnya saling mengenal satu sama lain dan sebagian besar mempunyai
hubungan kekerabatan, sehingga berpeluang untuk melakukan tindakan kolektif dan mengelola sumber daya secara mandiri berdasar kelembagaan lokal yang
mereka bangun Uphoff 1986. Identifikasi penerapan prinsip-prinsip desain kelembagaan yang berkelanjutan Ostrom 1990 telah dilakukan pada
kelembagaan lokal di wilayah perairan Cagar Biosfer GSKBB. Hasil identifikasi masing-masing prinsip desain kelembagaan secara ringkas dapat dilihat pada
Tabel 4.8.
1. Batas-batas yang jelas dalam pemanfaatan sumber daya clearly defined boundaries.
Dalam pemanfaatan CPRs, harus ada aturan yang mendefinisikan dengan jelas tentang waktu, lokasi, teknologi dan atau jumlah unit sumber daya yang
dapat dimanfaatkan Ostrom 1990. Masyarakat nelayan GSKBB telah mengatur dan menerapkan batasan teknologi, dimana tidak dibolehkan menggunakan racun
dan alat tangkap berarus listrik setrum dengan alasan dapat membunuh semua jenis dan ukuran ikan yang dapat mengganggu kontinuitas hasil tangkapan ikan.
Khusus pada komunitas nelayan Bukit Batu, mereka juga melarang penggunaan jala dan jaring untuk menangkap ikan di tasik dan Sungai Bukit Batu karena
menurut mereka kedua alat tersebut merupakan alat tangkap ikan di laut sehingga diyakini dapat mengganggu kehidupan ikan air tawar. Alasan mitos tersebut dapat
membantu membatasi kompetisi penangkapan oleh nelayan laut sehingga tidak terjadi pemanenan berlebihan overfishing
.
73 Tabel 4.8 Karakteristik kelembagaan lokal dalam pemanfaatan sumber daya
perairan di Cagar Biosfer GSKBB
No Prinsip Desain Kelembagaan
yang Berkelanjutan Ostrom 1990
Kondisi Kelembagaan Lokal di GSKBB Kesesuaian
dengan Prinsip
1 Harus ada batasan yang jelas
dalam pemanfaatan sumber daya:
- Teknologi Ada
batasan teknologi
yang melarang
penggunaan setrum dan racun. √
- Wilayah Batasan wilayah pemanfaatan tidak ada.
x - Waktu
Batasan waktu pemanfaatan tidak ada. x
- Jumlah unit sumber daya Batasan jumlah unit sumber daya yang boleh
dimanfaatkan tidak ada. x
- Pengguna Batasan pengguna sumber daya tidak ada.
x - Pemilikan
Ikan yang sudah terperangkap dalam alat tangkap merupakan milik pribadi.
√ 2
Harus sesuai dengan kondisi lokal
Aturan disusun berdasarkan kondisi hidrologi, pengetahuan dan praktik masyarakat yang
berlangsung turun temurun. √
3 Harus ada pengaturan pilihan
kolektif Aturan disusun oleh tokoh leluhur masyarakat,
dan jika memerlukan modifikasi akan dilakukan musyawarah bersama masyarakat.
√ 4
Harus ada pengawasan Ada pengawasan internal secara sosial, jika
terjadi perilaku menyimpang dari pengguna akan dilaporkan kepada tokoh dan kepala desa.
√
5 Harus ada sanksi yang tegas
sesuai kesalahan Sanksi sosial dari pengguna lainnya cukup berat
sehingga tingkat kepatuhan tinggi. √
6 Harus memiliki mekanisme
penyelesaian konflik Mekanisme
penyelesaian konflik
melalui musyawarah
yang dipimpin
oleh tokoh
masyarakat. √
7 Harus ada pengakuan hak
untuk mengatur dari pihak pemerintah
BBKSDA Riau sebagai pengelola suaka margasatwa mengakui aturan lokal tersebut dan
tidak melarang praktik pemanfaatan sumber daya perairan Cagar Biosfer GSKBB oleh
masyarakat lokal. √
8 Harus ada keterkaitan dalam
sistem kelembagaan secara berjenjang
Aturan lokal sudah selaras dengan aturan desa, namun belum selaras dengan aturan-aturan level
di atasnya yang terkait dengan pengelolaan suaka
margasatwa yang
dirancang oleh
pemerintah. x
Komunitas nelayan GSKBB tidak mengatur tentang batasan wilayah, waktu, dan jumlah unit sumber daya perikanan yang dapat ditangkap. Semua wilayah
perairan boleh dimanfaatkan dan tidak ada penguasaan suatu wilayah perairan oleh individu atau kelompok. Penangkapan ikan dapat dilakukan sepanjang tahun
karena alam sudah mengatur intensitas penangkapan mengikuti fluktuasi tinggi muka air rawa banjiran. Kondisi alam yang demikian juga tidak mendorong
mereka untuk menentukan batasan wilayah tertentu yang dilarang adanya penangkapan. Kondisi ini berbeda dengan aturan lubuk larangan yang banyak
74 ditemukan di dataran tinggi Sumatera, seperti di Mandailing Natal, Sumatera
Utara Nuraini 2015 dan di Lima Puluh Kota, Sumatera Barat Kurniasari 2014; Yuliaty et al. 2014. Batasan jumlah unit sumber daya perikanan yang boleh
ditangkap juga tidak diatur. Semua jenis dan ukuran ikan yang tertangkap dapat dikonsumsi sendiri atau dijual, ikan-ikan kecil yang tidak laku biasanya dilepas
kembali atau digunakan sebagai umpan untuk menangkap ikan baung Mystus nemurus Cuv. Val.. Hal ini karena wilayah perairan rawa banjiran Cagar
Biosfer GSKBB sangat luas ±16.620 ha dan sumber daya ikan di dalamnya juga masih melimpah. Nelayan menilai bahwa hasil tangkapan ikan masih cukup untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Menurut Ostrom 1990, individu-individu atau kelompok yang mempunyai hak memanfaatkan unit sumber daya dari CPRs harus didefinisikan dengan jelas.
Namun, komunitas nelayan GSKBB tidak membuat batasan individu atau kelompok penangkap, sehingga siapapun berhak memanfaatkan ikan di sungai
atau tasik, baik penduduk lokal maupun pendatang, tanpa persyaratan tertentu. Penduduk suatu wilayah juga boleh menangkap ikan di wilayah lain. Hal ini
karena jumlah komunitas nelayan masih sedikit dan relatif seragam dengan latar belakang budaya suku Melayu Siak yang selalu terbuka menerima kedatangan
orang lain. Menurut mereka, wilayah perairan Cagar Biosfer GSKBB merupakan milik umum.
2. Kesesuaian aturan dengan kondisi lokal congruence.
Aturan pemanfaatan harus sesuai dengan kondisi setempat, dan juga sesuai dengan aturan penyediaan kebutuhan tenaga, material dan atau uang, dan
distribusi manfaat harus sebanding dengan biaya yang dikeluarkan Ostrom 1990. Meskipun komunitas nelayan GSKBB belum mengatur tentang batasan waktu,
tempat, dan jumlah unit sumber daya perikanan yang dapat ditangkap, namun mereka telah mengatur dan menerapkan batasan teknologi, dimana nelayan tidak
dibolehkan menggunakan racun dan alat tangkap berarus listrik setrum dengan alasan dapat membunuh semua jenis dan ukuran ikan. Aturan yang dipatuhi secara
turun temurun ini sudah memperhatikan kondisi hidrologi spesifik karena keduanya akan membunuh ikan secara massal yang dapat mengganggu
kontinuitas hasil tangkapan ikan. Komunitas nelayan merasa sudah mendapatkan manfaat sesuai dengan alat tangkap dan biaya yang mereka keluarkan dalam
kegiatan penangkapan ikan.
Khusus pada komunitas nelayan Bukit Batu, mereka juga melarang penggunaan jala dan jaring untuk menangkap ikan di tasik dan Sungai Bukit Batu
karena menurut mereka kedua alat tersebut merupakan alat tangkap ikan di laut sehingga diyakini dapat mengganggu kehidupan ikan air tawar. Alasan karena
mitos tersebut dapat membantu membatasi kompetisi penangkapan oleh nelayan laut sehingga tidak terjadi penangkapan ikan yang berlebihan. Aturan ini efisien
karena biaya penegakannya sangat rendah, sementara hasil tangkapan menggunakan peralatan lain masih sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.
3. Pengaturan pilihan kolektif collective choice arrangements. Pihak-pihak yang dipengaruhi oleh aturan operasional seharusnya dapat
berpartisipasi secara luas dalam memodifikasi aturan operasional Ostrom 1990. Aturan pemanfaatan sumber daya perairan di GSKBB disusun oleh tokoh leluhur
75 masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan sampai saat ini belum
ada perubahan terhadap aturan tersebut. Masyarakat mengakui aturan tersebut sebagai aturan tidak tertulis yang harus dipatuhi.
Jika memerlukan modifikasi terhadap aturan tersebut akan dilakukan musyawarah bersama masyarakat. Hal ini
menunjukkan bahwa aturan tersebut telah bertahan lama karena sesuai dengan aspirasi masyarakat luas dan tetap membuka kesempatan adanya pelibatan
komunitas nelayan jika perlu dilakukan perubahan terhadap aturan tersebut. Aturan yang dikembangkan berdasarkan praktik dan pengalaman nenek moyang
mereka secara turun temurun tersebut merupakan dimensi kultural-kognitif sebagai salah satu pilar kelembagaan Scott 2008.
4. Pengawasan monitoring Idealnya, ada pengawas yang secara aktif mengaudit kondisi sumber daya
dan perilaku pengguna, dan bertanggung jawab kepada para pengguna tersebut Ostrom 1990. Pada komunitas nelayan GSKBB tidak ada petugas yang ditunjuk
secara khusus sebagai pengawas. Masyarakat mengembangkan pengawasan partisipatif secara kolektif komunal dalam penangkapan ikan. Apabila ada warga
yang berperilaku menyimpang akan dilaporkan kepada tokoh masyarakat atau kepala desa. Masyarakat lokal masih memegang teguh norma untuk tidak boleh
mengambil hak orang lain, bahkan tidak boleh menengok lukah dan alat tangkap lainnya milik orang lain yang dipasang. Masyarakat meyakini bahwa keberadaan
ikan di sungai dan tasik bersifat ghaib karena tidak bisa dilihat dari atas air, sehingga ikan yang tertangkap merupakan rejeki dari Tuhan yang harus disyukuri
berapapun hasilnya. Masyarakat masih percaya bahwa Tuhan yang mengatur kelestarian
sumber daya
dan mengawasi
perilaku masyarakat
yang memanfaatkannya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai
pandangan jangka panjang dan transenden sehingga modal sosial berupa kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut dapat mengurangi biaya
pengawasan Birner dan Wittmer 2000; Nurrochmat 2005. Pengawasan yang memadai melalui partisipasi masyarakat tersebut sangat membantu terwujudnya
kelestarian sumber daya milik bersama dan mengurangi konflik di antara pengguna Ostrom 1990; Dutton 1996.
5. Sanksi yang tegas sesuai tingkat kesalahan graduated sanctions Pengguna yang melanggar aturan operasional harus mendapat sanksi yang
tegas bergantung pada keseriusan dan konteks pelanggarannya dari pengguna lainnya dan petugas yang bertanggungjawab kepada pengguna atau keduanya
Ostrom 1990. Untuk menegakkan kelembagaan perlu sanksi bagi yang melanggarnya karena kelembagaan tanpa adanya sanksi tidak ada gunanya
Kasper dan Streit 1998. Sanksi merupakan alat pemaksa agar pengguna mentaati norma-norma yang berlaku Susetyo 2014. Pada tingkat operasional, selain perlu
ada aturan dalam proses pemanfaatan appropriation, penyediaan provision, dan pengawasan monitoring, juga perlu aturan penegakan enforcement
Ostrom 1990.
Komunitas nelayan GSKBB lebih menekankan pada sanksi sosial, bagi yang melanggar aturan larangan penggunaan racun dan setrum dalam penangkapan ikan
akan dikucilkan dari komunitas. Komunitas nelayan menganggap bahwa sanksi tersebut sebagai aturan tidak tertulis yang harus dipatuhi untuk melestarikan
76 sumber daya mereka, sehingga sampai sekarang belum ada yang melanggarnya.
Sanksi sosial yang tidak tertulis seperti ini juga lebih dipatuhi oleh masyarakat Rumahkay di Seram Bagian Barat, Maluku dalam melindungi sumber daya hutan
mereka Ohorella et al. 2011. Menurut Kasper dan Streit 1998, sanksi pada kelembagaan informal biasanya diberikan secara spontan dari interaksi sosial. Hal
ini merupakan bentuk pertanggungjawaban secara batiniah dari pelaku atas pelanggaran yang dilakukannya Susetyo 2014. Namun, seiring dengan adanya
penduduk pendatang di luar suku Melayu yang ikut sebagai nelayan, perlu dirumuskan sanksi yang jelas agar tidak terjadi pembiaran terhadap pelanggaran
di kemudian hari.
6. Mekanisme penyelesaian konflik conflict resolution mechanism Kelembagaan yang berkelanjutan harus memiliki akses cepat dan murah
untuk menyelesaikan konflik antar pengguna, atau antara pengguna dengan petugas Ostrom 1990. Kelembagaan mempunyai tujuan untuk membatasi dan
menyelesaikan konflik Kasper dan Streit 1998. Di wilayah perairan Cagar Biosfer GSKBB, belum pernah terjadi konflik terbuka antar penggunapenangkap
ikan karena biasanya kelompok nelayan di suatu wilayah masih mempunyai hubungan kekerabatan yang kuat. Selain itu, mereka juga menjunjung tinggi nilai-
nilai kerukunan, saling menghormati, dan kesejahteraan bersama.
Konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih karena adanya perbedaan kepentingan, cara pandang, nilai, dan kelangkaan sumber daya
Fisher et al. 2001; Malik et al. 2003. Konflik di antara nelayan GSKBB mulai muncul ketika jumlah nelayan bertambah banyak dan heterogen karena masuknya
pendatang dari luar suku Melayu, seperti di Desa Tasik Serai Timur, dimana mulai terjadi kasus pencurian ikan di dalam lukah. Untuk mencegah konflik terus
berkembang, mereka kemudian mengadakan musyawarah yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat sehingga kasus pencurian ikan tidak terjadi lagi. Hal ini
menunjukkan bahwa aturan pada tingkat operasional telah berjalan untuk menyelesaikan konflik dengan biaya yang murah. Rendahnya konflik di wilayah
ini merupakan indikator tegaknya tenure security Agarwal dan Elbow 2006, karena batasan hak kepemilikan ikan jelas dan diakui oleh masyarakat bahwa ikan
yang terperangkap merupakan milik individu dari pemilik alat tangkap.
7. Pengakuan hak untuk mengatur minimal recognition of rights to organize Pengakuan hak untuk mengatur artinya hak dari pemanfaat sumber daya
untuk membuat aturan tidak dilarang oleh pihak pemerintah yang berwenang Ostrom 1990. Di perairan Cagar Biosfer GSKBB, BBKSDA Riau yang
mengelola kawasan SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu tidak melarang nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan Cagar Biosfer GSKBB.
BBKSDA Riau mengakui hak masyarakat lokal untuk membuat aturan yang arif berdasarkan pengetahuan ekologi tradisional traditional ecological knowledge.
Wilayah perairan di dalam suaka margasatwa ini akan dialokasikan sebagai Blok Pemanfaatan, meskipun sampai saat ini belum dilakukan penataan kawasan. Hal
ini karena BBKSDA Riau masih percaya bahwa aturan lokal yang dikembangkan oleh masyarakat berdasarkan kebiasaan tradisi turun temurun tersebut belum
menimbulkan dampak negatif besar terhadap populasi ikan.
77 Kelembagaan lokal biasanya lebih efektif untuk mengendalikan perilaku
masyarakat yang relatif seragam dan jumlahnya masih terbatas. Penelitian Nursidah et al. 2012 menunjukkan bahwa kelembagaan yang dikembangkan
berdasarkan norma adat di Sumatera Barat lebih unggul dibandingkan dengan kelembagaan yang disusun oleh pemerintah. Berdasarkan penelitian di Taman
Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, Mehring et al. 2011 menyarankan agar bentuk pengakuan pemerintah tersebut perlu dituangkan dalam kesepakatan
konservasi
antara masyarakat
dengan pengelola
kawasan dengan
mempertimbangkan keragaman budaya dan fleksibel dalam proses pengelolaan kawasan. Bentuk kesepakatan konservasi masyarakat ini merupakan contoh
pengelolaan kolaboratif di kawasan konservasi Massiri et al., 2015 yang perlu dikembangkan di Cagar Biosfer GSKBB.
8. Keterkaitan dalam sistem kelembagaan secara berjenjang nested enterprises Kegiatan pemanfaatan, penyediaan, pengawasan, penegakkan aturan,
resolusi konflik, dan kegiatan tata kelola idealnya diatur dalam jaringan yang lebih luas dan berjenjang Ostrom 1990. Idealnya, ada keterkaitan aturan pada
tingkat operasional, kolektif, dan konstitusional. Aturan lokal dalam pemanfaatan sumber daya perairan yang dikembangkan oleh nelayan GSKBB ini sudah selaras
dengan aturan pemerintah desa, dan pemerintah desa juga siap membantu dalam penegakannya. Namun, aturan ini belum selaras dengan aturan-aturan level di
atasnya yang terkait dengan pengelolaan suaka margasatwa yang dikembangkan secara formal oleh pemerintah. Hal ini memerlukan revisi peraturan untuk
mengakomodir pemanfaatan berkelanjutan oleh masyarakat lokal yang sudah berlangsung turun temurun tersebut karena PP No. 28 Tahun 2011 tidak mengatur
adanya Blok Pemanfaatan Tradisional di dalam kawasan suaka margasatwa.