Metode Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu Di Provinsi Riau
14 Konsep cagar biosfer generasi kedua menekankan visinya sebagai kawasan
dilindungi dari perwakilan lingkungan daratan dan pesisir yang telah diakui secara internasional untuk nilai yang dimilikinya dalam konservasi dan dalam
menyediakan pengetahuan ilmiah, keterampilan dan nilai-nilai kemanusiaan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan UNESCO 1984, Ishwaran et al. 2008.
Kerangka Hukum Jaringan Dunia Cagar Biosfer UNESCO 1996b, sebagai penanda dimulainya konsep cagar biosfer generasi ketiga, sudah memperbarui
definisi cagar biosfer sebagai ekosistem daratan dan pesisirlaut atau kombinasi dari padanya yang secara internasional diakui berada di dalam kerangka MAB
Programme UNESCO. Oleh karena itu, perubahan definisi cagar biosfer tersebut perlu mendapat perhatian di dalam revisi UU No. 5 tahun 1990 yang sudah masuk
dalam Program Legislasi Nasional tahun 2016. Dalam hal ini, penulis mengajukan sebuah perbaikan definisi cagar biosfer sebagai
“suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem daratan dan pesisirlaut atau kombinasi dari padanya, meliputi kawasan
yang dilindungi dan wilayah di sekitarnya yang diakui secara internasional untuk kepentingan konservasi, pengembangan ilmu pengetahuan, dan pembangunan
berkelanjutan ”.
Meskipun dideklarasikan oleh UNESCO, setiap cagar biosfer tetap berada di bawah yurisdiksi negara di mana cagar biosfer tersebut berada UNESCO 2008.
Menurut Kerangka Hukum Jaringan Dunia Cagar Biosfer Pasal 2 Ayat 3 UNESCO 1996b, setiap negara anggotanya diberikan kewenangan untuk
mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu menurut peraturan hukum nasionalnya, sehingga aturan formal pengelolaan masing-masing zona di cagar
biosfer bersifat fleksibel, mengikuti aturan yang ada di negara bersangkutan. Penjelasan Pasal 18 Ayat 1 UU No. 5 tahun 1990 menegaskan bahwa, meskipun
cagar biosfer yang telah ditetapkan menjadi bagian daripada jaringan konservasi internasional, kewenangan penentuan kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan dan
pendidikan, serta mengamati dan mengevaluasi perubahan-perubahan di dalam cagar biosfer sepenuhnya berada di tangan Pemerintah. Aturan pengelolaan
masing-masing zona dalam cagar biosfer mengikuti status dan fungsi kawasan hutan yang menjadi bagian dari cagar biosfer tersebut berdasarkan peraturan yang
terkait, karena pada dasarnya penetapan cagar biosfer tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan.
Pengelolaan area inti yang merupakan hutan konservasi mengikuti PP No. 28 tahun 2011, dimana Pasal 13 menyebutkan bahwa penyelenggaraan KSA,
meliputi kegiatan: a perencanaan, b perlindungan, c pengawetan, d pemanfaatan,
dan e
evaluasi kesesuaian
fungsi. Untuk
melakukan penyelenggaraan KSA di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau, Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah membentuk unit pengelola, yaitu Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam KSDA Riau, termasuk bertugas
mengelola Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil dan Suaka Margasatwa Bukit Batu, yang menjadi area inti cagar Biosfer GSKBB.
PP No. 28 tahun 2011 Pasal 19 Ayat 1 merinci blok pengelolaan pada KSA dan KPA khusus pada Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya
meliputi: 1 blok perlindungan, 2 blok pemanfaatan, dan 3 blok lainnya. Di dalam penjelasan peraturan pemerintah ini disebutkan b
ahwa “blok lainnya” adalah blok yang ditetapkan karena adanya kepentingan khusus guna menjamin
efektivitas pengelolaan KSA atau KPA, antara lain: blok perlindungan bahari,
15 blok koleksi tumbuhan danatau satwa, blok tradisional, blok rehabilitasi, blok
religi, budaya, dan sejarah, dan blok khusus. Yang dimaksud dengan blok tradisional merupakan bagian dari KPA yang ditetapkan untuk kepentingan
pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang secara turun-temurun mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Di sini tidak ditemukan adanya
penjelasan mengenai blok tradisional pada KSA. PP No. 28 tahun 2011 jo PP No. 108 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 28 Tahun 2011 juga tidak
mengatur adanya pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat, sebagaimana yang dapat dilakukan di taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
termaktub dalam Pasal 35, 36, dan 37. Oleh karena itu, untuk memberikan akses bagi pemanfaatan tradisional yang dilakukan masyarakat secara turun temurun di
dalam suaka margasatwa, seperti halnya SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu, perlu dilakukan revisi peraturan.
Pengelolaan zona penyangga di dalam konsep cagar biosfer di Indonesia mengikuti aturan pengelolaan daerah penyangga kawasan konservasi. PP No. 28
tahun 2011 Pasal 44 Ayat 1 menegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah harus menetapkan wilayah yang berbatasan dengan wilayah KSA dan KPA
sebagai daerah penyangga untuk menjaga keutuhan KSA dan KPA. Pasal 44 Ayat 4 menyebutkan bahwa, pemerintah dan pemerintah daerah harus melakukan
pengelolaan daerah penyangga melalui: a penyusunan rencana pengelolaan daerah penyangga, b rehabilitasi, pemanfaatan, perlindungan, dan pengamanan;
dan c pembinaan fungsi daerah penyangga. Selanjutnya, Pasal 46 menegaskan bahwa pengelolaan daerah penyangga yang merupakan lahan yang telah dibebani
hak dilakukan oleh pemegang hak yang bersangkutan dengan memperhatikan rencana pengelolaan daerah penyangga. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
452004 tentang Perlindungan Hutan, tugas perlindungan hutan pada areal yang dibebani hak dan ijin konsesi diserahkan kepada pemegang hak atau pemegang
ijin.