Kebaruan Novelty Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu Di Provinsi Riau

11 2 IMPLEMENTASI KONSEP CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL – BUKIT BATU

2.1 Pendahuluan

Sejak tahun 1974, Man and the Biosphere MAB Programme UNESCO telah mengembangkan konsep cagar biosfer untuk menunjukkan contoh hubungan yang seimbang antara manusia dan alam. Konsep cagar biosfer dirancang untuk menghadapi tantangan dunia, yaitu bagaimana melestarikan keanekaragaman hayati yang memungkinkan biosfer kita mendukung ekosistem yang sehat dan memenuhi kebutuhan material akibat meningkatnya jumlah manusia Isacch 2008. Penetapan cagar biosfer diharapkan dapat mengintegrasikan pengelolaan lahan berkelanjutan dan konservasi keanekaragaman hayati di tingkat lansekap Bridgewater 2002; Kusova et al. 2008. Pada tahun 1978, IUCN memasukkan cagar biosfer ke dalam kategori IX, namun kemudian menghapusnya pada tahun 1994 dari daftar karena dipandang berpotensi kompatibel dengan satu atau lebih kategori pengelolaan kawasan dilindungi Daniele et al. 1999. Pada tahun 1995, MAB UNESCO telah mengembangkan sistem zonasi untuk mengintegrasikan tiga fungsi yang saling menunjang, yaitu konservasi keanekaragaman hayati, pembangunan berkelanjutan, dan dukungan logistik atau ilmu pengetahuan UNESCO 1996a; 1996b; 2000, sehingga cagar biosfer memiliki area inti yang sangat dilindungi kategori I-IV, zona penyangga kategori VVI atau bukan kawasan lindung, dan area transisi yang tidak sesuai dengan kategori IUCN Dudley 2008. Dengan demikian, cagar biosfer merupakan konsep pengelolaan kawasan dilindungi yang terintegrasi dengan kawasan di sekitarnya. Konsep cagar biosfer telah berkembang dan mengalami evolusi. Ishwaran et al. 2008 mengelompokkannya dalam tiga generasi. Generasi pertama berkembang sampai dengan penerbitan Rencana Aksi Cagar Biosfer 1984. Generasi kedua dimulai dari tahun 1985 sampai penerapan Strategi Seville dan Kerangka Hukum Jaringan Dunia Cagar Biosfer The Statutory Framework of the World Network of Biosphere Reserves, hasil Kongres Internasional Cagar Biosfer Kedua di Seville, Spanyol tahun 1995. Sejak tahun 1996, cagar biosfer generasi ketiga mulai dikembangkan untuk mengimplementasikan sasaran Convention on Biological Diversity dan Agenda 21 UNESCO 1996a; 1996b. Seiring dengan perkembangan tantangan global, UNESCO telah menyusun Madrid Action Plan 2008-2013 agar cagar biosfer mampu menjawab tantangan isu perubahan iklim dan menyediakan jasa ekosistem yang lebih baik UNESCO 2008 dan MAB Strategy 2015-2025 UNESCO 2015 serta Lima Action Plan 2016-2025 agar cagar biosfer berkontribusi bagi penerapan Sustainable Development Goals SDGs dan Multilateral Environmental Agreements MEAs UNESCO 2016b. Konsep cagar biosfer generasi ketiga pasca-Seville merupakan model konservasi inklusif, menempatkan kawasan dilindungi sebagai bagian dari pembangunan wilayah, untuk mempertemukan tiga fungsi yang saling menunjang, yaitu konservasi keanekaragaman hayati, pembangunan berkelanjutan, dan dukungan logistik UNESCO 1996a; 1996b. Keragaman fungsi tersebut telah membedakan Cagar Biosfer dengan situs Ramsar dan Warisan Dunia World 12 Heritage Price et al. 2010. Untuk mengintegrasikan tiga fungsi tersebut, setiap cagar biosfer dikelola dengan sistem zonasi sesuai dengan rekomendasi Tujuan 4.1 Strategi Seville, meliputi area inti core area 4 , zona penyangga buffer zone 5 , dan area transisi transition area 6 . Zonasi kawasan yang tepat adalah kunci untuk mempertahankan fungsi ekologis bagi pembangunan berkelanjutan Liu dan Li 2008. Sesuai Kerangka Hukum Jaringan Dunia Cagar Biosfer, semua cagar biosfer harus menjalani proses tinjauan berkala setiap 10 tahun sekali untuk mengevaluasi efektivitasnya dalam mencapai tujuannya yang berkaitan dengan tiga fungsi UNESCO 1996a; Price 2002; Price et al. 2010, sekaligus dapat digunakan sebagai pembelajaran bagi cagar biosfer lainnya, baik di jaringan nasional maupun internasional Reed dan Engunyu 2013. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap implementasi konsep cagar biosfer di wilayah GSKBB, sebagai tujuan pertama dari penelitian disertasi ini. Penelitian ini dapat memberikan bahan monitoring awal bagi stakeholders, terutama Pemerintah dan Komite Nasional MAB Indonesia, sebelum dilakukan tinjauan berkala tahun 2019.

2.2 Metode

Penelitian dilakukan pada September 2014 sampai dengan Desember 2015 di Cagar Biosfer GSKBB yang terletak di Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Siak, dan Kota Dumai, Provinsi Riau. Penelitian ini menggunakan pendekatan lansekap dan multi-stakeholders. Data primer dikumpulkan melalui observasi lapangan dan wawancara mendalam dengan informan dari Balai Besar KSDA Riau, Komite Nasional MAB Indonesia, Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB, Pemerintah Daerah Kabupaten Siak, Kabupaten Bengkalis, dan Provinsi Riau, Sinarmas Forestry, masyarakat, LSM, dan stakeholders lokal lainnya. Informan terdiri atas 19 orang tokoh masyarakat, 68 petani, 17 nelayan, 15 orang wakil pemerintah, 8 orang staf SMF, dan 5 orang dari LSM Lampiran 1. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik pencuplikan bola salju snowball sampling. Informan awal dipilih secara sengaja purposive sampling berdasarkan pertimbangan kewenangan atau keterlibatan mereka dalam kegiatan pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB. Data sekunder dikumpulkan melalui studi dokumen. Penilaian terhadap implementasi konsep cagar biosfer di wilayah GSKBB mengacu pada rekomendasi Strategi Seville UNESCO 1996a dan Rencana Aksi Madrid UNESCO 2008. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan untuk menggambarkan: a kebijakan pengelolaan cagar biosfer di Indonesia, b zonasi 4 Area inti cagar biosfer merupakan kawasan yang dilindungi bagi konservasi keanekaragaman hayati, pemantauan ekosistem yang mengalami gangguan, dan penelitian yang tidak merusak, serta kegiatan lain yang berdampak rendah, misalnya pendidikan UNESCO 1996a 5 Zona penyangga biasanya mengelilingi atau berdampingan dengan area inti dan dimanfaatkan bagi kegiatan-kegiatan kerja sama yang tidak bertentangan secara ekologis, termasuk pendidikan lingkungan, rekreasi, ekoturisme, dan penelitian UNESCO 1996a. 6 Area transisi atau area peralihan adalah kawasan yang penting untuk pencapaian pembangunan berkelanjutan, yang mungkin berisi kegiatan pertanian, permukiman dan pemanfaatan lain dan dimana masyarakat lokal, lembaga manajemen, ilmuwan, lembaga swadaya masyarakat, dan pemangku lainnya bekerja sama untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya secara berkelanjutan UNESCO 1996a. 13 dan aksi Cagar Biosfer GSKBB, c koordinasi dan komunikasi, d penguatan kapasitas pengelola dan ilmu pengetahuan, dan d kemitraan. 2.3 Hasil dan Pembahasan 2.3.1 Kebijakan Pengelolaan Cagar Biosfer di Indonesia Undang Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam KSA dan Kawasan Pelestarian Alam KPA merupakan landasan kebijakan pengelolaan Cagar Biosfer di Indonesia. Namun, kedua landasan yuridis tersebut hanya memuat definisi cagar biosfer dan mekanisme penetapan cagar biosfer. Ketiadaan aturan resmi yang memadai ini merupakan kendala pengelolaan cagar biosfer di Indonesia Indrawan et al. 2007. Akibatnya, pengelolaan cagar biosfer masih fokus pada penyelenggaraan KSA dan KPA yang merupakan area inti cagar biosfer dengan menggunakan aturan yang sesuai dengan status hutan konservasi terkait. UU No. 5 tahun 1990 Pasal 18 Ayat 1 menyebutkan bahwa KSA dan kawasan tertentu lainnya dapat ditetapkan sebagai cagar biosfer dalam rangka kerja sama konservasi internasional, khususnya untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. UU No. 5 tahun 1990 tidak memberikan penjelasan tentang kawasan tertentu lainnya yang dapat ditetapkan sebagai cagar biosfer demikian pula halnya dengan PP No. 28 tahun 2011. PP No. 28 tahun 2011 Pasal 51 hanya menegaskan bahwa pemerintah dapat mengusulkan suatu KSA cagar alam dan suaka margasatwa atau KPA taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam kepada lembaga internasional yang berwenang untuk ditetapkan sebagai cagar biosfer sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh lembaga internasional tersebut. Narasi dalam Peraturan Pemerintah ini untuk mengakomodir adanya cagar biosfer di Indonesia yang mempunyai area inti berupa taman nasional Tabel 1.1. UU No. 51990 Pasal 1 Ayat 12 mendefinisikan cagar biosfer sebagai suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, unik danatau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan. Penjelasan Pasal 5 Ayat 2 UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga mengkategorikan cagar biosfer sebagai kawasan lindung lainnya. Definisi dan kategori cagar biosfer tersebut masih mengacu pada konsep cagar biosfer generasi kedua sesuai Rencana Aksi Cagar Biosfer 1984 yang dihasilkan pada Kongres Internasional Cagar Biosfer Pertama di Minsk, Belarus 1983 UNESCO 1984. Sementara itu, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mengenal narasi cagar biosfer sehingga tidak perlu penetapan fungsi kawasan cagar biosfer seperti yang diberlakukan terhadap hutan konservasi di Indonesia. Oleh karena itu, k ata “ditetapkan” pada narasi cagar biosfer dalam UU No. 51990 dan PP No. 282011 dimaknai oleh Pemerintah sebagai pengakuan recognition oleh UNESCO terhadap KSA atau KPA ditambah daerah di sekitarnya, sebagaimana berlaku di negara-negara anggota Jaringan Dunia Cagar Biosfer.