Tingkat Partisipasi dalam Implementasi Konsep Cagar Biosfer GSKBB

106 Sulaiman et al. 2015, aspirasi stakeholders sangat menentukan intensitas komunikasi dalam Musrenbang, dan hal ini dipengaruhi oleh intensitas stakeholders dalam mengakses media informasi, baik dari surat undangan resmi maupun papan pengumuman. Selain itu, kurang efektifnya Musrenbang disebabkan oleh kesadaran dan sikap stakeholders untuk bekerja sama dalam memberikan data dan informasi secara sukarela masih rendah Susanti 2009. Dengan mengacu pada penggolongan Arnstein 1969, tingkat partisipasi stakeholders dalam perencanaan dan pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB tergolong dalam kategori tokenism, yakni pada tingkat memberi informasi, konsultasi, dan plakasi. Tokenism merupakan kondisi dimana stakeholders dimintai pendapatnya atau diberikan informasi mengenai suatu keputusan, namun mereka tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keputusan tersebut Ife dan Tesoriero 2008. Menurut Nurrochmat et al. 2016, tingkatan partisipasi ini tidak dimaknai sebagai “baik” atau “buruk” tetapi “sesuai” atau “tidak sesuai” dengan model pengelolaan sumber daya yang diterapkan . Menurut klasifikasi Hobley 1996, kondisi tersebut termasuk dalam partisipasi pasif dan konsultatif, artinya masyarakat diberitahu tentang hal-hal yang sudah diputuskan sepihak, dan pada kasus lain stakeholders lainnya sudah dimintai tanggapan atas suatu hal tetapi pihak luar yang merumuskan permasalahan dan melakukan analisis. Menurut kategori Moynihan 2003, kondisi tersebut termasuk dalam partisipasi sempit dan parsial, artinya keputusan dibuat dengan sedikit pengaruh dari masukan stakeholders dan mereka yang ikut berpartisipasi juga terpilih sehingga yang lain tidak memiliki akses untuk ikut berpartisipasi dalam mengambil keputusan. 6.3.3 Persepsi dan Partisipasi Stakeholders dalam Implementasi Konsep Cagar Biosfer GSKBB Gambaran di atas menunjukkan bahwa, partisipasi aktif stakeholders dalam perencanaan dan pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB masih terbatas pada pengelola kawasan hutan di wilayah ini, yaitu BBKSDA Riau dan SMF. Menurut Rushayati et al. 2014, hanya beberapa stakeholders lokal yang sudah memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana tertuang dalam Rencana Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB, yakni BBKSDA Riau, SMF, dan akademisi. Sementara itu, program dan kegiatan yang dilakukan oleh stakeholders lainnya masih bersifat bussines as usual, belum mengaitkannya dengan implementasi konsep cagar biosfer. Arogansi sektor juga masih kuat karena masing-masing stakeholders menggunakan pendekatan monodisiplin, padahal implementanasi konsep cagar biosfer memerlukan pendekatan multidisiplin. Menurut Asngari 2001, partisipasi stakeholders akan tumbuh dengan adanya pengertian bersama yang terbentuk karena saling berkomunikasi dan berinteraksi. Partisipasi stakeholders dalam implementasi konsep cagar biosfer dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kepentingan dan persepsi mereka terhadap Cagar Biosfer GSKBB. Persepsi adalah pandangan seseorang terhadap suatu obyek sehingga memberikan reaksi tertentu yang dihasilkan dari kemampuan mengorganisasikan pengamatan, dan berhubungan dengan penerimaan atau penolakan Kayam 1985. Persepsi berhubungan dengan kepercayaan, pemahaman, dan kerangka pikir stakeholders dalam melihat suatu 107 masalah dan fenomena Hermans dan Thissen 2008. Persepsi berpengaruh terhadap timbulnya motivasi, kemauan, tanggapan, dan perasaan Langevelt 1996. Sebagian besar stakeholders di pemerintah daerah dan masyarakat masih memahami cagar biosfer sebagai kawasan yang dilindungi sebagaimana definisi cagar biosfer pada Pasal 1 Ayat 12 UU No. 5 Tahun 1990 yang masih mengacu pada konsep cagar biosfer generasi kedua hasil Kongres Internasional Cagar Biosfer Pertama di Minsk, Belarus 1983 UNESCO 1984. Sebagian besar mereka juga belum memahami zonasi yang dikembangkan, bahkan sebagian besar masyarakat tidak mengetahui kalau mereka bermukim di dalam cagar biosfer sehingga sikap dan perilaku mereka dalam memanfaatkan sumber daya alam pun belum berubah. Mereka memahami kawasan cagar biosfer adalah sama dengan kawasan suaka margasatwa yang sudah lama dilindungi pemerintah. Oleh karena itu, perlu dilakukan sosialisasi secara luas untuk meningkatkan pemahaman mereka mengenai konsep Cagar Biosfer GSKBB. Kendala terbesar untuk meningkatkan partisipasi stakeholders dalam implementasi konsep cagar biosfer adalah kesulitan dalam menghadapi tuntutan yang beragam dari mereka. Masyarakat lokal pada umumnya menuntut pemenuhan prioritas kebutuhan dasar, yaitu pangan, papan, dan kesehatan, kebutuhan mempertahankan hidup survival needs, dan kebutuhan perasaan aman security needs Rishi et al. 2008. Salah satu cara untuk meningkatkan dukungan dan partisipasi masyarakat adalah dengan lebih memahami keputusan mengapa mereka menggunakan sumber daya lahan dan perairan Cagar Biosfer GSKBB. Hal ini akan memungkinkan penciptaan kondisi dan insentif yang mendorong penggunaan sumber daya lahan secara berkelanjutan yang mudah diadopsi oleh masyarakat Schelhas dan Shaw 1995. Oleh karena itu, perlu dibangun visi bersama yang mencerminkan kepentingan semua stakeholders untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam mengimplementasikan konsep Cagar Biosfer GSKBB. Dalam hal ini, Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB harus berperan aktif dalam mendorong komunikasi intensif di antara stakeholders untuk merumuskan visi bersama tersebut.

6.4 Simpulan

Partisipasi stakeholders dalam implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB masih rendah. Stakeholders yang telah berpartisipasi dengan inisiatif sendiri masih terbatas pada Komite MAB Indonesia, pengelola kawasan hutan, dan pemerintah daerah. Keterlibatan akademisi dan peneliti serta LSM masih berdasar atas inisiatif kerja sama oleh tiga pihak tersebut. Sementara itu, program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah di zona penyangga dan area transisi belum bersinergi dengan stakeholders lain untuk mewujudkan fungsi cagar biosfer sebagai situs praktik pembangunan berkelanjutan, diantaranya pembangunan jalan lintas Bukit Batu – Duri dan pengembangan pariwisata. Tingkat partisipasi stakeholders dalam implementasi konsep Cagar Biosfer GKSBB termasuk dalam kategori tokenism. Untuk meningkatkan partisipasi stakeholders, perlu dibangun visi bersama yang mencerminkan kepentingan semua stakeholders. 108 109 7 KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL - BUKIT BATU Untuk merumuskan kebijakan pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB, sebelumnya perlu mendefinisikan masalah dan mempertimbangkan kondisi faktor internal dan eksternal yang ada berdasarkan hasil sintesis fakta- fakta yang disampaikan pada bab-bab sebelumnya. Bab ini untuk menjawab tujuan akhir dari disertasi ini.

7.1 Masalah Pengelolaan Sumber Daya Cagar Biosfer GSKBB

Masalah pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer di GSKBB diidentifikasi berdasarkan kesenjangan antara situasi saat ini dengan situasi harapan sesuai Sasaran Goal ke-2 Strategi Seville UNESCO 1996a, yaitu memanfaatkan cagar biosfer sebagai model pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan berkelanjutan dan apa yang seharusnya dilaksanakan di setiap cagar biosfer menurut Madrid Action Plan UNESCO 2008. Implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB mengalami kendala berupa ketiadaan aturan formal yang memadai karena aturan pada level konstitusi dan pilihan kolektif, yakni UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP No. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam jo PP No. 108 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 28 Tahun 2011, hanya mengatur mekanisme pengusulan dan penetapan cagar biosfer. Sementara itu, aturan operasional yang mengikat dan menjelaskan bagaimana cara mengimplementasikan konsep cagar biosfer di lapangan belum tersedia, sehingga pengelolaan cagar biosfer selama ini masih fokus pada penyelenggaraan kawasan suaka margasatwa, sebagai area inti cagar biosfer, karena telah memiliki kelembagaan yang lebih mapan. Proposed Management Plan GSKBB Biosphere Reserve, 2009-2013 yang disusun sebagai kelengkapan usulan ke UNESCO juga tidak dipahami oleh semua stakeholders. Untuk mewujudkan cagar biosfer sebagai model pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan berkelanjutan perlu keselarasan dan interaksi antar zona di cagar biosfer UNESCO 1996a. Zonasi yang dikembangkan di Cagar Biosfer GSKBB telah mengikuti arahan Strategi Seville, meliputi area inti, zona penyangga, dan area transisi. Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB yang dipimpin oleh Gubernur Riau belum bekerja optimal dalam menyelenggarakan koordinasi dan komunikasi antar stakeholders untuk mengimplementasikan konsep cagar biosfer. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan dan pendanaan yang masih terbatas, serta lemahnya peran sekretariat Badan Koordinasi. Selain itu, struktur organisasi ini didominasi oleh aparatur pemerintah daerah, yang mana keterlibatannya dalam lembaga ini hanya sebagai tugas tambahan, sehingga tidak fokus pada pencapaian fungsi cagar biosfer. Pembagian bidang di dalam struktur organisasi Badan Koordinasi ini hanya mengakomodir tugas pokok dan fungsi masing-masing stakeholder sebagaimana adanya, dan kurang mendukung pelaksanaan tiga fungsi Badan Koordinasi. Di sisi lain, perwakilan masyarakat di dalam Badan Koordinasi belum