Pengelolaan Area Transisi Zonasi dan Aksi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB
23 transisi belum terlaksana secara berkelanjutan. Pemerintah daerah dan masyarakat
yang diharapkan dapat berperan besar dalam implementasi pembangunan berkelanjutan masih perlu pendampinganadvokasi. Oleh karena itu, Balai Besar
KSDA Riau, pemerintah daerah, pihak swasta, LSM, dan stakeholders lainnya harus bersinergi dan bekerja sama untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan
di area transisi bagi kesejahteraan masyarakat. 2.3.3 Koordinasi dan Komunikasi Antar
Stakeholders
Untuk mewujudkan Tujuan 2.2 dari Strategi Seville, yakni menjamin adanya keselarasan dan interaksi antar zona-zona cagar biosfer, UNESCO 1996a
merekomendasikan kepada setiap cagar biosfer untuk mengembangkan dan membentuk mekanisme kelembagaan untuk mengelola, mengkoordinasikan dan
mengintegrasikan program dan kegiatan cagar biosfer. Madrid Action Plan UNESCO 2008 juga merencanakan aksi 10.2, yakni setiap cagar biosfer harus
membentuk komite pengelolaan yang terdiri dari stakeholders yang mewakili sektor kegiatan yang berbeda dari ketiga zona. Menurut Soedjito 2004, untuk
mengelola cagar biosfer lebih tepat menggunakan model lembaga pengelolaan kolaborasi yang merupakan wadah koordinasi forum komunikasi multi-
stakeholders.
Pemerintah Provinsi Riau telah membentuk Badan Koordinasi Pengelolaan berdasarkan Keputusan Gubernur Riau No. Kpts. 920V2010 tanggal 14 Mei
2010 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB, yang selanjutnya disebut Badan Koordinasi. Badan Koordinasi ini
diketuai oleh Gubernur Riau, dengan Wakil Ketua: Wakil Gubernur, Bupati Bengkalis, dan Bupati Siak, dan beranggotakan dari unsur-unsur Pemerintah
Provinsi Riau, Pemerintah Kabupaten Siak dan Bengkalis, Balai Besar KSDA Riau, Komite Nasional MAB Indonesia, LIPI, SMF, beberapa Universitas di Riau,
dan LSM lokal Gambar 2.2. Di dalam struktur Badan Koordinasi ini tidak ada perwakilan dari Kota Dumai karena luas wilayahnya yang masuk ke dalam Cagar
Biosfer GSKBB sangat kecil, hanya 26.303 ha 4 yang tersebar di zona penyangga dan area transisi. Sebagian besar pengurus dan anggota Badan
Koordinasi merupakan lembaga-lembaga pemerintahan yang sudah ada, sehingga keberadaannya dalam Badan Koordinasi ini merupakan tugas tambahan. Selain
itu, Badan Koordinasi ini belum memasukkan perwakilan dari masyarakat lokal sebagai anggota, dan masih perlu mengubah pemahaman pengelola tentang
pentingnya partisipasi masyarakat dan memberdayakan masyarakat menjadi aktor politik Duranda dan Vázquezb 2011. Partisipasi masyarakat lokal sangat
diperlukan untuk mengimplementasikan konsep cagar biosfer, khususnya dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan Stoll-Kleemann et al. 2010;
Schultz et al. 2011.
Struktur organisasi Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB disusun melalui pendekatan top down. Pembagian tugas koordinator bidang di
dalam struktur organisasi Badan Koordinasi ini didasarkan atas kewenangan dan hak pengelolaan pada masing-masing zona cagar biosfer, yaitu Kepala BBKSDA
Riau di area inti, Direktur Environment and Stakeholder Relationship SMF di zona penyangga, dan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan
24 Desa Provinsi Riau di area transisi. Hal ini hanya mengakomodir tugas pokok dan
fungsi masing-masing stakeholder sebagaimana adanya, sehingga kurang mendukung pelaksanaan tiga fungsi Badan Koordinasi. Di sisi lain, di dalam
struktur organisasi ini tidak ada pengurus harian dari kalangan profesional yang bertugas menjalankan roda organisasi sehingga aktifitas Badan Koordinasi ini
sangat lamban untuk mencapai fungsi organisasi.
SEKRETARIAT: BAPPEDA Provinsi Riau
Bidang I Pengembangan Area Inti Konservasi,
Pendidikan, and Penelitian
Ketua : Kepala BBKSDA Riau
Wakil Ketua : Direktur Environment and Stakeholder Relationship
SMF Sekretaris : Kabid BBKSDA Riau
Anggota : 10 unsur Pemda Kab. Siak dan Kab. Bengkalis,
Universitas, Pihak Swasta, LSM
Bidang II Pengembangan Zona Penyangga
Pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan
Ketua : Direktur Environment and
Stakeholder Relationship SMF Wakil Ketua : Kabid Planologi Dinas
Kehutanan Provinsi Riau Sekretaris : General Manager Public
Affair SMF Anggota : 11 unsur Pemda Kab. Siak
dan Kab. Bengkalis, Universitas
Bidang III Pengembangan Area Transisi
Pembangunan ekonomi berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat
Ketua : Kepala Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Pembangunan Desa Provinsi Riau
Wakil Ketua : Kepala Dinas Pertanian dan Hortikultura Provinsi Riau
Sekretaris : Kepala Badan Penyuluhan Provinsi Riau
Anggota : 27 unsur Pemda Kab. Siak dan Kab. Bengkalis, Universitas,
Pihak Swasta, LSM
KETUA BADAN KOORDINASI PENGELOLAAN: Gubernur Riau
MAJELIS ILMIAH: LIPI, Komite MAB Indonesia, Akademisi
WAKIL KETUA BADAN KOORDINASI: - Bupati Bengkalis
- Bupati Siak
Gambar 2.2 Struktur organisasi Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB Sumber: Keputusan Gubernur Riau No. Kpts. 920V2010
Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB mempunyai tiga fungsi, yaitu: 1 merumuskan mekanisme dan menyelenggarakan koordinasi dan
komunikasi antar pemangku kepentingan untuk implementasi konsep pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB, 2 menyelenggarakan inisiasi, mediasi, dan advokasi
terhadap perbedaan kepentingan dan persepsi antar pemangku kepentingan dalam implementasi konsepsi pengelolaan Cagar Biosfer, dan 3 menyelenggarakan
jaringan kerja dan komunikasi dengan forumlembaga sejenis termasuk dengan Jaringan Dunia Cagar Biosfer
– MAB UNESCO. Dari ketiga fungsi tersebut, fungsi yang terakhir lebih mendapat perhatian dari Badan Koordinasi. Pemerintah
25 Provinsi Riau telah beberapa kali mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh
MAB UNESCO, diantaranya: The International Coordinating Council Man and the Biosphere Programme ICC-MAB ke-22 di Paris tahun 2010, pertemuan
kerja sama Selatan Selatan I di Kongo tahun 2010, ICC-MAB ke-23 di Dresden Jerman pada Juni 2011, dan ICC-MAB ke-24 di Paris pada Juli 2012. Sementara
itu, rapat koordinasi yang semestinya dilaksanakan secara periodik kurang mendapat perhatian. Rapat koordinasi yang diselenggarakan pada tanggal 1-3
Desember 2011, baru disusul dengan rapat berikutnya pada 13-14 April 2016 dan pada 2 Agustus 2016 di Pekanbaru. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi koordinasi
dan komunikasi antar pemangku kepentingan untuk implementasi konsep pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB masih lemah. Menurut Soedjito 2004,
Badan Koordinasi ini seharusnya lebih berperan sebagai pusat keunggulan center of excellence dalam menyatukan visi dan merancang program bersama,
sementara implementasi setiap program dapat dilaksanakan oleh para anggota yang kompeten. Hasil Kajian Sistem dan Pengelolaan Zonasi Kawasan Cagar
Biosfer GSKBB yang telah dilakukan oleh BAPPEDA Provinsi Riau 2015 dapat ditindaklanjuti oleh Badan Koordinasi untuk menyusun Rencana Aksi
Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB.
Koordinasi antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten perlu dilakukan dalam rangka integrasi program untuk mendorong praktik
pembangunan berkelanjutan di zona transisi. Di era otonomi daerah ini, tidak ada hubungan hirarki antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatenkota,
tetapi hubungannya bersifat koordinatif, pembinaan, dan pengawasan Rasyid 2009. Sesuai UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, gubernur
memiliki peran ganda yakni sebagai kepala daerah sekaligus sebagai wakil pemerintah pusat, namun hal ini tidak berjalan lancar sehingga rantai komando
terputus dan koordinasi pembangunan antara pemerintah provinsi dengan kabupaten dan antar kabupaten tidak dapat terselenggara Hoessein 2009.
Kurang berperannya Badan Koordinasi dalam menyelenggarakan koordinasi dan komunikasi di Cagar Biosfer GSKBB dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan
dari pengurus. Pergantian pimpinan organisasi yang merupakan pengurus Badan Koordinasi tidak selalu diikuti dengan pemahaman dan komitmen yang sama
seperti pendahulunya yang terlibat dalam pengusulan cagar biosfer. Sejak deklarasi Cagar Biosfer GSKBB tahun 2009 sampai tahun 2016 telah terjadi dua
kali pergantian gubernur, dua kali pergantian Kepala BAPPEDA Provinsi Riau, dan enam kali pergantian Kepala BBKSDA Riau. Kondisi ini turut mempengaruhi
kinerja Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB. Selain itu, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa Provinsi Riau dan Dinas
Pertanian dan Hortikultura Provinsi Riau yang menjadi Ketua dan Wakil Ketua Bidang Pengembangan Area Transisi untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan
dan pemberdayaan masyarakat belum berperan di cagar biosfer.
Selain karena faktor kepemimpinan, lemahnya koordinasi dan komunikasi di Cagar Biosfer GSKBB juga disebabkan oleh lemahnya peran sekretariat Badan
Koordinasi. Sesuai Keputusan Gubernur Riau No. Kpts. 920V2010, sekretariat Badan Koordinasi adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPEDA
Provinsi Riau karena dianggap mampu menjalankan fungsi koordinasi di antara satuan kerja di pemerintah daerah, baik di level provinsi maupun di kabupaten dan
kota. Namun, BAPPEDA Provinsi Riau tidak membentuk organisasi ataupun
26 menunjuk staf khusus yang mengelola kesekretariatan tersebut. Sejak tahun 2010,
BAPPEDA Provinsi Riau hanya menunjuk satu orang Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan PPTK dan satu orang Pembantu Pengelola Administrasi Keuangan
Kegiatan PPAKK untuk mengelola anggaran kegiatan “Peningkatan Kerja Sama
Fasilitas dan Fungsi Cagar Biosfer GSKBB” yang dibiayai dari APBD Provinsi Riau. Dengan basis kegiatan tersebut, operasional sekretariat Badan Koordinasi
dijalankan dan beberapa kali workshop dilaksanakan. Hasil Workshop Rencana Aksi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB tanggal 17-19 November 2014 di
Pekanbaru meminta BAPPEDA Provinsi Riau untuk menjadi Koordinator Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Cagar Biosfer GSKBB dan mengharapkan
untuk melakukan koordinasi 3 kali dalam 1 tahun. Namun, permintaan dan harapan tersebut belum sepenuhnya dipenuhi oleh BAPPEDA Provinsi Riau.
Lemahnya anggaran akibat dari tidak jelasnya skema pendanaan juga merupakan salah satu penyebab kurang efektifnya koordinasi pengelolaan Cagar
Biosfer GSKBB. Sesuai Keputusan Gubernur Riau No. Kpts. 920V2010, segala biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan Badan Koordinasi
dibebankan pada anggaran instansi terkait atau organisasi masing-masing serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Oleh karena Badan Koordinasi ini
bukan lembaga berbadan hukum maka tidak dapat menerima dana masyarakat secara langung. Status Badan Koordinasi ini juga bukan merupakan Organisasi
Perangkat Daerah OPD sehingga anggarannya bersumber dari instansi-instansi atau lembaga anggotanya. Di sisi lain, masih ada kesalahpahaman dari beberapa
unsur Pemerintah Daerah bahwa status hukum cagar biosfer yang hanya sebatas ditetapkan oleh UNESCO menjadi kendala mereka untuk mengalokasikan
anggaran di Cagar Biosfer GSKBB. Pengurus Harian Komite Nasional MAB Indonesia sebenarnya sudah sering mendorong agar pemerintah daerah dapat lebih
berpartisipasi dalam pembangunan berkelanjutan tanpa harus menyebutkan nomenklatur cagar biosfer pada program dan kegiatan mereka. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai management authority sudah mengalokasikan
dana khusus
untuk membenahi
Cagar Biosfer
dan pelaksanaannya dilakukan bersama Komite Nasional MAB Indonesia, tetapi
masih terbatas untuk menyusun kembali Rencana Pengelolaan Cagar Biosfer yang ditetapkan pada era generasi pertama dan kedua agar dapat menyesuaikan dengan
Strategi Seville.
Komite Nasional MAB Indonesia dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI merupakan aktor kunci yang terlibat dalam perumusan kebijakan cagar
biosfer di Indonesia. LIPI merupakan lembaga struktural tempat bernaungnya Komite Nasional MAB Indonesia karena tugas pokok lembaga otoritas keilmuan
scientific authority ini terkait erat dengan program MAB-UNESCO. Kedua lembaga tersebut mempunyai pengaruh yang besar pada level nasional dan
memperoleh kekuasaan power karena formasi diskursus konservasi yang digalang oleh aktor global, yakni UNESCO. Namun, kedudukan dua lembaga
tersebut di dalam struktur Badan Koordinasi hanya sebagai anggota Majelis Ilmiah yang bertugas untuk memberikan pertimbangan strategis dan taktis serta
monitoring dan evaluasi dalam implementasi konsep pengelolaan cagar biosfer. Komite Nasional MAB Indonesia seharusnya berperan aktif dalam menggerakkan
komunikasi antar stakeholders Schliep dan Stoll-Kleemann 2011 dan menfasilitasi akses terhadap fasilitas pemerintah, antara lain hukum, dana, dan
27 komunikasi dengan organisasi internasional Isacch 2008. Komite Nasional
MAB juga harus berperan dalam memberdayakan Sekretariat Bersama untuk menjalankan administrasi Badan Koordinasi dan sebagai pusat diseminasi
informasi Soedjito 2004.
Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB bukan merupakan Organisasi Perangkat Daerah OPD, sehingga tidak mempunyai kewenangan
secara langsung untuk memperbaiki tata kelola governance kawasan Cagar Biosfer GSKBB. Badan Koordinasi hanya dapat mendorong stakeholders di
Cagar Biosfer GSKBB untuk meningkatkan kinerja di lapangan guna memperbaiki tata kelola kawasan. Yang dimaksud tata kelola kawasan di sini
terkait dengan empat konsep dasar yaitu: penguasaan kawasan, pengurusan kawasan, pengelolaan kawasan, dan pemanfaatan kawasan Nurrochmat et al.
2016. Stakeholders dari unsur pemerintah provinsi secara langsung dapat disupervisi oleh Gubernur untuk memastikan bahwa perbaikan tata kelola
dilakukan dengan cepat, khususnya tata kelola hutan produksi di area transisi dan zona penyangga. Sementara itu, perbaikan tata kelola kawasan SM Giam Siak
Kecil dan SM Bukit Batu tetap merupakan tugas dan fungsi dari BBKSDA Riau. Hal ini karena penetapan cagar biosfer tidak merubah status dan fungsi kawasan
hutan.