Pengelolaan Area Transisi Zonasi dan Aksi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB

23 transisi belum terlaksana secara berkelanjutan. Pemerintah daerah dan masyarakat yang diharapkan dapat berperan besar dalam implementasi pembangunan berkelanjutan masih perlu pendampinganadvokasi. Oleh karena itu, Balai Besar KSDA Riau, pemerintah daerah, pihak swasta, LSM, dan stakeholders lainnya harus bersinergi dan bekerja sama untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan di area transisi bagi kesejahteraan masyarakat. 2.3.3 Koordinasi dan Komunikasi Antar Stakeholders Untuk mewujudkan Tujuan 2.2 dari Strategi Seville, yakni menjamin adanya keselarasan dan interaksi antar zona-zona cagar biosfer, UNESCO 1996a merekomendasikan kepada setiap cagar biosfer untuk mengembangkan dan membentuk mekanisme kelembagaan untuk mengelola, mengkoordinasikan dan mengintegrasikan program dan kegiatan cagar biosfer. Madrid Action Plan UNESCO 2008 juga merencanakan aksi 10.2, yakni setiap cagar biosfer harus membentuk komite pengelolaan yang terdiri dari stakeholders yang mewakili sektor kegiatan yang berbeda dari ketiga zona. Menurut Soedjito 2004, untuk mengelola cagar biosfer lebih tepat menggunakan model lembaga pengelolaan kolaborasi yang merupakan wadah koordinasi forum komunikasi multi- stakeholders. Pemerintah Provinsi Riau telah membentuk Badan Koordinasi Pengelolaan berdasarkan Keputusan Gubernur Riau No. Kpts. 920V2010 tanggal 14 Mei 2010 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB, yang selanjutnya disebut Badan Koordinasi. Badan Koordinasi ini diketuai oleh Gubernur Riau, dengan Wakil Ketua: Wakil Gubernur, Bupati Bengkalis, dan Bupati Siak, dan beranggotakan dari unsur-unsur Pemerintah Provinsi Riau, Pemerintah Kabupaten Siak dan Bengkalis, Balai Besar KSDA Riau, Komite Nasional MAB Indonesia, LIPI, SMF, beberapa Universitas di Riau, dan LSM lokal Gambar 2.2. Di dalam struktur Badan Koordinasi ini tidak ada perwakilan dari Kota Dumai karena luas wilayahnya yang masuk ke dalam Cagar Biosfer GSKBB sangat kecil, hanya 26.303 ha 4 yang tersebar di zona penyangga dan area transisi. Sebagian besar pengurus dan anggota Badan Koordinasi merupakan lembaga-lembaga pemerintahan yang sudah ada, sehingga keberadaannya dalam Badan Koordinasi ini merupakan tugas tambahan. Selain itu, Badan Koordinasi ini belum memasukkan perwakilan dari masyarakat lokal sebagai anggota, dan masih perlu mengubah pemahaman pengelola tentang pentingnya partisipasi masyarakat dan memberdayakan masyarakat menjadi aktor politik Duranda dan Vázquezb 2011. Partisipasi masyarakat lokal sangat diperlukan untuk mengimplementasikan konsep cagar biosfer, khususnya dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan Stoll-Kleemann et al. 2010; Schultz et al. 2011. Struktur organisasi Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB disusun melalui pendekatan top down. Pembagian tugas koordinator bidang di dalam struktur organisasi Badan Koordinasi ini didasarkan atas kewenangan dan hak pengelolaan pada masing-masing zona cagar biosfer, yaitu Kepala BBKSDA Riau di area inti, Direktur Environment and Stakeholder Relationship SMF di zona penyangga, dan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan 24 Desa Provinsi Riau di area transisi. Hal ini hanya mengakomodir tugas pokok dan fungsi masing-masing stakeholder sebagaimana adanya, sehingga kurang mendukung pelaksanaan tiga fungsi Badan Koordinasi. Di sisi lain, di dalam struktur organisasi ini tidak ada pengurus harian dari kalangan profesional yang bertugas menjalankan roda organisasi sehingga aktifitas Badan Koordinasi ini sangat lamban untuk mencapai fungsi organisasi. SEKRETARIAT: BAPPEDA Provinsi Riau Bidang I Pengembangan Area Inti Konservasi, Pendidikan, and Penelitian Ketua : Kepala BBKSDA Riau Wakil Ketua : Direktur Environment and Stakeholder Relationship SMF Sekretaris : Kabid BBKSDA Riau Anggota : 10 unsur Pemda Kab. Siak dan Kab. Bengkalis, Universitas, Pihak Swasta, LSM Bidang II Pengembangan Zona Penyangga Pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan Ketua : Direktur Environment and Stakeholder Relationship SMF Wakil Ketua : Kabid Planologi Dinas Kehutanan Provinsi Riau Sekretaris : General Manager Public Affair SMF Anggota : 11 unsur Pemda Kab. Siak dan Kab. Bengkalis, Universitas Bidang III Pengembangan Area Transisi Pembangunan ekonomi berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat Ketua : Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa Provinsi Riau Wakil Ketua : Kepala Dinas Pertanian dan Hortikultura Provinsi Riau Sekretaris : Kepala Badan Penyuluhan Provinsi Riau Anggota : 27 unsur Pemda Kab. Siak dan Kab. Bengkalis, Universitas, Pihak Swasta, LSM KETUA BADAN KOORDINASI PENGELOLAAN: Gubernur Riau MAJELIS ILMIAH: LIPI, Komite MAB Indonesia, Akademisi WAKIL KETUA BADAN KOORDINASI: - Bupati Bengkalis - Bupati Siak Gambar 2.2 Struktur organisasi Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB Sumber: Keputusan Gubernur Riau No. Kpts. 920V2010 Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB mempunyai tiga fungsi, yaitu: 1 merumuskan mekanisme dan menyelenggarakan koordinasi dan komunikasi antar pemangku kepentingan untuk implementasi konsep pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB, 2 menyelenggarakan inisiasi, mediasi, dan advokasi terhadap perbedaan kepentingan dan persepsi antar pemangku kepentingan dalam implementasi konsepsi pengelolaan Cagar Biosfer, dan 3 menyelenggarakan jaringan kerja dan komunikasi dengan forumlembaga sejenis termasuk dengan Jaringan Dunia Cagar Biosfer – MAB UNESCO. Dari ketiga fungsi tersebut, fungsi yang terakhir lebih mendapat perhatian dari Badan Koordinasi. Pemerintah 25 Provinsi Riau telah beberapa kali mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh MAB UNESCO, diantaranya: The International Coordinating Council Man and the Biosphere Programme ICC-MAB ke-22 di Paris tahun 2010, pertemuan kerja sama Selatan Selatan I di Kongo tahun 2010, ICC-MAB ke-23 di Dresden Jerman pada Juni 2011, dan ICC-MAB ke-24 di Paris pada Juli 2012. Sementara itu, rapat koordinasi yang semestinya dilaksanakan secara periodik kurang mendapat perhatian. Rapat koordinasi yang diselenggarakan pada tanggal 1-3 Desember 2011, baru disusul dengan rapat berikutnya pada 13-14 April 2016 dan pada 2 Agustus 2016 di Pekanbaru. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi koordinasi dan komunikasi antar pemangku kepentingan untuk implementasi konsep pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB masih lemah. Menurut Soedjito 2004, Badan Koordinasi ini seharusnya lebih berperan sebagai pusat keunggulan center of excellence dalam menyatukan visi dan merancang program bersama, sementara implementasi setiap program dapat dilaksanakan oleh para anggota yang kompeten. Hasil Kajian Sistem dan Pengelolaan Zonasi Kawasan Cagar Biosfer GSKBB yang telah dilakukan oleh BAPPEDA Provinsi Riau 2015 dapat ditindaklanjuti oleh Badan Koordinasi untuk menyusun Rencana Aksi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB. Koordinasi antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten perlu dilakukan dalam rangka integrasi program untuk mendorong praktik pembangunan berkelanjutan di zona transisi. Di era otonomi daerah ini, tidak ada hubungan hirarki antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatenkota, tetapi hubungannya bersifat koordinatif, pembinaan, dan pengawasan Rasyid 2009. Sesuai UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, gubernur memiliki peran ganda yakni sebagai kepala daerah sekaligus sebagai wakil pemerintah pusat, namun hal ini tidak berjalan lancar sehingga rantai komando terputus dan koordinasi pembangunan antara pemerintah provinsi dengan kabupaten dan antar kabupaten tidak dapat terselenggara Hoessein 2009. Kurang berperannya Badan Koordinasi dalam menyelenggarakan koordinasi dan komunikasi di Cagar Biosfer GSKBB dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan dari pengurus. Pergantian pimpinan organisasi yang merupakan pengurus Badan Koordinasi tidak selalu diikuti dengan pemahaman dan komitmen yang sama seperti pendahulunya yang terlibat dalam pengusulan cagar biosfer. Sejak deklarasi Cagar Biosfer GSKBB tahun 2009 sampai tahun 2016 telah terjadi dua kali pergantian gubernur, dua kali pergantian Kepala BAPPEDA Provinsi Riau, dan enam kali pergantian Kepala BBKSDA Riau. Kondisi ini turut mempengaruhi kinerja Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB. Selain itu, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa Provinsi Riau dan Dinas Pertanian dan Hortikultura Provinsi Riau yang menjadi Ketua dan Wakil Ketua Bidang Pengembangan Area Transisi untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat belum berperan di cagar biosfer. Selain karena faktor kepemimpinan, lemahnya koordinasi dan komunikasi di Cagar Biosfer GSKBB juga disebabkan oleh lemahnya peran sekretariat Badan Koordinasi. Sesuai Keputusan Gubernur Riau No. Kpts. 920V2010, sekretariat Badan Koordinasi adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPEDA Provinsi Riau karena dianggap mampu menjalankan fungsi koordinasi di antara satuan kerja di pemerintah daerah, baik di level provinsi maupun di kabupaten dan kota. Namun, BAPPEDA Provinsi Riau tidak membentuk organisasi ataupun 26 menunjuk staf khusus yang mengelola kesekretariatan tersebut. Sejak tahun 2010, BAPPEDA Provinsi Riau hanya menunjuk satu orang Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan PPTK dan satu orang Pembantu Pengelola Administrasi Keuangan Kegiatan PPAKK untuk mengelola anggaran kegiatan “Peningkatan Kerja Sama Fasilitas dan Fungsi Cagar Biosfer GSKBB” yang dibiayai dari APBD Provinsi Riau. Dengan basis kegiatan tersebut, operasional sekretariat Badan Koordinasi dijalankan dan beberapa kali workshop dilaksanakan. Hasil Workshop Rencana Aksi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB tanggal 17-19 November 2014 di Pekanbaru meminta BAPPEDA Provinsi Riau untuk menjadi Koordinator Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Cagar Biosfer GSKBB dan mengharapkan untuk melakukan koordinasi 3 kali dalam 1 tahun. Namun, permintaan dan harapan tersebut belum sepenuhnya dipenuhi oleh BAPPEDA Provinsi Riau. Lemahnya anggaran akibat dari tidak jelasnya skema pendanaan juga merupakan salah satu penyebab kurang efektifnya koordinasi pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB. Sesuai Keputusan Gubernur Riau No. Kpts. 920V2010, segala biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan Badan Koordinasi dibebankan pada anggaran instansi terkait atau organisasi masing-masing serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Oleh karena Badan Koordinasi ini bukan lembaga berbadan hukum maka tidak dapat menerima dana masyarakat secara langung. Status Badan Koordinasi ini juga bukan merupakan Organisasi Perangkat Daerah OPD sehingga anggarannya bersumber dari instansi-instansi atau lembaga anggotanya. Di sisi lain, masih ada kesalahpahaman dari beberapa unsur Pemerintah Daerah bahwa status hukum cagar biosfer yang hanya sebatas ditetapkan oleh UNESCO menjadi kendala mereka untuk mengalokasikan anggaran di Cagar Biosfer GSKBB. Pengurus Harian Komite Nasional MAB Indonesia sebenarnya sudah sering mendorong agar pemerintah daerah dapat lebih berpartisipasi dalam pembangunan berkelanjutan tanpa harus menyebutkan nomenklatur cagar biosfer pada program dan kegiatan mereka. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai management authority sudah mengalokasikan dana khusus untuk membenahi Cagar Biosfer dan pelaksanaannya dilakukan bersama Komite Nasional MAB Indonesia, tetapi masih terbatas untuk menyusun kembali Rencana Pengelolaan Cagar Biosfer yang ditetapkan pada era generasi pertama dan kedua agar dapat menyesuaikan dengan Strategi Seville. Komite Nasional MAB Indonesia dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI merupakan aktor kunci yang terlibat dalam perumusan kebijakan cagar biosfer di Indonesia. LIPI merupakan lembaga struktural tempat bernaungnya Komite Nasional MAB Indonesia karena tugas pokok lembaga otoritas keilmuan scientific authority ini terkait erat dengan program MAB-UNESCO. Kedua lembaga tersebut mempunyai pengaruh yang besar pada level nasional dan memperoleh kekuasaan power karena formasi diskursus konservasi yang digalang oleh aktor global, yakni UNESCO. Namun, kedudukan dua lembaga tersebut di dalam struktur Badan Koordinasi hanya sebagai anggota Majelis Ilmiah yang bertugas untuk memberikan pertimbangan strategis dan taktis serta monitoring dan evaluasi dalam implementasi konsep pengelolaan cagar biosfer. Komite Nasional MAB Indonesia seharusnya berperan aktif dalam menggerakkan komunikasi antar stakeholders Schliep dan Stoll-Kleemann 2011 dan menfasilitasi akses terhadap fasilitas pemerintah, antara lain hukum, dana, dan 27 komunikasi dengan organisasi internasional Isacch 2008. Komite Nasional MAB juga harus berperan dalam memberdayakan Sekretariat Bersama untuk menjalankan administrasi Badan Koordinasi dan sebagai pusat diseminasi informasi Soedjito 2004. Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB bukan merupakan Organisasi Perangkat Daerah OPD, sehingga tidak mempunyai kewenangan secara langsung untuk memperbaiki tata kelola governance kawasan Cagar Biosfer GSKBB. Badan Koordinasi hanya dapat mendorong stakeholders di Cagar Biosfer GSKBB untuk meningkatkan kinerja di lapangan guna memperbaiki tata kelola kawasan. Yang dimaksud tata kelola kawasan di sini terkait dengan empat konsep dasar yaitu: penguasaan kawasan, pengurusan kawasan, pengelolaan kawasan, dan pemanfaatan kawasan Nurrochmat et al. 2016. Stakeholders dari unsur pemerintah provinsi secara langsung dapat disupervisi oleh Gubernur untuk memastikan bahwa perbaikan tata kelola dilakukan dengan cepat, khususnya tata kelola hutan produksi di area transisi dan zona penyangga. Sementara itu, perbaikan tata kelola kawasan SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu tetap merupakan tugas dan fungsi dari BBKSDA Riau. Hal ini karena penetapan cagar biosfer tidak merubah status dan fungsi kawasan hutan.

2.3.4 Penguatan Kapasitas Pengelola dan Ilmu Pengetahuan

Penguatan kapasitas pengelola sangat penting untuk mewujudkan tata kelola kawasan Cagar Biosfer GSKBB yang baik. Selain kapasitas Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB yang masih lemah, kapasitas BBKSDA Riau yang mengelola area inti saat ini juga masih lemah. Untuk mengelola SM Giam Siak Kecil seluas 84.967 ha dan SM Bukit Batu seluas 21.500 ha yang merupakan area inti Cagar Biosfer GSKBB, BBKSDA Riau sudah membentuk 3 Resort, namun masing-masing hanya memiliki 2 personel Polisi Hutan, ditambah beberapa personelstaf bantuan di kantor Seksi yang berada di Kota Duri dan Bidang Wilayah II Riau yang berada di Kota Siak. Belum ada peningkatan upaya pengelolaan yang berbeda nyata pasca deklarasi Cagar Biosfer GSKBB. Sampai saat ini, tidak tersedia kantor resort dan pos jaga yang dibangun oleh BBKSDA Riau di sekitar lokasi, sehingga kegiatan pengamanan kedua kawasan tersebut masih sangat lemah. Resort yang seharusnya aktif bekerja di tingkat tapak tidak mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya karena keterbatasan anggaran, SDM, sarana, dan prasarana. Oleh karena itu, perlu dilakukan penguatan kapasitas pengelola melalui penerapan Resort Based Management RBM untuk meningkatkan intensitas pengelolaan di tingkat tapak. Berdasarkan PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah KabupatenKota dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP di Daerah, sebagian urusan pengelolaan Hutan Lindung HL dan Hutan Produksi HP diserahkan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban harus membentuk organisasi KPHLKPHP sebagai Organisasi Perangkat Daerah OPD. Namun, sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak belum membentuk KPH untuk meningkatkan pengelolaan hutan produksi di tingkat 28 tapak Cagar Biosfer GSKBB. Pemerintah Provinsi Riau juga belum membentuk KPH di kawasan Cagar Biosfer GSKBB sebagai tindak lanjut UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, bahwa wewenang u rusan kehutanan yang sebelumnya diberikan kepada Pemerintah Kabupaten selanjutnya dialihkan kepada Pemerintah Provinsi. Salah satu fungsi cagar biosfer adalah memberikan dukungan logistik atau pengembangan ilmu pengetahuan. Cagar biosfer mempunyai peranan penting dalam menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sistem alam bekerja dan bagaimana mempertahankan jasa ekosistem dan ekosistem yang tangguh, dan pada saat yang sama juga menggunakan sistem ini untuk menciptakan pekerjaan dan pendapatan bagi masyarakat UNESCO 2008. Sejak dideklarasikan tahun 2009, minat peneliti di Provinsi Riau untuk melakukan kegiatan penelitian di Cagar Biosfer GSKBB meningkat. Daftar penelitian dan publikasi ilmiah yang dilakukan di Cagar Biosfer GSKBB dapat dilihat pada Lampiran 1. Dari 20 penelitian dan publikasi yang terdaftar pada Lampiran 1, 15 di antaranya merupakan penelitian ilmu dasar ilmu murni, 2 ilmu sosial, dan 3 ilmu manajemen yang terkait dengan konsep cagar biosfer. Data ini menunjukkan bahwa penelitian terapan untuk mencari solusi atas masalah dan mendukung pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB masih sangat terbatas. Beberapa isu yang dapat menjadi topik penelitian adalah: kelembagaan pengelolaan, sistem zonasi, migrasi penduduk, perambahan kawasan, dan penebangan liar, serta kegiatan illegal lainnya. Pusat-pusat penelitian di pemerintah daerah dan pemerintah pusat, serta di perguruan tinggi perlu didorong untuk menggunakan masalah pengelolaan dan isu-isu terkait Cagar Biosfer GSKBB sebagai pertanyaan penelitian. Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat membantu menjawab tantangan bagi peningkatan kinerja implementasi konsep cagar biosfer di Cagar Biosfer GSKBB.

2.3.5 Kemitraan Multi Stakeholders

Implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB membutuhkan kemitraan multi stakeholders yang kuat untuk melestarikan sumber daya alam dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Keuntungan dari kemitraan adalah meningkatkan efektivitas strategi pengelolaan, meningkatkan kesadaran, mengubah sikap stakeholders, saling pengertian yang lebih baik, lebih banyak informasi untuk pengambilan keputusan, dan memberikan dukungan teknis dan keuangan bagi pengelolaan cagar biosfer UNESCO 2008. Di Cagar Biosfer GSKBB, kemitraan antara BBKSDA Riau dengan SMF sudah terjalin sejak pengusulan cagar biosfer. Pada tahap implementasi, PT Arara Abadi sebagai salah satu unit manajemen IUPHHK-HT mewakili SMF telah menyepakati Perjanjian Kerja Sama dengan BBKSDA Riau untuk mengoptimalkan fungsi area inti cagar biosfer meliputi SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu, serta Hutan Produksi mitra PT. Arara Abadi seluas ±72.255 ha di areal kerja mitra usaha SMF. Perjanjian Kerja Sama PKS dituangkan dalam Surat PKS No. 2223IV-17TU.22011 dan No. 15AA.JKTIX2011 tanggal 20 September 2011 dengan jangka waktu 5 tahun. Untuk ini, SMF telah membantu dalam monitoring, penanggulangan perambahan kawasan dan pengendalian kebakaran di SM Giam Siak Kecil. Kemitraan antara unsur pemerintah dan sektor swasta ini sangat membantu dalam menutupi kekurangan personel, peralatan, anggaran dan logistik yang diperlukan. 29 Kemitraan di Cagar Biosfer GSKBB masih terbatas antara BBKSDA Riau dengan SMF pada kegiatan perlindungan area inti dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Sementara itu, kemitraan dengan pemerintah daerah dan sektor swasta lainnya belum terwujud seperti yang dimandatkan Madrid Action Plan. Pada umumnya, kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dilaksanakan oleh kontraktor proyek, bersifat parsial, kurang bersinergi dengan pihak lain, dan tidak berkesinambungan. Padahal, kemitraan pemerintah dengan pengelola di lapangan sangat diperlukan untuk mendukung upaya pemberdayaan masyarakat di zona penyangga dan area transisi untuk mengurangi tekanan terhadap area inti.

2.4 Simpulan

Implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB saat ini sudah menerapkan zonasi sesuai arahan Strategi Seville, meliputi area inti, zona penyangga, dan area transisi. Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB sudah dibentuk tetapi belum bekerja optimal dalam menyelenggarakan koordinasi dan komunikasi antar pemangku kepentingan, sehingga program dan kegiatan yang dilaksanakan pada masing-masing zona belum sinergi untuk mewujudkan Cagar Biosfer GSKBB sebagai situs bagi promosi konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan. Beberapa unit manajemen hutan telah melakukan inisiatif pengelolaan hutan tanaman lestari di zona penyangga, tetapi belum ada peningkatan upaya pengelolaan area inti yang nyata. Sementara itu, penelitian terapan yang mendukung pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB masih sangat terbatas. Kemitraan masih terbatas antara BBKSDA Riau dengan SMF pada kegiatan perlindungan area inti dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, sementara itu kemitraan dengan pemerintah daerah dan sektor swasta lainnya belum terwujud.