Kerangka Pemikiran Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu Di Provinsi Riau
7 dan berkembang di masyarakat. Banyak bukti empiris menunjukkan bahwa
masyarakat sering menciptakan tatanan kelembagaan yang dapat melindungi CPRs dan mengatur alokasi pemanfaatan hasil-hasilnya secara efisien dan lestari
sehingga premis Hardin dapat ditolak Ostrom 1990, misalnya Suku Dayak
Kenyah Uma’ Lung di Desa Setulang Kabupaten Malinau yang mengelola Tanah Ulen Soedjito 2009. Menurut Hardin 1968, ketika sumber daya alam yang
terbatas jumlahnya dan dimiliki semua orang, setiap individu mempunyai rasionalitas untuk memanfaatkannya secara intensif sehingga berakibat
berkurangnya sumber daya alam tersebut dan semua pihak menjadi merugi, kondisi ini disebutnya sebagai the tragedy of the common.
Dalam merancang pengelolaan sumber daya juga sangat penting untuk memahami bagaimana hak kepemilikan atas sumber daya property rights
tersebut ditentukan dan dikendalikan Hanna et al. 1996. Hak kepemilikan yang didefinisikan dengan baik adalah cara yang paling tepat untuk membuat individu
menginternalisasi eksternalitas
3
sehingga akan mencegah degradasi sumber daya alam Fauzi 2004, Rasmussen dan Meinzen-Dick 1995. Kepastian hak sangat
penting karena mempengaruhi kinerja ekonomi Schmid 1987. Kepastian hak kepemilikan juga diperlukan dalam pengelolaan kolaborasi karena menentukan
cara produsen dan konsumen menggunakan sumber daya alam, seperti pengalaman di Ndumo Game Reserve, Afrika Selatan Naguran 2002. Apabila
hak kepemilikan tidak didefinisikan dengan baik ill-defined, siapa yang akan mendapat manfaat dan siapa yang harus menanggung biayanya tidak dapat
ditentukan secara jelas.
Hak kepemilikan adalah sebuah paket hak a bundle of rights yang
mendefinisikan siapa pemilik hak, hak istimewa, dan batasan terhadap pemanfaatan sumber daya alam Bromely 1991. Menurut Ostrom dan Schlager
1996, hak kepemilikan dapat dibedakan antara hak pada level operasional operational-level dan hak pada level pilihan-kolektif collective-choice. Hak
level operasional meliputi hak akses access dan hak pemanfaatan withdrawal, sementara hak-hak pada level pilihan-kolektif berhubungan dengan hak
pengelolaan management, hak mengeluarkan pihak lain exclusion, dan hak melepaskanmemindahtangankan alienation.
Hak kepemilikan untuk mengelola CPRs akan kuat jika pengguna sumber daya memiliki kedua hak pada level operasional dan hak pilihan-kolektif. Hak-hak
ini didefinisikan Ostrom dan Schlager 1996 sebagai berikut: 1. Hak akses access adalah hak untuk memasuki suatu wilayah tertentu dan
hanya menikmati manfaat non-subtraktif misalnya fotografi, hiking, dll. Mereka yang memiliki hak ini disebut
“pengunjung resmi” authorised entrants.
2. Hak mengambil withdrawal adalah hak untuk mengambilmemanen unit sumber daya misalnya ikan, buah, air, kayu, dll. Mereka yang memiliki hak,
baik akses maupun mengambil, disebut sebagai “pengguna resmi” authorised
users, tetapi mereka tidak memiliki kewenangan untuk menentukan aturan- aturan panen mereka sendiri atau untuk mengeluarkan exclude orang lain
dari mendapatkan akses terhadap sumber daya tersebut.
3
Eksternalitas adalah situasi akibat dari keputusan yang dibuat oleh individu atau kelompok Basuni 2003.
8 3. Hak pengelolaan management adalah hak untuk menentukan bagaimana,
kapan dan dimana penggunaan konsumtif sumber daya dapat terjadi, serta mengubah sumber daya yang ada untuk tujuan meningkatkan produksi. Orang
atau kelompok yang memiliki hak-hak ini dikenal sebagai “penyewa”
claimants. 4 Hak membatasimengeluarkan exclusion adalah hak untuk menentukan siapa
saja yang memperoleh hak akses dan membuat aturan pemindahan transfer hak akses ini. Mereka yang memiliki hak-hak ini disebut
“proprietors”. 5 Hak melepaskanmemindahtangankan alienation adalah hak untuk menjual
atau menyewakan salah satu atau kedua hak pilihan-kolektif di atas. Mereka yang memiliki hak-hak ini disebut
“pemilik” owners. Ostrom dan Schlager 1996 mengelompokkan posisi orang atau kelompok
masyarakat yang mempunyai paket hak kepemilikan dalam matriks Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Paket hak kepemilikan dan posisi pemegang hak Owners Proprietors Claimants Authorized
users Authorized
entrants Access
Withdrawal
Management
Exclusion
Alienation
Sumber: Ostrom dan Schlager 1996
Selain ditentukan oleh hak kepemilikan, penggunaan sumber daya juga
dipengaruhi oleh akses yang dimiliki oleh aktor. Banyak kasus di Indonesia, hak kepemilikan atas sumber daya tidak dapat ditegakkan oleh pemiliknya, sementara
pihak yang tidak mempunyai hak justru dapat menguasai dan menggunakan sumber daya tersebut. Untuk mengkaji relasi kekuasaan dan mekanisme akses
yang dijalankan oleh masing-masing aktor dalam menggunakan sumber daya lahan dan perairan Cagar Biosfer GSKBB digunakan teori akses dari Ribot dan
Peluso 2003 yang menempatkan kekuasaan di dalam konteks politik ekonomi yang membentuk kemampuan aktor untuk memanfaatkan sumber daya. Akses
didefinisikan sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu, termasuk obyek material, orang, kelembagaan dan simbol. Untuk memahami
peristiwa, fenomena, dan masalah lingkungan yang kompleks yang disebabkan oleh tindakan manusia tersebut dilakukan pendekatan kontekstualisasi progresif
progressive contextualization dengan melakukan analisis sebab-akibat pada dimensi ruang dan waktu secara dinamis Vayda 1983.
Karakteristik sumber daya bersama, hak kepemilikan atas sumber daya, dan akses yang dimiliki oleh para aktor seperti yang digambarkan di atas
mempengaruhi situasi pemanfaatan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB. Selain itu, situasi aksi ini juga dipengaruhi oleh karakteristik atribut kelompok
pengguna komunitas. Menurut Ostrom 2008b, atribut komunitas yang penting adalah: 1 norma-norma perilaku yang berlaku umum di komunitas; 2 tingkat
pemahaman bersama sehingga partisipan potensial mau berbagi atau tidak
9 berbagi tentang struktur tertentu dari arena aksi; 3 tingkat homogenitas
preferensi komunitas; 4 ukuran dan komposisi komunitas; dan 5 tingkat ketimpangan penguasaan aset pokok di antara anggota komunitas. Selain itu,
riwayat hidup kelompok pengguna juga penting ditelusuri guna menggali hubungan mereka dengan sumber daya yang dimanfaatkannya.
Selain dengan sistem zonasi yang baik, implementasi konsep cagar biosfer juga membutuhkan kemitraan stakeholders dan mekanisme pengorganisasian
untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan berbagai program di cagar biosfer. Menurut Soedjito 2004, pengelolaan cagar biosfer sebaiknya
menggunakan model lembaga pengelolaan kolaborasi yang merupakan wadah koordinasi forum komunikasi multi-stakeholders. Hal ini karena cagar biosfer
menempati lansekap yang luas dengan banyak stakeholders yang mempunyai kepentingan dan pengaruh yang berbeda. Terkait hal ini, Pemerintah Provinsi
Riau telah membentuk Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB berdasarkan Keputusan Gubernur Riau No. Kpts. 920V2010 tanggal 14 Mei
2010. Untuk menyelidiki sejauh mana kemitraan multi-stakeholders sudah berjalan di Cagar Biosfer GSKBB dilakukan identifikasi kepentingan dan
pengaruh
masing-masing stakeholders,
serta interaksiketerkaitan
antar stakeholders, termasuk stakeholders yang belum terdaftar dalam badan koordinasi
tersebut. Selain itu, perlu dilakukan analisis partisipasi stakeholders karena partisipasi masyarakat lokal dan stakeholders lainnya sangat diperlukan untuk
mengimplementasikan konsep cagar biosfer Stoll-Kleemann et al. 2010, Schultz et al. 2011.
Dengan gambaran situasi pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya yang lengkap, dapat dirumuskan masalah pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer
GSKBB, sehingga kebijakan pengelolaan sumber daya yang dirumuskan betul- betul dapat menjawab masalah substantif pengelolaan sumber daya cagar biosfer
Dunn 2003. Kebijakan yang dimaksud adalah keputusan-keputusan atau pilihan- pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian
sumber daya alam, finansial, dan manusia demi kepentingan publik Suharto 2007 untuk mencapai tiga tujuan cagar biosfer. Kerangka pemikiran tersebut di
atas dapat diilustrasikan dalam Gambar 1.1.