Karakteristik Komunitas Nelayan Cagar Biosfer GSKBB

67 sebagai nelayan, penduduk dusun ini juga berkebun karet, namun sudah lama tidak dapat melakukan perluasan areal karena lahan di sekitarnya bergambut dalam. Hal ini karena tanaman karet tidak mampu tumbuh di lahan gambut dalam, sehingga sebagian penduduk telah berpindah ke daerah lain yang mempunyai jenis tanah mineral dan memilih lokasi yang lebih mudah dijangkau dengan jalan darat. Tabel 4.4 Sebaran dan jumlah pondok nelayan di Sungai Siak Kecil dan kompleks tasik di sekitarnya dari arah hilir ke hulu sungai Lokasi Wilayah desa Jumlah Asal nelayan Muara Sungai Pesimsim Tasik Betung 5 Langkat, Lubuk Gaung Kuala Sungai Antan Tasik Betung 9 Langkat, Lubuk Gaung Kuala Tasik Pepagar Tasik Betung 15 Langkat, Lubuk Gaung Kuala Tasik Pesingin Tasik Betung 15 Langkat, Lubuk Gaung Kuala Tasik Ungus Tasik Betung 16 Langkat, Lubuk Gaung, Tasik Betung Kuala Tasik Membalu Tasik Betung 5 Lubuk Gaung, Tasik Betung Kuala Tasik Betung Tasik Betung 1 Tasik Betung Kuala Tasik Ketialau Tasik Tebing Serai 18 Langkat, Lubuk Gaung, Tasik Betung Kuala Tasik Serai Tasik Serai Timur 13 Tasik Serai Timur Kuala Tasik Mato Songsang Tasik Serai Timur 6 Tasik Serai Timur, Lubuk Gaung Pangkalan Siam Tasik Serai 7 Tasik Serai, Langkat Bagan Benio Tasik Serai 50 Tasik Serai Pulai Bungkuk Tasik Serai 24 Tasik Serai Bagan Belado Tasik Serai 9 Tasik Serai Kuala Sungai Mengkuang Tasik Serai Barat 2 Lubuk Gaung Empang Dusun Tasik Serai Barat 10 Tasik Serai, Bukit Kerikil, Lubuk Gaung Jumlah 205 Jumlah pondok nelayan Sungai Bukit Batu Tabel 4.5 lebih sedikit dibandingkan dengan nelayan Sungai Siak Kecil Tabel 4.4. Hal ini karena panjang Sungai Bukit Batu lebih pendek dan kecenderungan hasil tangkapan ikan semakin menurun. Menurut pengakuan warga Desa Temiang, jumlah nelayan Sungai Bukit Batu menurun drastis sejak tahun 2005 seiring dengan penurunan hasil tangkapan yang disebabkan oleh pencemaran air akibat kegiatan pembangunan hutan tanaman di sekitar yang membuat kanal dan membuang air rawa gambut ke Sungai Bukit Batu. Pada saat air laut pasang, kekeruhan air menyebar ke bagian hulu sungai sehingga menggganggu kehidupan ikan. Sebagian besar nelayan di Sungai Bukit Batu maupun di Sungai Siak Kecil menggunakan perahu bermotor untuk mengarungi sungai dan tasik. Penggunaan perahu dayung hanya terbatas untuk menangkap ikan di sekitar pondok. Pemilik 68 perahu bermotor mempunyai jarak jelajah tangkapan 5 km dari pondok, sementara jarak jelajah pemilik perahu dayung 2 km. Lokasi yang dikunjungi biasanya dekat dengan tanaman rasau Pandanus helicopus yang tumbuh di tepi sungai dan tasik, tempat dimana ikan banyak berkumpul. Selanjutnya, mereka akan memasang alat tangkap di sekitarnya. Tabel 4.5 Sebaran dan jumlah pondok nelayan di Sungai Bukit Batu dan kompleks tasik di sekitarnya dari arah hilir ke hulu sungai Lokasi Wilayah desa Jumlah Asal nelayan Tasik Baru Temiang 1 Temiang Tasik Kemenyan Temiang 2 Temiang Tasik Terentang Temiang 1 Temiang Tasik Anggung Temiang 2 Temiang Tasik Rantau Panjang Temiang 1 Temiang Tasik Pangkalan Temiang 1 Temiang Jumlah 8 Alat tangkap ikan yang digunakan masih tradisional, yaitu: lukah, pancing, jala, jaring apung, belat dan hambat. Lukah pot trap merupakan alat jebak ikan, dapat dibedakan berdasarkan bahan untuk membuatnya dan jenis atau ukuran ikan yang akan ditangkap. Lukah baring dibuat dari bambu dan rotan untuk menangkap semua ikan yang berukuran sedang. Lukah tali dibuat dari kain tali, mempunyai banyak variasi ukuran tergantung besar kecilnya kerangka lukah, ukuran mata tali atau mata jaring mesh size yang digunakan, serta jenis dan ukuran ikan yang akan ditangkap. Lukah tali lebih banyak digunakan daripada lukah baring karena lebih mudah dalam mendapatkan bahan baku dan pengerjaannya. Lukah tali berukuran besar biasanya digunakan untuk menangkap ikan tapah, Lukah tali dengan mata tali ukuran sedang untuk menangkap ikan baung Mystus nemurus Cuv. Val., dan yang bermata rapat untuk menangkap ikan selais dan ikan-ikan kecil lainnya. Khusus di tasik danau, para nelayan biasanya menggunakan belat, lukah, dan hambat untuk menangkap ikan. Belat adalah rangkaian pancang kayu yang disusun membentang di muara tasik untuk mengarahkan ikan yang akan keluar dari tasik menuju sungai melalui pintu yang disediakan pada alur yang dalam. Di tasik yang kecil, pintu tersebut ditutup dengan lukah Gambar 4.3a, sementara di tasik yang besar biasanya dipasang hambat sebagai alat jebak Gambar 4.3b. Selain di muara tasik, hambat juga dipasang pada beberapa anak sungai yang dalam. Alat hambat di beberapa tasik di sekitar Sungai Siak Kecil berjumlah 24 unit, dengan sebaran dapat dilihat pada Tabel 4.6. Hasil tangkapan ikan di wilayah perairan Cagar Biosfer GSKBB fluktuatif, dipengaruhi oleh fluktuasi tinggi muka air dan alat tangkap yang digunakan. Di Sungai Siak Kecil, air mulai surut pada bulan Februari dan mencapai surut terendah pada Juli – Agustus. Muka air mulai naik pada bulan September dan mencapai puncaknya pada bulan Desember – Januari. Penelitian Husnah et al. 69 2010 di 14 titik pengamatan yang tersebar di sungai dan beberapa tasik yang terhubung dengan Sungai Siak Kecil menunjukkan bahwa penggunaan lukah pada saat muka air tinggi lebih efektif dibandingkan dengan jaring gill net, dan sebaliknya pada saat muka air rendah lebih efektif menggunakan jaring Tabel 4.7. a b Gambar 4.3 Alat tangkap jebak yang digunakan oleh nelayan; a Lukah untuk menutup muara tasik yang berkuran kecil, b Nelayan sedang mengangkat hambat di Kuala Tasik Serai Tabel 4.6 Jumlah alat hambat di beberapa tasik di sekitar Sungai Siak Kecil Tasiksungai Jumlah Asal nelayan Tasik Betung 1 Tasik Betung Tasik Baru 1 Tasik Serai Tasik Serai 9 Tasik Serai Timur Pangkalan Siam 3 Tasik Serai Bagan Samak 1 Tasik Serai Sungai Mengkuang 1 Tasik Serai Sungai Sigeronggang 3 Tasik Serai Empang Dusun 1 Langkat Puang Sembilan 4 Tasik Serai, Tasik Serai Timur, Tasik Serai Barat Jumlah 24 Tabel 4.7 Hasil tangkapan ikan berdasarkan jenis alat tangkap dan ketinggian muka air di Sungai Siak Kecil Alat tangkap Ketinggian muka air Tinggi Rendah Lukah 5-25 kgharinelayan 3-6 kgharinelayan Jaring 5-16 kgharinelayan 4-8 kgharinelayan Sumber: Marini dan Husnah 2011 70 Menurut pengakuan nelayan Tasik Betung dan Tasik Serai, panen raya ikan di tasik terjadi dua kali, yakni pada awal dan akhir musim hujan. Pada saat muka air tinggi, ikan menyebar sampai ke rawa-rawa yang jauh dari badan air sungai dan tasik. Ketika muka air secara gradual menurun, banyak ikan yang semula terjebak di rawa-rawa kembali memasuki badan air sungai dan tasik. Pada awal musim hujan dan permukaan air rawa mulai naik, hambat dipasang di pintu belat untuk menangkap ikan yang akan memasuki tasik, biasanya terjadi pada bulan Oktober – November. Pada akhir musim hujan dan permukaan air rawa mulai surut, lukah dan hambat dipasang dengan arah sebaliknya untuk menangkap ikan yang akan keluar dari tasik menuju sungai, biasanya terjadi pada bulan Mei - Juni. Nelayan Sungai Siak Kecil mengaku bahwa hasil tangkapan ikan semakin menurun karena durasi banjir pada tasik dan area sekitarnya semakin pendek, yakni kurang dari 3 bulan. Mereka menduga hal ini karena pengaruh pembangunan kanal sodetan di Desa Langkat, di bagian hilir Sungai Siak Kecil, yang dibuat pada tahun 1978 untuk menghindarkan banjir kawasan transmigrasi Sungai Linau. Perubahan penggunaan lahan di sekitar tasik, dari hutan alam menjadi hutan tanaman dan perkebunan, yang disertai dengan pembuatan kanal drainase juga telah mengubah hidrologi di wilayah ini. Selain itu, penggunaan alat tangkap yang intensif juga dapat menurunkan populasi ikan. Alat hambat yang dipasang pada awal musim hujan telah mengganggu ruaya ikan yang akan masuk ke dalam tasik untuk memijah. Penggunaan lukah tali yang terlalu rapat juga dapat menangkap ikan dengan ukuran kecil, termasuk anakan, sehingga mengurangi reproduksi.

4.3.4 Relasi Kekuasaan Antar Aktor dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perairan

Relasi kekuasaan antar aktor dalam menggunakan sumber daya perairan dijelaskan dengan mengkaji akses aktor, yaitu kemampuan aktor untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu Ribot dan Peluso 2003. Analisis dilakukan dengan mengidentifikasi dan memetakan mekanisme akses yang dijalankan oleh aktor dalam memperoleh, mempertahankan, dan mengendalikan akses terhadap penggunaan sumber daya perairan. Wilayah perairan di area inti Cagar Biosfer GSKBB merupakan bagian dari suaka margasatwa yang hak kepemilikannya dikuasai oleh negara. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam BBKSDA Riau merupakan aktor yang paling berkuasa dengan menggunakan mekanisme akses berbasis hak rights-based access dalam mengendalikan pemanfaatan sumber daya di wilayah ini. BBKSDA Riau merupakan unit pengelola Suaka Margasatwa SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu yang bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Ditjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Lembaga ini mempunyai kekuasaan yang besar karena legalitas penggunaan kekuatan hukum legal juridical power yang berwenang membatasi pihak lain untuk memasuki dan memanfaatkan sumber daya di dalam kawasan suaka margasatwa. Untuk menghormati keberadaan masyarakat lokal, lembaga ini memberikan hak kepada masyarakat lokal untuk memanfaatkan sumber daya perairan di area 71 inti GSKBB secara tradisional. Mereka tidak hanya diberikan hak akses untuk memasuki kawasan dan menikmati manfaat non-subtraktif saja, tetapi juga hak memanfaatkan sumber daya ikan, yang oleh Schlager dan Ostrom 1992 disebut hak withdrawal yaitu hak untuk mengambilmemanen unit sumber daya. Sikap BBKSDA Riau tersebut tidak terlepas dari tingginya biaya eksklusi, dimana biaya untuk mencegah masyarakat memanfaatkan sumber daya jauh lebih besar dibandingkan dengan nilainya. Selain itu, BBKSDA Riau juga tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai kondisi sumber daya di wilayah ini karena terbatasnya personel dan fasilitas pengelolaan yang dimilikinya sehingga inventarisasi menyeluruh dan mendalam tidak pernah dilakukan. Selain masyarakat nelayan, aktor pemanfaat sumber daya perairan Cagar Biosfer GSKBB adalah pedagang pengumpul. Mereka mendapatkan akses di wilayah ini dengan menjalankan mekanisme akses struktural dan relasional structural and relational acces mechanism berdasarkan seperangkat kekuasaan bundle of power. Nelayan mempunyai akses identitas sosial sebagai komunitas yang secara turun temurun telah menangkap ikan di wilayah perairan ini. Sementara itu, pedagang pengumpul mempunyai akses modal dalam bentuk keuangan, peralatan sarana transportasi, dan pasar yang digunakannya untuk menampung dan memasarkan ikan hasil tangkapan nelayan. Di sini, pedagang pengumpul mempunyai akses yang lebih besar karena memiliki sumber kekuasaan yang banyak. Meskipun demikian, pedagang pengumpul tidak menggunakan aksesnya untuk menekan harga ikan tangkapan nelayan karena pada umumnya mereka mempunyai hubungan sosial kekerabatan dengan para nelayan sehingga budaya saling membantu menjadi nilai yang lebih menonjol. Ikan hasil tangkapan nelayan Sungai Bukit Batu biasanya dijual ke pedagang atau warga di desa. Sementara itu, hasil tangkapan nelayan Sungai Siak Kecil banyak yang dijual ke pedagang pengumpul yang datang ke pondok-pondok nelayan. Ada empat pedagang pengumpul yang datang secara rutin seminggu sekali menggunakan kapal kayu pompong menyusuri Sungai Siak Kecil. Selain itu, ada pedagang pengumpul yang datang dari Duri dan Perawang menggunakan mobil untuk menampung ikan nelayan Tasik Serai yang bermukim di permukiman induk Desa Tasik Serai Timur. Pedagang pengumpul biasanya juga membawa barang-barang kebutuhan pokok dan bahan-bahan atau alat tangkap yang dibutuhkan oleh nelayan. Dengan sarana komunikasi berupa handphone, nelayan dapat bernegosiasi harga sebelum memutuskan menjual ikan ke salah satu pedagang pengumpul. Namun, bagi nelayan yang terikat hutang dengan pedagang pengumpul, biasanya akan menjual secara rutin ke salah satu pedagang pengumpul. Dalam kondisi seperti ini, pedagang pengumpul tersebut juga berperan sebagai Toke yang memberikan pinjaman kepada nelayan, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun keperluan penangkapan ikan. Jaringan sosial pemasaran yang melibatkan Toke seperti ini juga terjadi di komunitas nelayan tradisional di Banten yang biasa disebut Langgan Amiruddin 2014. Hal ini terjadi karena nelayan tidak mempunyai akses kepada layanan lembaga keuangan, selain karena jauhnya jarak ke pusat layanan, juga karena nelayan pada umumnya tidak mempunyai asset yang dapat dijadikan agunan untuk pengajuan pinjaman. Selain itu, hubungan dengan Toke ini masih dilakukan oleh nelayan sebagai strategi pengaman pada saat hasil tangkapan ikan menurun, yaitu pada saat puncak banjir dan kemarau panjang. 72 Sebagian besar hasil tangkapan ikan di Sungai Siak Kecil yang dijual kepada pedagang pengumpul selanjutnya dipasarkan di Sei Pakning, Ibu Kota Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, dengan jarak tempuh 6-8 jam perjalanan kapal kayu. Karena jauhnya jarak dan lamanya waktu tempuh antara lokasi penangkapan dengan konsumen akhir, biasanya nelayan menjual ikan dalam bentuk awetan, kecuali ikan tapah yang selalu dijual dalam kondisi masih hidup. Pengawetan ikan juga dilakukan karena alasan melimpahnya hasil tangkapan pada musim panen raya. Proses pengawetan ikan ada dua macam, tergantung jenis ikan. Ikan kepar, tuakang, dan bujuk biasanya diawetkan dengan cara penggaraman menjadi ikan asin, sedangkan ikan selais dan baung biasanya diawetkan dengan pengasapan menjadi ikan salai. Sementara itu, ikan toman dan gabus selain dijual sebagai ikan hidup juga sering diawetkan dengan pengasapan. 4.3.5 Analisis Keberlanjutan Kelembagaan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perairan Masyarakat nelayan lokal di dalam wilayan perairan Cagar Biosfer GSKBB pada umumnya saling mengenal satu sama lain dan sebagian besar mempunyai hubungan kekerabatan, sehingga berpeluang untuk melakukan tindakan kolektif dan mengelola sumber daya secara mandiri berdasar kelembagaan lokal yang mereka bangun Uphoff 1986. Identifikasi penerapan prinsip-prinsip desain kelembagaan yang berkelanjutan Ostrom 1990 telah dilakukan pada kelembagaan lokal di wilayah perairan Cagar Biosfer GSKBB. Hasil identifikasi masing-masing prinsip desain kelembagaan secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 4.8. 1. Batas-batas yang jelas dalam pemanfaatan sumber daya clearly defined boundaries. Dalam pemanfaatan CPRs, harus ada aturan yang mendefinisikan dengan jelas tentang waktu, lokasi, teknologi dan atau jumlah unit sumber daya yang dapat dimanfaatkan Ostrom 1990. Masyarakat nelayan GSKBB telah mengatur dan menerapkan batasan teknologi, dimana tidak dibolehkan menggunakan racun dan alat tangkap berarus listrik setrum dengan alasan dapat membunuh semua jenis dan ukuran ikan yang dapat mengganggu kontinuitas hasil tangkapan ikan. Khusus pada komunitas nelayan Bukit Batu, mereka juga melarang penggunaan jala dan jaring untuk menangkap ikan di tasik dan Sungai Bukit Batu karena menurut mereka kedua alat tersebut merupakan alat tangkap ikan di laut sehingga diyakini dapat mengganggu kehidupan ikan air tawar. Alasan mitos tersebut dapat membantu membatasi kompetisi penangkapan oleh nelayan laut sehingga tidak terjadi pemanenan berlebihan overfishing .