Kebijakan Prioritas untuk Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Cagar

120 Tabel 7.7 Matriks QSPM untuk penentuan kebijakan prioritas dalam rangka perbaikan pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB Faktor-faktor Utama Bobot a Kebijakan b 1 2 3 4 5 TAS TAS TAS TAS TAS Faktor Internal Luas area inti cagar biosfer 0.082 0.164 0.328 0.410 0.082 0.246 Keragaman ekosistem 0.071 0.142 0.213 0.284 0.071 0.355 Objek dan Daya Tarik Wisata 0.055 0.109 0.164 0.273 0.219 0.055 Lembaga yang mengkoordinasikan dan mengintegrasikan program dan kegiatan 0.093 0.464 0.372 0.279 0.186 0.093 Ketersediaan SDM 0.087 0.262 0.175 0.437 0.350 0.087 Ketersediaan dana 0.137 0.546 0.683 0.410 0.273 0.137 Ketersediaan sarana dan prasarana 0.066 0.131 0.262 0.328 0.197 0.066 Partisipasi stakeholders 0.093 0.464 0.279 0.372 0.186 0.093 Dukungan stakeholders kunci 0.082 0.410 0.328 0.246 0.164 0.082 Ketersediaan aturan pengelolaan 0.098 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 Rejim penguasaan sumber daya alam 0.060 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 Kelembagaan lokal yang berkelanjutan 0.077 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 Faktor Eksternal Akses sumber dana internasional 0.137 0.548 0.685 0.411 0.274 0.137 Dukungan Program MAB UNESCO dan Komite Nasional MAB Indonesia 0.151 0.603 0.753 0.452 0.301 0.151 Program pengembangan pariwisata di Sumatera oleh Pemerintah 0.110 0.329 0.548 0.438 0.219 0.110 Rencana pembangunan KPH oleh KLHK 0.123 0.370 0.123 0.493 0.616 0.247 Skema IUPHHK-Restorasi Ekosistem di lahan gambut 0.123 0.247 0.370 0.123 0.493 0.616 Kebijakan Perhutanan Sosial 0.096 0.192 0.096 0.288 0.384 0.479 Pengembangan ekonomi regional berbasis kelapa sawit 0.123 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 Pembangunan jalan di sekitar area inti Cagar Biosfer GSKBB 0.137 0.274 0.137 0.685 0.548 0.411 Jumlah 5.256 5.516 5.929 4.562 3.364 a Bobot menunjukkan pengaruhsignifikansi relatif masing-masing faktor internal dan eksternal bagi keberhasilan pencapaian fungsi cagar biosfer yang dicopy dari Tabel 7.3 dan Tabel 7.5 b Lima pilihan kebijakan prioritas: 1. Perombakan dan penguatan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar stakeholders. 2. Melakukan pengalangan dana untuk mendukung program konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan. 3. Memperkuat kapasitas BBKSDA Riau untuk meningkatkan intensitas pengelolaan area inti cagar biosfer. 4. Membentuk KPH untuk meningkatkan intensitas pengelolaan di tingkat tapak. 5. Memperjelas hak pengelolaan pada kawasan Hutan Produksi yang tidak dibebani ijin pemanfaatan hasil hutan melalui skema IUPHHK-Restorasi Ekosistem di area inti dan IUPHHK-Hutan Tanaman Rakyat di zona penyangga. 121 2. Melakukan penggalangan dana untuk mendukung program konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan. Cagar Biosfer GSKBB mempunyai peran sebagai sarana untuk melaksanakan Konvensi Keanekaragaman Hayati dan situs pembelajaran untuk pembangunan berkelanjutan guna menjawab tantangan dari Agenda 21. Untuk hal ini diperlukan pendanaan yang berkelanjutan. Karena keterbatasan anggaran dari pemerintah dan pemerintah daerah, maka perlu dilakukan penggalangan dana fund rising, khususnya dari para penerima manfaat langsung sumber daya Cagar Biosfer GSKBB dan hibah internasional. Dengan statusnya sebagai cagar biosfer yang diakui UNESCO dan adanya dukungan dari Komite Nasional MAB Indonesia, diharapkan dapat menarik perhatian besar dari lembaga donor. Mekanisme penggalangan dana internasional dan peruntukkannya untuk mendukung implementasi konsep cagar biosfer mengacu pada Peratuan Pemerintah No. 10 tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah dan Peraturan Presiden No. 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian. Untuk melakukan kegiatan penggalangan dana, anggota dan pengurus Badan Koordinasi perlu membentuk lembaga berbadan hukum, antara lain berupa yayasan atau perkumpulan sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Sebaiknya, perhatian lembaga ini fokus pada implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB dan untuk ini dapat bermitra dengan lembaga yang sudah ada, misalnya: Yayasan Belantara yang telah dibentuk oleh Asian Pulp and Paper APP atau Perkumpulan MAB Indonesia yang berkantor di Bogor. Lembaga ini dapat mengajukan proposal program dan kegiatan yang mendukung konservasi dan pembangunan berkelanjutan di Cagar Biosfer GSKBB kepada lembaga donor internasional. Lembaga ini dapat menerima dana dari program Corporate Social Responsibility CSR dari perusahaan kehutanan, perkebunan, dan pertambangan yang memanfaatkan sumber daya di Cagar Biosfer GSKBB. Bersama-sama Badan Koordinasi, lembaga ini juga dapat menginisiasi kesepakatan diantara penerima manfaat sumber daya tersebut dan stakeholders Cagar Biosfer GSKBB lainnya mengenai besaran sumbangan atau kontribusi pendanaan dari masing-masing pihak bagi pelaksanaan program dan kegiatan di Cagar Biosfer GSKBB. 3. Perombakan dan penguatan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar stakeholders. Implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB yang inklusif dengan wilayah yang luas memerlukan aksi bersama collective actions karena sumber daya di dalamnya mempunyai sifat excludability rendah dan subtractability tinggi sehingga rentan terhadap kerusakan jika tingkat pengelolaan dan pengawasan masih rendah, sebagaimana diuraikan pada Bab 3 dan Bab 4. Selain itu, keberhasilan pengelolaan area inti Cagar Biosfer GSKBB sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pengelolaan daerah penyangga dan area transisi. Oleh karena itu, koordinasi perlu terus dilakukan guna meningkatkan hubungan kerja yang baik antara stakeholders di area inti dengan pemerintah daerah dan mitra terkait lainnya. Peningkatan koordinasi diharapkan mampu membangun aksi bersama dan gotong royong dalam rangka mendukung konservasi keanekaragaman hayati 122 dan pembangunan berkelanjutan. Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB sudah dibentuk dari beragam stakeholders, namun sebagian besar pengurus merupakan lembaga pemerintahan dengan jalur birokrasi yang panjang dan peran Sekretariat yang lemah dalam menggerakkan roda organisasi sehingga kinerja koordinasi antar stakeholders sangat lamban. Perombakan dan penguatan Badan Koordinasi dilakukan dengan tiga langkah: melakukan rekayasa pengorganisasian, memperkuat peran Sekretariat, dan penguatan modal sosial organisasi. Rekayasa pengorganisasian yang perlu dilakukan untuk pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB disajikan pada Gambar 7.1. Rekayasa pengorganisasian dilakukan untuk memperpendek jalur birokrasi sehingga lebih efektif bekerja di lapangan, dengan unsur utama terdiri dari Dewan Cagar Biosfer GSKBB dan Sekretariat. Dewan Cagar Biosfer GSKBB merupakan perwakilan dari unsur Pemerintah Provinsi, Pemerintah KabupatenKota, pihak swasta, akademisi, LSM, dan masyarakat. Dewan Cagar Biosfer GSKBB berperan memberikan arahan umum kepada Sekretaris Eksekutif dalam mengimplementasikan konsep Cagar Biosfer GSKBB sehingga bersinergi dengan kebijakan pembangunan wilayah. Untuk melaksanakan tugas keseharian Badan Koordinasi diperlukan Sekretariat yang kuat, yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Eksekutif dari kalangan profesional dengan kualifikasi: profesional dan independen, mempunyai komitmen dan tanggung jawab yang tinggi untuk pengembangan organisasi, mumpuni dalam melakukan koordinasi dan komunikasi, memahami konsep cagar biosfer, dan menguasai wilayah Cagar Biosfer GSKBB. Untuk melaksanakan program-program cagar biosfer perlu dibentuk bidang-bidang yang lebih berorientasi pada pencapaian fungsi cagar biosfer, terdiri atas: 1 Bidang Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan, 2 Bidang Pemberdayaan Masyarakat, dan 3 Pendidikan dan Penelitian. Uraian tugas masing-masing unsur dalam Badan Koordinasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6. Penguatan Sekretariat Badan Koordinasi juga dilakukan dengan memberikan kewenangan dan peran yang strategis sebagai lembaga kolaborasi, koordinasi, dan eksekusi yang didukung oleh anggaran rutin dari pemerintah daerah dan stakeholders lainnya. Sekretariat harus berperan dalam menfasilitasi penyusunan rencana kolaborasi implementasi konsep cagar biosfer yang terpadu dan terintegrasi dengan rencana pembangunan wilayah. Sekretariat harus berperan dalam meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar stakeholders untuk mensinergikan program dan kegiatan di Cagar Biosfer GSKBB. Sekretariat juga harus berperan dalam menfasilitasi evaluasi zonasi Cagar Biosfer GSKBB dengan memperhatikan kondisi kedalaman gambut, wilayah jelajah satwa kunci, dan sosial ekonomi budaya masyarakat. Sekretariat juga harus berperan dalam meningkatkan partisipasi stakeholders, baik berupa dana maupun dukungan dalam bentuk program atau kegiatan terkait dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan. Sekretariat perlu menfasilitasi dan mendorong kinerja bidang-bidang terkait sehingga berjalan sinergis. Sekretariat harus menjalin jejaring kerja dengan para pihak, termasuk dalam lingkup Jaringan Cagar Biosfer Dunia. Jaringan kerja dengan Lembaga Penggalangan Dana dan LSM perlu dilakukan untuk merumuskan program prioritas yang akan diusulkan kepada lembaga donor sehingga terintegrasi dengan rencana kolaborasi implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB. 123 Komite Nasional MAB Indonesia Sekretariat Eksekutif · Satgas Perencanaan Kolaboratif · Satgas Media dan Resolusi Konflik · Satgas Pengembangan Jejaring Kerja · Satgas Monitoring dan Evaluasi Bidang Pemberdayaan Masyarakat Bidang Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan Bidang Pendidikan dan Penelitian Dewan Cagar Biosfer GSKBB: Pemerintah Provinsi Riau, Pemerintah KabupatenKota, Pihak swasta, Akademisi, LSM, Tokoh Masyarakat Lembaga Penggalangan Dana Majelis Ilmiah: LIPI, Perguruan Tinggi Peran Pengarah Lembaga kolaborasi koordinasi, eksekusi, dan penggalangan dana Pelaksana program dan kegiatan Gambar 7.1 Usulan pengorganisasian pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB 123 124 Untuk menjalankan peran Sekretariat Eksekutif yang strategis tersebut, perlu dibentuk Satuan Tugas Satgas sebagai organ Sekretariat. Personel Satgas terdiri atas kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai komitmen tinggi, bertanggung jawab, dan profesional. Satgas dibentuk sesuai perkembangan situasi dan kebutuhan ad hoc, sedangkan yang dibutuhkan saat ini adalah: 1 Satgas perencanaan kolaboratif, 2 Satgas mediasi dan resolusi konflik, 3 Satgas pengembangan jejaring kerja, dan 4 Satgas monitoring dan evaluasi. Selain masalah struktural, rendahnya kinerja Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB juga disebabkan oleh lemahnya modal sosial mereka. Modal sosial adalah social capital kekuatan yang dimiliki oleh suatu komunitas karena adanya saling percaya mutual trust, jejaring networking, komunikasi, hirarki kepemimpinan, dan norma tertentu. Selama ini, rasa saling percaya belum tumbuh di antara anggota, bahkan masih banyak pihak yang menganggap bahwa Cagar Biosfer GSKBB hanya merupakan urusan SMF karena dinilai sebagai pihak yang paling banyak mengambil keuntungan dengan adanya deklarasi cagar biosfer. Oleh karena itu, penguatan Badan Koordinasi ini perlu juga dilakukan melalui penguatan modal sosial dengan menumbuhkan saling percaya, membangun jejaring, mengembangkan sistem komunikasi dan koordinasi antara pemimpin dengan anggota komunitas dan antar anggota komunitas Nurrochmat et al. 2016. Dengan modal sosial yang kuat, Badan Koordinasi ini diharapkan dapat menjembatani terbangunnya visi bersama dari implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB. 4. Membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH untuk meningkatkan intensitas pengelolaan di tingkat tapak Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 382007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah KabupatenKota dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 612010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP di Daerah, sebagian urusan pengelolaan hutan lindung HL dan hutan produksi HP diserahkan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban harus membentuk organisasi KPHLKPHP sebagai Organisasi Perangkat Daerah OPD. Sesuai UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, wewenang urusan kehutanan yang sebelumnya diberikan kepada Pemerintah Kabupaten selanjutnya dialihkan kepada Pemerintah Provinsi. Oleh karena itu, P emerintah Provinsi Riau perlu segera membentuk Kesatuan Pengelola Hutan KPH untuk perbaikan tata kelola hutan di tingkat tapak di Cagar Biosfer GSKBB. Menurut Kartodihardjo et al. 2011, pembentukan KPH merupakan prasyarat terselenggaranya pengelolaan hutan berkelanjutan Sustainable Forest Management dan berkeadilan. Tugas pokok dan fungsi KPH adalah pada penyelenggaraan pengelolaan hutan di tingkat tapak, sedangkan tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan adalah penyelenggaraan pengurusanadministrasi kehutanan Suwarno 2014. Peran KPH akan menggeser titik tumpu peran birokrat kehutanan dari forest administrator menjadi forest manager, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas tata kelola hutan Kartodihardjo dan Suwarno 2014. Pada periode tahun 2009-2020, Pemerintah mencanangkan akan membentuk sekitar 600 unit KPH di seluruh kawasan hutan negara. Sampai saat ini, 125 Pemerintah Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak belum membentuk KPH. Kawasan Hutan Produksi seluas 387.420 ha dan HPT seluas 8.873 ha yang berada di sekitar SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu perlu mendapat prioritas pembentukan KPH. Hal ini karena sebagian kawasan hutan tersebut ±45.000 ha tidak dibebani ijin sehingga tidak tersedia unit pengelola di lapangan, sementara kapasitas Dinas Kehutanan untuk mengelola wilayah ini sangat terbatas. Kondisi ini menyebabkan sumber daya hutan tersebut cenderung open acces sehingga terancam oleh penebangan liar dan perambahan kawasan. Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6Menhut-II2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH, ada empat tahap proses dalam pembentukan KPH, yaitu: usulan rancang bangun KPH oleh Dinas Kehutanan Provinsi, arahan pencadangan wilayah KPH oleh KLHK, usulan penetapan KPH dari Dinas Kehutanan Provinsi, dan Penetapan wilayah KPH oleh KLHK. Kawasan hutan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak tersebut dapat dijadikan 1 wilayah KPH karena merupakan satu kesatuan lansekap untuk mendukung pengelolaan lahan gambut dan implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB. 5. Memperjelas hak pengelolaan pada kawasan Hutan Produksi yang tidak dibebani ijin pemanfaatan hasil hutan melalui skema IUPHHK-Restorasi Ekosistem di area inti dan IUPHHK-Hutan Tanaman Rakyat di zona penyangga. Di dalam Cagar Biosfer GSKBB, terdapat kawasan Hutan Produksi yang tidak dibebani ijin pemanfaatan hasil hutan sehingga tidak ada unit manajemen yang mengelola di lapangan dan terancam oleh perambahan kawasan hutan. Kawasan yang dimaksud adalah areal eks HPH PT Dexter Timber Perkasa Indonesia seluas 31.475 ha di area inti cagar biosfer dan areal eks HPH PT Multi Eka Jaya di zona penyangga cagar biosfer. Sejak tahun 1999, kegiatan penebangan liar yang diikuti dengan perambahan kawasan terjadi di areal eks HPH PT Multi Eka Jaya sehingga kemudian sebagian wilayah ini berkembang menjadi permukiman permanen Desa Bukit Kerikil. Jika kondisi ini tidak dikendalikan, perambahan kawasan untuk perkebunan kelapa sawit ini dikhawatirkan akan terus meluas hingga memasuki areal eks HPH PT Dexter Timber Perkasa Indonesia. Agar tidak terjadi open acces pada kawasan Hutan Produksi yang tidak dibebani ijin pemanfaatan tersebut perlu diberikan hak pengelolaan yang jelas melalui skema IUPHHK-Restorasi Ekosistem di area inti dan IUPHHK-Hutan Tanaman Rakyat kepada badan hukum koperasi di zona penyangga. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan SK.159Menhut-II2004 yang merupakan produk kebijakan perdana terkait restorasi ekositem di hutan produksi, restorasi ekosistem perlu dilakukan karena degradasi sumber daya hutan yang terus meningkat sehingga perlu upaya pemulihan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi IUPHHK-RE adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, 126 perlindungan, dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati flora dan fauna serta unsur non hayati tanah, iklim, dan topografi pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Karena tujuannya justru memulihkan kondisi ekosistem hutan, maka Restorasi Ekosistem merupakan salah satu kegiatan atau usaha yang dikecualikan di dalam Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Skema IUPHHK-RE dapat diberikan pada areal eks HPH PT Dexter Timber Perkasa Indonesia karena merupakan kawasan kubah gambut yang penting secara hidrologi dan perlu diperbaiki kualitasnya. Sistem pemanenan yang dilakukan sebelumnya menggunakan teknik semi mekanis, jalur pengangkutan kayu menggunakan rel sehingga kerusakan yang ditinggalkannya terbatas. Namun, sebagian areal yang berbatasan dengan areal eks HPH PT. Multi Eka Jaya mulai terancam oleh kegiatan illegal logging karena tidak ada pengelola di lapangan. Beberapa jenis yang dapat dipilih untuk restorasi hutan rawa gambut di sini adalah jelutung Dyera lowii Hook f., meranti bakau Shorea spp., ramin Gonystilus bancanus Kurz., nyatoh Palaquium sp., punak Tetramerista glabra Miq., pulai Alstonia pneumatophora Back., dan bintangur Calophyllum soulatri Burman f., Fl. . Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial untuk menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan dengan memberikan akses secara legal kepada mereka. Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2015 - 2019, KLHK mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta ha untuk Perhutanan Sosial dalam bentuk: Hutan Desa HD, Hutan Kemasyarakatan HKm, Hutan Tanaman Rakyat HTR, dan Kemitraan Kehutanan, serta pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Sesuai Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008, dan ditegaskan kembali di dalam Peraturan Menteri LHK No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, bahwa Hutan Tanaman Rakyat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Sesuai Peraturan Menteri LHK No. 83 Tahun 2016, permohonan Ijin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada HTR IUPHHK-HTR dapat diajukan oleh perorangan yang merupakan petani hutan, kelompok tani hutan, gabungan kelompok tani hutan, atau koperasi tani hutan. Lokasi IUPHHK-HTR pada hutan produksi yang tidak produktif, dan diprioritaskan untuk penyelesaian konflik, kegiatan restorasi gambut danatau restorasi ekosistem. Dengan kriteria tersebut maka skema IUPHHK-HTR dapat diberikan pada areal eks HPH PT Multi Eka Jaya yang sudah rusak akibat perambahan kawasan. Jenis pilihan yang akan dikembangkan tentu saja harus bermanfaat bagi masyarakat tetapi juga tahan terhadap kondisi lahan gambut tanpa drainase, antara lain: jelutung Dyera lowii 127 Hook f., pulai Alstonia pneumatophora Back., dan bintangur Calophyllum soulatri Burman f., Fl. . Untuk areal gambut yang sudah rusak berat dan sulit untuk memulihkan kondisi hidrologinya, dapat memilih agroforestry karet. Badan hukum yang lebih tepat untuk mengelola areal ini adalah gabungan kelompok tani hutan atau koperasi tani hutan yang beranggotakan masyarakat yang telah mengusahakan lahan tersebut, khusus dari Desa Bukit Kerikil dan Desa Tasik Serai, Kabupaten Bengkalis. Pembangunan HTR di areal eks HPH PT Multi Eka Jaya diperkirakan akan menghadapi tantangan besar. Kondisi lahan gambut sudah terdrainase oleh kanal untuk illegal logging dan perambah lahan sehingga memerlukan upaya besar untuk mengembangkan HTR yang berkelanjutan. Kawasan tersebut mempunyai konflik lahan yang tinggi dengan masyarakat pendatang dan oknum tentara dan polisi yang telah menanam kelapa sawit. Di wilayah ini terdapat permukiman penduduk ±50 kepala keluarga di Dusun Suka Damai Desa Bukit Kerikil dan ±40 kepala keluarga di Dusun Sidodadi Desa Tasik Serai. Selain itu, minat masyarakat Riau pada umumnya untuk menanam pohon atau tanaman kehutanan rendah karena pasar kayu rakyat tidak menguntungkan, sehingga masyarakat lebih memilih komoditas lain diluar tanaman kehutanan Herawati et al. 2010, khususnya kelapa sawit dan karet.

7.6 Kebijakan Pendukung untuk Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Cagar

Biosfer GSKBB Selain lima kebijakan prioritas pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB yang diuraikan di atas, ada delapan kebijakan pendukung yang perlu dilakukan, empat di antaranya diuraikan di bawah ini. 1. Mengintegrasikan Cagar Biosfer GSKBB ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW dan perencanaan pembangunan wilayah Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wiayah Nasional, Cagar Biosfer merupakan asset nasional. Di dalam Pasal 9 disebutkan bahwa pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung yang ditetapkan sebagai cagar biosfer merupakan salah satu kebijakan pengembangan kawasan strategis nasional. Kawasan strategis merupakan kawasan yang akan menjadi prioritas oleh pemerintah Pemerintah Pusat dan Pemerinta Daerah sesuai kewenangan untuk dikembangkan dan didorong pembangunannya. Menurut Undang Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan strategis meliputi 3 tiga tingkatan, yaitu 1 Kawasan Strategis Nasional; 2 Kawasan Strategis Provinsi; dan 3 Kawasan Strategis KabupatenKota. Kawasan Strategis Provinsi adalah ”wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, danatau lingkungan”. Hal ini memberi peluang kepada Cagar Biosfer GSKBB sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Cagar Biosfer GSKBB telah memenuhi kriteria kawasan strategis sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 Pasal 80, yaitu: 128 a. merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati, b. merupakan aset nasional berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora danatau fauna yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang harus dilindungi danatau dilestarikan, c. memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian negara, d. memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro, e. menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan hidup, f. rawan bencana alam nasional, atau g. sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas terhadap kelangsungan kehidupan. Berdasarkan Materi Teknis Draft RTRW Provinsi Riau versi 11 Agustus 2014, ada 12 kawasan strategis yang akan dikembangkan di Provinsi Riau, meliputi 4 kawasan yang merupakan bagian dari kawasn strategis nasional, 5 kawasan strategis dari sudut pertumbuhan ekonomi, 2 kawasan strategis provinsi dari sudut sosial budaya, dan 1 kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, yaitu PLTA Kotopanjang. Mengingat peran cagar biosfer sebagai sarana untuk melaksanakan Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Agenda 21, maka Cagar Biosfer GSKBB perlu dijadikan sebagai salah satu Kawasan Strategis Provinsi Riau dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Pengintegrasian Cagar Biosfer GSKBB ke dalam RTRW Provinsi Riau akan memperkuat fungsinya sebagai situs praktik pembangunan berkelanjutan. 2. Mengembangkan Cagar Biosfer GSKBB sebagai wahana pendidikan lingkungan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan berbasis ekosistem hutan rawa gambut dan rawa banjiran Cagar Biosfer GSKBB mempunyai arti penting bagi konservasi ekosistem hutan rawa gambut dan rawa banjiran. Kawasan ini mempunyai keunikan berupa ekosistem hutan rawa gambut, dan danau tasik di sekitar Sungai Siak Kecil dan Sungai Bukit Batu, serta masyarakat di sekitarnya yang masih bergantung pada sumber daya di dalamnya. Ekosistem tersebut sebagian sudah berubah penggunaan untuk hutan tanaman dan kebun. Kondisi ini menjadikan kawasan ini sebagai wahana pendidikan lingkungan yang tepat bagi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum untuk mengenal lebih jauh tentang dampak dari perubahan ekosistem terhadap keanekaragaman hayati. Cagar Biosfer GSKBB juga sebagai tempat yang ideal bagi lokasi penelitian untuk melihat dinamika yang terjadi di ekosistem hutan rawa gambut dan rawa banjiran. Untuk menggali potensi sumber daya dan memantau perubahan-perubahan yang terjadi, maka perlu dilakukan inventarisasi secara berkala. Kajian mengenai keanekaragaman hayati, struktur dan komposisi, jasa ekosistem, dan pengetahuan masyarakat lokal terhadap pemanfaatan pemanfaatan sumber daya juga perlu digali untuk mendukung pemanfaatan yang berkelanjutan. Selain itu, penelitian- penelitian terapan yang mendukung implementasi konsep cagar biosfer juga perlu dikembangkan. 129 3. Pemberian hak kepada masyarakat lokal untuk memanfaatkan sumber daya rawa banjiran secara berkelanjutan, berbasis wisata alam terbatas dan pemanfaatan ikan. Masyarakat Melayu Siak sudah secara turun temurun memanfaatkan sumber daya perairan di Sungai Siak Kecil dan S ungai Bukit Batu serta tasik yang ada di sekitarnya. Keberadaan dan kegiatan mereka secara formal dilarang karena berada di dalam kawasan suaka margasatwa. Meskipun demikian, BBKSDA Riau menghormati dan memberi akses kepada masyarakat nelayan ini karena bentuk pemanfaatan ikan yang dilakukannya tergolong berkelanjutan mengikuti kelembagaan aturan lokal yang mereka kembangkan. Untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah ini perlu kepastian hak pemanfaatan withdrawal bagi masyarakat, dan hak akses access untuk wisata alam terbatas di perairan tersebut yang dikelola oleh masyarakat lokal. Kesepakatan Konservasi antara masyarakat nelayan dengan BBKSDA Riau dapat dibuat sebagai terobosan sebelum dilakukan penataan kawasan suaka margasatwa dan revisi Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 yang memungkinkan alokasi Blok Pemanfaatan Tradisional di kawasan suaka margasatwa. 4. Pemulihan ekosistem di kawasan yang rusak akibat perambahan dan kebakaran. Pemulihan ekosistem bertujuan untuk mengembalikan sepenuhnya integritas ekosistem sehingga kembali ke tingkatkondisi aslinya, dan kepada kondisi masa depan tertentu sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan. Beradasarkan UU No. 5 tahun 1990, areal yang mengalami kerusakan secara alami dan atau oleh karena pemanfaatannya serta oleh sebab-sebab lainnya harus diikuti dengan upaya rehabilitasi secara berencana dan berkesinambungan untuk mengembalikan ke kondisi ekosistem alamiahnya. Menurut PP No. 28 tahun 2011, Pasal 29 bahwa pemulihan ekosistem dilakukan untuk memulihkan struktur, fungsi, dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Pemulihan ekosistem dapat dilakukan melalui mekanisme alam suksesi alami, rehabilitasi, dan restorasi, serta cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menentukan carateknik pemulihan ekosistem perlu disesuaikan dengan tingkat kerusakan ekosistem bersangkutan. Pada kawasan konservasi, pemulihan ekosistem merupakan bentuk pengawetan sebagai salah satu dari kegiatan penyelenggaraan KSA dan KPA. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48Menhut-II2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem Pada Kawasan Suaka Alam KSA dan Kawasan Pelestarian Alam KPA, pemulihan ekosistem dengan cara rehabilitasi dapat dilakukan melalui kegiatan: a perlindungan dan pengamanan; b penanaman; c pengkayaan jenis; dan d pembinaan populasi. Penanaman dilakukan pada ruang terbuka dan tidak bervegetasi dalam rangka mengembalikan penutupan lahan sehingga mendekati kondisi aslinya melalui penanaman jenis tumbuhan asli setempat atau pernah tumbuh secara alami. Berbeda halnya, pengkayaan jenis dilakukan pada seluruh areal di luar ruang terbuka, guna mengembalikan struktur vegetasi mendekati aslinya. Sementara itu, pembinaan populasi dapat dilakukan untuk meningkatkan jumlah populasi hidupan liar, melalui: a introduksi berbagai jenis tumbuhan asli atau pernah tumbuh secara alami untuk memperbaiki tempat hidup, tempat pakan, tempat bersarang, dan