Kebijakan Prioritas untuk Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Cagar
120 Tabel 7.7 Matriks QSPM untuk penentuan kebijakan prioritas dalam rangka
perbaikan pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB
Faktor-faktor Utama Bobot
a
Kebijakan
b
1 2
3 4
5 TAS
TAS TAS
TAS TAS
Faktor Internal
Luas area inti cagar biosfer 0.082
0.164 0.328
0.410 0.082 0.246
Keragaman ekosistem 0.071
0.142 0.213
0.284 0.071 0.355
Objek dan Daya Tarik Wisata 0.055
0.109 0.164
0.273 0.219 0.055
Lembaga yang mengkoordinasikan dan mengintegrasikan program dan kegiatan
0.093 0.464
0.372 0.279 0.186
0.093 Ketersediaan SDM
0.087 0.262
0.175 0.437 0.350
0.087 Ketersediaan dana
0.137 0.546
0.683 0.410 0.273
0.137 Ketersediaan sarana dan prasarana
0.066 0.131
0.262 0.328 0.197
0.066 Partisipasi stakeholders
0.093 0.464
0.279 0.372 0.186
0.093 Dukungan stakeholders kunci
0.082 0.410
0.328 0.246 0.164
0.082 Ketersediaan aturan pengelolaan
0.098 0.000
0.000 0.000 0.000
0.000 Rejim penguasaan sumber daya alam
0.060 0.000
0.000 0.000 0.000
0.000 Kelembagaan lokal yang berkelanjutan
0.077 0.000
0.000 0.000 0.000
0.000
Faktor Eksternal
Akses sumber dana internasional 0.137
0.548 0.685
0.411 0.274 0.137
Dukungan Program MAB UNESCO dan Komite Nasional MAB Indonesia
0.151 0.603
0.753 0.452 0.301
0.151 Program pengembangan pariwisata di
Sumatera oleh Pemerintah 0.110
0.329 0.548
0.438 0.219 0.110
Rencana pembangunan KPH oleh KLHK
0.123 0.370
0.123 0.493 0.616
0.247 Skema IUPHHK-Restorasi Ekosistem di
lahan gambut 0.123
0.247 0.370
0.123 0.493 0.616
Kebijakan Perhutanan Sosial 0.096
0.192 0.096
0.288 0.384 0.479
Pengembangan ekonomi regional berbasis kelapa sawit
0.123 0.000
0.000 0.000 0.000
0.000 Pembangunan jalan di sekitar area inti
Cagar Biosfer GSKBB 0.137
0.274 0.137
0.685 0.548 0.411
Jumlah 5.256
5.516 5.929 4.562
3.364
a
Bobot menunjukkan pengaruhsignifikansi relatif masing-masing faktor internal dan eksternal bagi keberhasilan pencapaian fungsi cagar biosfer
yang dicopy dari Tabel 7.3 dan Tabel 7.5
b
Lima pilihan kebijakan prioritas: 1. Perombakan dan penguatan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB untuk
meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar stakeholders. 2. Melakukan pengalangan dana untuk mendukung program konservasi keanekaragaman
hayati dan pembangunan berkelanjutan. 3. Memperkuat kapasitas BBKSDA Riau untuk meningkatkan intensitas pengelolaan area inti
cagar biosfer. 4. Membentuk KPH untuk meningkatkan intensitas pengelolaan di tingkat tapak.
5. Memperjelas hak pengelolaan pada kawasan Hutan Produksi yang tidak dibebani ijin pemanfaatan hasil hutan melalui skema IUPHHK-Restorasi Ekosistem di area inti dan
IUPHHK-Hutan Tanaman Rakyat di zona penyangga.
121 2. Melakukan penggalangan dana untuk mendukung program konservasi
keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan. Cagar Biosfer GSKBB mempunyai peran sebagai sarana untuk
melaksanakan Konvensi Keanekaragaman Hayati dan situs pembelajaran untuk pembangunan berkelanjutan guna menjawab tantangan dari Agenda 21. Untuk hal
ini diperlukan pendanaan yang berkelanjutan. Karena keterbatasan anggaran dari pemerintah dan pemerintah daerah, maka perlu dilakukan penggalangan dana
fund rising, khususnya dari para penerima manfaat langsung sumber daya Cagar Biosfer GSKBB dan hibah internasional. Dengan statusnya sebagai cagar biosfer
yang diakui UNESCO dan adanya dukungan dari Komite Nasional MAB Indonesia, diharapkan dapat menarik perhatian besar dari lembaga donor.
Mekanisme penggalangan dana internasional dan peruntukkannya untuk mendukung implementasi konsep cagar biosfer mengacu pada Peratuan
Pemerintah No. 10 tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah dan Peraturan Presiden No. 80 Tahun 2011 tentang
Dana Perwalian.
Untuk melakukan kegiatan penggalangan dana, anggota dan pengurus Badan Koordinasi perlu membentuk lembaga berbadan hukum, antara lain berupa
yayasan atau perkumpulan sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Sebaiknya, perhatian lembaga ini fokus pada
implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB dan untuk ini dapat bermitra dengan lembaga yang sudah ada, misalnya: Yayasan Belantara yang telah dibentuk oleh
Asian Pulp and Paper APP atau Perkumpulan MAB Indonesia yang berkantor di Bogor. Lembaga ini dapat mengajukan proposal program dan kegiatan yang
mendukung konservasi dan pembangunan berkelanjutan di Cagar Biosfer GSKBB kepada lembaga donor internasional. Lembaga ini dapat menerima dana dari
program Corporate Social Responsibility CSR dari perusahaan kehutanan, perkebunan, dan pertambangan yang memanfaatkan sumber daya di Cagar Biosfer
GSKBB. Bersama-sama Badan Koordinasi, lembaga ini juga dapat menginisiasi kesepakatan diantara penerima manfaat sumber daya tersebut dan stakeholders
Cagar Biosfer GSKBB lainnya mengenai besaran sumbangan atau kontribusi pendanaan dari masing-masing pihak bagi pelaksanaan program dan kegiatan di
Cagar Biosfer GSKBB.
3. Perombakan dan penguatan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar stakeholders.
Implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB yang inklusif dengan wilayah yang luas memerlukan aksi bersama collective actions karena sumber daya di
dalamnya mempunyai sifat excludability rendah dan subtractability tinggi sehingga rentan terhadap kerusakan jika tingkat pengelolaan dan pengawasan
masih rendah, sebagaimana diuraikan pada Bab 3 dan Bab 4. Selain itu, keberhasilan pengelolaan area inti Cagar Biosfer GSKBB sangat dipengaruhi oleh
keberhasilan pengelolaan daerah penyangga dan area transisi. Oleh karena itu, koordinasi perlu terus dilakukan guna meningkatkan hubungan kerja yang baik
antara stakeholders di area inti dengan pemerintah daerah dan mitra terkait lainnya. Peningkatan koordinasi diharapkan mampu membangun aksi bersama
dan gotong royong dalam rangka mendukung konservasi keanekaragaman hayati
122 dan pembangunan berkelanjutan. Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer
GSKBB sudah dibentuk dari beragam stakeholders, namun sebagian besar pengurus merupakan lembaga pemerintahan dengan jalur birokrasi yang panjang
dan peran Sekretariat yang lemah dalam menggerakkan roda organisasi sehingga kinerja koordinasi antar stakeholders sangat lamban.
Perombakan dan penguatan Badan Koordinasi dilakukan dengan tiga langkah: melakukan rekayasa pengorganisasian, memperkuat peran Sekretariat,
dan penguatan modal sosial organisasi. Rekayasa pengorganisasian yang perlu dilakukan untuk pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB disajikan pada Gambar 7.1.
Rekayasa pengorganisasian dilakukan untuk memperpendek jalur birokrasi sehingga lebih efektif bekerja di lapangan, dengan unsur utama terdiri dari Dewan
Cagar Biosfer GSKBB dan Sekretariat. Dewan Cagar Biosfer GSKBB merupakan perwakilan dari unsur Pemerintah Provinsi, Pemerintah KabupatenKota, pihak
swasta, akademisi, LSM, dan masyarakat. Dewan Cagar Biosfer GSKBB berperan memberikan
arahan umum
kepada Sekretaris
Eksekutif dalam
mengimplementasikan konsep Cagar Biosfer GSKBB sehingga bersinergi dengan kebijakan pembangunan wilayah. Untuk melaksanakan tugas keseharian Badan
Koordinasi diperlukan Sekretariat yang kuat, yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Eksekutif dari kalangan profesional dengan kualifikasi: profesional dan
independen, mempunyai komitmen dan tanggung jawab yang tinggi untuk pengembangan organisasi, mumpuni dalam melakukan koordinasi dan
komunikasi, memahami konsep cagar biosfer, dan menguasai wilayah Cagar Biosfer GSKBB. Untuk melaksanakan program-program cagar biosfer perlu
dibentuk bidang-bidang yang lebih berorientasi pada pencapaian fungsi cagar biosfer, terdiri atas: 1 Bidang Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya
Berkelanjutan, 2 Bidang Pemberdayaan Masyarakat, dan 3 Pendidikan dan Penelitian. Uraian tugas masing-masing unsur dalam Badan Koordinasi tersebut
dapat dilihat pada Lampiran 6.
Penguatan Sekretariat Badan Koordinasi juga dilakukan dengan memberikan kewenangan dan peran yang strategis sebagai lembaga kolaborasi,
koordinasi, dan eksekusi yang didukung oleh anggaran rutin dari pemerintah daerah dan stakeholders lainnya. Sekretariat harus berperan dalam menfasilitasi
penyusunan rencana kolaborasi implementasi konsep cagar biosfer yang terpadu dan terintegrasi dengan rencana pembangunan wilayah. Sekretariat harus berperan
dalam meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar stakeholders untuk mensinergikan program dan kegiatan di Cagar Biosfer GSKBB. Sekretariat juga
harus berperan dalam menfasilitasi evaluasi zonasi Cagar Biosfer GSKBB dengan memperhatikan kondisi kedalaman gambut, wilayah jelajah satwa kunci, dan
sosial ekonomi budaya masyarakat. Sekretariat juga harus berperan dalam meningkatkan partisipasi stakeholders, baik berupa dana maupun dukungan dalam
bentuk program atau kegiatan terkait dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan. Sekretariat perlu menfasilitasi dan mendorong
kinerja bidang-bidang terkait sehingga berjalan sinergis. Sekretariat harus menjalin jejaring kerja dengan para pihak, termasuk dalam lingkup Jaringan Cagar
Biosfer Dunia. Jaringan kerja dengan Lembaga Penggalangan Dana dan LSM perlu dilakukan untuk merumuskan program prioritas yang akan diusulkan kepada
lembaga donor sehingga terintegrasi dengan rencana kolaborasi implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB.
123
Komite Nasional MAB Indonesia
Sekretariat Eksekutif
· Satgas Perencanaan Kolaboratif · Satgas Media dan Resolusi Konflik
· Satgas Pengembangan Jejaring Kerja · Satgas Monitoring dan Evaluasi
Bidang Pemberdayaan Masyarakat
Bidang Konservasi dan Pengelolaan
Sumber Daya Berkelanjutan Bidang
Pendidikan dan Penelitian
Dewan Cagar Biosfer GSKBB:
Pemerintah Provinsi Riau, Pemerintah KabupatenKota, Pihak swasta,
Akademisi, LSM, Tokoh Masyarakat
Lembaga Penggalangan Dana Majelis Ilmiah:
LIPI, Perguruan Tinggi
Peran
Pengarah
Lembaga kolaborasi koordinasi, eksekusi, dan
penggalangan dana
Pelaksana program dan kegiatan
Gambar 7.1 Usulan pengorganisasian pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB
123
124 Untuk menjalankan peran Sekretariat Eksekutif yang strategis tersebut,
perlu dibentuk Satuan Tugas Satgas sebagai organ Sekretariat. Personel Satgas terdiri atas kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai komitmen
tinggi, bertanggung jawab, dan profesional. Satgas dibentuk sesuai perkembangan situasi dan kebutuhan ad hoc, sedangkan yang dibutuhkan saat ini adalah: 1
Satgas perencanaan kolaboratif, 2 Satgas mediasi dan resolusi konflik, 3 Satgas pengembangan jejaring kerja, dan 4 Satgas monitoring dan evaluasi.
Selain masalah struktural, rendahnya kinerja Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB juga disebabkan oleh lemahnya modal sosial mereka.
Modal sosial adalah social capital kekuatan yang dimiliki oleh suatu komunitas karena adanya saling percaya mutual trust, jejaring networking, komunikasi,
hirarki kepemimpinan, dan norma tertentu. Selama ini, rasa saling percaya belum tumbuh di antara anggota, bahkan masih banyak pihak yang menganggap bahwa
Cagar Biosfer GSKBB hanya merupakan urusan SMF karena dinilai sebagai pihak yang paling banyak mengambil keuntungan dengan adanya deklarasi cagar
biosfer. Oleh karena itu, penguatan Badan Koordinasi ini perlu juga dilakukan melalui penguatan modal sosial dengan menumbuhkan saling percaya,
membangun jejaring, mengembangkan sistem komunikasi dan koordinasi antara pemimpin dengan anggota komunitas dan antar anggota komunitas Nurrochmat
et al. 2016. Dengan modal sosial yang kuat, Badan Koordinasi ini diharapkan dapat menjembatani terbangunnya visi bersama dari implementasi konsep Cagar
Biosfer GSKBB.
4. Membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH untuk meningkatkan intensitas pengelolaan di tingkat tapak
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 382007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah KabupatenKota dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 612010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP di Daerah,
sebagian urusan pengelolaan hutan lindung HL dan hutan produksi HP diserahkan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban harus membentuk
organisasi KPHLKPHP sebagai Organisasi Perangkat Daerah OPD. Sesuai UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, wewenang urusan kehutanan yang
sebelumnya diberikan kepada Pemerintah Kabupaten selanjutnya dialihkan kepada Pemerintah Provinsi. Oleh karena itu,
P emerintah Provinsi Riau perlu
segera membentuk Kesatuan Pengelola Hutan KPH untuk perbaikan tata kelola hutan
di tingkat tapak di Cagar Biosfer GSKBB. Menurut Kartodihardjo et al.
2011, pembentukan KPH merupakan prasyarat terselenggaranya pengelolaan hutan berkelanjutan Sustainable Forest Management dan berkeadilan. Tugas
pokok dan fungsi KPH adalah pada penyelenggaraan pengelolaan hutan di tingkat tapak, sedangkan tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan adalah
penyelenggaraan pengurusanadministrasi kehutanan Suwarno 2014.
Peran KPH akan menggeser titik tumpu peran birokrat kehutanan dari forest administrator
menjadi forest manager, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas tata kelola hutan Kartodihardjo dan Suwarno 2014.
Pada periode tahun 2009-2020, Pemerintah mencanangkan akan membentuk sekitar 600 unit KPH di seluruh kawasan hutan negara. Sampai saat ini,
125 Pemerintah Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak belum membentuk KPH.
Kawasan Hutan Produksi seluas 387.420 ha dan HPT seluas 8.873 ha yang berada di sekitar SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu perlu mendapat prioritas
pembentukan KPH. Hal ini karena sebagian kawasan hutan tersebut ±45.000 ha tidak dibebani ijin sehingga tidak tersedia unit pengelola di lapangan, sementara
kapasitas Dinas Kehutanan untuk mengelola wilayah ini sangat terbatas. Kondisi ini menyebabkan sumber daya hutan tersebut cenderung open acces sehingga
terancam oleh penebangan liar dan perambahan kawasan. Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6Menhut-II2009 tentang Pembentukan
Wilayah KPH, ada empat tahap proses dalam pembentukan KPH, yaitu: usulan rancang bangun KPH oleh Dinas Kehutanan Provinsi, arahan pencadangan
wilayah KPH oleh KLHK, usulan penetapan KPH dari Dinas Kehutanan Provinsi, dan Penetapan wilayah KPH oleh KLHK. Kawasan hutan yang termasuk dalam
wilayah Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak tersebut dapat dijadikan 1 wilayah KPH karena merupakan satu kesatuan lansekap untuk mendukung
pengelolaan lahan gambut dan implementasi konsep Cagar Biosfer GSKBB.
5. Memperjelas hak pengelolaan pada kawasan Hutan Produksi yang tidak dibebani ijin pemanfaatan hasil hutan melalui skema IUPHHK-Restorasi
Ekosistem di area inti dan IUPHHK-Hutan Tanaman Rakyat di zona penyangga.
Di dalam Cagar Biosfer GSKBB, terdapat kawasan Hutan Produksi yang tidak dibebani ijin pemanfaatan hasil hutan sehingga tidak ada unit manajemen
yang mengelola di lapangan dan terancam oleh perambahan kawasan hutan. Kawasan yang dimaksud adalah areal eks HPH PT Dexter Timber Perkasa
Indonesia seluas 31.475 ha di area inti cagar biosfer dan areal eks HPH PT Multi Eka Jaya di zona penyangga cagar biosfer. Sejak tahun 1999, kegiatan
penebangan liar yang diikuti dengan perambahan kawasan terjadi di areal eks HPH PT Multi Eka Jaya sehingga kemudian sebagian wilayah ini berkembang
menjadi permukiman permanen Desa Bukit Kerikil. Jika kondisi ini tidak dikendalikan, perambahan kawasan untuk perkebunan kelapa sawit ini
dikhawatirkan akan terus meluas hingga memasuki areal eks HPH PT Dexter Timber Perkasa Indonesia. Agar tidak terjadi open acces pada kawasan Hutan
Produksi yang tidak dibebani ijin pemanfaatan tersebut perlu diberikan hak pengelolaan yang jelas melalui skema IUPHHK-Restorasi Ekosistem di area inti
dan IUPHHK-Hutan Tanaman Rakyat kepada badan hukum koperasi di zona penyangga.
Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan SK.159Menhut-II2004 yang merupakan produk kebijakan perdana terkait restorasi ekositem di hutan produksi,
restorasi ekosistem perlu dilakukan karena degradasi sumber daya hutan yang terus meningkat sehingga perlu upaya pemulihan. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi
IUPHHK-RE adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga
dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan,
126 perlindungan, dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan,
penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati flora dan fauna serta unsur non hayati tanah,
iklim, dan topografi pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Karena tujuannya justru memulihkan
kondisi ekosistem hutan, maka Restorasi Ekosistem merupakan salah satu kegiatan atau usaha yang dikecualikan di dalam Instruksi Presiden No. 8 Tahun
2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Skema IUPHHK-RE dapat diberikan pada areal eks HPH PT Dexter Timber Perkasa Indonesia karena merupakan kawasan kubah gambut yang penting secara
hidrologi dan perlu diperbaiki kualitasnya. Sistem pemanenan yang dilakukan sebelumnya menggunakan teknik semi mekanis, jalur pengangkutan kayu
menggunakan rel sehingga kerusakan yang ditinggalkannya terbatas. Namun, sebagian areal yang berbatasan dengan areal eks HPH PT. Multi Eka Jaya mulai
terancam oleh kegiatan illegal logging karena tidak ada pengelola di lapangan. Beberapa jenis yang dapat dipilih untuk restorasi hutan rawa gambut di sini adalah
jelutung Dyera lowii Hook f., meranti bakau Shorea spp., ramin Gonystilus bancanus Kurz., nyatoh Palaquium sp., punak Tetramerista glabra Miq.,
pulai Alstonia pneumatophora Back., dan bintangur Calophyllum soulatri
Burman f., Fl. .
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial untuk
menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan dengan memberikan akses secara
legal kepada mereka. Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2015 - 2019, KLHK mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta ha
untuk Perhutanan Sosial dalam bentuk: Hutan Desa HD, Hutan Kemasyarakatan HKm, Hutan Tanaman Rakyat HTR, dan Kemitraan Kehutanan, serta
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
Sesuai Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008, dan ditegaskan kembali di dalam
Peraturan Menteri LHK No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, bahwa Hutan Tanaman Rakyat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang
dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin
kelestarian sumber daya hutan.
Sesuai Peraturan Menteri LHK No. 83 Tahun 2016, permohonan Ijin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada HTR IUPHHK-HTR dapat diajukan oleh
perorangan yang merupakan petani hutan, kelompok tani hutan, gabungan kelompok tani hutan, atau koperasi tani hutan. Lokasi IUPHHK-HTR pada hutan
produksi yang tidak produktif, dan diprioritaskan untuk penyelesaian konflik, kegiatan restorasi gambut danatau restorasi ekosistem. Dengan kriteria tersebut
maka skema IUPHHK-HTR dapat diberikan pada areal eks HPH PT Multi Eka Jaya yang sudah rusak akibat perambahan kawasan. Jenis pilihan yang akan
dikembangkan tentu saja harus bermanfaat bagi masyarakat tetapi juga tahan terhadap kondisi lahan gambut tanpa drainase, antara lain: jelutung Dyera lowii
127 Hook f., pulai Alstonia pneumatophora Back., dan bintangur Calophyllum
soulatri Burman f., Fl.
. Untuk areal gambut yang sudah rusak berat dan sulit untuk memulihkan kondisi hidrologinya, dapat memilih agroforestry karet. Badan
hukum yang lebih tepat untuk mengelola areal ini adalah gabungan kelompok tani hutan atau koperasi tani hutan yang beranggotakan masyarakat yang telah
mengusahakan lahan tersebut, khusus dari Desa Bukit Kerikil dan Desa Tasik Serai, Kabupaten Bengkalis.
Pembangunan HTR di areal eks HPH PT Multi Eka Jaya diperkirakan akan menghadapi tantangan besar. Kondisi lahan gambut sudah terdrainase oleh kanal
untuk illegal logging dan perambah lahan sehingga memerlukan upaya besar untuk mengembangkan HTR yang berkelanjutan. Kawasan tersebut mempunyai
konflik lahan yang tinggi dengan masyarakat pendatang dan oknum tentara dan polisi yang telah menanam kelapa sawit. Di wilayah ini terdapat permukiman
penduduk ±50 kepala keluarga di Dusun Suka Damai Desa Bukit Kerikil dan ±40 kepala keluarga di Dusun Sidodadi Desa Tasik Serai. Selain itu, minat masyarakat
Riau pada umumnya untuk menanam pohon atau tanaman kehutanan rendah karena pasar kayu rakyat tidak menguntungkan, sehingga masyarakat lebih
memilih komoditas lain diluar tanaman kehutanan Herawati et al. 2010, khususnya kelapa sawit dan karet.