Jenis tanah dan kedalaman gambut di Cagar Biosfer GSKBB 33 Jumlah nelayan di wilayah perairan Cagar Biosfer GSKBB 65

4.5 Sebaran dan jumlah pondok nelayan di Sungai Bukit Batu dan kompleks tasik di sekitarnya 68 4.6 Jumlah alat hambat di beberapa tasik di sekitar Sungai Siak Kecil 69 4.7 Hasil tangkapan ikan berdasarkan jenis alat tangkap dan ketinggian muka air di Sungai Siak Kecil 69 4.8 Karakteristik kelembagaan lokal dalam pemanfaatan sumber daya perairan di Cagar Biosfer GSKBB 73 5.1 Elemen kepentingan dan pengaruh stakeholders 81 5.2 Ukuran kuantitatif tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholders 82 5.3 Matriks interaksi dan tingkat kerja sama antar stakeholder Cagar Biosfer GSKBB 90 6.1 Bentuk partisipasi stakeholders di Cagar Biosfer GSKBB 97 6.2 Partisipasi stakeholders dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan sesuai zonasi Cagar Biosfer GSKBB 99 7.1 Faktor internal pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB 111 7.2 Kondisi aktual faktor internal pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB 112 7.3 Matriks Faktor Internal pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB 114 7.4 Faktor eksternal pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB 115 7.5 Matriks Faktor Eksternal pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB 116 7.6 Pilihan kebijakan untuk perbaikan pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB 117 7.7 Matriks QSPM untuk penentuan kebijakan prioritas dalam rangka perbaikan pengelolaan sumber daya Cagar Biosfer GSKBB 120 DAFTAR GAMBAR 1.1 Kerangka pemikiran perumusan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Cagar Biosfer GSKBB 10 2.1 Peta zonasi kawasan Cagar Biosfer GSKBB 16 2.2 Struktur organisasi Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB 24 3.1 Peta kedalaman gambut Cagar Biosfer GSKBB 34 3.2 Peta sebaran hot spots di Cagar Biosfer GSKBB periode 2009 - 2016 35 3.3 Peta tutupan lahan Cagar Biosfer GSKBB tahun 2009 38 3.4 Peta tutupan lahan Cagar Biosfer GSKBB tahun 2014 39 3.5 Diagram luas tutupan lahan pada area inti Cagar Biosfer GSKBB periode 1990-2014 40 xvii 3.6 Kebun karet tua dan permukiman tua di SM Giam Siak Kecil, area inti Cagar Biosfer GSKBB: a di Desa Tasik Betung, b di Desa Tasik Tebing Serai, c di Dusun Bagan Benio, d Permukiman tua di Dusun Bagan Benio 41 3.7 Diagram luas tutupan lahan pada zona penyangga Cagar Biosfer GSKBB periode 1990 – 2014 42 3.8 Kebun masyarakat di zona penyangga Cagar Biosfer GSKBB: a kebun kelapa sawit di Desa Beringin, Kab. Bengkalis, b kebun karet di Desa Tasik Betung, Kab. Siak 43 3.9 Diagram luas tutupan lahan pada area transisi Cagar Biosfer GSKBB periode 1990 – 2014 44 3.10 Lahan persawahan di area transisi Cagar Biosfer GSKBB yang terancam konversi untuk kebun kelapa sawit: a di Siak Kecil, Kab. Bengkalis, b di Bunga Raya, Kab. Siak 45 3.11 Peta perijinan kehutanan dan perkebunan di Cagar Biosfer GSKBB 47 3.12 Jalur penebangan liar dan perambahan kawasan di areal eks HPH PT Multi Eka Jaya di zona penyangga Cagar Biosfer GSKBB: a Kanal Go Tek untuk transportasi kayu hasil tebangan liar, b kebun kelapa sawit yang terbakar 53 3.13 Konflik pemanfaatan lahan di Dusun Empahan, Desa Tasik Betung, Kab. Siak di zona penyangga Cagar Biosfer GSKBB: a Kebun kelapa sawit dan b kuburan tua, di Dusun Empahan, Desa Tasik Betung, Kab. Siak di zona penyangga Cagar Biosfer GSKBB 55 3.14 Pembasmian tanaman perkebunan masyarakat di areal konflik: a Satgas Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan melakukan persiapan di camp PT Arara Abadi Distrik Melibur Duri 1, b lahan konsesi PT Arara Abadi yang berbatasan dengan SM Giam Siak Kecil di Desa Tasik Betung dibakar oleh perambah 56 4.1 Peta wilayah perairan Cagar Biosfer GSKBB 62 4.2 Pondok nelayan; a di Tasik Kemenyan di saat surut, b di Kuala Tasik Ketialau 66 4.3 Alat tangkap jebak yang digunakan oleh nelayan; a Lukah untuk menutup muara tasik yang berkuran kecil, b Nelayan sedang mengangkat hambat di Kuala Tasik Serai 69 5.1 Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders 82 5.2 Klasifikasi stakeholders Cagar Biosfer GSKBB 84 6.1 Fasilitas di Cagar Biosfer GSKBB yang dibangun oleh SMF: a Pos jaga di pinggir sebelum memasuki SM Bukit Batu, b Stasiun Riset di dalam kawasan lindung PT Sekato Pratama Makmur 102 7.1 Usulan pengorganisasian pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB 123 DAFTAR LAMPIRAN 1 Daftar informan penelitian disertasi 148 2 Daftar penelitian dan publikasi ilmiah di Cagar Biosfer GSKBB 151 3 Sebaran desa dan penduduk di dalam Cagar Biosfer GSKBB tahun 2014 154 4 Kriteria dalam penentuan peringkat faktor internal 160 5 Kriteria dalam penentuan peringkat faktor eksternal 162 6 Usulan uraian tugas masing-masing unsur dalam Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB 164 DAFTAR SINGKATAN APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APP : Asian Pulp and Paper BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BBKSDA : Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam CBD : Convention on Biological Diversity CPRs : Common Pool Resources GSKBB : Giam Siak Kecil - Bukit Batu HP : Hutan Produksi HPK : Hutan Produksi dapat dikonversi HTI : Hutan Tanaman Industri INPRES : Instruksi Peresiden IUCN : The International Union for Conservation of Nature IUPHHK : Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu KLHK : Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup KPA : Kawasan Pelestarian Alam KPH : Kesatuan Pengelolaan Hutan KSA : Kawasan Suaka Alam LEI : Lembaga Ekolebel Indonesia LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MAB : Man and the Biosphere MDK : Model Desa Konservasi MEAs : Multilateral Environmental Agreements PHTL : Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari PLG : Pusat Latihan Gajah PT : Perusahaan Terbatas RTRWP : Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi SDGs : Sustainable Development Goals SM : Suaka Margasatwa SMF : Sinarmas Forestry STR : Serikat Tani Riau UNESCO : The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization xix DAFTAR ISTILAH 1. Cagar biosfer adalah ekosistem daratan dan pesisirlaut atau kombinasi dari padanya, yang secara internasional diakui berada di dalam kerangka Man and the Biosphere MAB Programme dari UNESCO. 2. Area inti cagar biosfer merupakan kawasan yang dilindungi bagi konservasi keanekaragaman hayati, pemantauan ekosistem yang mengalami gangguan, dan penelitian yang tidak merusak, serta kegiatan lain yang berdampak rendah, misalnya pendidikan. 3. Zona penyangga biasanya mengelilingi atau berdampingan dengan area inti dan dimanfaatkan bagi kegiatan-kegiatan kerja sama yang tidak bertentangan secara ekologis, termasuk pendidikan lingkungan, rekreasi, ekoturisme, dan penelitian. 4. Area transisi atau area peralihan adalah kawasan yang penting untuk pencapaian pembangunan berkelanjutan, yang mungkin berisi kegiatan pertanian, permukiman dan pemanfaatan lain dan dimana masyarakat lokal, lembaga manajemen, ilmuwan, lembaga swadaya masyarakat, dan pemangku lainnya bekerja sama untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya secara berkelanjutan. 5. Sumber daya adalah sesuatu alat dan bahan yang dapat digunakan untuk mengendalikan situasi guna mencapai tujuan tertentu. 6. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan atau mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. 7. Model Desa Konservasi MDK adalah program MDK ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi melalui berbagai program pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat menjadi contoh bagi pemberdayaan di tempat lain. 8. Biovillage adalah program yang digagas oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI sebagai percontohan kawasan terpadu yang menggabungkan pertanianpangan, pakan, pupuk dan energi untuk memajukan daerah. 9. Stakeholders adalah kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan-tujuan organisasi atau oleh kebijakan, keputusan, dan tindakan dari sebuah proyek. 10. Key players adalah stakeholders yang aktif dan kritis karena memiliki tingkat kepentingan tinggi dan pengaruh yang tinggi. 11. Subjects adalah stakeholders yang memiliki tingkat kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah. 12. Context setters adalah stakeholders yang memiliki kepentingan rendah tetapi pengaruhnya tinggi. 13. Crowds adalah stakeholders yang memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang rendah. xxi 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia, cagar biosfer biosphere reserve sudah diakui secara yuridis dalam Undang Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, bahwa Kawasan Suaka Alam dan kawasan tertentu lainnya dapat ditetapkan sebagai cagar biosfer dalam rangka kerja sama konservasi internasional. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam KSA dan Kawasan Pelestarian Alam KPA menegaskan bahwa Pemerintah dapat mengusulkan suatu KSA atau KPA kepada lembaga internasional yang berwenang untuk ditetapkan sebagai cagar biosfer sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh lembaga internasional terkait. Dalam hal ini, lembaga internasional yang berwenang adalah United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization UNESCO. Menurut UNESCO 1996a, cagar biosfer adalah ekosistem daratan dan pesisirlaut atau kombinasi dari padanya, yang secara internasional diakui di dalam kerangka Man and the Biosphere MAB Programme dari UNESCO. Cagar biosfer merupakan situs pembelajaran untuk pembangunan berkelanjutan, sehingga penetapan cagar biosfer diharapkan dapat mengintegrasikan pengelolaan lahan berkelanjutan dan konservasi keanekaragaman hayati di tingkat lansekap Bridgewater 2002; Kusova et al. 2008 . Pembangunan berkelanjutan merupakan inti dari pendekatan konsep cagar biosfer sehingga tujuan konservasi keanekaragaman hayati harus seiring dengan pembangunan ekonomi, pengkayaan budaya, dan partisipasi masyarakat lokal Soedjito 2004. Sampai tahun 2016, UNESCO telah menetapkan 669 cagar biosfer di 120 negara yang masuk dalam Jaringan Dunia Cagar Biosfer UNESCO 2016a. Sejak tahun 1977, Indonesia telah menjadi anggota Jaringan Dunia Cagar Biosfer bersamaan dengan ditetapkannya Cagar Biosfer Cibodas, Komodo, Lore Lindu, dan Tanjung Puting. Sampai dengan tahun 2016, sudah ditetapkan 11 cagar biosfer di Indonesia dengan tambahan Cagar Biosfer Pulau Siberut dan Gunung Leuser pada tahun 1981, Giam Siak Kecil - Bukit Batu pada tahun 2009, Cagar Biosfer Wakatobi pada tahun 2012, Cagar Biosfer Bromo-Semeru-Tengger- Arjuno dan Cagar Biosfer Taka Bonerate-Kepulauan Selayar pada tahun 2015, serta Cagar Biosfer Blambangan pada tahun 2016 Tabel 1.1. Meskipun demikian, Pemerintah Indonesia belum cukup mengatur bagaimana mengimplementasikan konsep cagar biosfer tersebut secara kontekstual di lapangan. Sementara itu, buku Pedoman Pengelolaan Cagar Biosfer di Indonesia yang diterbitkan oleh Komite Nasional MAB Indonesia Soedjito 2004 belum menjadi dasar kebijakan pemerintah yang mengikat untuk diimplementasikan di lapangan. Sesuai dengan Strategi Seville tahun 1995 dan Kerangka Hukum Jaringan Dunia Cagar Biosfer, setiap cagar biosfer mempunyai tiga fungsi yang saling menunjang, yaitu konservasi, pembangunan, dan dukungan logistik UNESCO 1996a, 1996b. Fungsi konservasi cagar biosfer adalah untuk memberikan kontribusi pada pelestarian sumber daya genetik, spesies, ekosistem, dan lansekap, 2 sementara fungsi pembangunan cagar biosfer adalah untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan manusia yang secara sosial-budaya dan ekologi berkelanjutan. Fungsi dukungan logistik cagar biosfer adalah untuk mendukung proyek percontohan, pendidikan dan pelatihan lingkungan, serta penelitian dan pemantauan yang berhubungan dengan masalah-masalah konservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, nasional, dan global. Pasca Seville, cagar biosfer dikembangkan untuk mengimplementasikan sasaran Agenda 21 dan Convention on Biological Diversity CBD Ishwaran et al. 2008. Keanekaragaman fungsi tersebut menjadi pembeda antara Jaringan Dunia Cagar Biosfer dengan Jaringan Ramsar dan Jaringan Warisan Dunia World Heritage yang hanya menekankan pada isu konservasi Price et al. 2010. Tabel 1.1 Cagar biosfer di Indonesia Cagar biosfer Tahun deklarasi Luas total ha Luas area inti ha Status hukum area inti d Cibodas a 1977 167.000 24.500 TN Gunung Gede Pangrango Komodo a 1977 1.118.003 173.300 TN Komodo Lore Lindu a 1977 2.182.992 217.991 TN Lore Lindu Tanjung Puting a 1977 969.699 501.989 TN Tanjung Puting Pulau Siberut a 1981 403.000 190.500 TN Siberut Gunung Leuser a 1981 5.294.762 1.094.692 TN Gunung Leuser GSKBB b 2009 705.270 178.722 SM Giam Siak Kecil, SM Bukit Batu, dan HP Wakatobi b 2012 1.390.000 54.568 TN Wakatobi BTSA c 2015 413.375 78.145 TN Bromo Tengger Semeru dan Tahura R. Soerjo TBKS c 2015 4.350.736 530.765 TN Taka Bonerate Belambangan c 2016 678.947 127.856 TN Alas Purwo, TN Baluran, TN Meru Betiri, CA Kawah Ijen a data zonasi berdasarkan dokumen Periodic Review cagar biosfer bersangkutan 2013 b data zonasi berdasarkan KSDAE 2014 c data zonasi berdasarkan Purwanto komunikasi pribadi 2016 d TN: Taman Nasional, SM: Suaka Margasatwa, CA: Cagar Alam, HP: Hutan Produksi, Tahura: Taman Hutan Raya Cagar Biosfer Giam Siak Kecil - Bukit Batu GSKBB terletak di Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Siak, dan Kota Dumai, Provinsi Riau Komite Nasional MAB Indonesia 2013. Area inti Cagar Biosfer GSKBB sangat penting untuk melestarikan keanekaragaman hayati hutan rawa gambut dan harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae Lyon sebagai satwa kunci Unit KSDA Riau 2001, BBKSDA Riau 2011. Sebagian besar area inti dan zona penyangga Cagar Biosfer GSKBB merupakan ekosistem gambut dengan kedalaman 6 m Azra’ie et al. 2011, adalah salah satu dari 8 blok hutan rawa gambut di Riau, dan 3 merupakan High Conservation Value Forest Jarvie et al. 2003. Bagian barat zona penyangga dan area transisi cagar biosfer merupakan hutan dataran rendah dan daerah jelajah home range gajah Sumatera Elephas maximus sumatranus Temminck yang perlu dikelola secara berkelanjutan LIPI 2008a. Keberadaan Sungai Siak Kecil dan Sungai Bukit Batu yang terhubung dengan kompleks danau tasik di dalam area inti merupakan habitat dan tempat berkembangbiaknya ikan sehingga wilayah ini mempunyai potensi sumber daya perairan yang besar. Oleh karena itu, penetapan Cagar Biosfer GSKBB dapat menjadi pendukung bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati di hutan rawa gambut, hutan dataran rendah, dan ekosistem rawa banjiran atau lebak. Saat ini, banyak cagar biosfer di dunia yang terancam oleh perubahan penggunaan lahan sehingga menyebabkan degradasi sumber daya alam dan mengancam kelestarian ekosistem setempat Nagendra 2008; Domingues et al. 2012. Pada awalnya, alasan penggunaan lahan oleh masyarakat di area inti cagar biosfer di Indonesia adalah untuk pemenuhan kebutuhan hidup subsisten, kemudian berkembang menjadi kegiatan produksi komoditi komersial yang melibatkan aktor lain. Sebagai contoh, area inti Cagar Biosfer Lore Lindu terancam oleh kegiatan pembukaan kebun kakao oleh masyarakat Mehring dan Stoll-Kleemann 2011. Area inti Cagar Biosfer GSKBB juga terancam oleh aktivitas masyarakat dalam membuka kebun kelapa sawit Pramana 2012. Masyarakat Melayu di Desa Tasik Serai dan Tasik Betung yang semula berkebun karet LIPI 2008b juga mulai berkebun kelapa sawit melalui kerja sama dengan para pendatang. Berdasar interpretasi Citra Landsat TM+ tahun 2008, luas pembukaan lahan di SM Giam Siak Kecil mencapai 6.788 ha BBKSDA Riau 2011. Hasil penelitian Rushayati et al. 2014, selama periode 2010-2014, luas hutan rawa sekunder di SM Giam Siak Kecil menurun dari 60.051,27 ha menjadi 51.167,41 ha, sementara luas kebun monokultur, yang didominasi oleh kelapa sawit Elaeis guineensis Jacq. dan karet Hevea brassiliensis Muel. Arg, meningkat dari 667,76 ha menjadi 1.198,73 ha dan kebun campuran meningkat dari 3.674,48 ha menjadi 6.580,02 ha. Fenomena ini terus berlangsung dan memicu terjadinya kebakaran lahan dan hutan yang luas di bagian hulu Sungai Siak Kecil di wilayah Desa Bukit Kerikil dan Desa Tasik Serai pada tahun 2014. Selain membudidayakan tanaman perkebunan, masyarakat juga melakukan penangkapan ikan secara turun temurun di sungai dan danau tasik yang ada di area inti Cagar Biosfer GSKBB. Sebagian besar nelayan tinggal di pondok bagan di pinggir Sungai Siak Kecil dan Sungai Bukit Batu. Penangkapan secara bebas dan berlebihan diduga merupakan penyebab menurunnya populasi ikan sehingga mengancam kelestarian sumber daya ikan yang merupakan sumber daya milik bersama common pool resources - CPRs. Situasi perubahan penggunaan lahan dan penangkapan ikan secara berlebihan di area inti seperti tersebut di atas telah menyebabkan degradasi lingkungan sehingga akan mengganggu pencapaian Sasaran ke-2 Strategi Seville 1995, yaitu memanfaatkan cagar biosfer sebagai model pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan berkelanjutan. Dalam pengelolaan kawasan konservasi, Pemerintah Indonesia sering menggunakan pendekatan hukum formal untuk menyelesaikan permasalahan sejenis walaupun tidak efektif. Selain dipengaruhi oleh ketiadaan kebijakan yang memadai dan lemahnya pengorganisasian pengelolaan cagar biosfer, situasi tersebut juga sangat dipengaruhi oleh perilaku