Pengelolaan Zona Penyangga Zonasi dan Aksi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB

22 contoh bagi pemberdayaan di tempat lain. Kegiatan yang telah dilaksanakan meliputi: budidaya ikan air tawar, ternak ayam lokal, dan pelatihan peningkatan kepedulian masyarakat terhadap pelestarian hutan. Selain itu, BBKSDA Riau juga memberikan bantuan bibit pohon buah-buahan, karet, dan jelutung, serta speed boat untuk mendukung kegiatan ekowisata berbasis masyarakat. Namun, kegiatan-kegiatan tersebut tidak berkelanjutan karena keterbatasan anggaran dan ketiadaan pendamping masyarakat di desa. Untuk memperkuat usaha pemberdayaan masyarakat, LIPI bekerja sama dengan para pihak mengembangkan model Biovillage. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan antara lain: ekowisata, penjernihan air, restorasi lahan gambut bekas terbakar, dan program kemah untuk melibatkan masyarakat luas dalam pelestarian jenis-jenis pohon langka, antara lain jelutung Dyra lowii Hook.f. dan ramin Gonystylus bancanus Miq.. Penjernihan air menggunakan Alat Pengolahan Air Gambut APAG 60 dengan kapasitas 2,6 m 3 jam sudah dibangun di desa Tanjung Leban sebagai wujud komitmen LIPI, Komite Nasional MAB Indonesia, SMF, dan APP dalam membantu penyediaan air bersih. Namun, penggunaan alat ini tidak efisien sehingga masyarakat lebih memilih membeli air mineral dalam kemasan yang dijual umum daripada mengoperasikan APAG. Sinarmas Forestry dan mitranya sudah ikut memberdayakan masyarakat di area transisi dan zona penyangga melalui beberapa program. Di Desa Temiang, sudah dilakukan uji coba pembesaran ikan baung Mystus nemurus Cuv. dan Val. dan lele dumbo Clarias gariepinus Burchell dalam kolam tadah hujan dan keramba terpal di pekarangan rumah bekerja sama dengan Universitas Islam Riau. Namun, program ini tidak berkelanjutan karena kesulitan mendapatkan benih ikan dan mahalnya pakan. Di Desa Tasik Betung, juga sudah dilakukan uji coba budidaya ikan baung keramba di perairan Tasik Betung, namun tidak berkelanjutan karena fluktuasi muka air danau yang ekstrim hingga kekeringan dan budaya masyarakat yang selama ini hidup di wilayah perikanan tangkap belum terlatih untuk membudidayakan ikan dalam keramba. Mitra SMF juga mengembangkan ternak itik dan pengolahan biogas dari kotoran sapi di desa Tanjung Leban dan Temiang bekerja sama dengan Yayasan Siak Cerdas dan Perkumpulan YAPEKA. Pemerintah Kabupaten Bengkalis telah mengembangkan pariwisata berbasis potensi wisata alam dan sejarah di area transisi dan zona penyangga. Di Desa Tasik Serai Timur, pemerintah telah membangun fasilitas berupa pintu gerbang dan sheltergazebo di pinggir Danau Tasik Serai, namun tidak dikelola sehingga kondisinya terbengkalai. Di Desa Sukajadi, pemerintah telah membenahi balairumah Datuk Laksmana Raja Dilaut dan komplek makam keluarganya. Datuk Laksmana Raja Dilaut adalah panglima armada laut Kerajaan Siak yang disegani oleh para bajak laut di Selat Malaka. Ada empat panglima yang pernah ditugaskan di wilayah ini: Datuk Laksmana Raja Dilaut I 1767-1807, Datuk Laksmana Raja Dilaut II 1807-1864, Datuk Laksmana Raja Dilaut III 1864- 1908, dan Datuk Laksmana Raja Dilaut IV 1908-1928. Promosi dan pengelolaan wisata ini masih perlu ditingkatkan sehingga dapat meningkatkan daya tarik wisatawan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau 2013. Keberhasilan pengelolaan cagar biosfer secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pengelolaan area transisi. Namun, data dan informasi di atas menunjukkan bahwa program dan kegiatan pembangunan di area 23 transisi belum terlaksana secara berkelanjutan. Pemerintah daerah dan masyarakat yang diharapkan dapat berperan besar dalam implementasi pembangunan berkelanjutan masih perlu pendampinganadvokasi. Oleh karena itu, Balai Besar KSDA Riau, pemerintah daerah, pihak swasta, LSM, dan stakeholders lainnya harus bersinergi dan bekerja sama untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan di area transisi bagi kesejahteraan masyarakat. 2.3.3 Koordinasi dan Komunikasi Antar Stakeholders Untuk mewujudkan Tujuan 2.2 dari Strategi Seville, yakni menjamin adanya keselarasan dan interaksi antar zona-zona cagar biosfer, UNESCO 1996a merekomendasikan kepada setiap cagar biosfer untuk mengembangkan dan membentuk mekanisme kelembagaan untuk mengelola, mengkoordinasikan dan mengintegrasikan program dan kegiatan cagar biosfer. Madrid Action Plan UNESCO 2008 juga merencanakan aksi 10.2, yakni setiap cagar biosfer harus membentuk komite pengelolaan yang terdiri dari stakeholders yang mewakili sektor kegiatan yang berbeda dari ketiga zona. Menurut Soedjito 2004, untuk mengelola cagar biosfer lebih tepat menggunakan model lembaga pengelolaan kolaborasi yang merupakan wadah koordinasi forum komunikasi multi- stakeholders. Pemerintah Provinsi Riau telah membentuk Badan Koordinasi Pengelolaan berdasarkan Keputusan Gubernur Riau No. Kpts. 920V2010 tanggal 14 Mei 2010 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB, yang selanjutnya disebut Badan Koordinasi. Badan Koordinasi ini diketuai oleh Gubernur Riau, dengan Wakil Ketua: Wakil Gubernur, Bupati Bengkalis, dan Bupati Siak, dan beranggotakan dari unsur-unsur Pemerintah Provinsi Riau, Pemerintah Kabupaten Siak dan Bengkalis, Balai Besar KSDA Riau, Komite Nasional MAB Indonesia, LIPI, SMF, beberapa Universitas di Riau, dan LSM lokal Gambar 2.2. Di dalam struktur Badan Koordinasi ini tidak ada perwakilan dari Kota Dumai karena luas wilayahnya yang masuk ke dalam Cagar Biosfer GSKBB sangat kecil, hanya 26.303 ha 4 yang tersebar di zona penyangga dan area transisi. Sebagian besar pengurus dan anggota Badan Koordinasi merupakan lembaga-lembaga pemerintahan yang sudah ada, sehingga keberadaannya dalam Badan Koordinasi ini merupakan tugas tambahan. Selain itu, Badan Koordinasi ini belum memasukkan perwakilan dari masyarakat lokal sebagai anggota, dan masih perlu mengubah pemahaman pengelola tentang pentingnya partisipasi masyarakat dan memberdayakan masyarakat menjadi aktor politik Duranda dan Vázquezb 2011. Partisipasi masyarakat lokal sangat diperlukan untuk mengimplementasikan konsep cagar biosfer, khususnya dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan Stoll-Kleemann et al. 2010; Schultz et al. 2011. Struktur organisasi Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB disusun melalui pendekatan top down. Pembagian tugas koordinator bidang di dalam struktur organisasi Badan Koordinasi ini didasarkan atas kewenangan dan hak pengelolaan pada masing-masing zona cagar biosfer, yaitu Kepala BBKSDA Riau di area inti, Direktur Environment and Stakeholder Relationship SMF di zona penyangga, dan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan