Berdasarkan perilaku-perilaku S diatas, maka dapat disimpulkan bahwa S mengalami social phobia yaitu ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus
terhadap satu atau lebih situasi sosial atau muncul ketika ia harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal dengan baik atau pada situasi ketika dirinya diamati oleh
orang lain APA, 2000. Hal ini terlihat dari perilakunya yang bertujuan untuk mengantisipasi situasi sosial yang dihadapinya dengan cara mengecilkan suaranya
ketika berada di sekolah baik ketika berinteraksi dengan teman maupun guru. Hambatan yang ditimbulkan oleh perilakunya tersebut antara lain dalam bidang akademis karena S
selalu bicara dengan suara yang sangat pelan saat maju di depan kelas. Guru menyayangkan perilaku S tersebut karena menurut mereka S sebenarnya tergolong anak
yang pintar dan cepat memahami pelajaran yang diberikan. Selain itu, S juga memiliki hambatan dalam hubungan sosial karena ia kerap kali diejek dan ditertawakan teman-
temannya karena suaranya yang pelan. Akibatnya S tidak memiliki banyak teman dan menjadi sangat tergantung pada mereka sehingga temannya sering bertindak sesuka hati
terhadap S.
4.2.3. Analisa fungsional subjek 2
Universita Sumatera Utara
Berikut ini adalah analisa S-O-R-C subjek 2 di sekolah:
Gambar 4.7. Analisa fungsional subjek 2 di sekolah
Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa subjek 1 memiliki beberapa distorsi negatif yaitu:
The pessimist: saya akan melakukan kesalahan The mind reader: teman-teman akan memperhatikan saya dan menganggap saya
tidak mampu, ibu guru akan memarahi saya Pick, pick, pick: teman-teman akan menertawakan dan mengejek saya
S Stimulus:
Berbicara dengan
guru dan
teman- teman
di sekolah
Tampil di
hadapan guru dan
teman- teman
di sekolah
O Organism: Cognitive C:
Saya akan
melakukan kesalahan, ibu
guru akan
memarahi saya, teman-teman
akan memperhatikan
saya,
teman- teman
akan menertawakan
saya, suara saya tidak bisa keras
di
sekolah, teman-teman
menganggap saya
tidak mampu
Emotion E: Saya merasa
cemas R
Response: Behavior:
Saya bicara dengan
suara yang pelan
CConseque nce:
Positive:
Saya merasa
tidak terlalu cemas
karena dengan
suara yang pelan,
teman- teman tidak
memperhati kan
saya dan
sibuk sendiri, ibu
guru mendekat
agar
bisa mendengar
suara saya.
Negative: Saya diejek
karena suara saya pelan,
saya ditegur guru
Universita Sumatera Utara
4.2.4. Pelaksanaan intervensi pada subjek 2
Pelaksanaan intervensi pada subjek 2 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.6. Pelaksanaan intervensi pada subjek 2
PSIKOEDUKASI PADA ORANG TUA DAN GURU
Tujuan: 1. Memberikan informasi mengenai social phobia yang dialami subjek dan faktor-
faktor yang menyebabkannya 2. Memberikan informasi mengenai bagaimana orang tua dan majikan dapat
berperan membantu subjek untuk mengendalikan kecemasannnya 3. Memberikan
informasi mengenai
bagaimana subjek
dapat belajar
mengendalikan kecemasannya melalui program terapi yang akan dijalankan Jalannya sesi:
Pada tahap ini, orang tua diberikan penjelasan mengenai kecemasan dan bentuk- bentuk gangguan kecemasan termasuk salah satu diantaranya adalah social phobia.
Lebih lanjut peneliti menjelaskan bahwa volume suara subjek yang hanya pelan saat berada di sekolah disebut dengan istilah safety behavior yang dilakukan untuk
mengantisipasi penilaian negatif yang diperoleh dari situasi sosial yang dalam hal ini adalah sekolah. Orang tua subjek kemudian menanyakan apakah yang menyebabkan
subjek berperilaku seperti itu. Mereka mengatakan tidak pernah membeda-bedakan subjek dengan adiknya. Selain itu, mereka merasa tidak ada yang perlu subjek cemaskan
karena orang tuanya juga bertindak sebagai guru di sekolahnya.Tubuh subjek juga tergolong lebih tinggi dan besar dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya. Selain
itu subjek juga tidak pernah menimbulkan masalah sehingga para guru merasa senang kepadanya.
Peneliti pun kemudian menjelaskan mengenai social phobia beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Terdapat beberapa faktor, seperti diantaranya temperamen
anak yang pemalu disamping juga pengalaman dari lingkungan yang berperan penting dalam berkembangnya social phobia seperti halnya penolakan dari teman sebaya atau
pengalaman memalukan di depan umum. Terpeliharanya gejala-gejala social phobia juga dipengaruhi oleh bias kognitif. Anak dengan social phobia sangat ingin diterima
oleh orang lain namun disertai oleh persepsi ketidakmampuan diri untuk melakukannya. Ia merasa yakin akan melakukan sesuatu yang menimbulkan penolakan dan penilaian
negatif dari orang lain. Hal inilah yang selanjutnya terwujud menjadi gejala kecemasan. Peneliti menambahkan bahwa faktor lainnya seperti penguat negatif juga dapat
mempengaruhi gejala social phobia pada subjek seperti halnya orang tua dan para guru yang membiarkan subjek berbicara dengan suara pelan dan justru membiasakan diri
dengannya. Hal ini tentunya dapat menjadi penguat bagi bias kognitif subjek yang maladaptif.
Peneliti menjelaskan agar sebaiknya orang tua dan guru mendorong subjek untuk mengubah perilakunya yang kerap berbicara dengan suara pelan di sekolah. Orang tua
dapat meningkatkan komunikasi dengan cara yang positif terhadap subjek. Caranya dengan memberikan kata-kata dorongan dan pujian untuk meningkatkan keyakinan
akan kemampuan dirinya. Orang tua juga sebaiknya meningkatkan kedekatan emosional dengan cara sering berkumpul dan meluangkan waktu bersama subjek. Hal ini
dilakukan agar subjek terbiasa untuk terbuka dan berbicara mengenai apa yang ia rasakan. Peneliti kemudian menjelaskan bahwa subjek dapat belajar mengendalikan
kecemasannya melalui program intervensi yang akan dijalankan.
Universita Sumatera Utara
PENGENALAN PROGRAM
Tujuan: 1. Membangun rapport
2. Memberikan gambaran singkat mengenai program terapi Jalannya sesi:
Peneliti menyapa subjek dan menanyakan apakah ia merasa lelah karena sekolah baru saja berakhir dan sudah harus bertemu dengan peneliti. Subjek pun meresponnya
dengan mengangguk dan tersenyum. Peneliti mengajak subjek berbicara mengenai pelajaran sekolahnya, namun subjek hanya menjawabnya secara singkat dengan suara
yang sangat pelan sehingga peneliti harus mendekat agar dapat mendengar suaranya. Peneliti kemudian mengajak subjek untuk melakukan sebuah permainan untuk saling
mengenal satu sama lain. Pada saat giliran subjek untuk bertanya kepada peneliti, ia terlihat terdiam sejenak. Kemudian ia menanyakan informasi mengenai alamat rumah
dan nomor telepon peneliti. Peneliti pun mulai menjelaskan kepada subjek mengenai program intervensi yang akan dijalankan. Subjek tampak memperhatikan dengan
seksama. Peneliti memperlihatkan stiker yang akan diperoleh subjek setiap kali ia mengerjakan homework assignment. Lalu menetapkan daftar hadiah yang dapat
ditukarkan dengan stiker pada waktu yang telah ditentukan. Adapun hadiah yang nantinya dapat ditukar dengan stiker adalah tempat pensil, buku cerita, aktivitas bermain
video game bersama peneliti dan makan ayam goreng bersama peneliti.
SKILLS TRAINING FEAR F = FEELING FRIGHTENED?
Sesi 1 : mengenali perasaan cemas Tujuan :
1. Mengenali berbagai bentuk emosi yang berbeda-beda beserta ekspresi yang dimunculkan.
2. Membedakan antara kecemasan dengan bentuk emosi lainnya dan mengenali reaksi fisiknya saat cemas
3. Menyusun hirarki situasi pemicu kecemasan
Jalannya sesi: Peneliti terlebih dahulu membahas homework assignment yang telah dikerjakan oleh
subjek. Adapun tugas yang diberikan sebelumnya adalah menulis situasi saat subjek merasa senang. Ia menulis bahwa situasi yang membuatnya senang adalah saat bermain
dengan temannya. Hal yang ia rasakan saat bermain dengan teman adalah gembira. Peneliti kemudian memberikan stiker kepada subjek karena telah mengerjakan tugasnya
dengan baik. Pada sesi ini subjek pertama-tama diperkenalkan tentang bermacam-macam perasaan
atau emosi yang dimiliki oleh manusia. Setelah itu, subjek diminta untuk menuliskan perasaan apa saja yang ia ketahui. Subjek pun menyebutkan sedih, senang, baik, kasih
sayang dan malu. Menurut subjek, untuk mengetahui seseorang sedang marah dapat dilihat dari mulutnya, sedih dapat dilihat dari wajahnya, senang dapat dilihat dari bibir
yang tersenyum sedangkan seseorang yang terkejut dapat dilihat dari tubuhnya. Saat diminta untuk menuliskan dua cara untuk mengetahui seseorang sedang marah, subjek
menyebutkan dapat diketahui dari muka dan suaranya. Subjek lalu mencocokkan berbagai ekspresi wajah dengan emosi, yaitu gembira,
kesal, ketakutan, sedih dan senang. Kegiatan selanjutnya yang dilakukan adalah bermain menebak perasaan, peneliti menunjukkan ekspresi wajah tertentu lalu subjek
pun menebak apa yang sedang dirasakan oleh peneliti. Peneliti kemudian meminta subjek untuk menunjukkan sebuah ekspresi wajah, subjek pun tersenyum dan
mengatakan bahwa ia sedang senang. Peneliti lalu mengajak subjek berbicara tentang
Universita Sumatera Utara
perasaan takut. Peneliti mengatakan bahwa semua orang pasti pernah merasa takut. Dengan demikian takut itu wajar, namun kita dapat mengendalikan ketakutan kita
seperti ibaratnya menyetel volume radio. Cara untuk mengendalikannya adalah dengan belajar strategi mengendalikan ketakutan.
Peneliti lalu menceritakan pengalaman pribadi ketika merasa takut kemudian subjek diajak untuk mengingat bagaimana saat karakter kartun kesukaannya merasa takut.
Subjek mengatakan bahwa ia menyukai karakter Dora, lalu peneliti mengajak subjek untuk membayangkan bagaimana ketika Dora takut. Apa yang ia lakukan untuk
mengendalikan rasa takutnya. Subjek lalu menceritakan pengalaman takutnya, namun pada awalnya ia bercerita tentang ketakutannya pada binatang. Peneliti lalu bertanya apa
yang menyebabkan subjek berbicara dengan suara yang sangat pelan ketika berada di sekolah. Padahal ketika berada di rumah, subjek bersuara keras dan bahkan dapat
berteriak dengan lantang. Subjek mengatakan bahwa di sekolah ia merasa takut karena jika bersuara keras ia akan dimarahi guru karena membuat keributan. Lalu ia
mengatakan bahwa ia merasa malu pada teman-temannya karena takut ditertawakan. Peneliti pun memperkenalkan feelings thermometer dan mengajak subjek untuk
menyusun tangga ketakutannya sendiri untuk berbicara dengan suara yang lebih keras di sekolah. Pertemuan diakhiri dengan memberikan tugas untuk dikerjakan di rumah.
Berikut ini adalah hirarki ketakutan subjek:
Gambar 4.8. Hirarki kecemasan subjek 2 Sesi 2: mengenali respon somatis saat cemas
Tujuan: Berbicara di depan kelas di hadapan guru dan teman-teman = 6
Berbicara dengan gurunya yang bernama ibu Rosneli = 5 Berbicara dengan wali kelas = 4
Berbicara dengan kelompok kecil yang terdiri dari 7 orang teman = 3
Berbicara dengan 3 orang teman = 2 Berbicara berdua dengan salah seorang teman bernama Safa = 1
Universita Sumatera Utara
Mengenali secara spesifik respon somatis anaknya saat cemas Jalannya sesi:
Peneliti membahas tugas yang dikerjakan oleh subjek pada pertemuan sebelumnya. Adapun tugas yang dikerjakannya adalah menuliskan situasi saat sedang merasa cemas
dan saat sedang merasa tenang. Subjek menuliskan situasi yang membuatnya cemas adalah ketika ia dikejar binatang buas sedangkan situasi yang membuatnya tenang
adalah ketika sedang bermain bersama dengan adiknya. Peneliti kemudian memberikan stiker kepada subjek karena telah mengerjakan tugasnya. Subjek selanjutnya
diperkenalkan pada berbagai reaksi somatis yang berhubungan dengan perasaan takut atau cemas. Peneliti kemudian mengajak subjek untuk membayangkan bagaimana
keadaan tubuhnya pada situasi saat ia merasa tenang, sedang berada di rumah dan bermain dengan adiknya. Peneliti lalu mengajak subjek untuk membayangkan
bagaimana keadaan tubuhnya saat berada di sekolah dan dipanggil maju ke depan kelas. Subjek mengatakan saat di rumah ia merasa santai dan senang, sedangkan di sekolah ia
merasa takut dan tubuhnya tegang. Peneliti kemudian mencontohkan bagaimana sedang berada pada situasi tertentu
yang membuatnya takut dan mulai merasakan perbedaan pada tubuhnya. Subjek kemudian diajak untuk ikut bermain peran bersama peneliti sambil peneliti
menggambarkan apa yang sedang ia rasakan pada tubuhnya. Subjek kemudian diminta untuk membayangkan saat ia sedang berbicara dengan teman-temannya di sekolah.
Subjek menjelaskan bahwa ia merasa sedikit takut akan dimarahi oleh temannya, sehingga tangannya terasa kaku.
Peneliti menunjukkan sebuah gambar anggota tubuh manusia, dan subjek diminta untuk menunjukkan bagian manakah dari tubuhnya yang terasa berbeda saat ia merasa
takut. Subjek pun menunjukkan jantung, perut, otot lengan dan otot kaki. Selanjutnya subjek diberikan beberapa buah cerita, ia diminta untuk menebak apa yang
menyebabkan bagian tubuh tokoh dalam cerita tersebut terasa berbeda. Subjek pun dapat memberikan jawaban yang tepat untuk tugas ini. Peneliti menjelaskan bahwa
tubuh kita dapat memberikan petunjuk tentang apa yang kita rasakan.. Peneliti mulai menjelaskan kepada subjek, bahwa ada beberapa cara untuk
mengendalikan ketakutan yang disebut dengan strategi FEAR. Namun agar subjek lebih mudah memahaminya, istilah FEAR diganti dengan istilah bahasa Indonesia yaitu
TAKUT. Adapun kepanjangan dari TAKUT adalah: T= Takutkah aku?
A= Apa isi pikiranku yang membuatku takut? K= Kalau begitu, aku harus melakukan sesuatu untuk mengatasi rasa takutku
U= Untuk usaha yang kulakukan, aku pantas mendapat hadiah T= Takutku sudah bisa aku atasi
Peneliti mengatakan bahwa pada sesi ini, subjek telah mempelajari langkah pertama dari strategi FEAR yang dilakukan dengan mencari tahu apakah diri kita sedang merasa
takut berdasarkan reaksi tubuh kita. Pertemuan diakhiri dengan tugas untuk mengukur kecemasan subjek berdasarkan feelings thermometer.
Sesi 3: latihan relaksasi Tujuan:
Melakukan prosedur relaksasi sederhana untuk membantu mengurangi ketegangan saat sedang merasa cemas.
Jalannya sesi: Pertemuan diawali dengan membahas tugas yang dikerjakan oleh subjek sebelumnya
yaitu untuk mengukur ketakutannya dengan menggunakan feelings thermometer. Subjek
Universita Sumatera Utara
menuliskan situasi yang ditakutinya adalah dipanggil ibu guru dan nilainya adalah 4 yaitu takut. Subjek mengatakan bahwa ia merasa jantungnya berdebar lebih kencang
saat dipanggil oleh gurunya di sekolah. Peneliti memberikan stiker kepada subjek dan memberikan kesempatan kepada subjek untuk menukar stikernya dengan sebuah hadiah.
Peneliti menjelaskan bahwa ketika seseorang merasa takut, maka ada beberapa bagian dari tubuhnya yang terasa tegang ataupun kaku. Peneliti mengajak subjek untuk
membayangkan ketika ia sedang merasa tenang dan santai. Peneliti lalu mengajak subjek untuk mengepalkan tangannya kuat-kuat selama beberapa saat. Subjek kemudian
diajak untuk berpura-pura menjadi robot, lalu menjadi boneka kain. Subjek mengatakan, ia merasakan perbedaan antara keduanya. Pada saat menjadi robot, tubuhnya terasa
tegang sedangkan saat menjadi boneka kain tubuhnya terasa lemas. Peneliti menunjukkan gambar otot-otot tubuh manusia dan menjelaskan ada banyak sekali otot
yang berbeda dalam tubuh. Selanjutnya peneliti mengatakan bahwa subjek akan belajar bagaimana cara untuk melemaskan otot tubuh untuk membantunya merasa lebih tenang
saat ia sedang takut. Peneliti mulai mencontohkan bagaimana cara menarik nafas dalam-dalam lalu
menghembuskannya perlahan. Subjek diminta untuk melakukannya dan merasakan perbedaan pada tubuhnya saat udara keluar. Peneliti mengatakan bahwa cara ini dapat
membantu agar subjek merasa lebih tenang pada situasi yang ditakutinya. Peneliti kemudian melanjutkan prosedur relaksasi selanjutnya, subjek diminta untuk
mengepalkan tangannya dalam hitungan 1 sampai 5 lalu melemaskannya dalam hitungan 1 sampai 5. Prosedur ini juga dilakukan ke bagian otot yang lain seperti
lengan, wajah, dan pundak. Subjek dapat mengikuti arahan peneliti dengan baik dan terlihat antusias dalam melakukannya.
Pada pertemuan ini, beberapa orang teman subjek ikut karena mereka ingin tahu tentang apa yang dilakukan oleh subjek. Saat teman-temannya datang, subjek terlihat
tersenyum namun ia terlihat malu-malu saat melakukan apa yang diminta oleh peneliti. Pertemuan diakhiri dengan tugas untuk melakukan latihan relaksasi di rumah
E = EXPECTING BAD THINGS TO HAPPEN?
Sesi 4: mengenali dan memodifikasi anxious self talk
Tujuan: 1. Memahami fungsi self talk dan pengaruhnya terhadap respon yang muncul saat
cemas 2. Mengidentifikasi anxious self talk isi pikiran saat cemas
3. Mengembangkan coping self talk isi pikiran yang dapat membantu mengatasi
rasa cemas
Jalannya sesi: Pertemuan diawali dengan membahas tugas dari pertemuan sebelumnya. Subjek
mengatakan bahwa ia berlatih relaksasi dengan cara menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Lalu ia juga mencoba mengepalkan tangan selama beberapa
saat lalu melemaskannya perlahan. Subjek juga menuliskan pengalamannya di sekolah saat merasa takut ketika tidak ada yang menemaninya. Saat itu ia merasa tegang, dan ia
memberikan nilai 5 dari 8 pada feelings thermometer untuk ketakutannya. Pengalamannya yang lain adalah ketika ia takut akan dihukum oleh gurunya dengan
nilai 7 dari 8 pada feelings thermometer. Peneliti membahas pengalaman subjek tersebut dan mendorong subjek untuk mempraktikkan latihan relaksasinya jika menghadapi
situasi itu. Dengan demikian tubuhnya yang terasa tegang dan kaku akan menjadi lebih lemas dan santai sehingga ketakutannya berkurang. Peneliti tidak lupa memberikan 2
stiker sebagai reward atas tugas yang telah dikerjakan oleh subjek. Peneliti mengatakan kepada subjek bahwa setelah ia dapat mengetahui kapan dirinya
Universita Sumatera Utara
sedang merasa takut, kini ia harus mengetahui bahwa pikiran juga dapat menyebabkan seseorang menjadi takut. Peneliti menunjukkan gambar seseorang dengan gelembung
diatasnya yang masih kosong dan meminta subjek untuk mengisinya. Gelembung itu disebut dengan gelembung pikiran yang berisikan hal-hal yang sedang dipikirkan oleh
orang tersebut. Subjek dapat mengisi gelembung pikiran tersebut dengan kata-katanya sendiri.
Peneliti kemudian menyampaikan bahwa langkah kedua dari strategi FEAR yang diganti dengan istilah TAKUT. Adapun langkah yang kedua adalah A Apa isi
pikiranku yang membuatku takut?. Langkah ini dilakukan dengan mencari tahu apa isi pikiran kita yang menyebabkan kita merasa takut. Peneliti pun mencontohkan
bagaimana cara untuk menantang isi pikiran negatif tersebut dan mencari bukti untuk menguatkannya. Setelah itu subjek melakukan role play untuk memonitor isi pikirannya
sambil membayangkan dirinya sedang dipanggil oleh ibu guru. Ia mengatakan ia bicara dengan suara yang sangat pelan karena merasa takut akan salah dan dihukum. Peneliti
kemudian menantang pikiran subjek dengan menanyakan apa bukti-bukti yang menunjukkan kalau isi pikiran subjek memang benar. Subjek menjawab bahwa ia tidak
pernah dihukum oleh guru, tetapi ia sering melihat teman-temannya dihukum oleh ibu guru. Ibu guru terkadang memukul teman-temannya yang nakal.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut, peneliti kembali bertanya apa kemungkinan yang akan terjadi jika subjek mulai sekarang mencoba untuk berbicara dengan suara yang
lebih keras. Namun subjek mengatakan bahwa ia takut semua teman-teman dan gurunya akan merasa heran kalau suaranya menjadi keras. Peneliti bertanya lebih lanjut apa yang
akan terjadi jika orang lain heran dengan suaranya yang keras. Subjek berkata ia juga tidak tahu karena belum pernah mencobanya, mungkin teman-teman akan mengejeknya.
Lalu peneliti menanyakan, apakah selama ini teman-teman pernah mengejeknya. Subjek mengatakan mereka mengejeknya karena suaranya yang pelan. Peneliti menanyakan
kembali apa yang harus dipikirkan oleh subjek untuk mengganti isi pikirannya tersebut. Subjek mengatakan bahwa kalau teman-teman selama ini mengejeknya karena suaranya
yang pelan, maka mereka tidak akan mengejek lagi kalau suaranya keras. Peneliti memuji apa yang dilakukan oleh subjek sambil menjelaskan beberapa
bentuk jebakan pikiran yang menyebabkan seseorang menjadi takut tanpa adanya bukti- bukti yang kuat. Pertemuan ini ditutup dengan memberikan tugas untuk pertemuan
selanjutnya untuk membuat isi pikirannya pada situasi yang membuatnya takut.
A = ATTITUDES AND ACTIONS THAT CAN HELP
Sesi 5: mengembangkan keterampilam problem solving
Tujuan: 1. Memahami konsep problem solving
2. Menggunakan strategi problem solving untuk mengendalikan kecemasan Jalannya sesi:
Peneliti membahas tugas yang dikerjakan oleh subjek sekaligus memberikan stiker sebagai reward. Pada tugas rumahnya, subjek menulis situasi yang membuatnya cemas
yaitu ketika dipanggil ibu guru. Reaksi tubuhnya saat itu adalah tegang. Hal yang ia pikirkan adalah berpikir takut salah dan khawatir akan dihukum oleh ibu guru. Namun
subjek terlihat belum memahami betul bagaimana mengubah isi pikirannya yang negatif. Oleh karena itu peneliti kembali mengulang dua langkah sebelumnya dari
strategi FEAR. Subjek lalu diperkenalkan pada langkah ketiga dari strategi FEAR yaitu Attitudes and actions yang dalam penelitian ini disesuaikan menjadi K Kalau begitu,
aku harus melakukan sesuatu untuk mengatasi rasa takutku. Peneliti menjelaskan
Universita Sumatera Utara
beberapa langkah untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan, yaitu: - Langkah pertama:
Menentukan masalah: Situasi apa yang menimbulkan ketakutan? - Langkah kedua:
Mencari ide-ide untuk memecahkan masalah: Apa yang akan dilakukan Dora jika ia menghadapi situasi tersebut?
- Langkah ketiga: Melihat ide-ide yang ada: Ide mana saja yang mungkin untuk dilakukan?
- Langkah keempat: Memilih ide yang terbaik: Ide mana yang paling baik untuk dilakukan?
Peneliti kemudian meminta subjek untuk membuat rencana untuk menghadapi ketakutannya saat maju ke depan kelas. Adapun rencana-rencana tersebut antara lain:
- Berusaha membuat ibu guru senang - Maju ke depan dan bicara dengan suara yang lebih keras dari biasanya
- Berbicara dengan hati-hati agar tidak salah - Tidak melakukan hal yang membuat ibu guru marah
Subjek selanjutnya melihat kembali rencana-rencana yang telah dibuatnya. Ia mengatakan diantara beberapa rencana tersebut, yang paling baik untuk dilakukan
adalah maju ke depan dengan suara yang lebih keras dari biasanya. Dengan demikian ibu guru akan senang dan teman-teman tidak akan mengejeknya lagi. Pertemuan
diakhiri dengan memberikan tugas untuk dikerjakan di rumah.
R = RESULTS AND REWARDS Sesi 6: Melakukan
self rating dan self reward
Tujuan: Memahami konsep self rating dan dapat memberikan reward terhadap diri sendiri
berdasarkan usaha yang telah dilakukan Jalannya sesi:
Peneliti terlebih dahulu membahas tugas yang telah dikerjakan oleh subjek. Subjek menuliskan situasi yang membuatnya cemas yaitu saat temannya marah kepadanya.
Reaksi tubuhnya saat itu gemetar karena temannya memarahinya. Hal yang ia pikirkan adalah bahwa temannya tidak mau berteman dengannya lagi. Subjek menuliskan bahwa
ia mengganti pikiran negatifnya dengan berpikir bahwa belum tentu temannya akan marah kepadanya. Tindakan yang ia lakukan adalah berusaha tenang. Peneliti lalu
memberinya stiker sebagai reward. Peneliti juga memberikan kesempatan kepada subjek untuk menukar stiker yang telah dikumpulkannya dengan sebuah hadiah.
Peneliti kemudian memperkenalkan langkah selanjutnya dari strategi FEAR. Subjek dapat memahami bahwa hadiah adalah sesuatu yang kita terima ketika kita puas dengan
pekerjaan yang kita lakukan. Hadiah tidak selalu harus kita terima dari orang lain melainkan juga dari diri kita sendiri. Kata-kata sederhana juga bisa membuat kita
merasa senang, misalnya “Yes, aku berhasil”. Subjek lalu menuliskan beberapa bentuk hadiah kecil yang dapat membuatnya senang diantaranya main game, main masak-
masakan, nonton film, makan ice cream, makan coklat, main sama teman-teman, menonton film kartun kesukaannya, bermain, mendengarkan lagu kesukaannya, makan
ice cream, makan ayam goreng dan membaca buku cerita. Setelah itu subjek berlatih untuk menilai usaha yang dilakukannya dengan menggunakan feelings barometer.
Peneliti kemudian merangkum kembali empat langkah yang telah dipelajari oleh subjek. Pertemuan diakhiri dengan tugas untuk membuat strategi FEAR untuk dilatih pada
pertemuan selanjutnya.
SKILLS PRACTICE Sesi 7: Latihan menerapkan strategi FEAR pada situasi yang berada di posisi
Universita Sumatera Utara
terendah dari fear ladder
Tujuan: Memberikan subjek kesempatan untuk menerapkan strategi FEAR dalam situasi
simulasi atau nyata secara bertahap berdasarkan tangga kecemasan yang telah disusunnya
Jalannya sesi: Peneliti terlebih dahulu membahas tugas yang telah dikerjakan oleh subjek yaitu
membuat strategi FEAR untuk menghadapi situasi yang berada pada posisi paling bawah dari tangga ketakutannya. Peneliti pun kembali memberikan stiker kepada subjek
karena mengerjakan tugas dengan baik. Adapun situasi yang akan dilatih pada sesi ini adalah berbicara berdua dengan temannya yang bernama Safa. Subjek mengatakan takut
dengan Safa karena temannya itu sering kali memarahi dan mengejeknya. Subjek kemudian berpikir bahwa ia tidak melakukan kesalahan sehingga Safa tidak boleh
marah kepadanya. Tindakan yang akan dilakukan subjek adalah mengajak bicara Safa dengan suara yang lebih keras dari biasanya. Reward yang akan diberikan atas usahanya
adalah kata-kata penyemangat karena dia berhasil untuk mencoba melakukannya. Peneliti terlebih dahulu mencontohkan kepada subjek bagaimana cara melakukan
strategi FEAR yang telah disusun oleh subjek. Selanjutnya subjek melakukan hal yang sama namun masih diingatkan oleh peneliti untuk menarik nafas dalam-dalam apabila ia
merasa tegang. Peneliti selanjutnya menghadirkan Safa dan meminta subjek untuk berbicara dengannya. Subjek terlihat malu-malu dan pada awalnya masih berbicara
dengan suara yang pelan. Safa terlihat beberapa kali menertawakan dirinya namun subjek hanya tersenyum malu. Kemudian peneliti mendorong subjek untuk berbicara
dengan suara yang lebih keras. Subjek pun akhirnya berbicara dengan suara yang lebih keras sehingga suaranya terdengar tanpa Safa harus mendekat kepadanya. Peneliti pun
memberikan pujian kepada subjek atas usaha yang dilakukannya. Pertemuan diakhiri dengan memberikan tugas menyusun rencana FEAR untuk dilatih pada pertemuan
selanjutnya. Sesi 8:
Latihan menerapkan strategi FEAR pada situasi yang berada di posisi kedua dari
fear ladder Tujuan:
Memberikan subjek kesempatan untuk menerapkan strategi FEAR dalam situasi simulasi atau nyata secara bertahap berdasarkan tangga kecemasan yang telah
disusunnya Jalannya sesi:
Pada pertemuan ini, situasi yang akan dilatih dengan menggunakan prosedur exposure adalah berbicara dengan tiga orang temannya yang bernama Nabila, Wawa
dan Alya. Peneliti terlebih dahulu membahas strategi FEARyang telah disiapkan oleh subjek sambil memberikan stiker sebagai reward. Subjek mengatakan ia merasa sedikit
takut bila berbicara dengan teman-temannya tersebut karena berpikir akan dimaki-maki oleh mereka. Peneliti lalu mengingatkan subjek agar melakukan prosedur relaksasi
cepat seperti menarik nafas dalam-dalam agar ia merasa lebih tenang. Kemudian subjek mengganti pikirannya bahwa belum tentu mereka akan memaki subjek, kenapa harus
takut jika ia tidak melakukan hal yang salah. Tindakan yang akan dilakukannya adalah ia berbicara dengan suara yang lebih keras agar teman-temannya tidak menganggapnya
anak yang penakut. Reward yang diberikan untuk usahanya adalah dengan kata-kata
“Hore, aku berhasil”. Peneliti mengajak untuk subjek mencoba latihan melakukan strategi tersebut. Subjek
diajak untuk membayangkan saat ketiga orang temannya tersebut ada di hadapannya.
Universita Sumatera Utara
Peneliti berpura-pura menjadi salah seorang temannya dan mengajak subjek bicara. Subjek dapat bicara dengan suara yang lebih keras sehingga dapat terdengar meskipun
peneliti tidak mendekatkan telinga kepadanya. Peneliti lalu menghadirkan ketiga orang teman subjek lalu meminta mereka untuk berbincang-bincang. Subjek terlihat dapat
bicara dengan suara yang lebih keras, sehingga teman-temannya mengatakan suara subjek sekarang sudah keras. Peneliti pun memberikan pujian atas usaha yang dilakukan
subjek dan mengakhiri pertemuan dengan memberikan tugas menyusun strategi FEAR untuk pertemuan selanjutnya.
Sesi 9: Latihan menerapkan strategi FEAR pada situasi yang berada di posisi ketiga dari
fear ladder Tujuan:
Memberikan subjek kesempatan untuk menerapkan strategi FEAR dalam situasi simulasi atau nyata secara bertahap berdasarkan tangga kecemasan yang telah
disusunnya Jalannya sesi:
Pada pertemuan ini, peneliti terlebih dahulu membahas tugas yang telah dikerjakan oleh subjek yaitu membuat srategi FEAR untuk dilatih pada tangga ketakutan subjek
yang ketiga. Peneliti lalu memberikan stiker sebagai reward kepada subjek. Situasi yang akan dilatih adalah berbicara di depan sekelompok kecil teman-teman yang berjumlah 7
orang. Subjek mengatakan bahwa ia merasa takut berbicara di depan sekelompok kecil teman-temannya karena berpikir mereka akan mengejeknya. Subjek pun mengganti isi
pikirannya bahwa mereka tidak akan mengejek subjek kalau suara subjek lebih keras. Maka tindakan yang dilakukannya adalah berbicara dengan suara yang lebih keras di
depan mereka. Sebagai hadiahnya, subjek sepulang sekolah akan menonton film kartun kesukaannya.
Peneliti selanjutnya mengajak subjek untuk membayangkan sedang berada di depan 7 orang teman sekelasnya. Subjek diminta untuk berlatih melakukan strateginya
tersebut. Kemudian peneliti menghadirkan 7 orang teman sekelas subjek dan mengajak mereka duduk berkelompok. Peneliti lalu meminta subjek untuk membacakan sebuah
cerita di depan teman-temannya tersebut. Subjek terlihat diam sesaat sambil tersenyum malu, sementara teman-temannya ada yang memberikannya semangat dan ada juga
yang menertawakannya. Peneliti meminta teman-teman subjek untuk memperhatikan saat subjek membaca. Subjek pun mulai membaca dengan suara yang cukup keras
sehingga semua teman-teman yang berada dalam kelompok dapat mendengarkan suaranya. Peneliti mengajak semua teman-teman subjek untuk bertepuk tangan dan
memberikan pujian atas usahanya tersebut. Pertemuan diakhiri dengan memberikan tugas untuk menyusun strategi FEAR yang akan dilatih pada pertemuan selanjutnya.
Sesi 10: Latihan menerapkan strategi FEAR pada situasi yang berada di posisi keempat dari
fear ladder
Tujuan: Memberikan subjek kesempatan untuk menerapkan strategi FEAR dalam situasi
simulasi atau nyata secara bertahap berdasarkan tangga kecemasan yang telah disusunnya
Jalannya sesi: Situasi yang akan dilatih pada pertemuan kali ini adalah berbicara dengan wali kelas
subjek. Peneliti terlebih dahulu membahas strategi FEAR yang telah disusun oleh subjek. Subjek merasa takut kepada wali kelasnya karena berpikir gurunya akan
memarahinya. Lalu subjek mengganti isi pikirannya dengan berpikir bahwa gurunya
Universita Sumatera Utara
tidak akan memarahinya jika ia tidak melakukan kesalahan. Tindakan yang dilakukannya adalah berbicara dan menjawab pertanyaan gurunya dengan suara yang
lebih keras. Jika ia berhasil melakukannya, maka subjek akan berkata pada dirinya sendiri bahwa ia sudah bisa.
Peneliti mengajak subjek untuk melakukan persiapan sebelum menghadirkan wali kelasnya. Subjek terlihat menarik nafas dan membuangnya perlahan, setelah subjek
merasa siap lalu peneliti menghadirkan ibu Irma yaitu wali kelas subjek ke dalam kelas. Ibu Irma menanyakan beberapa hal kepada subjek berkaitan dengan teman-teman
subjek di kelas. Subjek pun dapat menjawabnya dengan suara yang cukup keras sehingga ibu Irma turut memujinya dan mengatakan bahwa subjek pasti bisa. Pertemuan
diakhiri dengan memberikan tugas untuk menyusun strategi FEAR untuk pertemuan selanjutnya.
Sesi 11: Latihan menerapkan strategi FEAR pada situasi yang berada di posisi kelima dari
fear ladder
Tujuan: Memberikan subjek kesempatan untuk menerapkan strategi FEAR dalam situasi
simulasi atau nyata secara bertahap berdasarkan tangga kecemasan yang telah disusunnya
Jalannya sesi: Pada pertemuan kali ini, latihan akan dilakukan pada situasi dengan tingkat
kecemasan yang lebih meningkat dibandingkan sebelumnya. Adapun situasi yang akan dipraktikkan adalah berbicara dengan guru Matematika yang bernama ibu Rosneli.
Subjek merasa takut karena berpikir bahwa ia akan melakukan kesalahan dan dihukum oleh gurunya tersebut. Subjek kemudian mengganti isi pikirannya dengan berpikir
bahwa subjek tidak perlu takut dihukum jika ia tidak melakukan kesalahan. Tindakan yang dilakukan subjek adalah berbicara dengan suara yang lebih keras dan bersikap
sopan di hadapan ibu guru. Sebagai hadiah atas usahanya, subjek akan bermain bersama adiknya sepulang sekolah.
Peneliti sebelumnya mengajak subjek untuk berlatih terlebih dahulu dan membayangkan ibu Rosneli sedang berada di hadapannya. Peneliti mengingatkan
subjek untuk mengambil nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Selanjutnya peneliti menghadirkan ibu Rosneli yang menanyakan subjek tentang ujian yang telah
dijalaninya. Pada awalnya suara subjek masih terdengar pelan, lalu setelah peneliti memberikan dorongan maka suaranya terdengar cukup keras sehingga ibu gurunya tidak
perlu mendekat kepada subjek agar dapat mendengar suaranya. Sesi 12: Latihan menerapkan strategi FEAR pada situasi yang berada di posisi
tertinggi dari
fear ladder
Tujuan: Memberikan subjek kesempatan untuk menerapkan strategi FEAR dalam situasi
simulasi atau nyata secara bertahap berdasarkan tangga kecemasan yang telah disusunnya
Jalannya sesi: Pertemuan kali ini adalah untuk melatih keterampilan subjek dalam melakukan
strategi pengendalian kecemasan pada situasi yang tertinggi dari tangga ketakutannya. Situasi tersebut adalah membaca dengan suara keras di hadapan guru dan teman-teman
sekelas. Peneliti terlebih dahulu membahas strategi FEAR yang telah disusun oleh subjek. Subjek merasa takut karena berpikir teman-temannya akan menertawakannya
dan mengejeknya. Subjek lalu mengganti isi pikirannya dengan berpikir bahwa teman- teman tidak akan menertawakannya lagi kalau ia berhasil membaca dengan suara yang
Universita Sumatera Utara
keras. Subjek mulai menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan lalu ia pun maju ke depan dan mulai membaca. Subjek dapat melakukannya dengan baik meskipun
suara subjek belum cukup keras sehingga teman-temannya yang duduk di belakang kurang dapat mendengarkannya. Peneliti dan wali kelas pun memberikan pujian kepada
subjek. Peneliti pun merangkum kembali seluruh tahapan dalam strategi FEAR dan mengakhiri terapi.
.
4.2.5. Hasil penelitian pada subjek 2 4.2.5.1. Hasil per sesi
Tabel 4.7. Hasil intervensi pada subjek 2
Sesi Tahapan
Tujuan Hasil
SKILLS TRAINING F
FEELING FRIGHTENED?
1 Mengenali
perasaan cemas Mengenali
berbagai bentuk emosi
beserta ekspresinya,
membedakan antara kecemasan
dengan
bentuk emosi
lainnya, mengenali reaksi
fisik saat cemas dan
menyusun hirarki
situasi pemicu
kecemasan. Subjek dapat mengenali beberapa
bentuk emosi seperti sedih, senang, sayang
dan malu
beserta ekspresinya masing-masing, seperti
misalnya senang terlihat dari bibir yang tersenyum, dan sedih terlihat
dari
wajah. Melalui
berbagai kegiatan yang dilakukan pada sesi
ini, subjek pun menyadari seperti apakah perasaan cemas atau takut
itu. Subjek kemudian mengatakan bahwa ia merasa takut berbicara
dengan volume suara yang lebih keras karena akan dimarahi oleh
guru. Ia juga khawatir teman-teman akan
mentertawakannya jika
suaranya tiba-tiba menjadi lebih keras dari biasanya. Subjek lalu
menyusun hirarki kecemasannya untuk berbicara dengan volume
suara yang lebih keras di sekolah.
2 Mengenali repon
somatis saat
cemas Mengenali secara
spesifik respon
somatis saat
cemas. Subjek dapat membedakan antara
saat ia merasa cemastakut dan saat ia merasa tenang. Ia mengatakan
ketika di sekolah ia sering merasa cemas, hal ini dapat ia sadari dari
anggota tubuhnya yang terasa kaku bila dibandingkan dengan saat ia di
rumah. Ia mengatakan saat ia cemas,
ia merasa
jantungnya berdebar
lebih kencang
dari biasanya, perutnya juga terasa tidak
Universita Sumatera Utara
enak, selain itu tangannya terasa dingin.
3 Latihan relaksasi Melakukan
latihan relaksasi sederhana untuk
membantu mengurangi
ketegangan saat sedang
merasa cemastakut.
Pada tahap ini, subjek terlihat cukup nyaman saat melakukan latihan
relaksasi. Meskipun pada awalnya ia terlihat malu-malu namun ia
mengikuti segala instruksi yang diberikan. Ia mengatakan dapat
merasakan
perbedaan pada
tubuhnya saat melakukan relaksasi. Namun ia masih perlu latihan
berulang kali agar semakin terampil melakukannya.
E EXPECTING BAD THINGS TO HAPPEN?
4 Mengenali
dan memodifikasi
anxious self talk Memahami
fungsi self talk dan pengaruhnya
terhadap respon yang muncul saat
cemas, mengidentifikasi
anxious self talk isi
pikiran subjek
saat cemas
dan mengembangkan
coping self talk isi pikiran yang
dapat membantu mengatasi
rasa cemas.
Pada tahap ini, subjek mengatakan bahwa ia cemas jika ia bicara
dengan volume suara yang lebih keras maka ia akan dihukum oleh
guru karena membuat keributan seperti teman-temannya yang lain.
Selain itu ia juga khawatir jika volume suaranya menjadi lebih
keras, maka teman-teman dan gurunya akan merasa heran. Melalui
cognitive
restructuring, subjek
menyadari bahwa pikirannya selama ini belum tentu benar. Ia selama ini
tidak pernah dihukum oleh guru, dan guru hanya menghukum murid
yang nakal. Selain itu selama ini teman-teman mengejeknya karena
suaranya yang pelan, maka berarti jika volume suaranya lebih keras
teman-teman
tidak akan
mengejeknya lagi.
A ATTITUDES AND ACTION THAT CAN HELP
5 Mengembangkan
keterampilan problem solving
Memahami konsep problem
solving, dan
menggunakan strategi problem
solving untuk
mengendalikan kecemasan.
Melalui tahap problem solving, subjek pun membuat beberapa
rencana untuk
mengendalikan ketakutannya
yaitu dengan
mengubah volume
suaranya menjadi lebih keras namun tetap
bersikap sopan dan tidak melakukan hal-hal yang membuat ibu guru
marah.
R RESULTS AND REWARDS
6 Memperkenalkan
konsep self
rating dan
reward Memahami
konsep evaluasi diri dan dapat
memberikan Subjek dapat memahami bahwa
hadiah kecil seperti misalnya kata- kata pujian untuk diri sendiri atas
usaha dan performa yang telah
Universita Sumatera Utara
reward terhadap diri
sendiri berdasarkan
usaha dan
performa yang
dilakukan. dilakukan juga dapat menimbulkan
perasaan senang dan puas dalam dirinya.
SKILLS PRACTICE
7 Latihan
menerapkan strategi
FEAR pada situasi yang
berada di posisi terendah
dari fear ladder
Menerapkan strategi
FEAR dalam
situasi simulasi
atau nyata
secara bertahap
Situasi pertama yang dihadapkan pada
subjek adalah
berbicara dengan salah seorang temannya
yang bernama Safa. Menurutnya Safa sering kali memarahi dan
mengejeknya. Pada awalnya, subjek terlihat malu-malu dan masih saja
berbicara dengan volume yang sangat pelan sehingga nyaris tidak
terdengar. Namun perlahan-lahan subjek dapat meningkatkan volume
suaranya sehingga dapat terdengar oleh lawan bicaranya.
8 Latihan
menerapkan strategi
FEAR pada situasi yang
berada di posisi kedua dari fear
ladder Menerapkan
strategi FEAR
dalam situasi
simulasi atau
nyata secara
bertahap Situasi selanjutnya adalah berbicara
dengan tiga orang temannya yaitu Nabila, Wawa dan Alya. Subjek
selama ini merasa takut karena akan dimaki-maki oleh mereka. Subjek
pun kemudian mencoba untuk meningkatkan
volume suaranya
sehingga teman-temannya
berkomentar bahwa
suaranya sekarang sudah menjadi lebih keras.
9 Latihan
menerapkan strategi
FEAR pada situasi yang
berada di posisi ketiga dari fear
ladder Menerapkan
strategi FEAR
dalam situasi
simulasi atau
nyata secara
bertahap Subjek selanjutnya harus berbicara
di depan sekelompok kecil teman- temannya yang berjumlah 7 orang.
Menurut subjek, semakin banyak jumlah
orang yang
harus dihadapinya
maka ia
merasa semakin takut dan berpikir kalau
mereka akan mengejeknya. Subjek kemudian berhasil membacakan
sebuah cerita di depan teman- temannya tersebut sehingga semua
temannya
yang ada
dalam kelompok tersebut dapat mendengar
suaranya dengan cukup jelas. 10
Latihan menerapkan
strategi FEAR
pada situasi yang berada di posisi
keempat dari
Menerapkan strategi
FEAR dalam
situasi simulasi
atau nyata
secara bertahap
Subjek mengatakan bahwa selain takut kepada teman-temannya, ia
juga merasa takut jika harus berbicara di depan wali kelasnya.
Oleh karena itu pada tahap ini subjek berlatih untuk berbicara
Universita Sumatera Utara
fear ladder dengan volume yang lebih keras
dengan wali kelasnya. Subjek pun mampu melakukan hal tersebut
dengan baik sehingga suaranya lebih jelas terdengar dibandingkan
sebelumnya.
11 Latihan
menerapkan strategi
FEAR pada situasi yang
berada di posisi kelima dari fear
ladder Menerapkan
strategi FEAR
dalam situasi
simulasi atau
nyata secara
bertahap Selain
wali kelasnya,
subjek mengaku merasa takut dengan guru
matematikanya. Namun demikian melalui prosedur exposure yang
dilakukan, subjek berhasil berbicara dengan volume suara yang lebih
keras
di hadapan
guru matematikanya tersebut.
12 Latihan
menerapkan strategi
FEAR pada situasi yang
berada di posisi tertinggi dari
fear ladder Menerapkan
strategi FEAR
dalam situasi
simulasi atau
nyata secara
bertahap Situasi terakhir yang harus dihadapi
oleh subjek
adalah membaca
dengan suara keras di hadapan guru dan teman-teman sekelasnya. Pada
tahap ini
subjek dapat
melakukannya dengan cukup baik, meskipun suaranya belum cukup
keras sehingga teman-teman yang duduk di belakang kurang dapat
mendengarkan.
4.2.5.2. Hasil pengukuran LSAS-CA
Berikut ini adalah perolehan skor pre-test dan post-test LSAS-CA dari subjek 2: Tabel 4.8. Perolehan skor LSAS-CA pre-test dan post-test pada subjek 2
Pre-test Post-test
Penurunan skor
Tingkat kecemasan pada situasi sosial 20
11 9
Tingkat kecemasan
pada situasi
performance 22
13 9
Tingkat penghindaran pada situasi sosial
16 5
11 Tingkat penghindaran pada situasi
performance 18
3 15
Skor total tingkat kecemasan 42
24 18
Skor total tingkat penghindaran 34
8 26
Skor total social phobia 76
marked social
phobia 32
normal range
44
Universita Sumatera Utara
Berdasarkan hasil pengukuran LSAS-CA pada tahap pre-test, subjek memperoleh skor total tingkat kecemasan sebesar 42 dengan skor 20 untuk tingkat
kecemasan pada situasi sosial dan 22 pada situasi performance. Selanjutnya untuk tingkat penghindaran subjek memperoleh total skor 34 dengan skor 16 untuk
penghindaran pada situasi sosial dan 18 pada situasi performance. Skor total tingkat social phobia yang dialami subjek adalah 76 yang menunjukkan bahwa subjek memiliki
tingkat marked social phobia skor 65-80 severe social phobia. Sedangkan pada tahap post-test, subjek memperoleh skor total tingkat kecemasan sebesar 24 dengan skor 11
untuk tingkat kecemasan pada situasi sosial dan 13 pada situasi performance. Selanjutnya untuk tingkat penghindaran subjek memperoleh total skor 8 dengan skor 5
untuk penghindaran pada situasi sosial dan 3 pada situasi performance. Skor total tingkat social phobia yang diperoleh subjek adalah 32 yang menunjukkan bahwa tingkat
social phobia subjek berada dalam kategori normal skor 55 normal range. Berikut adalah perolehan skor pre-test dan post-test LSAS-CA dari subjek 2:
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa subjek mengalami penurunan pada keseluruhan skor LSAS-CA setelah mengikuti program intervensi coping cat. Skor
tingkat kecemasan pada situasi sosial yang pada awalnya 20 turun sebanyak 9 poin menjadi 11 setelah intervensi. Tingkat kecemasan pada situasi performance juga
mengalami penurunan sebanyak 9 poin yaitu dari 22 menjadi 13. Dengan demikian untuk skor total tingkat kecemasan, subjek mengalami penurunan sebanyak 18 poin,
yaitu dari 42 menjadi 24 setelah intervensi. Penurunan skor yang lebih signifikan terlihat pada skor tingkat penghindaran.
Skor subjek untuk tingkat penghindaran pada situasi sosial menurun sebanyak 11 poin dari 16 menjadi 5. Demikian juga halnya dengan skor tingkat penghindaran pada situasi
performance, menurun sebanyak 15 poin dari 18 menjadi 3. Dengan demikian total skor
Universita Sumatera Utara
tingkat penghindaran mengalami penurunan sebesar 26 poin, yaitu dari 34 menjadi 8. Skor total social phobia yang diperoleh subjek setelah intervensi menurun sebanyak 44
poin, dari 76 yang tergolong dalam kategori marked social phobia menjadi 32 yang tergolong dalam kategori normal.
4.2.5.3. Hasil pengukuran SUDS
Hasil tambahan pada penelitian ini diperoleh melalui SUDS untuk mengukur tingkat kecemasan pada situasi sosial berdasarkan self judgement subjek yang
bersangkutan. Pengukuran ini dilakukan pada tahap pra intervensi, selama sesi intervensi dan paska intervensi untuk melihat perubahan tingkat kecemasan subjek per
sesi. Berikut ini adalah grafik tingkat kecemasan yang dialami subjek beserta perubahan-perubahan yang terjadi sebelum proses intervensi, selama proses intervensi
berlangsung dan setelah proses intervensi selesai dilaksanakan.
Gambar 4.9. Hasil SUDS pra intervensi, sesi intervensi dan paska intervensi subjek 2
Berdasarkan grafik 4.8 diatas, dapat dilihat adanya penurunan tingkat kecemasan subjek secara bertahap. Penurunan tingkat kecemasan dapat dilihat mulai dari sesi
1 2
3 4
5 6
7 8
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5
S kor
Pra intervensi Sesi intervensi Paska intervensi
Universita Sumatera Utara
intervensi dan paska intervensi. Pada saat pra intervensi, hari pertama pada situasi subjek disuruh membaca
iqra’ di depan kelas tingkat kecemasan subjek berada pada angka 6. Pada hari berikutnya, pada situasi disapa oleh guru piket tingkat kecemasan
subjek menurun pada angka 4. Hal ini disebabkan karena jumlah orang yang dihadapinya tidak sebanyak pada hari pertama. Demikian juga dua hari berikutnya, pada
situasi ketika ia berbicara dengan teman dan menyampaikan pesan kepada seorang guru tingkat kecemasannya berada pada angka 4. Pada hari kelima pra intervensi, subjek
disuruh maju ke depan oleh gurunya dan tingkat kecemasannya meningkat menjadi 6. Dapat dilihat bahwa subjek menunjukkan tingkat kecemasan yang lebih tinggi ketika
jumlah orang yang dihadapinya semakin banyak. Memasuki fase intervensi, pada sesi kedua mulai terlihat penurunan tingkat
kecemasan subjek dari 6 menjadi 5. Kemudian pada sesi keempat turun menjadi 4 dan bertahan hingga sesi keenam. Pada sesi ketujuh, terjadi penurunan skor kecemasan
subjek menjadi 3. Hal ini bertahan hingga beberapa sesi selanjutnya, pada akhir fase intervensi skor SUDS subjek menetap pada poin 3. Pada tahap paska intervensi, yaitu
dua minggu setelah intervensi terlihat pada hari pertama skor SUDS subjek tetap berada pada angka 3. Situasi yang dihadapinya saat itu adalah membaca
iqra’ di depan guru dan teman-teman. Hal ini berarti subjek masih sedikit cemas jika harus tampil
disaksikan oleh guru dan teman-temannya. Pada hari selanjutnya, skor SUDS subjek menurun menjadi 2 pada situasi ketika ia disapa oleh salah seorang guru. Pada hari
ketiga, skor SUDS subjek adalah 1 ketika ia berbicara dengan teman-temannya. Hal ini menunjukkan kecemasan subjek sudah menurun dibandingkan sebelum intervensi. Pada
hari keempat, skor kecemasan subjek adalah 2 demikian juga pada hari terakhir ketika ia disuruh maju ke depan oleh gurunya. Hal ini berarti subjek masih merasa sedikit cemas
Universita Sumatera Utara
meskipun tingkatnya sudah menurun bila dibandingkan dengan sebelum diberikan intervensi coping cat.
4.2.5.4. Hasil observasi
Berdasarkan hasil observasi, subjek menunjukkan gejala-gejala social phobia yaitu menolak untuk berbicara dengan volume suaranya yang normal saat berada di
situasi sosial yang ditakutinya yaitu sekolah. Ketika berada di sekolah, volume suara subjek terdengar sangat pelan padahal saat berada di rumah, volume suaranya terdengar
keras dan lantang. Pada saat pengukuran awal, suara subjek terdengar sangat pelan sehingga peneliti harus mendekat agar dapat mendengar perkataannya. Kontak matanya
cukup baik meskipun sikap berdiri dan posisi duduknya terlihat kaku. Subjek tidak banyak bicara, dan hanya menjawab pertanyaan peneliti dengan singkat. Perilaku subjek
yang berbicara dengan volume suara sangat pelan terjadi setiap saat. Baik saat disuruh maju ke depan oleh guru, berbicara di luar kelas dengan guru, atau berbicara dengan
teman-teman. Respon yang terlihat dari guru dan teman-temannya adalah mereka mendekat kepada subjek untuk mendengar suaranya. Saat di kelas teman-temannya
banyak yang terlihat sibuk sendiri dan tidak memperhatikan subjek. Ada juga yang mengejek suara subjek yang pelan dan menertawakannya. Salah seorang teman subjek
yang sering terlihat bersamanya kerap kali membentaknya. Namun subjek hanya diam dan mengikuti perkataan temannya.
Pada saat tahap pelaksanaan intervensi dimulai, subjek terlihat tidak terlalu bersemangat. Ia juga terlihat menuliskan jawabannya di lembar kerja dengan malas-
malasan. Namun pada pertemuan berikutnya, subjek terlihat lebih antusias. Pada saat peneliti datang ke sekolahnya, ia sudah menunggu kedatangan peneliti. Ketika diajak
berbicara mengenai kecemasannya, ia tidak langsung terbuka. Namun setelah bercerita
Universita Sumatera Utara
lebih lanjut barulah ia mau terbuka dan menceritakannya mengenai kecemasannya di sekolah. Pada saat proses intervensi dilakukan, beberapa kali teman subjek terlihat
mendekat dan bertanya apa yang sedang dilakukan oleh subjek. Subjek pun hanya diam dan menatap peneliti, ia tidak banyak bicara dengan teman-temannya. Setiap ada
temannya yang lewat ia hanya diam dan tidak menyapa teman sekelasnya tersebut. Pada saat kegiatan relaksasi dilakukan, beberapa teman dekat subjek pun ikut
serta. Subjek terlihat lebih bersemangat dan lebih banyak tertawa, meskipun ia lebih sering diam dan hanya berbicara bila ditanya. Subjek terlihat malu-malu saat melakukan
kegiatan relaksasi ini. Saat itu teman-temannya mengatakan kalau suara subjek sudah terdengar lebih keras dibandingkan dengan biasanya. Subjek pun hanya tersenyum
mendengarnya. Pertemuan selanjutnya subjek mulai terlihat lebih banyak bicara dengan peneliti. Ia beberapa kali bertanya jika ada yang tidak ia pahami, suaranya sudah
terdengar lebih keras sehingga peneliti tidak perlu terlalu mendekat untuk dapat mendengarnya. Hal ini berlangsung hingga tahap exposure dilakukan. Suara subjek
terdengar lebih keras lagi sehingga peneliti dapat mendengar tanpa harus mendekat kepadanya.
Setelah tahap intervensi selesai dilakukan, dua minggu kemudian peneliti kembali melakukan observasi dan wawancara terhadap subjek. Subjek kini sudah dapat
berbicara dengan volume suara yang lebih keras baik ketika berada di dalam kelas maupun saat berbicara dengan teman atau gurunya di luar kelas. Hal ini pun diakui oleh
orang tua, guru dan teman-temannya. Pada saat sedang berkumpul bersama temannya, subjek sudah lebih banyak berbicara dan bercanda. Demikian juga halnya pada saat
disapa oleh guru-guru lain yang sedang duduk di meja piket, subjek tampak berbicara dengan guru-guru tersebut. Volume suaranya kini sudah lebih terdengar sehingga guru
tersebut tidak harus mendekat lagi agar mendengar suaranya. Ketika gurunya
Universita Sumatera Utara
memerintahkan subjek untuk maju ke depan. Subjek terlihat maju ke depan dengan perlahan, dan wajahnya terlihat tegang. Subjek lalu mulai membaca dengan volume
suara yang cukup keras meskipun sebagian murid masih ada yang tidak dapat mendengarkan suaranya. Ia juga beberapa kali melakukan kontak mata dengan teman-
temannya.
4.2.5.5. Hasil wawancara
Pada saat wawancara di awal, subjek mengatakan bahwa ia kerap kali berbicara dengan suara yang pelan di sekolah karena tidak ingin membuat keributan hingga
akhirnya dimarahi oleh guru. Ia takut sekali berbuat kesalahan sehingga ia sangat berhati-hati dan menjaga sikapnya. Menurut subjek sebenarnya ia tidak pernah dimarahi
oleh guru, namun ia pernah melihat teman-temannya yang dimarahi oleh guru. Subjek juga merasa cemas jika temannya marah kepadanya karena ia akan sedih jika sendiri
dan tidak memiliki teman. Oleh karena itu ia ingin membuat temannya senang dan mengikuti kemauan temannya saja. Menurut subjek, sebenarnya saat di rumah suaranya
memang lebih keras. Namun di sekolah, ia takut semuanya akan merasa heran jika suaranya berubah menjadi lebih keras dari biasanya.
Setelah menjalani program intervensi, ia mengatakan bahwa ia sudah lebih berani untuk bicara dengan suara yang lebih keras. Ia merasa senang karena orang tua
dan guru-gurunya di sekolah memujinya karena sekarang suaranya sudah lebih keras. Menurutnya, ibu guru mengatakan bahwa ia adalah anak yang pintar dan tidak pernah
membuat ibu guru marah. Meskipun demikian, subjek mengatakan terkadang masih merasa takut terhadap temannya. Sulit baginya untuk menolak ajakan atau permintaan
temannya, karena jika tidak maka temannya tidak mau berteman dengannya lagi. Subjek juga masih merasa cemas jika harus menjawab pertanyaan di depan teman-teman
Universita Sumatera Utara
sekelas atau tampil di depan kelas. Namun ia mengatakan bahwa strategi FEAR sangat membantunya untuk mengendalikan kecemasannya.
Universita Sumatera Utara
4.3. Pembahasan
Pembahasan dilakukan terhadap hasil penelitian yang ditinjau melalui alat ukur The Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report LSAS-
CA-SR dan The Subjective Units of Distress Scale SUDS. Selanjutnya akan dibahas juga mengenai kekuatan serta kelemahan dalam penelitian ini untuk dijadikan acuan
bagi penelitian selanjutnya. Berikut ini adalah rekapitulasi skor LSAS-CA-SR pada kedua subjek penelitan.
Universita Sumatera Utara
Tabel 4.9. Rekapitulasi skor LSAS-CA-SR pada kedua subjek penelitian SUBJEK - 1
SUBJEK – 2
Pre-test Post-
test Penurunan
skor Pre-test
Post- test
Penurunan Skor
Tingkat kecemasan pada situasi sosial
25 20
5 20
11 9
Tingkat kecemasan pada
situasi performance
33 15
18 22
13 9
Tingkat penghindaran pada
situasi sosial 30
7 23
16 5
11
Tingkat penghindaran pada
situasi performance 24
4 20
18 3
15
Skor total tingkat kecemasan
58 35
23 42
24 18
Skor total tingkat penghindaran
54 11
43 34
8 26
Skor total social phobia
112 very
severe social
phobia 46
normal range
66 76
marked social
phobia 32
normal range
44
Berdasarkan data yang diperoleh, ternyata tingkat social phobia pada kedua subjek penelitian berbeda. Subjek 1 menunjukkan tingkat social phobia yang lebih
tinggi yaitu tergolong dalam kategori very severe social phobia. Sedangkan subjek 2 menunjukkan tingkat social phobia yang tergolong dalam marked social phobia. Hal ini
dapat disebabkan oleh status sosial ekonomi subjek 1 yang tergolong rendah. Ayahnya bekerja sebagai supir angkutan umum, sedangkan ibunya bekerja sebagai pembantu
rumah tangga. Subjek 1 bersama keluarganya sendiri tinggal bersama di rumah majikan tempat ibunya bekerja. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Merikangas dalam Brook
dan Schmidt, 2008 yang menemukan bahwa angka social phobia lebih tinggi pada individu dengan latar belakang sosial ekonomi status yang rendah. Lebih lanjut
dikatakan bahwa kemiskinan seseorang dapat mempengaruhi fungsi sosialnya. Selain itu subjek 1 juga sehari-harinya sering menerima kritikan yang berasal dari majikan dan
Universita Sumatera Utara
juga orang tuanya. Dengan demikian, subjek harus menghadapi lebih dari satu sumber stress sehingga memicu meningkatkan kecemasannya. Hal ini menyebabkan subjek 1
kerap kali merasa takut melakukan kesalahan dan dimarahi. Dijelaskan juga bahwa pengasuhan yang negatif, salah satunya adalah pengasuhan yang penuh kritikan dapat
mempengaruhi berkembangnya social phobia dalam diri anak Brook Schmidt, 2008.
Subjek 2 berasal dari latar belakang sosial ekonomi dan pendidikan yang lebih baik. Kedua orang tuanya berprofesi sebagai guru, subjek pun menerima pengasuhan
yang positif dari orang tuanya. Mereka memberikan dukungan dan kesempatan kepada subjek untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Namun menurut orang tuanya
sejak kecil subjek memang tergolong anak yang pendiam dan pemalu. Menurut Stemberger dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001, temperamen anak dengan
karakteristik pemalu, cenderung menahan diri dan menghindar merupakan faktor resiko bagi berkembangnya social phobia di kemudian hari. Meskipun demikian tidak
selamanya anak yang pemalu akan mengalami social phobia di kemudian hari. Hal ini berarti bahwa ada faktor penyebab lainnya yang mempengaruhi social phobia pada
subjek 2. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa subjek 2 kerap kali memunculkan safety behavior dengan cara mengecilkan volume suaranya saat berada
pada situasi sosial yang ditakutinya. Ternyata dikatakan bahwa meskipun safety behavior menghasilkan perasaan nyaman bagi individu yang bersangkutan namun
perilaku tersebut justru semakin memperkuat kecemasan itu sendiri. Hal ini disebabkan karena safety behavior mencegah individu dengan social phobia memperoleh
penyangkalan mengenai kecemasannya yang tidak realistis selama ini Salkovski dalam Wells, dkk, 1995. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku subjek 2 yang
Universita Sumatera Utara
selama ini mengecilkan volume suaranya saat di sekolah justru menyebabkan kecemasannya bertahan.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat social phobia pada kedua subjek antara sebelum diberikan intervensi dan setelah intervensi. Tingkat social
phobia pada kedua subjek berkurang saat paska intervensi yang mengindikasikan bahwa program intervensi memiliki pengaruh dan juga mampu mengurangi tingkat social
phobia. Terdapat beberapa hal yang perlu didiskusikan terkait dengan efektivitas tersebut. Apabila dilihat pada LSAS-CA-SR, maka dalam setiap subskalanya baik
tingkat kecemasan pada situasi sosial dan situasi performance, tingkat penghindaran pada situasi sosial dan situasi performance, total skor tingkat kecemasan, total skor
tingkat penghindaran dan total skor social phobia semuanya mengalami penurunan pada kedua subjek. Terlihat penurunan skor pada subskala tingkat penghindaran lebih
signifikan dibandingkan dengan skor pada subskala tingkat kecemasan. Hal ini dapat diartikan berkurangnya kecemasan dan perilaku menghindar subjek baik pada situasi
sosial maupun situasi performance setelah menjalani intervensi. Adapun perilaku menghindar terlihat lebih banyak mengalami penurunan dibandingkan dengan
kecemasan subjek. Perubahan tingkat kecemasan kedua subjek per sesinya juga dapat dilihat pada
skor SUDS yang dirangkum dalam gambar di bawah ini.
Universita Sumatera Utara
Gambar 4.11. Rekapitulasi skor SUDS pada kedua subjek penelitian Berdasarkan gambar di atas, terlihat adanya penurunan tingkat kecemasan
secara bertahap pada kedua subjek penelitian. Subjek 1 pada saat pra intervensi menilai kecemasannya berada pada kategori sangat cemas, penurunan mulai terlihat pada sesi
intervensi yaitu pada tahap skills training setelah ia mempelajari strategi FEAR untuk mengendalikan kecemasannya. Selanjutnya secara bertahap subjek terus merasakan
kecemasannya menurun hingga akhir sesi intervensi pada tahap skills practice ia menilai kecemasannya berada dalam kategori sedikit cemas. Bahkan subjek mengatakan
pada saat paska intervensi ia tidak merasa cemas sama sekali saat harus membukakan pintu untuk tamu di rumah dan bermain di luar kelas pada saat jam istirahat di sekolah.
Demikian juga halnya yang terjadi pada subjek 2, kecemasannya yang pada awalnya dirasakan berada dalam kategori cemas menurun menjadi sedikit cemas pada
saat paska intervensi. Penurunan terlihat dari mulai awal sesi intervensi hingga bertahan pada kategori sedikit cemas. Terlihat bahwa perubahan skor SUDS pada subjek 2 tidak
terlalu signifikan bila dibandingkan dengan subjek 1. Hal ini disebabkan oleh karena safety behavior subjek yang sudah sekian lama bertahan dan dilakukan oleh subjek di
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
1 2
3 4
5 1
2 3
4 5
6 7
8 9 10 11 12 1
2 3
4 5
S kor
S U
D S
Pra intervensi Sesi Intervensi Paska intervensi
Rekapitulasi skor SUDS subjek 1 dan 2
Subjek 1 Subjek 2
Linear Subjek 1 Linear Subjek 2
Universita Sumatera Utara
sekolah. Semenjak kelas 1 SD, subjek sudah berbicara dengan suara yang sangat pelan. Pada saat tahap exposure, subjek juga terlihat sulit untuk mempertahankan volume
suaranya agar tetap normal. Subjek terkadang masih berbicara dengan volume suara yang pelan meskipun sudah lebih terdengar oleh teman-teman maupun gurunya.
Dikatakan bahwa dalam proses terapinya, prosedur exposure yang dilakukan akan berkurang efektivitasnya apabila individu yang bersangkutan tetap mempertahankan
safety behavior tersebut. Prosedur exposure akan lebih efektif jika individu berhenti melakukan safety behavior saat berada pada situasi cemas Wells, dkk, 1995
Sebelumnya telah diuraikan perubahan-perubahan yang terjadi pada kedua subjek penelitian ditinjau dari skor yang diperoleh dari alat ukur LSAS-CA-SR dan
SUDS. Penurunan tersebut juga sesuai dengan data kualitatif yang diperoleh. Subjek 1 sudah tidak lagi menghindar dan menyendiri di dalam kelas pada saat jam istirahat. Ia
sudah lebih banyak bicara dan berinteraksi dengan teman-temannya. Meskipun pada situasi tertentu seperti bermain di pusat perbelanjaan yang ramai, ia mengatakan masih
merasa sedikit cemas karena situasi yang difokuskan pada saat intervensi adalah keluar kelas pada saat jam istirahat di sekolah. Demikian juga halnya dengan subjek 2, ia
sudah dapat berbicara dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya ketika berinteraksi dengan teman maupun gurunya di sekolah. Meskipun demikian ia
mengatakan masih merasa cemas jika harus tampil di depan kelas, menolak permintaan temannya, dan ia takut jika temannya memarahinya.
Adapun keberhasilan penerapan intervensi program Coping Cat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama adalah pembinaan rapport yang baik sehingga
meningkatkan kepercayaan dan kenyamanan subjek terhadap peneliti. Rapport memang sangatlah penting dalam mengevaluasi tujuan dan keberhasilan suatu program
intervensi. Terutama pada klien anak-anak, keberhasilan terapi berhubungan erat
Universita Sumatera Utara
dengan hubungan interpersonalnya dengan terapis Fourie dkk, dalam Duchan Kovarsky, 2011. Kedua subjek penelitian menunjukkan sikap yang antusias terhadap
peneliti. Meskipun pada awalnya tidaklah mudah untuk membina rapport dikarenakan kondisi subjek yang mengalami social phobia sehingga terlampau berhati-hati dan takut
akan penilaian negatif dari orang lain, namun lambat laun melalui pendekatan dan aktivitas yang menyenangkan kedua subjek dapat bersikap terbuka kepada peneliti dan
menceritakan mengenai kecemasannya. Kedua, materi yang digunakan dalam program intervensi Coping Cat mengikuti
manual yang terstruktur dan juga disertai oleh buku kerja yang sejalan dengan intervensi yang dilakukan. Manual ini dapat memudahkan terapis mengarahkan anak-anak dalam
mengikuti jalannya terapi serta menentukan langkah selanjutnya yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Pemberian buku kerja memungkinkan anak untuk belajar dan
melatih kemampuan yang baru diperolehnya secara terstruktur. Selain itu pemberian buku kerja juga konsisten dengan metode pembelajaran yang diperoleh anak-anak di
sekolah Kendall, 2010. Hal ini terlihat dalam proses intervensi, dimana kedua subjek penelitian dapat dengan mudah memahami setiap materi yang diberikan dan
mengerjakan tugas dalam buku kerja tanpa mengalami banyak kesulitan. Ketiga, program intervensi Coping Cat dirancang secara terstruktur dan
sistematis sehingga menjangkau target modifikasi yaitu tingkat social phobia dan perilaku menghindar subjek. Tingkat kecemasan subjek terlebih dahulu dinetralisir oleh
peneliti, lalu secara bertahap subjek diajarkan sejumlah strategi untuk mengatasi kecemasannya mulai dari mengenali reaksi fisiknya saat cemas, mengubah pikiran
negatifnya, membuat rencana tindakan yang akan dilakukan serta mengevaluasi usahanya sendiri dan memberikan self reward. Sejumlah strategi tersebut dirangkum
dengan istilah FEAR agar anak mudah mengingat dan memahaminya. Penggunaan
Universita Sumatera Utara
singkatan tersebut terlihat efektif karena kedua subjek penelitian tidak kesulitan untuk menghafal setiap langkah-langkah tersebut setelah beberapa kali pertemuan. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kendall 2006 bahwa sejumlah strategi yang dirangkum dalam sebuah akronim atau singkatan dapat membuat anak lebih
mudah untuk mengingat dan melakukan strategi tersebut. Selanjutnya, anak juga diberikan kesempatan melalui prosedur exposure untuk melatih strategi yang telah
dipelajarinya. Setelah menjalani prosedur exposure, terlihat bahwa tingkat kecemasan kedua subjek mengalami penurunan dan bertahan hingga dua minggu paska intervensi.
Intervensi yang dilakukan dengan membangun skills yang relevan dan dikombinasikan dengan prosedur exposure dapat mendorong keterlibatan dan kerja sama anak dalam
intervensi sehingga pada akhirnya menimbulkan dampak yang positif Kendall dkk, 2008.
Keempat, dukungan dari keluarga, guru serta teman sebaya juga mempengaruhi tercapainya hasil yang positif dari intervensi ini. Sebagaimana diketahui bahwa
penerimaan serta dukungan sosial dari keluarga dan teman sebaya berhubungan dengan tingkat social phobia pada anak Festa Ginsburg, 2011. Pada penelitian ini, kedua
orang tua subjek penelitian memberikan dukungan penuh terhadap subjek, demikian juga halnya dengan majikan subjek 1. Setelah diberikan pemahaman melalui
psikoedukasi, mereka pun mengubah pendekatannya terhadap subjek sehingga mempengaruhi perkembangan subjek selama tahap intervensi. Demikian juga halnya
dengan subjek 2, orang tua dan para guru bahkan teman-teman memberikan semangat kepada subjek sehingga tujuan intervensi dapat tercapai.
Selain faktor yang mendukung keberhasilan program intervensi, terdapat pula beberapa keterbatasan dalam program intervensi pada penelitian ini. Pertama,
ketidakteraturan jadwal pertemuan antar subjek penelitian. CBT biasanya melibatkan
Universita Sumatera Utara
pertemuan dengan terapis satu kali dalam seminggu Willliam, 2001. Namun dikarenakan keterbatasan waktu dan jadwal antara peneliti dan subjek maka
pelaksanaan intervensi disesuaikan dengan jadwal subjek sehingga antara subjek 1 dengan subjek 2 jadwalnya berbeda. Pada penelitian yang mengukur efektivitas suatu
treatment, ketidakteraturan jadwal pertemuan ini mengakibatkan kurangnya kontrol pada penelitian karena subjek tidak mendapatkan perlakuan yang benar-benar sama.
Kedua, tempat pelaksanaan intervensi yang kurang kondusif. Subjek 2 memiliki jadwal yang sangat padat dan bersekolah setiap hari senin hingga sabtu dan baru pulang
pukul 16.30 WIB. Oleh karena itu, intervensi dilaksanakan di sekolah setelah jam pelajaran usai. Adapun ruangan yang digunakan juga sering berpindah-pindah,
terkadang di ruangan kelas, perpustakaan atau ruangan shalat. Pada prosesnya, beberapa teman subjek terlihat penasaran dan ingin tahu tentang apa yang sedang dilakukan oleh
subjek dan peneliti. Mereka ada yang mengikuti dan melihat proses intervensi yang sedang dijalani oleh subjek. Hal ini tentunya membuat subjek merasa kurang nyaman
untuk terbuka mengenai permasalahannya terhadap peneliti. Ketiga, program intervensi pada penelitian ini hanya ditujukan untuk
menurunkan tingkat social phobia pada subjek dan tidak untuk meningkatkan keterampilan sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa meskipun tingkat
social phobia yang dialami telah berkurang namun subjek masih mengalami beberapa permasalahan. Pada kedua subjek tersebut, terlihat adanya kesamaan yaitu kurangnya
perilaku asertif sehingga subjek cenderung pasif dalam interaksi baik dengan teman sebaya maupun figur otoritas. Menurut Herbert dkk dalam Cuncic, 2011 social phobia
dapat berpengaruh terhadap keterampilan sosial individu. Hal ini disebabkan karena individu dengan social phobia cenderung jarang melakukan interaksi sosial sehingga
Universita Sumatera Utara
mereka kurang memiliki kesempatan untuk membangun kepercayaan diri dan keterampilan sosialnya.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan program intervensi Coping Cat Kendall efektif dalam menurunkan social phobia pada anak. Hal tersebut dapat
dilihat melalui perubahan sebagai berikut: a. Terdapat penurunan skor LSAS-CA-SR yang diperoleh kedua subjek antara pra
intervensi dan paska intervensi. Subjek 1 menunjukkan penurunan social phobia dari kategori very severe social phobia menjadi kategori normal setelah
menerima program Coping Cat Kendall. Sementara itu subjek 2 juga mengalami penurunan social phobia dari kategori marked social phobia menjadi kategori
normal setelah menerima program Coping Cat Kendall. b. Terdapat penurunan skor SUDS pada kedua subjek antara pra intervensi dan
paska intervensi. Subjek 1 merasakan tingkat kecemasannya berkurang dari kategori sangat cemas menjadi sedikit cemas setelah menerima program Coping
Cat Kendall. Sedangkan subjek 2 merasakan tingkat kecemasannya berkurang dari kategori cemas menjadi sedikit cemas setelah menerima program Coping
Cat Kendall. c. Setelah menerima psikoedukasi berkaitan dengan social phobia yang dialami
oleh subjek penelitian, terdapat perubahan pada sikap dan pengasuhan orang tua
Universita Sumatera Utara
antara pra intervensi dan paska intervensi. Pada subjek 1, orang tua yang sebelumnya kerap memarahi subjek dan memukulinya jika berbuat salah kini
sudah dapat berkomunikasi dengan cara yang lebih positif dengan memberikan dorongan dan pujian kepadanya. Hal ini juga dilakukan oleh majikan yang
sebelumnya kerap memberikan kritikan dengan cara memarahi dan bersuara keras kepada subjek. Sementara itu pada subjek 2, orang tua kini sudah lebih
memahami penyebab social phobia pada anak juga dapat disebabkan oleh temperamen anak yang pemalu serta pengalaman dari lingkungan seperti
penolakan dari teman sebaya atau pengalaman memalukan di depan umum. Orang tua juga telah memahami bahwa sikap mereka yang selama ini
membiarkan dan membiasakan diri dengan volume suara subjek yang sangat pelan justru dapat menyebabkan social phobia pada subjek bertahan. Orang tua
kini mendorong subjek untuk mengubah perilakunya yang kerap berbicara dengan suara pelan di sekolah serta meningkatkan komunikasi yang positif
dengan subjek untuk meningkatkan keyakinan akan kemampuan dirinya. d. Setelah menerima skills training yaitu strategi FEAR untuk mengendalikan
kecemasan terdapat beberapa perubahan pada kedua subjek penelitian. Kedua subjek kini sudah dapat memahami bagaimana cara untuk mengenali perasaan
cemas melalui reaksi somatisnya sendiri, kemudian memahami bahwa untuk mengurangi ketegangan yang dirasakan maka ia dapat melakukan prosedur
relaksasi sederhana. Selain itu subjek juga memahami bahwa hal-hal negatif yang ia pikirkan dapat menyebabkan ia semakin cemas sehingga ia harus
mengubah pikirannya tersebut. Subjek juga telah dapat memahami bahwa ia dapat menyusun beberapa rencana tindakan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi kecemasannya lalu memilih rencana yang terbaik untuk dilakukan.
Universita Sumatera Utara
Terakhir, subjek telah dapat memahami bahwa ia dapat menilai usahanya sendiri dan memberikan reward terhadap usahanya tersebut
e. Setelah menerima skills practice, kedua subjek dapat menerapkan strategi FEAR dalam kehidupan nyata. Melalui latihan yang bertahap maka subjek dapat
merasakan kecemasannya semakin berkurang dan tidak perlu lagi menghindar dari situasi yang membuatnya cemas.
f. Terlihat perubahan perilaku pada kedua subjek dari pra intervensi dan paska intervensi yakni berkurangnya perilaku menghindar pada situasi sosial yang
ditakutinya. Subjek 1 tidak lagi menghindar untuk membuka pintu dan mempersilakan tamu masuk ke rumah, membantu ibunya membawa piring kotor
saat ada acara kumpul keluarga di rumah, bermain di luar kelas pada saat jam istirahat, dan maju ke depan kelas. Sedangkan subjek 2 kini sudah tidak lagi
menampilkan safety behavior dengan mengecilkan volume suaranya. Subjek kini dapat berbicara dengan volume suara yang lebih keras dibandingkan
sebelumnya baik ketika berinteraksi dengan teman, guru ataupun maju di depan kelas.
5.2. Saran 5.2.1. Saran Metodologis
a. Pada penelitian selanjutnya, sebaiknya jadwal pelaksanaan sesi antara setiap subjek penelitian disamakan agar tercipta kondisi yang lebih terkontrol.
b. Tempat pelaksanaan intervensi hendaknya lebih kondusif dan bebas dari gangguan sehingga subjek merasa lebih nyaman dalam mengemukakan
permasalahannya.
Universita Sumatera Utara
c. Penelitian selanjutnya hendaknya dilakukan untuk melihat efektivitas program intervensi lainnya yang melibatkan social skills training karena keterampilan
sosial ternyata juga dapat berpengaruh terhadap social phobia.
5.2.2. Saran Praktis