4.3. Pembahasan
Pembahasan dilakukan terhadap hasil penelitian yang ditinjau melalui alat ukur The Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report LSAS-
CA-SR dan The Subjective Units of Distress Scale SUDS. Selanjutnya akan dibahas juga mengenai kekuatan serta kelemahan dalam penelitian ini untuk dijadikan acuan
bagi penelitian selanjutnya. Berikut ini adalah rekapitulasi skor LSAS-CA-SR pada kedua subjek penelitan.
Universita Sumatera Utara
Tabel 4.9. Rekapitulasi skor LSAS-CA-SR pada kedua subjek penelitian SUBJEK - 1
SUBJEK – 2
Pre-test Post-
test Penurunan
skor Pre-test
Post- test
Penurunan Skor
Tingkat kecemasan pada situasi sosial
25 20
5 20
11 9
Tingkat kecemasan pada
situasi performance
33 15
18 22
13 9
Tingkat penghindaran pada
situasi sosial 30
7 23
16 5
11
Tingkat penghindaran pada
situasi performance 24
4 20
18 3
15
Skor total tingkat kecemasan
58 35
23 42
24 18
Skor total tingkat penghindaran
54 11
43 34
8 26
Skor total social phobia
112 very
severe social
phobia 46
normal range
66 76
marked social
phobia 32
normal range
44
Berdasarkan data yang diperoleh, ternyata tingkat social phobia pada kedua subjek penelitian berbeda. Subjek 1 menunjukkan tingkat social phobia yang lebih
tinggi yaitu tergolong dalam kategori very severe social phobia. Sedangkan subjek 2 menunjukkan tingkat social phobia yang tergolong dalam marked social phobia. Hal ini
dapat disebabkan oleh status sosial ekonomi subjek 1 yang tergolong rendah. Ayahnya bekerja sebagai supir angkutan umum, sedangkan ibunya bekerja sebagai pembantu
rumah tangga. Subjek 1 bersama keluarganya sendiri tinggal bersama di rumah majikan tempat ibunya bekerja. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Merikangas dalam Brook
dan Schmidt, 2008 yang menemukan bahwa angka social phobia lebih tinggi pada individu dengan latar belakang sosial ekonomi status yang rendah. Lebih lanjut
dikatakan bahwa kemiskinan seseorang dapat mempengaruhi fungsi sosialnya. Selain itu subjek 1 juga sehari-harinya sering menerima kritikan yang berasal dari majikan dan
Universita Sumatera Utara
juga orang tuanya. Dengan demikian, subjek harus menghadapi lebih dari satu sumber stress sehingga memicu meningkatkan kecemasannya. Hal ini menyebabkan subjek 1
kerap kali merasa takut melakukan kesalahan dan dimarahi. Dijelaskan juga bahwa pengasuhan yang negatif, salah satunya adalah pengasuhan yang penuh kritikan dapat
mempengaruhi berkembangnya social phobia dalam diri anak Brook Schmidt, 2008.
Subjek 2 berasal dari latar belakang sosial ekonomi dan pendidikan yang lebih baik. Kedua orang tuanya berprofesi sebagai guru, subjek pun menerima pengasuhan
yang positif dari orang tuanya. Mereka memberikan dukungan dan kesempatan kepada subjek untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Namun menurut orang tuanya
sejak kecil subjek memang tergolong anak yang pendiam dan pemalu. Menurut Stemberger dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001, temperamen anak dengan
karakteristik pemalu, cenderung menahan diri dan menghindar merupakan faktor resiko bagi berkembangnya social phobia di kemudian hari. Meskipun demikian tidak
selamanya anak yang pemalu akan mengalami social phobia di kemudian hari. Hal ini berarti bahwa ada faktor penyebab lainnya yang mempengaruhi social phobia pada
subjek 2. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa subjek 2 kerap kali memunculkan safety behavior dengan cara mengecilkan volume suaranya saat berada
pada situasi sosial yang ditakutinya. Ternyata dikatakan bahwa meskipun safety behavior menghasilkan perasaan nyaman bagi individu yang bersangkutan namun
perilaku tersebut justru semakin memperkuat kecemasan itu sendiri. Hal ini disebabkan karena safety behavior mencegah individu dengan social phobia memperoleh
penyangkalan mengenai kecemasannya yang tidak realistis selama ini Salkovski dalam Wells, dkk, 1995. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku subjek 2 yang
Universita Sumatera Utara
selama ini mengecilkan volume suaranya saat di sekolah justru menyebabkan kecemasannya bertahan.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat social phobia pada kedua subjek antara sebelum diberikan intervensi dan setelah intervensi. Tingkat social
phobia pada kedua subjek berkurang saat paska intervensi yang mengindikasikan bahwa program intervensi memiliki pengaruh dan juga mampu mengurangi tingkat social
phobia. Terdapat beberapa hal yang perlu didiskusikan terkait dengan efektivitas tersebut. Apabila dilihat pada LSAS-CA-SR, maka dalam setiap subskalanya baik
tingkat kecemasan pada situasi sosial dan situasi performance, tingkat penghindaran pada situasi sosial dan situasi performance, total skor tingkat kecemasan, total skor
tingkat penghindaran dan total skor social phobia semuanya mengalami penurunan pada kedua subjek. Terlihat penurunan skor pada subskala tingkat penghindaran lebih
signifikan dibandingkan dengan skor pada subskala tingkat kecemasan. Hal ini dapat diartikan berkurangnya kecemasan dan perilaku menghindar subjek baik pada situasi
sosial maupun situasi performance setelah menjalani intervensi. Adapun perilaku menghindar terlihat lebih banyak mengalami penurunan dibandingkan dengan
kecemasan subjek. Perubahan tingkat kecemasan kedua subjek per sesinya juga dapat dilihat pada
skor SUDS yang dirangkum dalam gambar di bawah ini.
Universita Sumatera Utara
Gambar 4.11. Rekapitulasi skor SUDS pada kedua subjek penelitian Berdasarkan gambar di atas, terlihat adanya penurunan tingkat kecemasan
secara bertahap pada kedua subjek penelitian. Subjek 1 pada saat pra intervensi menilai kecemasannya berada pada kategori sangat cemas, penurunan mulai terlihat pada sesi
intervensi yaitu pada tahap skills training setelah ia mempelajari strategi FEAR untuk mengendalikan kecemasannya. Selanjutnya secara bertahap subjek terus merasakan
kecemasannya menurun hingga akhir sesi intervensi pada tahap skills practice ia menilai kecemasannya berada dalam kategori sedikit cemas. Bahkan subjek mengatakan
pada saat paska intervensi ia tidak merasa cemas sama sekali saat harus membukakan pintu untuk tamu di rumah dan bermain di luar kelas pada saat jam istirahat di sekolah.
Demikian juga halnya yang terjadi pada subjek 2, kecemasannya yang pada awalnya dirasakan berada dalam kategori cemas menurun menjadi sedikit cemas pada
saat paska intervensi. Penurunan terlihat dari mulai awal sesi intervensi hingga bertahan pada kategori sedikit cemas. Terlihat bahwa perubahan skor SUDS pada subjek 2 tidak
terlalu signifikan bila dibandingkan dengan subjek 1. Hal ini disebabkan oleh karena safety behavior subjek yang sudah sekian lama bertahan dan dilakukan oleh subjek di
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
1 2
3 4
5 1
2 3
4 5
6 7
8 9 10 11 12 1
2 3
4 5
S kor
S U
D S
Pra intervensi Sesi Intervensi Paska intervensi
Rekapitulasi skor SUDS subjek 1 dan 2
Subjek 1 Subjek 2
Linear Subjek 1 Linear Subjek 2
Universita Sumatera Utara
sekolah. Semenjak kelas 1 SD, subjek sudah berbicara dengan suara yang sangat pelan. Pada saat tahap exposure, subjek juga terlihat sulit untuk mempertahankan volume
suaranya agar tetap normal. Subjek terkadang masih berbicara dengan volume suara yang pelan meskipun sudah lebih terdengar oleh teman-teman maupun gurunya.
Dikatakan bahwa dalam proses terapinya, prosedur exposure yang dilakukan akan berkurang efektivitasnya apabila individu yang bersangkutan tetap mempertahankan
safety behavior tersebut. Prosedur exposure akan lebih efektif jika individu berhenti melakukan safety behavior saat berada pada situasi cemas Wells, dkk, 1995
Sebelumnya telah diuraikan perubahan-perubahan yang terjadi pada kedua subjek penelitian ditinjau dari skor yang diperoleh dari alat ukur LSAS-CA-SR dan
SUDS. Penurunan tersebut juga sesuai dengan data kualitatif yang diperoleh. Subjek 1 sudah tidak lagi menghindar dan menyendiri di dalam kelas pada saat jam istirahat. Ia
sudah lebih banyak bicara dan berinteraksi dengan teman-temannya. Meskipun pada situasi tertentu seperti bermain di pusat perbelanjaan yang ramai, ia mengatakan masih
merasa sedikit cemas karena situasi yang difokuskan pada saat intervensi adalah keluar kelas pada saat jam istirahat di sekolah. Demikian juga halnya dengan subjek 2, ia
sudah dapat berbicara dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya ketika berinteraksi dengan teman maupun gurunya di sekolah. Meskipun demikian ia
mengatakan masih merasa cemas jika harus tampil di depan kelas, menolak permintaan temannya, dan ia takut jika temannya memarahinya.
Adapun keberhasilan penerapan intervensi program Coping Cat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama adalah pembinaan rapport yang baik sehingga
meningkatkan kepercayaan dan kenyamanan subjek terhadap peneliti. Rapport memang sangatlah penting dalam mengevaluasi tujuan dan keberhasilan suatu program
intervensi. Terutama pada klien anak-anak, keberhasilan terapi berhubungan erat
Universita Sumatera Utara
dengan hubungan interpersonalnya dengan terapis Fourie dkk, dalam Duchan Kovarsky, 2011. Kedua subjek penelitian menunjukkan sikap yang antusias terhadap
peneliti. Meskipun pada awalnya tidaklah mudah untuk membina rapport dikarenakan kondisi subjek yang mengalami social phobia sehingga terlampau berhati-hati dan takut
akan penilaian negatif dari orang lain, namun lambat laun melalui pendekatan dan aktivitas yang menyenangkan kedua subjek dapat bersikap terbuka kepada peneliti dan
menceritakan mengenai kecemasannya. Kedua, materi yang digunakan dalam program intervensi Coping Cat mengikuti
manual yang terstruktur dan juga disertai oleh buku kerja yang sejalan dengan intervensi yang dilakukan. Manual ini dapat memudahkan terapis mengarahkan anak-anak dalam
mengikuti jalannya terapi serta menentukan langkah selanjutnya yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Pemberian buku kerja memungkinkan anak untuk belajar dan
melatih kemampuan yang baru diperolehnya secara terstruktur. Selain itu pemberian buku kerja juga konsisten dengan metode pembelajaran yang diperoleh anak-anak di
sekolah Kendall, 2010. Hal ini terlihat dalam proses intervensi, dimana kedua subjek penelitian dapat dengan mudah memahami setiap materi yang diberikan dan
mengerjakan tugas dalam buku kerja tanpa mengalami banyak kesulitan. Ketiga, program intervensi Coping Cat dirancang secara terstruktur dan
sistematis sehingga menjangkau target modifikasi yaitu tingkat social phobia dan perilaku menghindar subjek. Tingkat kecemasan subjek terlebih dahulu dinetralisir oleh
peneliti, lalu secara bertahap subjek diajarkan sejumlah strategi untuk mengatasi kecemasannya mulai dari mengenali reaksi fisiknya saat cemas, mengubah pikiran
negatifnya, membuat rencana tindakan yang akan dilakukan serta mengevaluasi usahanya sendiri dan memberikan self reward. Sejumlah strategi tersebut dirangkum
dengan istilah FEAR agar anak mudah mengingat dan memahaminya. Penggunaan
Universita Sumatera Utara
singkatan tersebut terlihat efektif karena kedua subjek penelitian tidak kesulitan untuk menghafal setiap langkah-langkah tersebut setelah beberapa kali pertemuan. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kendall 2006 bahwa sejumlah strategi yang dirangkum dalam sebuah akronim atau singkatan dapat membuat anak lebih
mudah untuk mengingat dan melakukan strategi tersebut. Selanjutnya, anak juga diberikan kesempatan melalui prosedur exposure untuk melatih strategi yang telah
dipelajarinya. Setelah menjalani prosedur exposure, terlihat bahwa tingkat kecemasan kedua subjek mengalami penurunan dan bertahan hingga dua minggu paska intervensi.
Intervensi yang dilakukan dengan membangun skills yang relevan dan dikombinasikan dengan prosedur exposure dapat mendorong keterlibatan dan kerja sama anak dalam
intervensi sehingga pada akhirnya menimbulkan dampak yang positif Kendall dkk, 2008.
Keempat, dukungan dari keluarga, guru serta teman sebaya juga mempengaruhi tercapainya hasil yang positif dari intervensi ini. Sebagaimana diketahui bahwa
penerimaan serta dukungan sosial dari keluarga dan teman sebaya berhubungan dengan tingkat social phobia pada anak Festa Ginsburg, 2011. Pada penelitian ini, kedua
orang tua subjek penelitian memberikan dukungan penuh terhadap subjek, demikian juga halnya dengan majikan subjek 1. Setelah diberikan pemahaman melalui
psikoedukasi, mereka pun mengubah pendekatannya terhadap subjek sehingga mempengaruhi perkembangan subjek selama tahap intervensi. Demikian juga halnya
dengan subjek 2, orang tua dan para guru bahkan teman-teman memberikan semangat kepada subjek sehingga tujuan intervensi dapat tercapai.
Selain faktor yang mendukung keberhasilan program intervensi, terdapat pula beberapa keterbatasan dalam program intervensi pada penelitian ini. Pertama,
ketidakteraturan jadwal pertemuan antar subjek penelitian. CBT biasanya melibatkan
Universita Sumatera Utara
pertemuan dengan terapis satu kali dalam seminggu Willliam, 2001. Namun dikarenakan keterbatasan waktu dan jadwal antara peneliti dan subjek maka
pelaksanaan intervensi disesuaikan dengan jadwal subjek sehingga antara subjek 1 dengan subjek 2 jadwalnya berbeda. Pada penelitian yang mengukur efektivitas suatu
treatment, ketidakteraturan jadwal pertemuan ini mengakibatkan kurangnya kontrol pada penelitian karena subjek tidak mendapatkan perlakuan yang benar-benar sama.
Kedua, tempat pelaksanaan intervensi yang kurang kondusif. Subjek 2 memiliki jadwal yang sangat padat dan bersekolah setiap hari senin hingga sabtu dan baru pulang
pukul 16.30 WIB. Oleh karena itu, intervensi dilaksanakan di sekolah setelah jam pelajaran usai. Adapun ruangan yang digunakan juga sering berpindah-pindah,
terkadang di ruangan kelas, perpustakaan atau ruangan shalat. Pada prosesnya, beberapa teman subjek terlihat penasaran dan ingin tahu tentang apa yang sedang dilakukan oleh
subjek dan peneliti. Mereka ada yang mengikuti dan melihat proses intervensi yang sedang dijalani oleh subjek. Hal ini tentunya membuat subjek merasa kurang nyaman
untuk terbuka mengenai permasalahannya terhadap peneliti. Ketiga, program intervensi pada penelitian ini hanya ditujukan untuk
menurunkan tingkat social phobia pada subjek dan tidak untuk meningkatkan keterampilan sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa meskipun tingkat
social phobia yang dialami telah berkurang namun subjek masih mengalami beberapa permasalahan. Pada kedua subjek tersebut, terlihat adanya kesamaan yaitu kurangnya
perilaku asertif sehingga subjek cenderung pasif dalam interaksi baik dengan teman sebaya maupun figur otoritas. Menurut Herbert dkk dalam Cuncic, 2011 social phobia
dapat berpengaruh terhadap keterampilan sosial individu. Hal ini disebabkan karena individu dengan social phobia cenderung jarang melakukan interaksi sosial sehingga
Universita Sumatera Utara
mereka kurang memiliki kesempatan untuk membangun kepercayaan diri dan keterampilan sosialnya.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan program intervensi Coping Cat Kendall efektif dalam menurunkan social phobia pada anak. Hal tersebut dapat
dilihat melalui perubahan sebagai berikut: a. Terdapat penurunan skor LSAS-CA-SR yang diperoleh kedua subjek antara pra
intervensi dan paska intervensi. Subjek 1 menunjukkan penurunan social phobia dari kategori very severe social phobia menjadi kategori normal setelah
menerima program Coping Cat Kendall. Sementara itu subjek 2 juga mengalami penurunan social phobia dari kategori marked social phobia menjadi kategori
normal setelah menerima program Coping Cat Kendall. b. Terdapat penurunan skor SUDS pada kedua subjek antara pra intervensi dan
paska intervensi. Subjek 1 merasakan tingkat kecemasannya berkurang dari kategori sangat cemas menjadi sedikit cemas setelah menerima program Coping
Cat Kendall. Sedangkan subjek 2 merasakan tingkat kecemasannya berkurang dari kategori cemas menjadi sedikit cemas setelah menerima program Coping
Cat Kendall. c. Setelah menerima psikoedukasi berkaitan dengan social phobia yang dialami
oleh subjek penelitian, terdapat perubahan pada sikap dan pengasuhan orang tua
Universita Sumatera Utara