BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang masalah
Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat bersama dengan teman, seorang anak biasanya selalu penuh dengan
tawa dan canda. Akan tetapi, ada juga anak-anak yang lebih banyak diam dan tidak banyak bicara bila dibandingkan dengan teman-temannya. Ia bahkan terkadang
menghindar dengan mengasingkan dirinya dan hanya mengamati teman-temannya bermain dari kejauhan. Ia lebih sering menghabiskan waktunya sendiri dan jarang
melakukan aktivitas bersama teman-temannya. Tidak hanya pada saat bergaul dengan teman, namun ada juga anak yang sehari-harinya kerap menghindar ketika harus
melakukan sesuatu di hadapan orang lain. Ia selalu menolak saat diberikan tugas untuk maju ke depan kelas. Ia hanya menunduk diam dan bahkan ada yang terkadang sampai
menangis. Perilaku anak tersebut sayangnya sering kali diabaikan oleh orang tua ataupun
guru di sekolah. Mereka pada umumnya menganggap perilaku anak tersebut disebabkan oleh sifatnya yang pemalu. Hal ini menyebabkan orang tua ataupun guru jarang yang
mengeluhkan perilaku anak tersebut dibandingkan dengan anak yang menunjukkan masalah perilaku lainnya seperti senang membuat keributan di kelas, senang melawan
guru, atau anak yang senang berkelahi dengan temannya. Kondisi tersebut diatas menyebabkan kasus anak dengan keluhan pendiam,
pemalu, sulit tampil dan sulit berteman menjadi jarang dilaporkan dan cenderung diabaikan. Padahal, perilaku anak yang demikian merupakan gejala dari salah satu
Universita Sumatera Utara
gangguan mental anak yaitu social phobia. Social phobia sendiri merupakan kecemasan berlebihan yang muncul karena adanya kekhawatiran memperoleh evaluasi negatif dari
orang lain saat individu terlibat dalam aktivitas atau situasi sosial tertentu NIMH, 2013.
Saat ini di Indonesia, hasil penelitian mengenai social phobia masih relatif jarang ditemukan sehingga data-data yang diperoleh juga masih dapat dikatakan minim.
Sebaliknya, berbagai studi yang dilakukan di belahan dunia lainnya menunjukkan tingginya angka kasus social phobia. Salah satu hasil penelitian terdahulu di Amerika
Serikat menyatakan social phobia merupakan masalah kesehatan mental terbesar ketiga di dunia dengan prevalensi sebesar 13.3 Kessler dkk, 1994. Sementara itu
dilaporkan juga bahwa sebesar 10-15 individu di dunia ini mengalami kondisi tersebut pada tingkat yang signifikan APA, 2004. Berbagai hasil penelitian di beberapa negara
lainnya menunjukkan prevalensi yang beragam. Sebuah survey di New Zealand melaporkan bahwa 11,1 remaja berusia 18 tahun memenuhi kriteria social phobia
Feehan dalam NICE, 2013. Hasil penelitian lainnya di Australia menyatakan social phobia berada di posisi kedelapan sebagai gangguan mental yang paling umum
dijumpai pada pria dan wanita berusia 15 hingga 24 tahun Lampe, dkk, 2003. Angka prevalensi yang tinggi yaitu 4.7 hingga 9 juga ditemukan di Brazil Rocha dkk,
2005. Social phobia pada umumnya pertama kali terdeteksi di usia anak-anak akhir,
atau di awal maupun pertengahan usia remaja Kessler, 2005. Meskipun demikian hasil penelitian terdahulu ada yang menemukan bahwa social phobia dapat terdeteksi lebih
dini pada saat usia anak 8 tahun Velting, 2001. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian lainnya yang menemukan kasus social phobia pada setting klinis sebesar 29-40 dan
membuatnya menjadi salah satu bentuk gangguan kecemasan yang paling umum
Universita Sumatera Utara
dijumpai pada anak-anak Hammerness, dkk; Kendall, dkk dalam Hitchcock, dkk, 2009. Sementara itu dikatakan bahwa gejala-gejala social phobia lebih tinggi
tingkatannya pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki Inam, Mahjabeen, dan Abiodullah, 2012.
Social phobia berbeda dengan kecemasan biasa yang terkadang dialami ketika berhadapan dengan situasi baru atau saat harus tampil menyampaikan pidato di depan
banyak orang. Anak dengan social phobia merasa takut untuk melakukan kegiatan rutinnya sehari-hari seperti makan atau minum di depan orang lain, membeli sesuatu di
supermarket atau menggunakan toilet umum. Ketakutan tersebut menyebabkan anak memandang situasi sosial sebagai suatu hal yang mengancam dan harus dihindari.
Terdapat sejumlah situasi sosial yang menimbulkan kecemasan bagi anak dengan social phobia Morris, 2004. Secara umum situasi tersebut terdiri dari interaksi
sosial dan performance. Adapun situasi yang melibatkan interaksi sosial antara lain menghadiri pesta, bertemu dengan orang asing, terlibat dalam percakapan,
mempertahankan kontak mata, berbicara dengan figur otoritas, dan bersikap asertif. Sedangkan situasi yang melibatkan performance seperti berbicara di hadapan
sekelompok orang, makan atau minum bersama orang lain, menggunakan toilet umum, dan tampil di hadapan orang lain. Sebuah hasil penelitian yang terdahulu menemukan
bahwa 60 situasi yang mencemaskan ternyata dialami oleh anak di sekolah Strauss dan Last, dalam Morris, 2004. Hal ini tidaklah mengherankan karena anak
menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah. Lebih lanjut dikatakan bahwa situasi-situasi yang menimbulkan kecemasan anak dengan social phobia di sekolah
adalah ketika berinteraksi dengan temannya, menjalani ujian, tampil di depan guru dan teman-teman serta membaca dengan keras di depan kelas.
Universita Sumatera Utara
Berdasarkan uraian sebelumnya, telah disampaikan data-data yang menunjukkan tingginya kasus social phobia di berbagai negara. Namun sayangnya, tingginya angka
tersebut berbanding terbalik dengan penanganan yang dilakukan. Gangguan ini sering kali kurang disadari dan dibiarkan begitu saja tanpa penanganan apapun. Berdasarkan
sebuah survey yang dilakukan oleh National Comorbidity Survey Replication Study NCS-R, dalam Schneider dan Levenson, 2008 rata-rata durasi penundaan perolehan
penanganan untuk social phobia adalah 16 tahun lamanya. Hanya 45 dari individu dengan social phobia yang memperoleh penanganan. Tidak hanya itu, ketika terdeteksi,
social phobia ditemukan bersamaan dengan gangguan mental lainnya. Oleh karena itu social phobia harus dideteksi dan ditangani sedini mungkin untuk mengurangi dampak
negatif yang disebabkan oleh penghindaran yang dilakukan anak terhadap interaksi sosial.
Social phobia dapat menimbulkan berbagai hambatan dan kendala dalam keberfungsian anak sehari-hari. Perilaku menghindar yang kerap dilakukannya dapat
menyebabkan anak tidak memiliki banyak teman serta masalah lainnya seperti prestasi akademis yang rendah. Selain itu anak dengan social phobia juga cenderung memiliki
harga diri yang rendah serta mengalami hambatan dalam kemampuan sosial Chavira, Stein; Van Ameringen dkk; Fordham dan Stevenson dalam Hitchcock dkk, 2009.
Social phobia pada anak juga menjadi faktor resiko berkembangnya gangguan psikologis lainnya di kemudian hari Wittchen, Stein dan Kessler dalam Melfsen dkk,
2011. Berdasarkan uraian sebelumnya, diketahui bahwa social phobia apabila tidak
segera ditangani maka akan menimbulkan berbagai dampak negatif. Perilaku menghindar yang kerap dilakukan anak pada saat berada dalam situasi sosial dapat
menyebabkan terhambatnya proses belajar mengajar di sekolah dan mempengaruhi
Universita Sumatera Utara
prestasi akademisnya. Perilaku menghindar pada anak dengan social phobia juga dapat menghambat sosialisasinya sehingga interaksinya cenderung terbatas dan kemampuan
sosialnya kurang berkembang. Deteksi dan penanganan sedini mungkin sangatlah diperlukan.
Gejala-gejala social phobia pada anak dapat dilihat dari tiga aspek yaitu fisiologis, perilaku dan kognitif. Secara fisiologis, anak akan mengalami peningkatan
aktivitas otonom saat berada pada situasi sosial seperti meningkatnya denyut jantung, berkeringat dingin, wajah yang memerah, mual, masalah dengan pencernaan, dan
tegangan otot Hitchcock dkk, 2009. Kecemasan ini juga dapat terlihat dari perilaku anak yang kerap kali menghindar dari situasi sosial, sensitif, emosi yang meledak-ledak,
menangis, selalu menempel pada orang tua, serta terlampau berhati-hati. Selain perilaku menghindar, ada juga yang disebut dengan safety behavior yang kerap dilakukan oleh
anak dengan social phobia. Safety behavior merupakan perilaku yang dilakukan untuk mengurangi rasa cemas pada situasi sosial. Selain itu anak dengan social phobia juga
sering digambarkan sebagai anak yang sangat peka akan kritikan dan tidak asertif terhadap teman-temannya Bruch dan Heimberg dalam Hitchcock dkk, 2009.
Sedangkan dari aspek kognitif, anak cenderung sangat memikirkan penilaian dari orang lain dan menganggap situasi sosial sebagai sesuatu yang mengancam Barret, Rapee,
Dadds, dan Ryan dalam Hitchcock dkk, 2009. Hasil penelitian menemukan bahwa baik pada orang dewasa maupun anak-anak
yang mengalami gangguan psikologis mengalami distorsi tingkat tinggi pada proses berpikirnya yang terkait dengan automatic thought Wright, Beck Thase, 2003.
Demikian juga halnya dengan anak yang mengalami social phobia. Anak dengan social phobia memiliki keyakinan bahwa dirinya tidak mampu dan tidak normal sehingga
selalu melakukan kesalahan dan tidak diterima oleh orang lain. Anak yang mengalami
Universita Sumatera Utara
kondisi ini sangat peka terhadap sinyal-sinyal yang menunjukkan adanya kemungkinan penilaian negatif dari orang lain. Anak menjadi terlalu fokus terhadap sinyal-sinyal
tersebut sehingga akhirnya tanpa disadari ia terlampau menyalahkan diri sendiri dan memunculkan distorsi persepsi terhadap perilaku orang lain Ito dkk, 2008. Stimulus
netral pun kemudian disalahartikan sebagai sesuatu yang negatif, sedangkan stimulus positif cenderung diabaikan. Demikian juga halnya dengan memorinya akan
pengalaman di masa lalu yang berhasil ia lewati dengan baik cenderung kurang ia perhatikan. Distorsi kognitif tersebut kemudian akan mengaktifkan sistem saraf
autonom dan memunculkan simptom-simptom kecemasan yang selanjutnya menjadi penguat bagi gambaran diri yang negatif, perasaan tidak mampu, perasaan terhina dan
yang akhirnya membuat anak dengan social phobia menarik diri dan menghindar dari situasi sosial. Perilaku menghindar pun membuat anak semakin menyalahkan dirinya,
siklus ini akan terjadi secara terus menerus Clarks dan Well dalam Ito dkk 2008. Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa social phobia memicu tiga
bentuk respon yaitu kognitif, perilaku dan fisiologis. Ketiganya saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa respon perilaku yaitu
perilaku menghindar terhadap situasi sosial dapat menyebabkan berbagai kendala dan hambatan bagi anak. Oleh karena itu, respon perilaku menghindar pada anak dengan
social phobia diharapkan dapat diturunkan melalui program intervensi Coping Cat Kendall. Program ini sendiri merupakan program intervensi yang dikhususkan untuk
menangani gangguan kecemasan pada anak. Terapis dalam intervensi ini mengajarkan pada anak bahwa mengalami kecemasan adalah suatu hal yang wajar. Anak belajar
untuk mengidentifikasi proses kognitif yang terlibat dan mengembangkan coping skills sehingga anak mampu menghadapi rasa takutnya dan tidak perlu menghindarinya.
Melalui latihan-latihan yang dilakukan selama sesi terapi dan di luar sesi terapi, maka
Universita Sumatera Utara
anak dapat yakin bahwa kemampuan copingnya ternyata berhasil Seligman Reichenberg, 2012.
Efektivitas Coping Cat telah banyak didokumentasikan dalam sejumlah literatur Silva, dkk, 2006; Velting, dkk, 2004. Program ini disebut sebagai panduan CBT yang
aplikasinya tersebar luas untuk mengatasi kecemasan pada anak Velting, dkk, 2004 dan telah berhasil dilakukan di Amerika Serikat, Australia dan Canada. Program Coping
Cat sangat dapat diadaptasi dan juga efektif apabila dilakukan pada kelompok dan dijalankan bersamaan dengan manajemen kecemasan keluarga. Selain itu, program
Coping Cat juga berhasil diterapkan pada berbagai etnik budaya dan gender. Penelitian yang dilakukan oleh Kendall dalam Mash dan Wolve, 2010 menunjukkan program
Coping Cat efektif dalam menurunkan tingkat kecemasan pada anak, setelah memperoleh intervensi ini anak tidak lagi memenuhi kriteria untuk gangguan
kecemasan. Berdasarkan pertimbangan dari penelitian sebelumnya bahwa Coping Cat efektif
dalam menurunkan tingkat kecemasan pada anak maka peneliti tertarik untuk menggunakan program intervensi Coping Cat Kendall pada anak dengan social phobia.
Perilaku menghindar yang menjadi karakteristik dari social phobia sering kali diabaikan dan tidak mendapat perhatian oleh orang tua maupun guru di sekolah. Padahal hal
tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi anak karena dapat menghambat fungsi akademis dan sosial anak serta berkembangnya gangguan yang lebih serius. Dengan
demikian peneliti memandang masalah social phobia pada anak perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius.
Universita Sumatera Utara
1.2. Perumusan Masalah