2.7 Sistem Pencernaan dan Penyerapan Nutrien pada Ternak Ruminansia
Proses pencernaan pada ternak merupakan bagian yang sangat penting bagi kehidupan ternak selanjutnya, karena dengan pencernaan akan dapat
menggambarkan nutrisi pakan yang diperlukan oleh ternak. Dengan mengetahui kecernaan suatu bahan makanan, akan memudahkan penyusunan ransum yang
sesuai dengan kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi Crampton Harris 1998.
Pencernaan merupakan perubahan fisik dan kimia yang dialami pakan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan pakan dari
bentuk yang lebih besar menjadi partikel-partikel yang lebih kecil atau mengalami perombakan secara kimia, sehingga sifat-sifat kimia pakan berubah. Terdapat tiga
proses pencernaan pada ternak ruminansia yaitu pencernaan mekanik, pencernaan hidrolitik dan pencernaan fermentatif. Pencernaan mekanik terjadi dimulut
melalui pengunyahan, pencernaan hidrolitik terjadi di dalam perut dan usus melalui peran enzim-enzim yang dikeluarkan oleh alat pencernaan, sedangkan
pencernaan fermentatif khusus pada ternak ruminansia melalui peran mikroorganisme dalam rumen-retikulum yang merombak zat-zat makanan
menjadi senyawa yang akan dimanfaatkan, baik oleh mikroorganisme itu sendiri maupun oleh induk semang.
Perbedaan antara pencernaan hidrolitik dan pencernaan fermentatif adalah pada pencernaan hidrolitik zat makanan berupa polimer akan dihidrolisis menjadi
monomer-monomernya, sedangkan pada pencernaan fermentatif monomer- monomer tersebut segera dikatabolismekan lebih lanjut, misalnya: protein menjadi
amonia dan karbohidrat menjadi asam lemak terbang VFA Church 1980. Menurut Ranjhan 1993 yang disebut pencernaan digestion adalah
proses perombakan makanan menjadi partikel-partikel pakan yang lebih kecil disepanjang saluran pencernaan yang melibatkan seluruh alat-alat pencernaan
serta kelenjar-kelenjar yang berkaitan dengan pencernaan, sedangkan proses lewatnya zat-zat makanan yang telah dicerna menembus membran mukosa disebut
dengan penyerapan absorbsion. Proses pemanfaatan zat-zat makanan tersebut oleh tubuh ternak serta ekskresinya, yang merupakan hasil akhir dari tubuh
disebut metabolisme. Namun demikian dalam ilmu nutrisi, ketiga proses ini disebut pencernaan.
Pada ternak ruminansia, lambung terbagi menjadi empat bagian, yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum, sehingga disebut juga dengan
lambung majemuk. Tiga bagian pertama disebut perut depan fore stomach, sedangkan abomasum disebut juga dengan lambung sejati, sebagaimana yang
terjadi pada ternak non-ruminansia Arora 1983; O`Shea 1983. Perut depan adalah khas bagi ternak ruminansia, dan sebagian besar aktivitas fermentasi oleh
mikroorganisme terjadi di perut depan Czerkawski 1986. Dengan keistimewaan tersebut ternak ruminansia mampu memanfaatkan bahan pakan dengan kandungan
serat yang tinggi dalam jumlah yang besar sebagai sumber energinya Kamra Pathak 1996.
Retikulorumen merupakan perut terbesar dari saluran pencernaan dimana sebagian besar pakan dikonsumsi akan dicerna. Pencernaan pakan terutama
dilaksanakan oleh mikroba dalam proses fermentasi, dimana ekosistem mikroba terdiri dari bakteri, protozoa dan jamur yang memiliki peran yang berbeda dalam
fermentasi Kamra Pathak 1996. Proses pencernaan fermentatif di dalam retikulorumen terjadi sangat intensif, dan proses ini terjadi sebelum usus halus.
Produk utama dari fermentasi adalah asam-asam lemak mudah terbang VFA seperti asam asetat, propionat dan butirat yang merupakan sumber energi
metabolis utama. Seluruh VFA tersebut diserap secara difusi sederhana disepanjang saluran retikulo-rumen 75, omasum 10 dan abomasum 15.
Penyerapannya meningkat dengan menurunnya pH dan untuk asam asetat lebih cepat lagi karena molekul-molekulnya lebih kecil Van Soest 1982; O`Shea
1983. Omasum merupakan lambung ketiga yang berfungsi dalam menggiling
partikel-partikel makanan, menyerap air bersama-bersama Na dan K, dan menyerap VFA. Sifat menyerap air pada omasum diduga berfungsi untuk
mencegah turunnya pH Arora 1995. Abomasum merupakan tempat pertama kalinya terjadi pencernaan
makanan secara kimiawi karena adanya sekresi getah lambung HCl dan pepsin dalam bentuk pepsinogen yang membantu dalam pemecahan protein.
Abomasum merupakan bagian saluran pencernaan tempat awal terjadinya proteolisis dan hasil pencernaan tersebut akhirnya masuk ke dalam sistem
peredaran darah Arora 1983; O`Shea 1983. Selanjutnya bahan makanan yang belum diserap dari keempat lambung
tersebut, dialirkan keusus halus. Di usus halus konstituen tanaman dipecah oleh kombinasi aktivitas getah pankreas, empedu, dan enzim-enzim Proteolitik, lipase,
amilase, nukleosidase, enterokinase, dan gastrin yang terdapat disepanjang dinding usus menjadi monomer-monomer yang siap diserap secara aktif atau
secara difusi sederhana. Cairan pankreas juga membantu dalam menetralisir keasaman produk-produk yang berasal dari lambung Arora 1983 ; O`Shea 1983.
Dari usus halus zat-zat makanan yang belum diserap dialirkan ke usus besar. Usus besar terdiri dari sekum dan kolon dimana fungsi utamanya adalah
penyerapan air dan mineral O`Shea 1983. Selanjutnya zat-zat makanan yang tidak diserap dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk feses melalui anus. Feses
adalah hasil sisa pencernaan yang dikeluarkan dari saluran pencernaan yang mengandung air, sisa makanan tak tercerna, sekresi-sekresi pencernaan, sel-sel
epitel dari dinding saluran pencernaan, bakteri, garam-garam anorganik serta berbagai hasil dekomposisi Tillman et al. 1991
Pakan yang dikonsumsi oleh ternak ruminansia sebagian besar mengandung karbohidrat yang memiliki komposisi dan struktur yang kompleks,
sehingga tidak dapat dihidrolisa oleh enzim yang disekresikan oleh saluran pencernaan Czerkawski 1986. Hasil pencernaan karbohidrat melalui proses
biokonversi mikroorganisme adalah volatile fatty acid atau asam lemak terbang yang terdiri dari asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat dan yang
lainnya CO
2
, gas metan dan energi panas. VFA ini merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia.
Produksi VFA dalam rumen akan dipengaruhi oleh ransum yang diberikan kepada ternak Wiradisastra et al.1980; Davies 1982 menyatakan bahwa produksi
VFA dipengaruhi oleh imbangan antara hijauaan dan konsentrat dalam ransum, semakin tinggi kandungan hijauan atau serat kasar akan menghasilkan asam asetat
yang lebih tinggi dan sebaliknya jika kandungan konsentrat lebih tinggi dalam ransum, akan memproduksi asam propionat yang lebih tinggi daripada asam
asetat. Angka–angka perbandingan dari asam asetat, propionat, butirat dan valerat tidak konstan, akan tetapi asam asetat selalu terbanyak dengan imbangan sebagai
berikut : asam asetat ± 60, asam propionat ± 20, asam butirat ± 10, asam valerat ± 10 Wiradisastra et al. 1980. Produk akhir proses fermentasi dalam
rumen dipengaruhi oleh imbangan hijauan dengan konsentrat, tingkat konsumsi dan frekuensi pakan Sutton 1980. Semakin tinggi serat kasar dalam ransum
akan semakin rendah kecernaan ransum, sehingga akan semakin rendah ransum yang dikonsumsi Darwis et al. 1990.
Preston dan Leng 1987 menyatakan bahwa sapi potong yang diberi ransum hay yang berkualitas rendah produksi asam asetat, propionat, butirat dan
valerat dalam rumen masing-masing 76.2; 15.2; 7.4 dan 0.2. Sedangkan sapi potong yang diberi ransum yang mengandung 80 molases dan 15 rumput
kering menghasilkan asam asetat, propionat, butirat dan valerat adalah masing- masing 49.7; 21.3; 25.7 dan 2.8. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
proporsi VFA yang dihasilkan dalam rumen akan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : jenis ternak, jenis pakan, kuantitas pakan dan kualitas pakan.
Protein pakan yang masuk ke dalam rumen akan mengalami degradasi oleh mikroorganisme rumen baik bakteri maupun protozoa, kedua
mikroorganisme tersebut memiliki enzim proteolitik yaitu proteinase dan peptidase yang berfungsi memecah protein dalam rumen. Enzim proteolitik yang
diproduksi oleh mikroorganisme akan memecah protein menjadi peptida-peptida dan asam-asam amino, dan sebagian besar asam amino akan mengalami
katabolisme lebih lanjut deaminase menjadi asam-asam organik, amonia dan CO
2
Mc Donald et al. 2002. Arora 1995 mengemukakan bahwa sekitar 82 dari mikroorganisme
rumen menggunakan amonia sebagai sumber N untuk pertumbuhannya, kemudian dikonversi menjadi protein mikroba. Sumber amonia rumen berasal dari protein,
peptida, bahan N terlarut, urea, asam urat, nitrat dan asam nukleat Preston dan Leng 1987. Aktivitas proteolitik mikroorganisme dalam rumen untuk
mendegradasi protein pakan dipengaruhi oleh pH rumen, konsentrasi amonia dan faktor-faktor lain yang erat kaitannya dengan ekologi rumen Orskov 1982,
aktivitas proteolitik akan menurun jika konsentrasi amonia dalam rumen rendah.
Amonia yang dihasilkan dari degradasi protein tidak semuanya disintesis menjadi protein mikroba, namun sebagian lagi akan diserap ke dalam saluran
darah dan kemudian diangkut ke hati untuk diubah menjadi urea. Urea yang terbentuk akan dikeluarkan melalui urine dan sebagian lagi masuk kembali ke
dalam rumen melalui saliva atau diserap oleh dinding rumen. Hal ini yang membantu ternak ruminansia untuk mempertahankan diri pada saat kritis
Hungate 1966; Arora 1995. Preston dan Leng 1987 menyatakan bahwa ada hubungan antara
konsentrasi amonia dalam rumen dengan sintesis protein mikroorganisme. Jika protein yang dikonsumsi sedikit atau degradasi protein oleh mikroorganisme
sedikit maka produksi amonia akan kurang dan kemudian sintesis protein mikroba terbatas. Sintesis protein mikroorganisme tergantung kepada kecepatan
pemecahan nitrogen makanan, kecepatan absorbsi amonia dan asam-asam amino, kecepatan aliran digesta dari rumen, kebutuhan asam-asam amino dan jenis
fermentasi berdasarkan jenis makanan Arora 1995. Shirley 1986 pada percobaannya secara in vivo menunjukkan bahwa
pertumbuhan mikroba rumen akan maksimal pada konsentrasi amonia mendekati 90 mgL. Menurut Preston dan Leng 1987, level kritis konsentrasi amonia untuk
pertumbuhan mikroorganisme berkisar antara 50–250 mgL. Pada level tersebut diharapkan dapat membantu kecernaan ransum yang optimal.
Retensi nitrogen merupakan salah satu metode untuk menilai suatu kualitas protein ransum dengan jalan mengukur konsumsi nitrogen dan
pengeluaran nitrogen, sehingga dapat diketahui banyaknya nitrogen yang tertinggal dalam tubuh Lyoid et al. 1978. Pengukuran neraca nitrogen menurut
Tillman et al. 1991 dilakukan dengan menghitung selisih antara jumlah nitrogen yang dikonsumsi dengan jumlah nitrogen yang keluar melalui feses dan urine,
sehingga dapat diketahui jumlah nitrogen yang tertinggal dalam tubuh.
2.8 Peranan Serat Terhadap Kolesterol