umur antara 10-12 tahun pada waktu tinggi tanaman sudah mencapai 10-15 meter. Batang sagu banyak mengandung pati. Pamanenan pati sagu hendaknya
pada saat inisiasi pembentukan bunga. Saat pembentukan bunga, meskipun masih terjadi akumulasi pati tetapi laju pati yang digunakan untuk pembuatan buah lebih
cepat daripada laju akumulasi pati. Pati yang terdapat pada batang bagian bawah akan lebih dahulu digunakan untuk pertumbuhan bunga dan buah padahal
sebenarnya pati lebih banyak terdapat pada batang bagian bawah Bintoro 2008.
Gambar 1 Pohon sagu spesies Metroxylon sago Pati sagu diperoleh dengan cara memeras empulur batang tanaman sagu.
Skema pengolahan batang sagu menjadi tepung sagu dengan hasil ikutan ampas sagu dapat dilihat pada Gambar 2.
2.2 Potensi Ampas Sagu Sebagai Komponen Pakan ternak
Schuling dan Flach 1993 memprediksi bahwa potensi luas areal sagu Indonesia sekitar 1 398 000 ha, dengan jumlah produksi tahun 1994 adalah
31 690.4 ton dan tahun 1995 sebesar 36 198.2 ton Biro pusat statistik 1995. Menurut Louhenapessy 1998 potensi luasan sagu di Maluku adalah sekitar
47 600 ha. Luasan ini masih mungkin bertambah karena umumnya sagu tersebar di seluruh wilayah Maluku walaupun dalam luasan yang sempit dan mungkin juga
berkurang karena terjadi konversi lahan sagu untuk kepentingan lainnya. Batang Sagu
Pengupasan kulit dan pemotongan Kulit batang -----------------
Pemarutan
---------------------- ditambah air Peremasan
---------------------- ditambah air Penyaringan
Ampas sagu ----------------- Pengendapan
Air sisa ----------------- Pengeringan
Tepung sagu
Gambar 2 Diagram pengolahan tepung sagu dengan hasil sisa ampas sagu .
Jumlah produksi tepung sagu di Maluku adalah 4 400 kgha. Dimana rata- rata pohon masak tebang untuk hutan sagu di Maluku dari berbagai jenis sagu
adalah 20 pohonha dan rata-rata produksi tiap pohon 220 kg tepung sagu. Dengan demikian dalam 1 ha hutan sagu terdapat 26 400 kg ampas sagu, sehingga
ampas sagu berpotensi dapat digunakan sebagai komponen pakan ternak. Di Ambon atau Maluku ampas sagu disebut ela sagu.
Banyak penelitian telah dilakukan dalam melihat pemanfaatan ampas sagu sebagai komponen pakan, baik dalam ransum ruminansia maupun
monogastrik. Pantjawidjaja et al. 1984 melaporkan bahwa substitusi rumput lapangan dengan ampas sagu Metroxylon sp sampai pada level 45 dengan urea
3 dari bahan kering ampas sagu tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dalam efisiensi penggunaan makanan dan pertambahan bobot badan sapi
peranakan ongole PO, sedangkan menurut Nurkurnia 1989 penggunaan 40 ampas sagu dalam ransum tidak mempengaruhi produksi VFA total atau parsial,
imbangan asetatpropionat dan produksi NH
3
. Hangewa 1992 menyatakan bahwa dengan penggunaan kompleks-NPN-
karbohidrat yang terbuat dari urea dan ampas sagu dengan waktu pemasakan 116 menit dan dosis urea 5.4 dari bahan kering ampas sagu dicapai sintesis protein
yang optimal yaitu 890 mgg4jam. Penggunaan ampas sagu aren 50 memberikan bobot badan akhir ayam broiler yang lebih baik dari penggunaan
50 ampas sagu kirai Nawal 1995. Pada penelitian lain didapatkan bahwa ampas sagu dapat digunakan dengan komposisi nutrisi yang seimbang sampai
taraf 12.5 pada ransum ayam pedaging dan pada ransum ayam kampung sampai taraf 25 Kompiang et al. 1995.
Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Ralahalu 1998 menjelaskan bahwa penggunaan ampas sagu hasil fermentasi dengan Aspergillus niger sampai taraf
15 dalam ransum ternak babi memberikan pertambahan bobot badan yang baik. Biyatmoko 2002, menyatakan bahwa penggunaan ampas sagu fermentasi dalam
ransum itik alabio jantan hingga sekitar 10.6 ternyata mampu meningkatkan aktifitas selulolitik tanpa menyebabkan kerusakan organ pencernaan itik.
2.3. Komposisi Kimia dan Komponen Ampas sagu