Kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro

menurunkan konsentrasi VFA dibandingkan kontrol, dimana penurunan yang signifikan terjadi pada penggunaan ampas sagu tanpa pengolahan 45. Secara umum terlihat bahwa penggunaan ampas sagu fermentasi memberikan efek lebih baik terhadap produksi VFA total. Hasil percobaan pertama memperlihatkan perlakuan fermentasi menurunkan komponen serat, dengan demikian karbohidrat terlarut meningkat. Pada Tabel 7 terlihat bahwa ransum yang mengandung ampas sagu fermentasi kandungan komponen seratnya rendah, sedangkan BETN tinggi. Hal ini berarti perlakuan yang mengandung ampas sagu fermentasi akan lebih mudah didegradasi oleh mikroba rumen sehingga produksi VFA total lebih tinggi. Banyak penelitian membuktikan bahwa perlakuan amoniasi juga menyebabkan pakan lebih mudah didegradasi oleh mikroba rumen. Weiss Underwood 2002 menyatakan bahwa perlakuan amoniasi dapat merusak ikatan kimia diantara molekul serat. Kerusakan ikatan kimia itu menyebabkan substrat lebih mudah dicerna. Semua ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya perbedaan produksi VFA total pada penggunaan ampas sagu amoniasi sampai tingkat 30 dengan kontrol. Produksi VFA total untuk semua perlakuan berkisar dari 76.33- 118.38 mM. Nilai ini masih berada pada kisaran konsentrasi VFA yang menunjang kondisi optimal sistem rumen. Konsentrasi VFA total media rumen berkisar antara 60-120 mM Waldron et al. 2002.

4.2.2 Kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro

Kecernaan bahan kering dapat dijadikan salah satu indikator untuk menentukan kualitas pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka zat-zat makanan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak juga semakin tinggi. Penggunaan ampas sagu tanpa diolah pada berbagai level menurunkan kecernaan bahan kering in vitro secara signifikan dibanding kontrol Tabel 15. Rendahnya kecernaan bahan kering pada cairan rumen yang menggunakan ampas sagu tanpa diolah mungkin disebabkan karena komponen seratnya masih tinggi. Komponen-komponen serat tersebut berikatan dengan lignin membentuk ikatan yang sulit diputuskan dalam rumen. Ampas sagu yang diolah baik fermentasi maupun amoniasi sampai 30 dapat memperbaiki kecernaan bahan kering, sedangkan penggunaan sampai 45 menurunkan kecernaan. Penurunan kecernaan pada penggunaan ampas sagu hasil pengolahan 45 mungkin disebabkan berkurangnya penggunaan rumput lapangan, dimana rumput lapangan mempunyai komposisi nutrien yang lebih lengkap dibanding ampas sagu sehingga mikroba rumen tidak dapat bekerja dengan baik untuk mencerna pakan. Salah satu contoh adalah beta karoten yang merupakan pro vit A hanya terdapat pada rumput segar, tidak atau kurang pada limbah pertanian atau rumput kering. Tabel 15 Kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro Peubah Perlakuan KcBK KcBO Kontrol 76.7 ± 1.9 d 78.2 ± 8.1 d ASF15 70.0 ± 1.7 cd 73.2 ± 6.8 cd ASF30 69.7 ± 5.7 cd 68.2 ± 10.8 bcd ASF45 59.1 ± 1.5 bc 53.2 ± 8.7 ab ASA15 70.9 ± 5.3 cd 62.5 ± 17.7 bcd ASA30 65.2 ± 5.2 bcd 62.9 ± 10.9 bcd ASA45 49.9 ± 1.0 ab 54.2 ± 1.8 ab ASTP15 43.2 ± 1.4 a 43.2 ± 12.9 a ASTP30 41.1 ± 9.6 a 43.9 ± 4.5 a ASTP45 39.2 ± 4.4 a 42.8 ± 3.4 a Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata P0.05 KcBK= kecernaan bahan keing; KcBO=kecernaan bahan organik; K=kontrol; ASF15= 45 R.lapangan + 15 A.S. fermentasi + 40 konsentrat ; ASF30= 30 R.lapangan + 30 A.S. fermentasi + 40 konsentrat; ASF45= 15 R.lapangan + 45 A.S. fermentasi + 40 konsentrat; ASA15= 45 R.lapangan + 15 A.S.amoniasi + 40 konsentrat; ASA30 = 30 R.lapangan + 30 A.S.amoniasi + 40 konsentrat; ASA45 =15 R.lapangan + 45 A.S.amoniasi + 40 konsentrat; ASTP15 = 45 R.lapangan + 15 A.S.tanpa diolah + 40 konsentrat; ASTP30 = 30 R.lapangan + 30 A.S.tanpa diolah + 40 konsentrat; ASTP45 = 15 R.lapangan + 45 A.S.tanpa diolah + 40 konsentrat. Kecernaan pakan dipengaruhi oleh komposisi bahan makanan, kandungan nutrien, faktor hewan serta tingkat pemberian pakan McDonald et al. 2002. Tingginya kecernaan pada penggunaan ampas sagu diolah pada level 15 maupun 30 disebabkan komposisi bahan pakan lebih banyak terdiri dari bahan yang mudah didegradasi. Tipe ikatan dan tingkat ikatan lignin dengan hemiselulosa dan selulosa akan mempengaruhi biodegradasi dinding sel. Keterikatan lignin oleh asam-asam p-kumaril dan unit fenolat akan melepaskan monomer-monomer fenolat, sehingga terjadi penurunan ikatan lignoselulosa dan hemiselulosa dan dapat meningkatkan kecernaan Jung dan Fahey Jr 1983. Peningkatan bahan yang mudah didegradasi juga dilaporkan oleh Okano et al. 2005, dengan biokonversi Japanese red cedar dengan Pleurotus ostreatus yang meningkatkan kecernaan bahan kering secara in vitro. Demikian pula oleh Eun et al. 2006 dengan amoniasi pada jerami. Perlakuan amoniasi memutuskan ikatan-ikatan ester dalam lignin karbohidrat, mengurangi jembatan hidrogen antara molekul selulosa dan melarutkan senyawa-senyawa fenolik yang menghambat dan akibatnya mempermudah akses enzim dan kolonisasi mikroba dari dinding sel tanaman Chesson 1981; Fahey et al. 1993. Perlakuan amoniasi dengan urea akan menghasilkan amonia dan karbon dioksida akibat kerja enzim urease yang dihasilkan oleh mikroba pakan. Selanjutnya amonia NH 3 akan bereaksi dengan air yang terdapat pada pakan menghasilkan amonium hidroksida yang kemudian akan terurai menghasilkan ion amonium NH 4 + dan ion hidroksil OH - . Ion hidroksil dikenal sebagai oksidator kuat yang nantinya akan mulai menyerang lignin, sehingga ikatan antara lignin dan selulosa menjadi longgar dan memudahkan penetrasi oleh enzim Evans et al. 1994. Selain itu perlakuan amoniasi menyediakan nitrogen yang cukup untuk pertumbuhan mikroba sehingga populasi mikroba menjadi banyak dan kecernaan meningkat. Kecernaan bahan kering yang cenderung lebih tinggi pada cairan rumen yang diberi perlakuan kontrol dan ampas sagu fermentasi maupun amoniasi 15 sampai 30, mungkin ditunjang oleh konsentrasi amonia dan VFA total Tabel 15. Konsentrasi amonia dan VFA total mengindikasikan mikroba rumen menjalankan aktivitasnya dengan baik. Rataan kecernaan bahan kering pada cairan rumen yang menggunakan ampas sagu fermentasi lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan oleh Li et al. 2001 secara in vitro dengan cairan rumen sapi terhadap kulit biji kapas hasil fermentasi dengan jamur tiram yaitu 52.3. Kecernaan bahan organik substrat pada kontrol tidak berbeda nyata dengan cairan rumen yang diberi substrat mengandung ampas sagu fermentasi dan amoniasi sampai 30, tetapi nyata P0.05 berbeda dengan cairan rumen yang diberi substrat mengandung ampas sagu fermentasi dan amoniasi 45 dan ampas sagu tanpa pengolahan sampai 45. Perbedaan kecernaan bahan organik sejalan dengan kecernaan bahan kering. Peningkatan kecernaan bahan kering dan bahan organik pada ampas sagu yang diolah membuktikan bahwa perlakuan fermentasi dan amoniasi dapat meningkatkan penggunaan selulosa dan hemiselulosa melalui pemutusan ikatan lignoselulosa atau hemiselulosa oleh Pleurotus ostreatus atau secara kimiawi Gallert Winter 2005. Kecernaan in vitro bahan organik jerami gandum yang difermentasi dengan Pleurotus ostreatus meningkat seiring dengan meningkatnya kehilangan lignin di dalam substrat Permana, 2002. Nilai kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik dari penelitian dijadikan dasar untuk memilih perlakuan yang akan digunakan pada percobaan in vivo , yakni perlakun yang menggunakan ampas sagu hasil fermentasi dan amoniasi 15 dan 30. 4.3. Tahap III. Pengujian Substitusi Rumput Lapangan dengan Ampas Sagu Hasil Pengolahan dalam Ransum Sapi Bali 4.3.1 Konsumsi, Pertambahan Bobot Badan dan Konversi Ransum ”Konsumsi bahan kering” berkisar antara 2.58-3.06 dari bobot badan. Hasil ini lebih tinggi dari penelitian Anggraeny dan Umiyasih 2004 pada sapi potong yaitu 2-2.1. Sapi yang mendapat ransum dengan kandungan ampas sagu fermentasi sebanyak 30 R2 nyata P0.05 lebih tinggi konsumsinya dibandingkan dengan sapi yang mendapat perlakuan R0, R1 dan R3 tetapi tidak berbeda dengan R4 Tabel 16. Nilai rataan konsumsi bahan organik sapi yang diberi ransum perlakuan R2 nyata P0.05 lebih tinggi dari sapi yang mendapat R0, R1dan R3 tetapi sama dengan R4. Tidak adanya perbedaan konsumsi bahan kering dan bahan organik perlakuan R2 dan R4 menunjukkan bahwa penggunaan ampas sagu fermentasi dan amoniasi sampai 50 menggantikan rumput atau 30 dalam ransum tidak mengganggu palatabilitas dan faktor lain yang tidak mempengaruhi konsumsi. Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat fisik dan kimia ampas sagu terolah lebih baik sehingga lebih disukai oleh ternak. Parakkasi 1999 menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi bahan pakan antara lain sifat fisik dan kimia pakan. Pakan produk fermentasi memiliki nilai nutrisi yang lebih tinggi dibanding bahan asalnya karena mikroba telah memecah komponen kompleks menjadi zat yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna. Proses fermentasi juga akan menyebabkan perubahan komposisi kimia seperti kandungan lemak, karbohidrat, asam amino, mineral dan vitamin sebagai akibat aktivitas dan perkembangbiakan mikroorganisme selama fermentasi berlangsung Winarno 1992. Penggunaan ampas sagu fermentasi dalam ransum cenderung meningkatkan BETN menurunkan serat kasar, NDF, ADF, selulosa, hemiselulosa dan lignin sehingga meningkatkan konsumsi ransum. Perlakuan amoniasi dapat meningkatkan konsumsi bahan organik dan bahan kering Weiss Underwood 2002. Peningkatan konsumsi diduga karena perlakuan amoniasi merusak ikatan kimia antara lignin dengan hemiselulosa dan selulosa. Lignin menghambat pencernaan serat oleh karena itu rusaknya ikatan tersebut menyebabkan hemiselulosa dan selulosa menjadi lebih mudah dicerna. Tingginya konsumsi bahan kering dan bahan organik juga dapat disebabkan oleh perlakuan fermentasi dan amoniasi penyebab kondisi rumen lebih kondusif, ditandai dengan VFA total yang berada dalam kisaran normal. Kondisi tersebut memacu pertumbuhan mikroba sehingga pergerakan makanan dalam saluran pencernaan menjadi cepat dan ternak terangsang untuk mengkonsumsi lebih banyak. Leng 1991 mengemukakan bahwa tingkat konsumsi sangat dipengaruhi oleh koefisien cerna, kualitas ransum, fermentasi dalam rumen serta status fisiologis ternak. Produksi ternak sapi pedaging yang direfleksikan pada pertambahan bobot badan merupakan tujuan utama dalam pengujian suatu ransum, dimana perubahan yang terjadi pada bobot badan adalah akibat dari perlakuan tersebut. ”Pertambahan bobot badan” sapi perlakuan berkisar antara 0.456-0.655 kgekorhari. Nilai ini lebih tinggi dari hasil penelitian Mathius et al. 2005, pada sapi Bali yang diberi bungkil inti sawit fermentasi, dimana pertambahan bobot badan harian berkisar antara 0.310-0.582 kgekorhari. Pertambahan bobot badan sapi yang diberi perlakuan R2 nyata berbeda P0.05 dengan R0, R1 dan R3 tetapi tidak berbeda dengan R4, sedangkan R0 tidak berbeda dengan 69 Tabel 16 Rataan konsumsi bahan kering, bahan organik, bobot badan awal, akhir, pertambahan bobot badan dan konversi ransum Ransum Perlakuan Peubah R0 R1 R2 R3 R4 Konsumsi bahan kering BB 2.58 ± 0.1 a 2.69 ± 0.3 ab 3.06 ± 0.1 c 2.67 ± 0.1 ab 2.85 ± 0.3 bc Konsumsi bahan organik BB 2.42 ± 0.1 a 2.45 ± 0.03 a 2.68 ± 0.1 b 2.44 ± 0.01 a 2.64 ± 0.1 b Bobot badan awal kgekor 142 ± 2.0 133 ± 2.3 132 ± 2.1 136 ± 2.0 124 ± 2.5 Bobot badan akhir kgekor 171 ± 1.8 162 ± 5.1 171 ± 2.0 163 ± 4.7 161 ± 3.6 Pertambahan bobot badan kgekor 29.20 ± 1.8 29.7 ± 5.1 39.30 ± 1.5 27.3 ± 3.5 36.70 ± 5.1 Pertambahan bobot badan harian kgekorhari 0.486 ± 0.1 ab 0.495 ± 0.1 ab 0.655 ± 0.1 c 0.456 ± 0.1 a 0.611 ± 0.1 bc Konversi ransum 7.96 ± 0.4 b 7.47 ± 1.4 ab 5.96 ± 0.3 a 8.05 ± 0.9 b 6.07 ± 1.1 a Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata P0.05; R0= ransum kontrol; R1= 45 rumput lapangan + 15 ampas sagu fermentasi + 40 konsentrat; R2 = 30 rumput lapangan + 30 ampas sagu fermentasi + 40 konsentrat; R3= 45 rumput lapangan + 15 ampas sagu amoniasi + 40 konsentrat; R4= 30 rumput lapangan + 30 ampas sagu amoniasi + 40 konsentrat. R1 dan R3. Adanya pertambahan bobot badan yang lebih tinggi pada sapi yang diberi ransum yang mengandung ampas sagu fermentasi maupun amoniasi 30, menunjukkan bahwa ada respon positif ternak terhadap ransum perlakuan tersebut. Pertambahan bobot badan merupakan akumulasi respon ternak terhadap konsumsi ransum, kecernaan zat-zat makanan, fermentasi, metabolisme dan penyerapan nutrien. Tingginya pertambahan bobot badan pada sapi yang diberi perlakuan 30 ampas sagu pengolahan disebabkan tingginya konsumsi bahan kering dan bahan organik pada sapi yang diberi perlakuan tersebut. ”Konversi ransum” terendah adalah pada sapi yang diberi perlakuan ampas sagu fermentasi sebanyak 30 R2 yaitu sebesar 5.96 dan tertinggi pada sapi yang diberi perlakuan ampas sagu amoniasi 15 yaitu sebesar 8.05. Penelitian yang dilakukan oleh Adamovic et al. 1998 terhadap sapi potong yang diberi jerami padi hasil biodegradasi jamur tiram menunjukkan hasil yang lebih tinggi yaitu 7.41-9.14. Pada Tabel 16 terlihat bahwa konversi ransum pada sapi yang diberi ransum R2 berbeda nyata P0.05 dengan R0 dan R3, tetapi sama dengan R1 dan R4. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa substitusi rumput oleh ampas sagu fermentasi dan amoniasi sampai 50 cenderung memperbaiki konversi ransum secara nyata. Terlihat bahwa rataan pertambahan bobot badan harian R2 dan R4 lebih baik dibandingkan R0, R1 dan R3. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan yang menggunakan ampas sagu fermentasi dan amoniasi 30 mampu meningkatkan perubahan bahan kering pakan menjadi bobot hidup, dimana untuk pembentukan 1 kg bobot hidup hanya dibutuhkan 5.96 dan 6.07 kg bahan kering pakan. ”Analisis pendapatan usaha ternak” sangat diperlukan untuk mengetahui keuntungan suatu usaha ternak. Income Over Feed Cost IOFC seperti tergambar pada Tabel 17, merupakan analisis ekonomi sederhana yang digunakan untuk melihat keuntungan dari usaha ternak sapi. Keuntungan yang diperoleh dari nilai jual ternak setelah dikurangi biaya pakan. Nilai tersebut dipengaruhi oleh jumlah konsumsi pakan, harga bahan pakan dan besarnya pertambahan bobot badan harian yang dihasilkan. Income Over Feed Cost pada sapi yang diberi perlakuan R2 sangat nyata lebih tinggi P0.01 dibandingkan R3 dan nyata lebih tinggi P0.05 dari R0, R1, R4, sedangkan R0 sama dengan R1, R3 dan R4. Tabel 17 Rataan perhitungan ekonomis pakan terhadap pertambahan bobot badan sapi Uraian Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 Biaya Pakan Rpeh 5 759.7 7 377.5 10 133.4 5 779.7 6 099.0 Nilai PBB Rpeh 10 685.7 10 057.1 14 457.1 9 219.0 13 409.5 Nilai Jamur Rpeh 0.0 4 033.2 8 738.6 0.0 0.0 IOFC Rpeh 4 926.1 ab 6 712.8 ab 13 062.4 C 3 439.4 a 7 310.6 b Keterangan: 1 Harga rumput lapangan Rp100kg,;ampas sagu fermentasi Rp3 715kg; ampas sagu amoniasi Rp1 000kg; konsentrat Rp2 570kg,; harga sapi hidup Rp22 000kg; harga jamur tiram Rp12 000kg; 2 superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata P0.05. Perbedaan IOFC ini disebabkan karena adanya tambahan harga jamur tiram pada perlakuan yang mengandung ampas sagu fermentasi. Income Over Feed Cost semakin tinggi seiring dengan makin bertambahnya penggunaan ampas sagu fermentasi dalam ransum. Hal ini menunjukkan bahwa ransum yang mengandung ampas sagu fermentasi lebih efisien untuk digunakan sebagai pakan sapi sehingga menguntungkan peternak. Penggunaan ampas sagu amoniasi akan memberikan keuntungan yang lebih besar dari sapi yang diberi perlakuan kontrol apabila digunakan sampai 30 dalam ransum Tabel 17.

4.3.2 Kecernaan Nutrien, Retensi Nitrogen dan Kolesterol Feses

Dokumen yang terkait

Respon Pertumbuhan Dan Produksi Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) Terhadap Berbagai Media Serbuk Kayu Dan Pemberian Pupuk NPK

5 81 121

Perencanaan usahatani karet dan kelapa sawit berkelanjutan di DAS batang pelepat kabupaten Bungo provinsi Jambi

0 9 337

PEMANFAATAN JAMUR TIRAM ( Pleurotus ostreatus ) DAN Pemanfaatan Jamur Tiram ( pleurotus ostreatus ) dan Ekstrak Daun Kelor sebagai Inovasi Bahan Tambahan Pembuatan Permen Jelly dengan Pewarna Alami Kulit Buah Naga.

0 3 9

PEMANFAATAN SERBUK KAYU DAN AMPAS TEBU SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN JAMUR TIRAM PEMANFAATAN SERBUK KAYU DAN AMPAS TEBU SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN JAMUR TIRAM PUTIH ( Pleurotus ostreatus.Jacq ).

0 1 13

PENDAHULUAN PEMANFAATAN SERBUK KAYU DAN AMPAS TEBU SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN JAMUR TIRAM PUTIH ( Pleurotus ostreatus.Jacq ).

0 1 5

PEMANFAATAN AMPAS TAHU SEBAGAI CAMPURAN MEDIA TANAM TERHADAP KECEPATAN WAKTU TUMBUH JAMUR TIRAM PUTIH Pemanfaatan Ampas Tahu Sebagai Campuran Media Tanam Terhadap Kecepatan Waktu Tumbuh Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus).

0 0 16

PENDAHULUAN Pemanfaatan Ampas Tahu Sebagai Campuran Media Tanam Terhadap Kecepatan Waktu Tumbuh Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus).

1 12 5

Efek Dosis dan Lama Biokonversi Ampas Tebu sebagai Pakan oleh Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) terhadap Kadar Protein dan Komponen Serat.

0 0 15

Peningkatan Kualitas Pakan Serat Ampas Tebu Melalui Fermentasi Dengan Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus).

0 1 9

Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus spp.)

0 1 5