Mengoptimalkan pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan ruminansia melalui biofermentasi dengan jamur tiram (Pleurotus ostreatus) dan amoniasi

(1)

BIOFERMENTASI DENGAN JAMUR TIRAM

(Pleurotus ostreatus) DAN AMONIASI

INSUN SANGADJI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Mengoptimalkan Pemanfaatan Ampas Sagu sebagai Pakan Ruminansia Melalui Biofermentasi dengan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dan Amoniasi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi.

Bogor, Juli 2009

Insun Sangadji NRP D061030141


(3)

Pakan Ruminansia Melalui Biofermentasi dengan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dan Amoniasi. Dibimbing oleh AMINUDDIN PARAKKASI, KOMANG G WIRYAWAN dan BUDI HARYANTO.

Di beberapa daerah pakan hijauan dirasakan semakin sulit diperoleh terutama di musim kering, sehingga diperlukan usaha mencari alternatif penggantinya. Salah satu alternatif adalah dengan memanfaatkan limbah pengolahan sagu yang di beberapa daerah saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatannya sebagai pakan memerlukan pengolahan awal karena kandungan nutrisinya yang rendah

Bioteknologi yang paling mungkin digunakan untuk perbaikan mutu pakan baik secara skala laboratorium maupun skala di masyarakat adalah teknologi biokonversi. Pada proses ini suatu senyawa akan diubah menjadi senyawa lain yang strukturnya hampir sama oleh kerja enzim mikroba. Dalam proses ini dibutuhkan mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin atau komponen serat lainnya melalui proses fermentasi. Proses ini tidak hanya diharapkan mampu mendegradasi komponen sulit cerna pada ampas sagu bagi mikroba rumen, namun juga dapat meningkatkan nutrisi ampas sagu tersebut sebagai bahan baku pakan. Salah satu mikroorganisme yang dapat digunakan adalah jamur tiram (Pleurotus ostreatus) yang mengandung enzim-enzim pendegradasi lignin. Cara lain untuk perbaikan mutu ampas sagu dapat juga dilakukan melalui proses amoniasi dengan urea.

Tujuan Penelitian ini adalah : (1) memanfaatkan sumber daya pakan lokal hasil ikutan pengolahan tepung sagu rumbiah; (2) mengkaji potensi ampas sagu sebagai media tumbuh jamur tiram; (3) mengkaji nilai nutrisi ampas sagu hasil biofermentasi dan amoniasi; (3) mendapatkan formula ransum dengan bahan dasar ampas sagu untuk produktivitas ternak sapi

Ada beberapa tahap penelitian yang telah dilakukan, di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PAU, Laboratorium Biologi Hewan PAU dan Laboratorium Makanan Balitnak Ciawi, kebun jamur rakyat bertempat di Pondok Pesantren Tarbiyatunnisa Kelurahan Bantar Kambing Kabupaten Bogor, kandang Peternakan rakyat di Depok Jakarta. Pelaksanaannya mulai dari bulan Mei 2006 sampai April 2008.

Penelitian tahap I : Bioproses ampas sagu dengan jamur tiram (Pleurotus ostreatus) tanpa/dengan mineral Mn dengan masa inkubasi berbeda. Pada tahap ini diharapkan akan diperoleh level mangan dan masa inkubasi yang tepat untuk digunakan dalam fermentasi ampas sagu. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap pola faktorial (4 x 4) dengan 3 ulangan, dimana faktor A adalah 4 waktu inkubasi yaitu waktu sebelum panen (BP), panen pertama (P1), panen kedua (P2), panen ketiga (P3) dan faktor B adalah 4 perlakuan dosis Mn (0, 200, 400 dan 600 ppm). Uji lanjut menggunakan uji Duncan. Peubah yang diukur adalah : persentase bahan kering dan bahan organik, kadar protein, kadar NDF, ADF, Selulosa, Hemiselulosa dan lignin substrat. Penelitian tahap II : Evaluasi in vitro ampas sagu yang difermentasi dengan jamur tiram (Pleurotus ostreatus) dan amoniasi. Penelitian menggunakan


(4)

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 10 perlakuan ransum dan 3 kelompok waktu pengambilan cairan rumen. Perlakuan ransum adalah ransum kontrol, ransum yang mengandung ampas sagu fermentasi 15%, 30% dan 45%, ransum yang mengandung ampas sagu amoniasi 15%, 30% dan 45% dan ransum yang mengandung ampas sagu tanpa pengolahan 15%, 30% dan 45%. Penggunaan ampas sagu baik fermentasi. amoniasi maupun tanpa pengolahan dalam ransum menggantikan rumput rumput lapangan. Uji lanjut menggunakan uji Duncan. Peubah yang diukur adalah kecernaan bahan kering, bahan organik, kadar NH3, kadar VFA total dan pH cairan rumen. Penelitian tahap III: Pengujian substitusi rumput lapangan dengan ampas sagu dalam ransum sapi Bali. Penelitian ini juga menggunakan hasil penelitian terbaik pada penelitian sebelumnya yaitu ransum kontrol, ransum yang mengandung ampas sagu fermentasi 15%, 30% dan ransum yang mengandung ampas sagu amoniasi 15%, 30%. Ternak yang digunakan adalah 15 ekor sapi Bali jantan muda yang berumur ± 1.5 tahun, yang dikelompokkan berdasarkan bobot badan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 5 perlakuan ransum dan 3 kelompok ternak. Uji lanjut menggunakan uji Duncan. Peubah yang diukur adalah konsumsi bahan kering, bahan organik, pertambahan bobot badan,konversi ransum, kecernaan (bahan kering, bahan organik, protein ADF, NDF dan Selulosa), kadar NH3, kadar VFA total dan parsial, dan income over feed cost (IOFC), retensi N dan kadar kolesterol feses.

Hasil penelitian tahap I; menunjukkan bahan kering, bahan organik, protein dan semua komponen serat hanya dipengaruhi oleh waktu inkubasi dan tidak dipengaruhi oleh dosis Mn. Demikian juga tidak ada interaksi antara keduanya. Hasil penelitian yang digunakan pada penelitian selanjutnya adalah perlakuan dengan waktu inkubasi panen pertama dan panen kedua dengan dosis Mn 0 ppm. Penelilitian tahap II menunjukkan kadar amonia dan pH cairan rumen tidak berbeda antar perlakuan, sedangkan kadar VFA total, kecernaan bahan kering dan bahan organik berbeda (P<0.05) antar perlakuan. Perlakuan terbaik yang digunakan pada penelitian selanjutnya adalah perlakuan dengan menggunakan ampas sagu fermentasi dan amoniasi 15 dan 30 % dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Pemilihan ini didasarkan pada hasil tertinggi kecernaan bahan kering dan bahan organik. Penelitian tahap III, menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering, bahan organik, pertambahan bobot badan, konversi ransum dan income over feed cost berbeda (P<0.05) antar perlakuan. Kecernaan bahan kering, bahan organik, protein NDF dan selulosa tidak berbeda antar perlakuan, sedangkan kecernaan ADF berbeda antar perlakuan. Demikian juga karakteristik rumen tidak berbeda antar perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ampas sagu terolah dapat digunakan sampai 30% dalam ransum sapi Bali atau 50% menggantikan rumput lapangan.

Kata kunci: ampas sagu, biofermentasi, Pleurotus ostreatus, amoniasi, sapi pedaging.


(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA MELALUI

BIOFERMENTASI DENGAN JAMUR TIRAM

(Pleurotus ostreatus) DAN AMONIASI

INSUN SANGADJI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(7)

Penguji luar komisi pembimbing :

1. Penguji pada ujian tertutup : Dr.Ir. Dwierra Evvyernie, M.S,M.Sc. 2. Penguji pada ujian terbuka : Prof. Dr. Ir. H.M. Winugroho, M.Sc.APU. Dr. Ir. Erika Budiarti Laconi, M.S.


(8)

Nama : Insun Sangadji NRP : D061030141

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Drh. Aminuddin Parakkasi, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Komang G. Wiryawan Prof. Dr. Ir. Budi Haryanto, M.Sc. Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,M.S.


(9)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNYA karya tulis ini bisa terselesaikan. Disertasi dengan judul Mengoptimalkan Pemanfaatan Ampas Sagu sebagai Pakan Ruminansia Melalui Biofermentasi dengan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dan Amoniasi, disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi PAU, Laboratorium Biologi Hewan PAU, Kebun Jamur rakyat yang bertempat di Pesantren Tarbiyatunnisa Bantar Kambing, Bogor dan kandang peternakan rakyat di Depok Jakarta.

Penelitian dan penulisan ini dapat terselesaikan atas pengarahan serta bimbingan dari Komisi Pembimbing.Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Drh.Aminuddin Parakkasi, M.Sc., Dr. Ir. Komang G. Wiryawan dan Prof. Dr. Ir. Budi Haryanto, M.Sc. yang telah membimbing, memotivasi dan mengarahkan dengan kesabaran yang bersahaja dialiri energi positif dalam setiap menghadapi kesulitan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada, Dekan, Ketua Program Studi, Ketua Departemen dan seluruh staf dosen Fapet IPB atas kesempatan memperoleh ilmu dan bantuan yang diberikan selama penulis menjalankan studi di IPB. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Rektor Unpatti, Dekan Fakultas Pertanian Unpatti, Ketua Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Unpatti, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjalankan studi di IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional melalui DITJEN DIKTI atas bantuan beasiswa yang diberikan, Pemerintah Daerah Maluku, Yayasan Dana Bantuan Maluku, Bantuan Dana Mandiri, Bapak Ketua MUI Ambon, Badan Litbang Departemen Pertanian yang telah memberikan bantuan penelitian kepada penulis.

Ucapan terima kasih kepada teman-temanku tersayang Nani, usi Popy, pak Dede, Pak Dedi Rahmat, Hary Uhie, ibu Maritje, Ari Borel yang telah banyak memberikan saran dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penulisan ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pak Iwa, Endang, Rahmat, mas Abdi, Budi, Iwan dan Bram atas segala bantuan selama penulis mengadakan penelitian baik di Laboratorium maupun di lapangan. Kepada teman-teman kos Ibu Dety, Mita, Eli, Eka, Mala dan Tika terima kasih untuk kenyamanan kebersamaan dan bantuan yang diberikan selama ini. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kakak-kakak, adik-adik dan ponakan-ponakan tercinta, tulisan ini kupersembahkan kepada kalian untuk semua doa dan kasih sayang yang telah diberikan.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2009


(10)

Penulis dilahirkan di Namlea Kabupaten Buru, Propinsi Maluku 4 Juli 1961 sebagai anak ke 9 dari 11 bersaudara dari pasangan Alm. H. Ali Sangadji dan Alm. Hj. Nun Malawat. Program sarjana ditempuh di Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Unpatti, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1995-1996 penulis mengikuti Bridging program untuk tenaga pengajar kimia dasar pada Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 1996, penulis diterima di program studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi ilmu dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2003 dengan beasiswa BPPS Ditjen Dikti Depdiknas.

Saat ini penulis terdaftar sebagai dosen tetap pada Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon.

Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Perubahan Nilai Nutrisi Ampas Sagu pada Fase Pertumbuhan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) yang Berbeda pada jurnal Ilmu ternak, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung tahun 2008. Artikel lain yang berjudul Produktivitas sapi Bali yang diberi Pakan Berbahan Dasar Ampas Sagu Hasil Fermentasi Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dan Amoniasi akan diterbitkan pada jurnal Media Peternakan Fakultas Peternaan IPB tahun 2009. Karya-karya ilmiah ini merupakan bagian dari program S3 (disertasi) penulis.


(11)

DAFTAR GAMBAR ……….

xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………...

xv

1 PENDAHULUAN ………

1

1.1 Latar Belakang ………..

1

1.2 Tujuan Penelitian ………...

4

1.3 Manfaat Penelitian ……….

4

1.4 Hipotesis Penelitian ………...

4

2 TINJAUAN PUSTAKA ………..

5

2.1 Tanaman Sagu ………...

5

2.2 Potensi Ampas Sagu sebagai Komponen Pakan ………...

6

2.3 Komposisi Kimia dan Komponen Ampas Sagu ...

8

2.4 Pengolahan Pakan Berserat ...

2.4.1 Pengolahan Pakan Berserat Secara fisik ...

2.4.2 Pengolahan Pakan Berserat Secara Kimiawi ...

2.4.3 Pengolahan Pakan Berserat Secara Biologis ...

16

17

18

19

2.5

Jamur Tiran (Pleurotus ostreatus) dan Peranannya dalam

Perbaikan Mutu Pakan ...

21

2.6 Peranan Amoniasi terhadap Perbaikan Mutu Pakan ...

26

2.7

Sistem Pencernaan dan Penyerapan Nutrien pada

Ruminansia ...

27

2.8 Peranan Serat terhadap Kolesterol ...

31

3 MATERI DAN METODE ...

33

3.1 Waktu dan Lokasi Pelaksanaan ...

33

3.2 Materi Percobaan ...

33

3.3 Tahap I. Biofermentasi Ampas Sagu dengan Jamur Tiram

(Pleurotus ostreatus) tanpa atau dengan Mineral Mn

dengan Masa Inkubasi Berbeda ...

33

3.4 Tahap II. Evaluasi In Vitro Ampas Sagu yang Difermentasi

dengan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dan

Amoniasi ………

36

3.5

Tahap III. Pengujian Substitusi Rumput Lapangan dengan

Ampas Sagu Hasil Pengolahan dalam Ransum Sapi Bali ...

40

3.6 Metode Pengukuran Peubah ...

43

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...

49

4.1

Tahap I Biofermentasi Ampas Sagu dengan Jamur Tiram

(Pleurotus ostreatus) tanpa atau dengan Mineral Mn

dengan Masa Inkubasi Berbeda ...

49

4.1.1

Potensi Ampas Sagu sebagai Media Tumbuh Jamur

Tiram (Pleurotus ostreatus) ...

49

4.1.2 Pertumbuhan Miselium ...

50

4.1.3

Kandungan Bahan kering, Bahan Organik dan

Protein Ampas Sagu Hasil Biofermentasi ...

53


(12)

Amoniasi ... ...

61

4.2.1 Fermentabilitas rumen In Vitro ...

61

4.2.2

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

in vitro ...

64

4.3. Tahap III. Pengujian Substitusi Rumput Lapangan dengan

Ampas Sagu Hasil Pengolahan dalam Ransum Sapi Bali ...

67

4.3.1

Konsumsi, Pertambahan Bobot Badan dan

Konversi Ransum ...

67

4.3.2

Kecernaan Nutrien, Retensi Nitrogen dan

Kolesterol Feses ...

71

4.3.3 Karakteristik Fermentasi Mikroba dalam Rumen...

75

4.3.3.1. Amonia ...

75

4.3.3.2. Asam Lemak Terbang (VFA) ...

76

5 SIMPULAN DAN SARAN ...

80

5.1 SIMPULAN ...

80

5.2 SARAN ...

80

DAFTAR PUSTAKA ...

81


(13)

1 Komposisi nutrisi ampas sagu dan rumput lapangan ………

9

2 Pembagian bahan organic tanaman melalui sistem analisis

deterjen ………...

10

3 Pengaruh metode pengolahan terhadap konsumsi pakan dan

Perbaikan kecernaan bahan kering ……….

17

4 Perlakuan kimiawi untuk meningkatkan mutu bahan pakan

lokal ………

18

5 Beberapa jenis jamur yang dapat digunakan untuk

mendegradasi lignin ………

20

6 Kandungan nutrien bahan pakan penyusun ransum

percobaan in vitro ...

37

7 Susunan ransum dan kandungan nutrien ransum percobaan

in vitro ...

38

8 Kandungan nutrien bahan pakan penyusun ransum

percobaan in vivo ...

41

9 Susunan bahan pakan dan kandungan nutrien ransum

percobaan in vivo ...

42

10 Komposisi larutan penyangga ...

44

11 Kandungan nutrien ampas sagu bahan penelitian ...

50

12 Kandungan bahan kering, bahan organik dan protein

media tumbuh jamur dengan waktu fermentasi dan

dosis Mn yang berbeda . ...

54

13 Komponen serat media tumbuh jamur pada

waktu fermentasi dan dosis Mn yang berbeda ...

58

14 Rataan pH, konsentrasi amonia dan VFA total cairan

rumen in vitro ...

62

15 Kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro ...

65

16 Rataan konsumsi bahan kering, bahan organik, bobot badan awal,

akhir, pertambahan bobot badan dan konversi ransum ...

69

17 Rataan perhitungan ekonomis pakan terhadap pertambahan

bobot badan sapi ...

71

18 Rataan kecernaan nutrien pada sapi Bali...

72

19 Konsumsi nitrogen, nitrogen feses, nitrogen urine dan

retensi nitrogen pada sapi Bali ...

74

20 Rataan konsentrasi Amonia, VFA total dan parsial cairan

rumen sapi Bali ...

77

21 Rataan proporsi molar VFA parsial cairan rumen sapi


(14)

2 Skema pengolahan tepung sagu dengan hasil sisa

ampas sagu (Dinas Pertanian Maluku 1984) ...

7

3 Monomer-monomer penyusun hemiselulosa ...

11

4 Struktur

selulosa

tanaman...

12

5 Tiga monomer utama penyusun lignin...

14

6 Struktur

lignin

tanaman...

15

7 Mekanisme degradasi lignin...

25

8 Diagram cara isolasi dengan kultur jaringan untuk memperoleh

bibit tanam ...

34

9 (a) ampas sagu sebelum fermentasi, (b) pembentukan miselium

selesai, (c) pertumbuhan tubuh buah, (d) ampas sagu hasil

fermentasi ...

35

10 (a) Miselium jamur tiram putih pada hari ke 50 pada media

tumbuh dengan pembesaran 1000x, (b) media tumbuh jamur

sebelum fermentasi dengan pembesaran 500x, (c) media tumbuh

jamur sesudah fermentasi dengan pembesaran 500x ...

51

11 Kadar kolesterol feses sapi Bali yang diberi ransum

Mengandung ampas sagu fermentasi dan amoniasi ...

75


(15)

1 Pembuatan Inokulum ……….. 94 2 Diagram alir fermentasi ampas sagu dengan

jamur tiram ... ... 96 3 Hasil sidik ragam dan uji Duncan bahan kering media

tumbuh jamur ... ... 97 4 Hasil sidik ragam dan uji Duncan kandungan bahan

kering (g) media tumbuh jamur……….. 98 5 Hasil sidik ragam dan uji Duncan bahan organik (%)

media tumbuh jamur... 99 6 Hasil sidik ragam dan uji Duncan kandungan bahan

organik (g) media tumbuh jamur... 100 7 Hasil sidik ragam dan uji Duncan kandungan protein (%)

media tumbuh jamur... 101 8 Hasil sidik ragam dan uji Duncan kandungan protein (g)

media tumbuh jamur... 102 9 Hasil sidik ragam dan uji Duncan NDF (%) media

tumbuh jamur………. 103

10 Hasil sidik ragam dan uji Duncan NDF (g) media tumbuh

jamur………... 104 11 Hasil sidik ragam dan uji Duncan NDF (g) media tumbuh

jamur………... 105 12 Hasil sidik ragam dan uji Duncan ADF (g) media tumbuh

jamur………... 106 13 Hasil sidik ragam dan uji Duncan Hemiselulosa (%)

media tumbuh jamur……….. 107 14 Hasil sidik ragam dan uji Duncan Hemiselulosa (g)

media tumbuh jamur……….. 108 15 Hasil sidik ragam dan uji Duncan Selulosa (%) media

tumbuh jamur………. 109

16 Hasil sidik ragam dan uji Duncan Selulosa (g) media

tumbuh jamur………. 110

17 Hasil sidik ragam dan uji Duncan Lignin (%) media

tumbuh jamur………... 111 18 Hasil sidik ragam dan uji Duncan Lignin (g) media

tumbuh jamur………. 112

19 Hasil sidik ragam dan uji Duncan pH cairan rumen in

vitro... 113 20 Hasil sidik ragam dan uji Duncan Amonia cairan rumen

in vitro……… 114

21 Hasil sidik ragam dan uji Duncan VFA total cairan

rumen in vitro... 115 22 Hasil sidik ragam dan uji Duncan KcBK in vitro... 116 23 Hasil sidik ragam dan uji Duncan KcBO in vitro... 117 24 Hasil sidik ragam dan uji Duncan konsumsi bahan kering


(16)

organik (%BB)... 119

26 Hasil sidik ragam dan uji Duncan pertambahan bobot badan harian (kg/ekor/hari) ... 120

27 Hasil sidik ragam dan uji Duncan konversi ransum... 121

28 Hasil sidik ragam dan uji Duncan Income over feed cost (IOFC) ……….. 122

29 Hasil sidik ragam dan uji Duncan Kecernaan bahan kering ... 123

30 Hasil sidik ragam dan uji Duncan Kecernaan bahan organik ... 124

31 Hasil sidik ragam dan uji Duncan Kecernaan Protein ………... 125

32 Hasil sidik ragam dan uji Duncan kecernaan NDF... 126

33 Hasil sidik ragam dan uji Duncan Kecernaan ADF……... 127

34 Hasil sidik ragam dan uji Duncan Kecernaan Selulosa ……… 128

35 Hasil sidik ragam dan uji Duncan konsumsi nitrogen ... 129

36 Hasil sidik ragam dan uji Duncan nitrogen feses ... 130

37 Hasil sidik ragam dan uji Duncan nitrogen urine... 131

38 Hasil sidik ragam dan uji Duncan retensi nitrogen ... 132

39 Hasil sidik ragam dan uji Duncan kolesterol feses ... 133

40 Hasil sidik ragam dan uji Duncan amonia cairan rumen sapi Bali ……… 134

41 Hasil sidik ragam dan uji Duncan VFA total cairan rumen sapi Bali ... 135

42 Hasil sidik ragam dan uji Duncan asam asetat cairan rumen sapi Bali ……….. 136

43 Hasil sidik ragam dan uji Duncan asam propionat cairan rumen sapi Bali ... 137

44 Hasil sidik ragam dan uji Duncan asam butirat cairan rumen sapi Bali ……….. 138

45 Hasil sidik ragam dan uji Duncan asam isobutirat cairan rumen sapi Bali ……….. 139

46 Hasil sidik ragam dan uji Duncan asam valerat cairan rumen sapi Bali ... 140 47 Hasil sidik ragam dan uji Duncan asam isovalerat cairan rumen sapi Bali ... 141

48 Hasil sidik ragam dan uji Duncan proporsi molar asam asetat cairan rumen sapi Bali ………. 142

49 Hasil sidik ragam dan uji Duncan proporsi molar asam propionat cairan rumen sapi Bali ……….. 143

50 Hasil sidik ragam dan uji Duncan proporsi molar asam butirat cairan rumen sapi Bali ……….. 144


(17)

valerat cairan rumen sapi Bali ... 146 53 Hasil sidik ragam dan uji Duncan proporsi molar asam


(18)

Peningkatan populasi dan produktivitas ternak ruminansia belum memperlihatkan hasil yang optimal. Sementara itu permintaan akan daging terus meningkat dari tahun ke tahun terutama pada hari-hari raya. Konsumsi daging sapi di Indonesia mengalami peningkatan, dari 330 300 ton pada tahun 2002 menjadi 389 300 ton pada tahun 2006. Sebaliknya populasi ternak sapi pedaging cenderung mengalami penurunan dari 11 297 625 ekor pada tahun 2002 menjadi 10 835 686 ekor pada tahun 2006 (DITJENAK 2006). Ketidakseimbangan ini disebabkan antara lain oleh produktivitas ternak yang sangat rendah. Hal ini perlu mendapat perhatian pemerintah karena akan berdampak negatif terhadap ketersediaan protein hewani.

Salah satu kendala yang dihadapi oleh usaha peternakan adalah belum tercukupinya kebutuhan nutrisi terutama protein pakan, sehingga ternak belum dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Rumput di daerah tropis kebanyakan bermutu rendah dengan serat kasar yang tinggi. Sementara itu penanaman rumput unggul seperti rumput gajah dan sebagainya juga mendapat kendala karena terbatasnya lahan, yang kebanyakan sudah digunakan untuk pemukiman dan lahan pertanian. Keadaan ini merupakan tantangan bagi sektor peternakan, karena perlu mencari pakan alternatif untuk meningkatkan produksi ternak.

Pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal merupakan langkah strategis dalam upaya mencapai efisiensi usaha produksi ternak ruminansia di Indonesia. Hal ini akan semakin nyata, apabila sumberdaya tersebut bukan merupakan kebutuhan langsung bagi kompetitor, seperti manusia atau jenis ternak lain. Oleh karena pakan sangat erat kaitannya dengan produktivitas dan biaya produksi, maka pemanfaatan bahan baku lokal secara efisien akan berpengaruh nyata terhadap perkembangan ternak.

Penetapan prioritas bahan baku lokal perlu didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan daya kompetisi secara ekonomi dan kualitas. Kriteria yang perlu menjadi perhatian dalam kaitannya dengan efisiensi dan kompetisi adalah jumlah dan ketersediaan bahan pakan. Agar efisien, bahan tersebut harusnya tersedia


(19)

dalam jumlah yang besar, ada sepanjang tahun dan terkonsentrasi. Bahan baku yang mempunyai karakter tersebut umumnya terkait dengan industri, yang menghasilkan berbagai produk baik yang bersifat sampingan maupun limbah.

Bahan baku lokal untuk tiap daerah berbeda tergantung pada kondisi daerah tersebut. Maluku yang dikenal sebagai daerah produsen sagu mempunyai limbah dari industri pengolahan tepung sagu yang berlimpah. Sagu merupakan salah satu sumber daya nabati di Indonesia yang mulai akhir tahun tujuh puluhan makin meningkat pemanfaatannya, sebagai akibat dari program pemantapan swasembada pangan nasional dan permintaan akan bahan baku industri dan energi. Potensi sagu di Maluku cukup besar, walaupun pada beberapa wilayah telah terjadi pengalihan status pemanfaatan lahan sagu untuk pemanfaatan lain (Louhenapessy 1998).

Ampas sagu merupakan limbah yang didapatkan pada proses pengolahan tepung sagu, dimana dalam proses tersebut diperoleh tepung dan ampas sagu dalam perbandingan 1 : 6 (Rumalatu 1981). Jumlah limbah yang banyak tersebut, sampai saat ini belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya hanya dibiarkan menumpuk pada tempat - tempat pengolahan tepung sagu sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan. Kalaupun ada ternak yang memanfaatkannya, hanya ternak-ternak yang berada di sekitar lokasi pengolahan tepung sagu, yang langsung mengkonsumsi di tempat penumpukan ampas tanpa dikontrol.

Pemanfaatan limbah atau ampas sagu sebagai pakan alternatif merupakan suatu hal yang baik, walau disadari bahwa pemanfaatannya perlu mendapat sentuhan teknologi, karena ampas sagu mempunyai keterbatasan untuk digunakan sebagai pakan yaitu kandungan serat kasarnya tinggi dan proteinnya rendah. Oleh karena itu perlu dilakukan pengolahan pendahuluan sebelum diberikan kepada ternak. Cara pengolahan limbah yang sudah dikenal antara lain pengolahan fisik, kimia dan biologi.

Pengolahan biologi yang bisa dilakukan antara lain adalah biofermentasi dengan menggunakan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Jamur ini dari kelas Basidiomycetes yang dapat dimakan dan dapat dibudidayakan pada berbagai limbah pertanian. Spesies ini dalam selnya mengandung 18 asam amino (Stefen


(20)

et al. 2003), disamping budidayanya membutuhkan biaya relatif murah dan mampu memperbaiki pakan bermutu rendah menjadi pakan bermutu tinggi (Rai dan Saxena 1990)

Jamur tiram dalam biokonversi jerami padi diketahui mampu mendegradasi lignin, dan setelah dicobakan pada ternak ternyata dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organiknya (Jafari et al. 2007) sehingga apabila jamur tiram putih tersebut digunakan untuk ampas sagu diharapkan dapat memberi hasil yang baik pula. Disamping itu penerapan bioteknologi ini dapat bersifat dwiguna, yaitu dapat mengembangkan agribisnis budidaya jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Diharapkan dengan biofermentasi ampas sagu dengan jamur tiram ini dapat memberikan dua keuntungan sekaligus yaitu disatu pihak berupa jamur tiram sebagai komoditi pangan bernilai ekonomi tinggi. Dilain pihak substrat media tumbuh jamur dapat digunakan sebagai pakan ruminansia, sehingga terbuka peluang untuk penggemukan sapi potong didaerah-daerah penghasil tepung sagu. Dengan demikian pemanfaatan ampas sagu dapat dioptimalkan, sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani peternak, sekaligus mencegah pencemaran lingkungan.

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi proses biodegradasi adalah adanya mineral dalam substrat, dimana mineral dapat mempengaruhi pertumbuhan fungi dan aktifitas enzim lignin peroksidase, mangan peroksidase dan lakase (Badrian et al. 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Karem dan Hadar (1997) menunjukkan bahwa penambahan Mn kedalam substrat dapat meningkatkan degradasi lignin oleh Pleurotus ostreatus hingga 50% dan meningkatkan kecernaan bahan kering.

Perlakuan kimia juga sering digunakan untuk meningkatkan mutu pakan berserat yang berkualitas rendah. Amoniasi merupakan salah satu perlakuan kimia yang sering digunakan, karena urea yang ditambahkan pada pakan akan mengalami proses ureolitik menjadi NH3 dan CO2 oleh urease bakteri pakan. Kelebihan amoniasi dengan urea dari perlakuan lainnya adalah mampu menyediakan nitrogen untuk pertumbuhan mikroba rumen bila pakan berprotein rendah tersebut dikonsumsi (Leng 1991). Kardaya et al. (2006) melaporkan


(21)

bahwa perlakuan amoniasi pada jerami padi dengan menggunakan urea dapat meningkatkan kadar protein kasar, kecernaan bahan kering dan bahan organik secara in vitro.

1.2 Tujuan Penelitian

Rangkaian percobaan dalam penelitian bertujuan untuk :

1. Memanfaatkan sumber daya pakan lokal hasil samping pengolahan sagu. 2. Mengkaji potensi ampas sagu sebagai media tumbuh jamur tiram. 3. Mengkaji nilai nutrisi ampas sagu hasil biofermentasi dan amoniasi.

4. Mendapatkan formula ransum dengan bahan baku ampas sagu untuk produktivitas ternak ruminansia.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Memberi informasi baru tentang pendayagunaan limbah atau ampas sagu rumbiah sebagai bahan pakan potensial.

2. Mencegah pencemaran lingkungan, akibat menumpuknya ampas sagu pada sentra-sentra industri pengolahan tepung sagu.

1.4 Hipotesis Penelitian

1. Ampas sagu dapat digunakan sebagai media tumbuh jamur.

2. Pengolahan biofermentasi dan amoniasi dapat meningkatkan penggunaan pakan lokal ampas sagu.

3. Pengolahan biofermentasi dan amoniasi dapat meningkatkan nilai nutrisi ampas sagu


(22)

Sagu termasuk tumbuhan monokotil dari famili Palmae, ordo Spadiciflorae dan genus Metroxylon (Sastrapradja dan Mogen 1976). Tanaman sagu terdiri atas sagu berduri dan sagu tidak berduri. Sagu berduri adalah sagu Tuni ( M. rumpii), sagu Ihur (M. sylvestre), sagu Makanaru (M.longispinum) dan sagu duri rotan (M. microcanthum) serta satu jenis sagu yang tidak berduri yaitu sagu molat (M. sagu) (Bintoro 2008). Selanjutnya Papilaya (2009) menyatakan bahwa kelima jenis sagu ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi di Maluku.

Tanaman sagu dapat tumbuh pada berbagai kondisi hidrologi dari yang terendam sepanjang masa sampai ke lahan jalan yang tidak terendam air (Bintoro 2008). Bentuk pohon yang tegak dan kuat dengan ukuran tinggi dan diameter batang yang berbeda-beda menurut jenis dan umurnya. Pohon sagu yang mulai berbunga mempunyai tinggi yang bervariasi antara 10-15 m dan diameter batangnya mencapai 75 cm dengan berat berkisar satu ton (Flach 1977).

Metroxylon berasal dari bahasa Yunani, yaitu Metra dan Xylon. Metra artinya empulur dan Xylon artinya Xylem atau pembuluh kayu (Flach 1983). Di Indonesia dikenal dengan beberapa nama diantaranya rumbia (Minangkabau, Makassar dan Bugis), lapia atau napia (Ambon), kirai (Jawa Barat), sedangkan Jawa Timur dan Jawa Tengah dikenal dengan nama bilung atau kresula.

Perbanyakan tanaman sagu dapat dilakukan dengan benih (biji sagu) untuk pembibitan dengan cara generatif dan anakan untuk pembibitan vegetatif. Biji atau buah yang digunakan berasal dari pohon sagu yang sudah tua atau mengering, sedangkan anakan berasal dari tunas yang melekat pada pangkal batang pohon induknya atau anakan yang sudah menjalar di atas permukaan tanah (Papilaya 2009).

Secara kasar sagu dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sagu yang berbunga atau berbuah satu kali dan yang berbunga atau berbuah lebih dari satu kali (Rumalatu 1981). Golongan sagu yang berbunga atau berbuah satu kali mempunyai karbohidrat yang tinggi dibandingkan dengan sagu yang berbunga atau berbuah lebih dari satu kali (Flach 1977). Sagu umumnya dipanen pada


(23)

umur antara 10-12 tahun pada waktu tinggi tanaman sudah mencapai 10-15 meter. Batang sagu banyak mengandung pati. Pamanenan pati sagu hendaknya pada saat inisiasi pembentukan bunga. Saat pembentukan bunga, meskipun masih terjadi akumulasi pati tetapi laju pati yang digunakan untuk pembuatan buah lebih cepat daripada laju akumulasi pati. Pati yang terdapat pada batang bagian bawah akan lebih dahulu digunakan untuk pertumbuhan bunga dan buah padahal sebenarnya pati lebih banyak terdapat pada batang bagian bawah (Bintoro 2008).

Gambar 1 Pohon sagu spesies Metroxylon sago

Pati sagu diperoleh dengan cara memeras empulur batang tanaman sagu. Skema pengolahan batang sagu menjadi tepung sagu dengan hasil ikutan ampas sagu dapat dilihat pada Gambar 2.

2.2 Potensi Ampas Sagu Sebagai Komponen Pakan ternak

Schuling dan Flach (1993) memprediksi bahwa potensi luas areal sagu Indonesia sekitar 1 398 000 ha, dengan jumlah produksi tahun 1994 adalah


(24)

31 690.4 ton dan tahun 1995 sebesar 36 198.2 ton (Biro pusat statistik 1995). Menurut Louhenapessy (1998) potensi luasan sagu di Maluku adalah sekitar 47 600 ha. Luasan ini masih mungkin bertambah karena umumnya sagu tersebar di seluruh wilayah Maluku walaupun dalam luasan yang sempit dan mungkin juga berkurang karena terjadi konversi lahan sagu untuk kepentingan lainnya.

Batang Sagu

Pengupasan kulit dan pemotongan Kulit batang ---

Pemarutan

--- ditambah air Peremasan

--- ditambah air Penyaringan

Ampas sagu --- Pengendapan Air sisa --- Pengeringan

Tepung sagu

Gambar 2 Diagram pengolahan tepung sagu dengan hasil sisa ampas sagu ().

Jumlah produksi tepung sagu di Maluku adalah 4 400 kg/ha. Dimana rata-rata pohon masak tebang untuk hutan sagu di Maluku dari berbagai jenis sagu adalah 20 pohon/ha dan rata-rata produksi tiap pohon 220 kg tepung sagu. Dengan demikian dalam 1 ha hutan sagu terdapat 26 400 kg ampas sagu, sehingga


(25)

ampas sagu berpotensi dapat digunakan sebagai komponen pakan ternak. Di Ambon atau Maluku ampas sagu disebut ela sagu.

Banyak penelitian telah dilakukan dalam melihat pemanfaatan ampas sagu sebagai komponen pakan, baik dalam ransum ruminansia maupun monogastrik. Pantjawidjaja et al. (1984) melaporkan bahwa substitusi rumput lapangan dengan ampas sagu (Metroxylon sp) sampai pada level 45% dengan urea 3% dari bahan kering ampas sagu tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dalam efisiensi penggunaan makanan dan pertambahan bobot badan sapi peranakan ongole (PO), sedangkan menurut Nurkurnia (1989) penggunaan 40% ampas sagu dalam ransum tidak mempengaruhi produksi VFA total atau parsial, imbangan asetat/propionat dan produksi NH3.

Hangewa (1992) menyatakan bahwa dengan penggunaan kompleks-NPN-karbohidrat yang terbuat dari urea dan ampas sagu dengan waktu pemasakan 116 menit dan dosis urea 5.4% dari bahan kering ampas sagu dicapai sintesis protein yang optimal yaitu 890 mg/g/4jam. Penggunaan ampas sagu aren 50% memberikan bobot badan akhir ayam broiler yang lebih baik dari penggunaan 50% ampas sagu kirai (Nawal 1995). Pada penelitian lain didapatkan bahwa ampas sagu dapat digunakan dengan komposisi nutrisi yang seimbang sampai taraf 12.5% pada ransum ayam pedaging dan pada ransum ayam kampung sampai taraf 25% (Kompiang et al. 1995).

Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Ralahalu (1998) menjelaskan bahwa penggunaan ampas sagu hasil fermentasi dengan Aspergillus niger sampai taraf 15% dalam ransum ternak babi memberikan pertambahan bobot badan yang baik. Biyatmoko (2002), menyatakan bahwa penggunaan ampas sagu fermentasi dalam ransum itik alabio jantan hingga sekitar 10.6% ternyata mampu meningkatkan aktifitas selulolitik tanpa menyebabkan kerusakan organ pencernaan itik.

2.3. Komposisi Kimia dan Komponen Ampas sagu

Dilihat dari segi kuantitas, ampas sagu cukup tersedia untuk digunakan sebagai pakan ternak terutama pada daerah-daerah produsen tepung sagu seperti Maluku dan Papua, tetapi dari segi kualitas, ampas sagu mempunyai nilai gizi yang rendah karena kadar serat kasarnya yang tinggi dan kadar proteinnya yang rendah, walaupun kadar patinya cukup tinggi. Komposisi kimia ampas sagu dapat


(26)

dilihat dalam Tabel 1, dari tabel tersebut terlihat bahwa ada perbedan komposisi dari 2 penelitian. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan spesies, umur, tempat hidup dan proses pengolahannya.

Bila dibandingkan dengan komponen lain dari tanaman sagu, maka ampas sagu merupakan komponen terbesar. Disayangkan dari jumlah yang besar tersebut pemanfaatannya sebagai pakan (ruminansia sekalipun) dibatasi oleh kadar seratnya yang relatif tinggi, tanpa mendapat perlakuan khusus terlebih dahulu (Preston dan Leng 1987). Dari hasil analisa kimia (Tabel 1) terlihat bahwa ampas sagu sebagian besar terdiri dari komponen serat.

Tabel 1 Komposisi nutrisi ampas sagu dan rumput lapangan

Komposisi kimia Genus sagu

Metroxylon1) Metroxylon2) Rumput Lapangan

...%...

Bahan kering 73.66 86.65 89.57

Protein kasar 2.30 3.36 10.08

Lemak 0.41 - 1.47

Serat kasar 18.86 25.41 36.61

Abu 18.19 7.99 9.20

BETN 60.24 - 42.64

Pati - -

NDF 49.96 87.40 51.54

ADF 36.26 42.11 40.9

Selulosa - 29.52 34.21

Hemiselulosa - 45.29 10.64

Lignin - - 4.92

Keterangan : (-) = tidak diteliti, 1) Nurkurnia (1989), 2) Tisnowati (1991),

Pada umumnya sel tanaman digolongkan dalam dua golongan berdasarkan kelarutannya dalam larutan deterjen yaitu : 1) isi sel (Neutral Detergent Solubles [NDS]), merupakan bagian yang kecernaanya tinggi; terdiri dari gula-gula , pati, pektin, protein, asam-asam organik; larut dalam larutan deterjen netral; dan 2) dinding sel (Neutral Detergent Fiber [NDF]), merupakan bagian yang kecernaannya rendah; terdiri dari hemiselulosa, selulosa, lignin, silika; tidak larut dalam larutan deterjen netral (Van Soest 1982). Dinding sel tanaman dibentuk dari serat selulosa yang terikat dengan karbohidrat non-selulolitik, hemiselulosa dan pektin (metil ester dari asam poligalakturonat) serta beberapa komponen asam-asam fenolat yang juga dapat berkontribusi dalam stabilitas struktur. Dengan meningkatnya umur tanaman, batang tanaman secara progresif


(27)

terlignifikasi dengan menggantikan pektin oleh deposisi lignin dan hemiselulosa di lamela tengah dan dinding sel sekunder. Dengan demikian residu tanaman, sebagaimana halnya ampas sagu tersusun atas matriks serat selulosa yang terdiri dari lignin dan biopolimer hemiselulosa. Akibat dari sifat-sifat residu tanaman tersebut, biodegradasinya dibatasi oleh ketiga polimer, yaitu selulosa, lignin dan hemiselulosa (Paterson 1989). Pembagian bahan organik tanaman melalui sistem analisis Van Soest disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Pembagian bahan organik tanaman melalui sistem analisis deterjen

Fraksi Komponen Manfaat

1. Isi sel

(larut dalam detergen Netral)

Lemak, gula, asam-asam Organik dan bahan yang larut dalam air, pektin, pati, NPN, protein terlarut

Hampir seluruhnya dapat dicerna, tidak terikat oleh lignin

2. Dinding sel

(serat yang tidak larut Dalam deterjen netral) :

a. Larut dalam

deterjen asam

b. Tidak larut dalam

deterjen asam

Hemiselulosa, serat pengikat protein Selulosa, kitin, lignin, Silika, nitrogen yang terikat oleh lignin

Sebagian dapat dicerna Tergantung dari derajat lignifikasi

Sumber : Van Soest (1977)

Kandungan selulosa dan hemiselulosa yang cukup tinggi pada pakan serat merupakan sumber energi untuk ruminansia, tetapi dari beberapa kajian didapatkan kecernaannya rendah. Rendahnya kecernaan selulosa dan hemiselu-losa disebabkan oleh keterikatannya dengan lignin dalam bentuk ikatan kompleks. Ikatan fisik dan kimia ketiga komponen tersebut akan menghambat mikroorganisme rumen dalam mencerna serat kasar (Winugroho 1986). Fraksi hemiselulosa umumnya lebih mudah dicerna dari selulosa tetapi lignin praktis tidak dapat dicerna karena lignin mempunyai proporsi karbon, hidrogen, dan oksigen yang berbeda dari polisakarida lainnya (Morison 1980).

Hemiselulosa merupakan polimer kompleks yang terdiri atas campuran berbagai polimer monosakarida yang berbeda dimana gula penyusunnya dikelompokkan sebagai berikut : 1) heksosa (glukosa, manosa dan galaktosa); 2) pentosa (silosa, arabinopiranosa, arabinofuranosa); 3) asam heksuronat


(28)

(glukoronat, metilglukoronat, galaktoronat); 4) deoksiheksosa (ramnosa, fukosa) (Fengel dan Wegener 1989). Monomer-monomer penyusun hemiselulosa dapat dilihat pada Gambar 3. Komponen terbesar dari hemiselulosa adalah siloglukan yang tersusun dari unit-unit glukosa dengan ikatan β-1-4 yang ujungnya membentuk cabang dengan unit-unit silosa pada ikatan α-1-6. Molekul ini terikat secara kovalen dengan fraksi pektin dinding sel serta ikatan hidrogen terhadap mikrofibril selulosa sehingga memperkuat sel-sel tanaman.

Gambar 3 Monomer-monomer penyusun hemiselulosa Gambar 3 Monomer-monomer penyusun hemiselulosa

Bila dibandingkan dengan selulosa, hemiselulosa lebih mudah didegradasi menjadi gula sederhana dan produk lainnya serta lebih siap dicerna daripada selulosa (Crowder dan Chheda 1982), sehingga seringkali disebut juga sebagai karbohidrat yang larut dalam alkali lemah (Maynard et al. 1984). Tetapi menurut Doyle et al. (1986), hemiselulosa berbeda dengan selulosa dalam hubungannya dengan keterikatan dengan lignin. Hemiselulosa terikat lebih erat dengan lignin dibandingkan selulosa. Pada kondisi ini selulosa lebih mudah dicerna dibandingkan hemiselulosa. Dilaporkan juga bahwa kecernaan selulosa dan hemiselulosa ini diakibatkan oleh kandungan lignin yang berubah-ubah. Kandungan hemiselulosa di dalam sel tanaman berbeda tergantung pada spesies tanaman, jenis jaringan dan tingkat perkembangan sel (Blanchette 1995). Lebih lanjut dilaporkan bahwa sel primer tanaman mengandung 24% hemiselulosa, pada kayu 15-35%.


(29)

Selulosa adalah unsur utama yang membungkus kerangka tumbuhan yang dihasilkan dari proses fotosintesa tumbuh-tumbuhan (Harjo et al. 1989 ; Mayes et al. 1995). Bentuk ini tidak larut dalam pelarut biasa dan terdiri dari sejumlah unit

β-D-glukopiranosa yang dihubungkan lewat ikatan β-1-4 untuk membentuk rantai lurus dan panjang yang dikuatkan oleh ikatan hidrogen berikatan silang yang memberikan struktur kristalin dan tersusun dalam mikrofibril (Gambar 4).

Ada dua macam ikatan hidrogen pada struktur selulosa yaitu : 1) ikatan hidrogen intra molekul yang mempertahankan kekuatan rantai selulosa; dan 2) ikatan inter molekul yang menyebabkan rantai selulosa saling berikatan membentuk suatu mikrofibril. Secara alami selulosa umumnya berstruktur kristalin. Hal ini diketahui dengan analisis difraksi sinar-X, dan dengan analisis spektroskopi infra merah menunjukkan adanya beberapa gugus hidroksil bebas yang saling berikatan melalui ikatan hidrogen membentuk struktur kristalin dan berikatan dengan lignin melalui ikatan kovalen membentuk lignoselulosa yang kuat sehingga sulit dihidrolisis dengan enzim (Tsao et al . 1978).


(30)

Struktur kristal yang dibungkus oleh lignin yang berperan dalam pencegahan terhadap serangan enzim pemecah selulosa. Komposisi kimia dan struktur yang demikian mengakibatkan bahan mengandung selulosa menjadi kuat dan keras (Browning 1967).

Molekul selulosa umumnya tidak ditemukan secara bebas pada sel tanaman, tetapi dalam bentuk ikatan membentuk jalinan berdiameter 0,3 µ yang disebut mikrofibril dan diameter > 0,3 µ disebut fibril (Clark dan Swan 1975). Setiap mikrofibril tersusun oleh rantai selulosa berupa unit-unit glukosa. Fibril-fibril tersebut membentuk ikatan lebih besar dengan ikatan hidrogen menjadi struktur kristalin. Selulosa banyak terdapat pada roughage yaitu pada dinding sel sekundernya. Kesempurnaan pemecahannya tergantung pada jenis ternak, yaitu ada atau tidaknya enzim selulase.

Mayes et al. (2003), menyatakan bahwa pada hewan pemamahbiak dan hewan herbivora terdapat mikroorganisme yang menghasilkan enzim selulase yang dapat menyerang ikatan β sehingga selulosa dapat digunakan sebagai sumber penghasil kalori yang penting. Selulosa dicerna secara mantap didalam rumen dan retikulum ternak menjadi selobiosa dan selanjutnya oleh enzim selobiose diubah menjadi glukosa. Hasil akhir pencernaan oleh jasad renik adalah asam lemak terbang yang terdiri dari asam asetat, asam propionat dan asam butirat dengan hasil sampingan berupa gas CO2 dan metana (Tillman et al. 1991).

Tanaman mengandung bagian yang tidak dapat dicerna. Analisis kimia pakan telah menggolongkan bagian tersebut ke dalam kategori lignin kasar (Van Soest 1977). Lignin adalah fraksi non-karbohidrat yang merupakan polimer aromatik polifenolat yang terdiri atas unit-unit oksifenilpropana yang tergabung dalam struktur ikatan silang yang kompleks, sehingga sangat sukar dihidrolisis (McDonald et al. 2002). Pada dinding sel tanaman yang tua lignin berikatan dengan hemiselulosa dan disebut glikolignin atau lignohemiselulosa. Pentosan-pentosan seperti silosa, arabinosa, asam uronat, glukosa dan galaktosa adalah hemiselulosa yang selalu terikat dengan lignin membentuk kompleks lignin-karbohidrat (LCC) (Paterson 1989).

Wahyu (1995), menyatakan bahwa lignin sebenarnya bukan karbohidrat tetapi sering tidak terpisahkan dari karbohidrat, merupakan lapisan protektif pada


(31)

struktur selulosa-hemiselulosa dan jaringan tanaman selama pertumbuhannnya untuk mencegah serangan bakteri. Dari segi nutrisi selalu dihubungkan dengan selulosa dan hemiselulosa. Jumlah lignin dan penempatannya tidak bermanfaat sebagai zat makanan bahkan mempunyai efek yang merugikan terutama dalam hal ketersediaan zat makanan untuk diabsorbsi.

Lignin merupakan bentuk polimer dari senyawa aromatik yang berfungsi memberi kekuatan dan kekakuan pada struktur tanaman. Karena adanya hubungan kedua fungsi ini maka lignin bertindak sebagai penghalang fisik dan penghalang pemecahan oleh mikroba dari senyawa-senyawa polisakarida tersebut (Jackson 1978). Pendapat ini didukung oleh Liyama (2000) yang menyatakan bahwa lignin merupakan biopolimer yang lain seperti polisakarida dan protein.

Selain itu lignin berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman, dan lignin tidak pernah ditemui dalam bentuk sederhana diantara polisakarida-polisakarida dinding sel tetapi selalu berikatan dengan polisakarida lainnya (Fengel dan Wegener 1989). Lignin disusun dari unit-unit fenilpropen yaitu koniferil alkohol, sinapil alkohol dan p-kumaril alkohol melalui proses polimerisasi dehidrogenasi, (Nolan et al. 1989). Gambar 5 dan 6 menjelaskan monomer-monomer penyusun lignin (fenilpropana) serta struktur lignin yang berasal dari tanaman konifer.

Alkohol Alkohol Alkohol p-kumaril koniferil sinapil

Gambar 5 Tiga monomer utama penyusun lignin (Crawford 1981)

Pada tanaman lignin bervariasi dari 2-15% (Paturau 1982). Lignin merupakan suatu substansi yang mengandung unsur karbon, hidrogen dan oksigen


(32)

yang lebih tinggi daripada yang terdapat pada karbohidrat. Struktur khas lignin dapat dijelaskan dengan baik karena bentuknya yang sangat variatif dari satu tanaman ke tanaman lainnya, sehingga dapat membentuk ikatan atom C - C dan C-O-C. Pada monomernya mempunyai gugus hidroksil (OH) dan metoksi (OCH3) dan secara umum polimer amorf tidak membentuk kristal seperti pada

selulosa (Maynard et al. 1980). Struktur kompleks lignin mengandung rantai-rantai karbon dan ikatan-ikatan eter yang tahan terhadap asam dan alkali.

Dilihat dari struktur dasar unit-unit monomernya, lignin digolongkan pada tiga kelompok utama yaitu : 1) lignin pada Gymnospermae terdiri dari 8% polimer alkohol koniferil, 14% alkohol p-kumaril dan 6% alkohol sinapil alkohol; 2) lignin pada Angiospermae tersusun dari campuran 56% polimer alkohol koniferil, 40% alkohol sinapil dan 4% alkohol p-kumaril; dan 3) lignin dari Gramineae merupakan esterifikasi p-asam kumarat menjadi Cŷ-gugus hidroksil pada gugus samping polimer lignin yang terdiri dari koniferil, sinapil dan p-kumaril (McDonald et al. 2002).

Gambar 6 Struktur lignin tanaman (Crawford 1981)

Ikatan rangkap antara lignin dengan selulosa dan hemiselulosa merupakan ikatan ester dan eter (Maynard et al. 1980). Hemiselulosa yang selalu terikat


(33)

dengan lignin adalah pentosan-pentosan seperti silosa, arabinosa, asam uronat, glukosa dan galaktosa yang akan membentuk lignohemiselulosa (Harkin 1973).

Menurut Liyama (2000) bahwa selama masa pemasakan tanaman lignin akan bertambah secara berangsur-angsur dan kecernaan dinding sel secara cepat akan menurun. Penurunan kecernaan dinding sel ini ditentukan oleh deposisi lignin. Lignin memiliki kandungan energi yang potensial, tetapi tidak dapat digunakan sebagai sumber energi oleh mikroorganisme rumen terutama pada cincin aromatiknya. Cincin aromatik hanya dapat dipecah pada keadaan aerob, sedangkan rumen dalam keadaan yang anaerob (Orpin 1984).

Lignin terdiri dari sebuah struktur padat dengan ikatan karbon ke karbon dan ikatan-ikatan lainnya yang resisten terhadap hidrolisis asam atau alkali. Ikatan-ikatan ini berada dalam bentuk tiga dimensi dan merupakan jawaban mengapa lignin begitu sukar untuk dihidrolisis, meskipun demikian seperti senyawa polifenol lainnya lignin labil terhadap oksidasi (Van Soest 1977).

Lignin mengurangi kecernaan karbohidrat melalui ikatan hidrogen pada sisi kritis, sehingga membatasi aktivitas selulase (Arora 1995). Van Soest (1977) menjelaskan keterikatan lignin dengan substansi bukan lignin terjadi karena tiga hal yaitu : 1) ikatan antara komponen bukan lignin dengan lignin dimana R dapat berupa selulosa atau kelompok amino protein (ikatan benzil ini sukar dihidrolisis dengan alkali); 2) ikatan antara komponen bukan lignin dengan lignin dimana X menunjukkan sebuah ester silan (Wilkie 1979; Hartley 1981); dan 3) sebuah ester fenolitik dengan sebuah silan (komponen hemiselulosa).

Houghton et al. (1987) menyatakan bahwa perombakan lignin oleh mikroorganisme melibatkan enzim ligninolitik yang menguraikan lignin menjadi karbondioksida yaitu peroksidase, mangan peroksidase, lakase dan oksidase. Laju perombakan lignin akan meningkat seiring dengan meningkatnya hidrogen peroksida yang berfungsi sebagai oksidan ekstraseluler dan perangsang aktivitas lignilisis. Hal serupa juga dikemukakan oleh Leisola dan Garsia (1989) bahwa degradasi lignin masih mungkin terjadi akibat proses jamur.

2.4 Pengolahan Pakan Berserat

Mikroba rumen sangat sulit mencerna pakan dengan serat kasar yang terlalu tinggi, terutama untuk memutuskan ikatan lignoselulosa. Oleh sebab itu


(34)

untuk meningkatkan asas manfaat dari bahan-bahan pakan berserat maka perlu dilakukan perlakuan terlebih dahulu. Tujuan perlakuan bahan pakan adalah untuk menurunkan ukuran partikel sehingga meningkatkan luas permukaan jaringan bahan agar terbuka terhadap serangan mikroorganisme rumen (Winugroho 1986).

Terdapat beberapa proses perlakuan yang telah diketahui dapat memperbaiki nilai nutrisi pakan dengan kandungan serat yang tinggi yaitu secara fisik, kimia dan biologis (Ryu 1989). Beberapa hasil penelitian dengan berbagai metode pengolahan pakan berserat terhadap perbaikan nilai nutrisinya disajikan pada Tabel 3. Kecernaan bahan kering dengan perlakuan fisik lebih rendah dibandingkan perlakuan kimia dan biologis.

Tabel 3 Pengaruh metode pengolahan terhadap konsumsi pakan dan perbaikan kecernaan bahan kering.

Perlakuan

Rata-rata perbaikan (%)

Konsumsi pakan Kecernaan bahan kering

1. Fisik (tekanan uap) 32 31

2. Kimia (alkali) 31 36

3. Biologis (biokonversi) 41 36

Sumber : Ryu (1989)

2.4.1. Pengolahan Pakan Serat Secara Fisik.

Pengolahan secara fisik banyak macamnya, anatara lain : pencacahan, penggilingan, peleting, pembasahan, dan pemasakan (sterilisasi), pemanasan (tekanan uap). Pencincangan 1-3 cm dapat meningkatkan konsumsi. Penggilingan (ukuran 0.1-0.3 cm), peleting, pemasakan (sterilisasi), pemanasan di bawah tekanan, pemanasan dengan sinar radiasi gamma 25-50 M, tekanan uap 21.1 kg/cm2 selama 10-30 detik dan sinar X bertujuan untuk memecah ikatan lignin dan merubah sifat fisiko-kimia dinding sel, memperkecil ukuran, memperluas ukuran partikel, meningkatkan akseptabilitas terhadap selulase, meningkatkan pembengkakan partikel, menurunkan derajat polimerisasi, tetapi tidak merubah komposisi kimianya (Doyle et al. 1986; Ryu 1989). Rusaknya dinding sel menyebabkan aktivitas mikroba meningkat (Winugroho 1986; Usri 1987). Komposisi kimia jerami padi tidak dipengaruhi oleh pencincangan, sebaliknya


(35)

penggilingan akan mengurangi bahan organik dan sebagai konsekuensinya protein kasar dan mineral meningkat (Komar 1984).

Pakan yang bentuk fisiknya lebih halus dapat meningkatkan konsumsi, efisiensi, pertambahan berat badan dan kecernaan (Anggorodi 1979). Hangewa (1992) melaporkan bahwa pemasakan urea-ampas sagu dengan tekanan uap dapat meningkatkan kecernaan bahan kering, bahan organik, konsentrasi total dan individual VFA serta konsentrasi amonia secara in vitro.

2.4.2. Pengolahan Pakan Serat Secara Kimiawi

Pengolahan secara kimiawi terhadap pakan telah banyak diungkapkan para peneliti, dan nyata dapat memperbaiki kualitas pakan, walaupun ada yang berpendapat bahwa residu zat kimia yang digunakan dapat membahayakan. Kecernaan dan intake beberapa komponen dinding sel dapat meningkat dengan perlakuan kimia. Bahan-bahan yang digunakan untuk meningkatkan degradasi dinding sel dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu alkali, asam, reagen oksidatif (NaOH, urine sapi, urea dan amonia encer) (Doyle et al 1986; Ryu 1989). Bahan kimia yang sangat efisien digunakan untuk pengolahan pakan serat adalah alkali (NaOH, KOH, Ca[OH]2), amoniak anhidrase (NH3), larutan amoniak

(NH4OH)(Komar 1984). Berbagai perlakuan terhadap lignin juga telah

dikembangkan untuk mengkaji efek pengolahan terhadap peningkatan nilai nutrisi yang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perlakuan kimiawi untuk meningkatkan mutu bahan pakan lokal

Perlakuan Agen perlakuan Target perlakuan Substrat perlakuan

Hidrolitik NaOH Urea

H2SO4

Alkali H2O2

Lignin-Karbohidrat Lignin-Karbohidrat Selulosa-selulosa Modifikasi fenolik Lignin

Jerami, pucuk tebu, limbah tanaman, kulit buah kakao

Oksidatif SO2

O3

Modifikasi fenolik lignin Modifikasi fenolik lignin

Jerami,

Limbah tanaman Sawit

Sumber : Chesson (1993)

Hasil penelitian Usri (1987), menunjukkan bahwa jerami padi yang diolah dengan NaOH dan abu sekam dapat meningkatkan konsumsi protein ransum dan kualitas karkas, walaupun tidak nyata dalam pertambahan bobot badan dan efisiensi ransum. Hal ini disebabkan zat kimia yang bersifat alkali [Ca(OH)2 ,


(36)

KOH dan NaOH] dapat melemahkan atau memutuskan ikatan lignoselulosa dinding sel pakan, sehingga memudahkan penetrasi enzim mikroba dalam rumen yang akhirnya kecernaan pakan dapat ditingkatkan (Komar 1984).

Terjadi perubahan pada ikatan antar lignin, antar lignin-karbohidrat atau antar karbohidrat dengan perlakuan kimiawi yang bersifat hidrolitik. Perlakuan yang bersifat oksidatif menghasilkan perubahan pada komposisi fenolik penyusun rantai polimer lignin (Chesson 1993). Pengaruh mekanisme oksidatif terhadap kualitas nutrisi bahan pakan lebih tinggi dibandingkan dengan cara hidrolitik, namun penggunaan di lapangan sangat terbatas akibat pertimbangan ekonomi. 2.4.3. Pengolahan Pakan Serat Secara Biologis

Prinsip perlakuan biologis adalah pemutusan ikatan kompleks selulosa-lignin dengan cara mengekstraksi atau mendekomposisi selulosa-lignin. Menurut Zadrazil dan Kurtzman (1984), jerami, kayu serta limbah pertanian lainnya pada umumnya akan mengalami mineralisasi setelah dilakukan pengolahan secara biologis dengan menggunakan jamur. Beberapa penelitian melaporkan bahwa perlakuan secara biologis nampaknya memberikan harapan yang lebih baik dibandingkan perlakuan secara fisik dan kimia. Ryu (1989) meringkas beberapa laporan penelitian mengenai pengaruh berbagai perlakuan terhadap perbaikan nilai nutrisi bahan pakan, ternyata berdasarkan kecernaan maupun konsumsi bahan kering, perlakuan biologis lebih baik dari perlakuan fisik maupun kimia.

Dekomposisi lignin secara biologis merupakan salah satu cara untuk memecah ikatan selulosa-lignin dalam jaringan tanaman limbah pertanian, sehingga dapat meningkatkan energi tersedia bagi ternak ketika digunakan sebagai pakan. Mikroba yang ideal untuk mendegradasi lignin adalah yang memiliki potensi kuat untuk mendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Selama proses dekomposisi lignin, jamur juga akan mendegradasi karbohidrat (selulosa), sehingga waktu panen merupakan faktor kritis dalam mengoptimalkan manfaat dekomposisi lignin untuk meningkatkan kecernaan bahan. Tuomela (2002), menyatakan bahwa jamur akar putih merupakan salah satu jenis mikroba pengurai lignin yang paling efisien yang tersedia di alam dan mempunyai kemampuan untuk mengurai lignin. Pada Tabel 5 disajikan beberapa jenis jamur yang telah dikaji mempunyai potensi mendegradasi lignin pada berbagai jenis substrat.


(37)

Tabel 5 Beberapa jenis jamur yang dapat digunakan untuk mendegradasi lignin

Jamur Substrat Peningkatan

kecernaaan(%)

Sumber

Dichomitus scualens Jerami gandum

24-30 Agosin et al. (1987)

Cyathus stercoreus Jerami gandum

24-30 Agosin et al. (1987)

Pleurotus spp Jerami gandum

14 Zadrazil & Kurtzman

(1984) Sekam padi Jerami padi Ampas tebu 14 3.34-27.70 8.66

Beg et al. (1986) Santoso (1996) Tarmidi (2004)

Pleurotus sajor-caju Bagasse 19 Kewalramani et al.

(1988)

Ganoderma applanatum Kayu 30-60 Zadrazil et al. (1982)

Beberapa organisme selulolitik dapat menghasilkan protein sel tunggal yang berasal dari substrat limbah pertanian. Dilaporkan bahwa ampas tebu yang dikonversi dengan bakteri dapat menghasilkan biomassa protein sel tunggal sebesar 26% (Linko 1977). Badve et al. (1987) melaporkan bahwa kandungan dinding sel ampas tebu yang dibiofermentasi dengan jamur Pleurotus sajor-caju nilainya menurun dari 88.4% menjadi 77.2% dengan bertambahnya waktu inkubasi. Selanjutnya Tarmidi (1999) melaporkan bahwa Nilai kecernaan komponen serat dan TDN ampas tebu hasil biokonversi jamur tiram putih lebih tinggi dibandingkan dengan ampas tebu tanpa biokonversi.

Ralahalu (1998) menyatakan bahwa penggunaan ampas sagu yang difermentasi dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan pertambahan bobot badan ternak babi, sedangkan menurut Biyatmoko (2002), fermentasi ampas sagu dengan Aspergillus niger dapat memperbaiki nilai nutrisi ampas sagu terutama meningkatkan protein murni dari 2.16 menjadi 9.55%. Proses fermentasi juga terbukti dapat meningkatkan nilai gizi bahan asalnya karena selain terjadi perombakan bahan kompleks menjadi lebih sederhana, didalam proses fermentasi juga terbentuk beberapa vitamin misalnya riboflavin, vitamin B12 dan provitamin

A (Santoso 1987).

Winarno (1992) menyatakan bahwa substrat yang mengalami fermentasi biasanya memiliki nilai gizi yang lebih tinggi daripada bahan asalnya. Hal ini


(38)

dikarenakan sifat katabolik dan anabolik mikroorganisme sehingga mampu memecah komponen yang lebih kompleks menjadi mudah tercerna. Proses biofermentasi diharapkan akan merombak struktur jaringan kimia dinding sel, pemutusan ikatan lignosellulosa dan penurunan kadar lignin.

2.5 Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) dan Peranannya dalam Perbaikan Mutu Pakan

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa perbaikan mutu pakan dapat dilakukan dengan bantuan mikroba dalam proses fermentasi. Keberhasilannya ditentukan oleh jenis mikroba yang digunakan dalam metode fermentasi. Umumnya jenis mikroba yang digunakan adalah yang mempunyai aktifitas selulolitik yang tinggi serta mampu meningkatkan kadar protein bahan. Sedangkan proses fermentasi yang banyak digunakan adalah fermentasi padat atau semi padat.

Ada tiga jenis jamur yang dapat mendegradasi komponen serat (lignin, selulosa dan hemiselulosa), yaitu jamur pembusuk putih (white-rot fungi), jamur pembusuk coklat (brown-rot fungi), dan jamur pelapuk lunak (soft-rot fungi). Dari ketiga jenis jamur tersebut, jamur pembusuk putih, yang sebagian besar termasuk kelas Basidiomycetes, lebih efektif dalam mendegradasi lignin (Crawford 1981).

Pleurotus ostreatus atau jamur pembusuk putih merupakan jamur genus Pleurotus, famili Agaricaceae (Tricholomata), ordo Agaricales, subdivisi Basidiomycotae, divisi Amastigomycota. Jamur ini biasanya disebut jamur tiram atau jamur mutiara. Budidayanya relatif mudah dan tidak memerlukan lahan yang luas, serta tidak membutuhkan modal yang besar. Secara alami jamur ini tumbuh dan berkembang pada kayu yang sudah lapuk dengan kandungan nutrisi dan mineral yang sedikit. Bahan-bahan seperti bongkol jagung, jerami, merang, serbuk gergajian, kayu dan sisa pemintalan kapas dapat dijadikan substrat pertumbuhannya (Lukitasari 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa jamur tiram putih dapat tumbuh pada kayu karena dapat menguraikan lignin yang terdapat pada substrat yang terikat dengan polisakarida pada dinding sel kedua lamella intraselluler.


(39)

nutrisi yang sesuai. Suhu yang dikehendaki berkisar antara 20-30 oC, namun suhu optimum untuk pertumbuhan miselium adalah 22 oC Kelembaban relatif tidak begitu penting bagi pertumbuhan miselium selama substrat difermentasikan didalam kantong plastik, karena kelembaban minimum sebesar 80% dapat dicapai apabila difermentasikan dalam kantong plastik dan cukup untuk menjaga permukaan substrat dari kekeringan (Tripathi & Yadav 1992).

Selanjutnya Tripathi dan Yadav (1992) menyatakan bahwa faktor-faktor yang saling berhubungan terhadap pertumbuhan miselium antara lain ukuran partikel dan kadar air substrat. Besarnya ruang udara antara partikel-partikel substrat akan mengganggu pertumbuhan miselium. Oleh sebab itu untuk limbah pertanian ukuran partikel substrat diusahakan 2-3 cm, dan kadar air sekitar 75% merupakan kondisi ideal bagi budidaya jamur tiram putih.

Pleurotus ostreatus dapat diidentifikasi dengan memperhatikan ciri-cirinya yaitu pertumbuhan miseliumnya cepat dan berkolonisasi tinggi. Miselium yang berumur 30-40 hari warnanya seputih kapas, padat, kompak dan mengeluarkan enzim kedalam substrat. Lapisan miselium pada media yang akan membentuk tubuh buah menunjukkan konsistensi seperti lemak. Tubuh buah dimulai dari bintil-bintil bakal tubuh buah, mula-mula membentuk batang, kemudian ujungnya membulat (Chang & Miles 1989).

Untuk meningkatkan aktifitas beberapa enzim yang dikeluarkan oleh miselium jamur tiram putih diperlukan beberapa mineral tambahan seperti potasium, sodium, fosfor, kalsium, magnesium dan mangan (Chang & Miles 1989; Kerem et al. 1995). Mineral-mineral tersebut juga penting bagi stabilitas pH substrat dimana pH substrat yang optimum untuk pertumbuhan miselium adalah 5.5 (Suriawiria 1997). Menurut Tripathi & Yadav (1992) gipsum juga dibutuhkan untuk meningkatkan struktur substrat yang lebih bergranular sehingga dapat mengikat air lebih baik untuk keperluan pertumbuhan miselium.

Beberapa jenis vitamin yang essensial diperlukan untuk pertumbuhan jamur tiram putih diantaranya thiamin (vitamin B1), biotin (vitamin H atau

vitamin B7), dan vitamin B kompleks. Sumber-sumber vitamin tersebut dapat


(40)

Jamur tiram putih mensekresikan enzim-enzim ekstraseluler dan intraseluler yang berperan dalam degradasi lignin, selulosa dan hemiselulosa, terutama enzim-enzim endoglukonase, silanase, fenoloksidase yang terdiri atas lakase dan peroksidase, enzim aril alkohol oksidase, Mn-oksidase, aril alkohol dehidrogenase yang sebelumnya dikenal sebagai aril aldehida reduktase, dan veratril alkohol oksidase (Sannia et al. 1991; Kerem et al. 1992).

Kerusakan substrat dimulai pada saat disekresikannya enzim yang dapat mengubah substansi dalam bahan berselulosa yang tidak larut menjadi bentuk yang larut. Akibatnya miselium jamur akan terpenetrasi ke dalam dinding sel melalui lubang-lubang kecil yang terbentuk. Lignin dapat didegradasi tanpa terjadinya kehilangan selulosa, tetapi secara simultan hemiselulosa juga akan didegradasi (Crawford 1981).

Lignoselulosa terutama lignin sukar dihidrolisis baik oleh asam maupun enzim disebabkan : 1) struktur kristalin selulosa; 2) asosiasinya dengan molekul lignin dan hemiselulosa yang membuat sisi serang enzim menjadi terbatas. Kedua hambatan tersebut juga akan mengurangi penetrasi enzim ke dalam molekul-molekul selulosa, sehingga enzim tidak dapat menghidrolisis selulosa dengan sempurna (Marsden & Gray 1986). Beberapa jenis jamur penghasil enzim selulolitik dapat mendegradasi senyawa selulosa pada daerah kristalin. Rantai selulosa mengikat air dan mengembang sehingga mudah didegradasi oleh selulase yang dihasilkan oleh jamur atau fungi. Jamur tiram putih juga menghasilkan enzim hidrolitik dan enzim oksidatif untuk mendegradasi selulosa. Selain itu juga dihasilkan enzim selobiose quinon oksidoreduktase (Hollaender 1981).

Degradasi selulosa secara enzimatis terjadi karena adanya selulase sebagai agen perombak bersifat spesifik untuk menghidrolisis ikatan β-1,4-glikosidik dari rantai selulosa dan derivatnya. Enzim selulase kompleks umumnya terdiri dari tiga unit yaitu : 1) endo-β-1,4 glukanase (Cx), berperan secara acak menghidrolisis

ikatan glikosida-β-1,4 sepanjang rantai selulosa. Enzim ini tidak menghidrolisis selobiosa, tetapi menghidrolisis selodekstrin yang telah direnggangkan oleh asam fosfat. Terbukanya ujung terminal selulosa memberi kesempatan kepada ekso-β- 1,4 glukanase mereduksi ujung rantai selulosa non-pereduksi untuk menghasilkan selobiosa; 2) ekso-β-1,4 glukanase (C1) atau selobio-hidrolase, berperan pada


(41)

pemecahan selodekstrin yaitu selulosa yang telah direnggangkan oleh asam fosfat. Enzim ini mereduksi ujung rantai selulosa non-pereduksi dan melepaskan satu unit selobiosa. Enzim C1 bekerja pada daerah kristalin dari serat, tidak

menghidrolisis selobiosa dan selulosa yang tersubstitusi, tetapi dapat mereduksi selodekstrin; 3) β-1,4 glukosidase menurunkan unit enzim yang penting untuk mereduksi selobiosa dan selodekstrin menghasilkan produk glukosa serta asam selobionat menjadi glukosa dan glukanolakton (Hollaender 1981).

Hemiselulosa didegradasi oleh enzim: 1) silanase, merupakan kelompok enzim endo- dan ekso- β-1,4-D-silanase yang menyerang rantai silan secara acak, menyebabkan turunnya derajat polimerisasi dari substrat. Hasil utamanya adalah silosa, silobiosa termasuk oligomer silosa dan L-arabinosa; 2) β-silosidase, mereduksi silooligosakarida serta mengeluarkannya dari satu ujung rantai polimer menjadi silosa; 3) α-glukonase, dibutuhkan untuk memecahkan terminal 4-0-asam metil-glikoronik rantai sisi menyebabkan oligomer mudah direduksi oleh β -silosidase; 4) mannase, mereduksi rantai β-1,4-D-mannapiranosil dan manna; 5) esterase, merupakan asetil silan esterase yang membebaskan kelompok O-asetil dari posisi C2 dan C3 pada silosa di dalam silooligomer (Puls & Poutanen 1981).

Degradasi hemiselulosa seperti halnya pada selulosa dan pati, yaitu dengan memutuskan ikatan kimia diantara gugus gula dan menghasilkan silosa, arabinosa dan glukosa ( Linko 1977).

Pada prinsipnya degradasi lignin oleh jamur pembusuk putih terdiri dari tiga proses utama yaitu : 1) oksidasi rantai samping dengan membebaskan cincin aromatik, terutama asam vanilat; 2) oksidasi karbon-α pada rantai samping fenilpropana; dan 3) pemutusan cincin aromatik yang terikat pada polimer. Ketiga proses tersebut dilakukan oleh enzim-enzim fenoloksidase, yaitu enzim peroksidase dan lakase, serta enzim aril alkohol oksidase (AAO) (Kerem et al. 1992)

Putusnya ikatan lignin kristalin selulosa (dalam bentuk ikatan ester) dengan koniferil, sinapil dan p-kumaril alkohol memudahkan penetrasi selulase yang dihasilkan mikroba rumen. Terputusnya ikatan tersebut ditandai dengan meningkatnya kelarutan masing-masing komponen serat (hemiselulosa, selulosa, lignin). Hal ini menurunkan persentase kandungan komponen serat, sehingga


(42)

kecernaan in vitro komponen serat pakan meningkat (Maynard et al. 1980). Mekanisme degradasi lignin dijelaskan pada Gambar 7.

Gambar 7 Mekanisme degradasi lignin (Gutierrez et al. 1996)

Menurut Nout (1995) substrat bekas dari penanaman jamur tiram putih pada media jerami gandum setelah 12 minggu biokonversi dapat menurunkan lignin sekitar separuhnya, dan dapat meningkatkan kecernaan. Pada penelitian lain yang menggunakan substrat jerami gandum, media bekas penanaman jamur tiram putih dapat meningkatkan kecernaan nitrogen sebesar 84.4% dan substansi organik sebesar 74.4%. Disamping itu miselium jamur tersebut dapat menyum- bangkan asam-asam amino yang lengkap, kecuali fenilalanin dan metionin yang agak rendah. Media bekas penanaman jamur tiram putih menunjukkan peningkatan kandungan protein kasar sebesar 22.4%, lemak 0.06%, dan abu 4.7%. Peningkatan yang besar pada protein tersebut akibat meningkatnya kandungan asam-asam amino (Sova & Cibuka 1990).

Penelitian yang dilakukan oleh Adamovic et al. (1998) menunjukkan bahwa jerami yang didegradasi oleh enzim-enzim yang diproduksi selama produksi jamur dapat lebih mudah dicerna oleh ruminansia, sehingga meningkatkan bobot badan, konsumsi bahan kering dan efisiensi penggunaan bahan makanan. Jerami tersebut mengandung gula bebas, protein yang tinggi,


(43)

sedikit selulosa dan lignin, dengan peningkatan kandungan mineral dibandingkan dengan jerami sebelum perlakuan dengan jamur.

2.6 Peranan Amoniasi terhadap Perbaikan Mutu Pakan

Perlakuan amoniasi hijauan pakan, baik berupa rumput maupun jerami dapat meningkatkan kandungan protein kasar sekitar 6-8% (Yulistiani et al. 2003; Weiss dan Underwood 2002; Stewart dan Silcox 2001). Selanjutnya Weiss dan Underwood 2002 menyatakan bahwa amoniasi dapat meningkatkan kecernaan bahan organik (KcBO) in vitro 20-30% dan konsumsi bahan kering 15-20%. Pemberian hijauan hasil amoniasi pada sapi jantan dapat meningkatkan pertambahan bobot hidup harian (PBHH) antara 272–544 gram (Brown 1991).

Amoniasi hijauan pakan dengan menggunakan urea, amonia padat, maupun amonia gas memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata antar perlakuan (Joy et al. 1992; Hadjipanayiotou et al. 1993). Hasil penelitian MacDearmid et al. (1988) memperlihatkan nitrogen yang teretensi dalam jaringan hijauan pakan lebih tinggi pada amoniasi dengan urea daripada dengan amonia padat. Urea dapat memperbaiki nilai nutritif beragam hijauan, meskipun keefektifannya tergantung pada kandungan bahan kering dari pakan yang diberi perlakuan urea tersebut (Mason et al. 1990; Zaman et al. 1993).

Penurunan kandungan NDF (Neutral Detergent Fibre) hijauan diduga akibat rusaknya hemiselulosa oleh perlakuan amoniasi yang merusak ikatan kimia antara lignin dan hemiselulosa (Weiss & Underwood 2002). Lignin menghambat pencernaan serat, karena itu rusaknya ikatan menyebabkan hemiselulosa dan selulosa menjadi lebih mudah dicerna. Perlakuan amoniasi meningkatkan kadar gula tereduksi pada jerami padi, hasil ini mengimplikasikan peran amoniasi dalam merombak komponen lignoselulosa sehingga mempermudah enzim selulase mikroba dalam mencerna selulosa ( Kardaya et al. 2006). Selanjutnya dinyatakan bahwa perlakuan amoniasi pada jerami padi dengan menggunakan urea 3% memperbaiki kualitas jerami padi yang ditandai dengan peningkatan kadar protein kasar dan peningkatan kecernaan bahan kering dan bahan organik secara in vitro.


(44)

2.7 Sistem Pencernaan dan Penyerapan Nutrien pada Ternak Ruminansia Proses pencernaan pada ternak merupakan bagian yang sangat penting bagi kehidupan ternak selanjutnya, karena dengan pencernaan akan dapat menggambarkan nutrisi pakan yang diperlukan oleh ternak. Dengan mengetahui kecernaan suatu bahan makanan, akan memudahkan penyusunan ransum yang sesuai dengan kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi (Crampton & Harris 1998).

Pencernaan merupakan perubahan fisik dan kimia yang dialami pakan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan pakan dari bentuk yang lebih besar menjadi partikel-partikel yang lebih kecil atau mengalami perombakan secara kimia, sehingga sifat-sifat kimia pakan berubah. Terdapat tiga proses pencernaan pada ternak ruminansia yaitu pencernaan mekanik, pencernaan hidrolitik dan pencernaan fermentatif. Pencernaan mekanik terjadi dimulut melalui pengunyahan, pencernaan hidrolitik terjadi di dalam perut dan usus melalui peran enzim-enzim yang dikeluarkan oleh alat pencernaan, sedangkan pencernaan fermentatif khusus pada ternak ruminansia melalui peran mikroorganisme dalam rumen-retikulum yang merombak zat-zat makanan menjadi senyawa yang akan dimanfaatkan, baik oleh mikroorganisme itu sendiri maupun oleh induk semang.

Perbedaan antara pencernaan hidrolitik dan pencernaan fermentatif adalah pada pencernaan hidrolitik zat makanan berupa polimer akan dihidrolisis menjadi monomernya, sedangkan pada pencernaan fermentatif monomer-monomer tersebut segera dikatabolismekan lebih lanjut, misalnya: protein menjadi amonia dan karbohidrat menjadi asam lemak terbang (VFA) (Church 1980).

Menurut Ranjhan (1993) yang disebut pencernaan (digestion) adalah proses perombakan makanan menjadi partikel-partikel pakan yang lebih kecil disepanjang saluran pencernaan yang melibatkan seluruh alat-alat pencernaan serta kelenjar-kelenjar yang berkaitan dengan pencernaan, sedangkan proses lewatnya zat-zat makanan yang telah dicerna menembus membran mukosa disebut dengan penyerapan (absorbsion). Proses pemanfaatan zat-zat makanan tersebut oleh tubuh ternak serta ekskresinya, yang merupakan hasil akhir dari tubuh


(45)

disebut metabolisme. Namun demikian dalam ilmu nutrisi, ketiga proses ini disebut pencernaan.

Pada ternak ruminansia, lambung terbagi menjadi empat bagian, yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum, sehingga disebut juga dengan lambung majemuk. Tiga bagian pertama disebut perut depan (fore stomach), sedangkan abomasum disebut juga dengan lambung sejati, sebagaimana yang terjadi pada ternak non-ruminansia (Arora 1983; O`Shea 1983). Perut depan adalah khas bagi ternak ruminansia, dan sebagian besar aktivitas fermentasi oleh mikroorganisme terjadi di perut depan (Czerkawski 1986). Dengan keistimewaan tersebut ternak ruminansia mampu memanfaatkan bahan pakan dengan kandungan serat yang tinggi dalam jumlah yang besar sebagai sumber energinya (Kamra & Pathak 1996).

Retikulorumen merupakan perut terbesar dari saluran pencernaan dimana sebagian besar pakan dikonsumsi akan dicerna. Pencernaan pakan terutama dilaksanakan oleh mikroba dalam proses fermentasi, dimana ekosistem mikroba terdiri dari bakteri, protozoa dan jamur yang memiliki peran yang berbeda dalam fermentasi (Kamra & Pathak 1996). Proses pencernaan fermentatif di dalam retikulorumen terjadi sangat intensif, dan proses ini terjadi sebelum usus halus. Produk utama dari fermentasi adalah asam-asam lemak mudah terbang (VFA) seperti asam asetat, propionat dan butirat yang merupakan sumber energi metabolis utama. Seluruh VFA tersebut diserap secara difusi sederhana disepanjang saluran retikulo-rumen (75%), omasum (10%) dan abomasum (15%). Penyerapannya meningkat dengan menurunnya pH dan untuk asam asetat lebih cepat lagi karena molekul-molekulnya lebih kecil (Van Soest 1982; O`Shea 1983).

Omasum merupakan lambung ketiga yang berfungsi dalam menggiling partikel-partikel makanan, menyerap air bersama-bersama Na dan K, dan menyerap VFA. Sifat menyerap air pada omasum diduga berfungsi untuk mencegah turunnya pH (Arora 1995).

Abomasum merupakan tempat pertama kalinya terjadi pencernaan makanan secara kimiawi karena adanya sekresi getah lambung HCl dan pepsin (dalam bentuk pepsinogen) yang membantu dalam pemecahan protein.


(46)

Abomasum merupakan bagian saluran pencernaan tempat awal terjadinya proteolisis dan hasil pencernaan tersebut akhirnya masuk ke dalam sistem peredaran darah (Arora 1983; O`Shea 1983).

Selanjutnya bahan makanan yang belum diserap dari keempat lambung tersebut, dialirkan keusus halus. Di usus halus konstituen tanaman dipecah oleh kombinasi aktivitas getah pankreas, empedu, dan enzim-enzim (Proteolitik, lipase, amilase, nukleosidase, enterokinase, dan gastrin) yang terdapat disepanjang dinding usus menjadi monomer-monomer yang siap diserap secara aktif atau secara difusi sederhana. Cairan pankreas juga membantu dalam menetralisir keasaman produk-produk yang berasal dari lambung (Arora 1983 ; O`Shea 1983). Dari usus halus zat-zat makanan yang belum diserap dialirkan ke usus besar. Usus besar terdiri dari sekum dan kolon dimana fungsi utamanya adalah penyerapan air dan mineral (O`Shea 1983). Selanjutnya zat-zat makanan yang tidak diserap dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk feses melalui anus. Feses adalah hasil sisa pencernaan yang dikeluarkan dari saluran pencernaan yang mengandung air, sisa makanan tak tercerna, sekresi-sekresi pencernaan, sel-sel epitel dari dinding saluran pencernaan, bakteri, garam-garam anorganik serta berbagai hasil dekomposisi (Tillman et al. 1991)

Pakan yang dikonsumsi oleh ternak ruminansia sebagian besar mengandung karbohidrat yang memiliki komposisi dan struktur yang kompleks, sehingga tidak dapat dihidrolisa oleh enzim yang disekresikan oleh saluran pencernaan (Czerkawski 1986). Hasil pencernaan karbohidrat melalui proses biokonversi mikroorganisme adalah volatile fatty acid atau asam lemak terbang yang terdiri dari asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat dan yang lainnya CO2, gas metan dan energi (panas). VFA ini merupakan sumber energi

utama bagi ternak ruminansia.

Produksi VFA dalam rumen akan dipengaruhi oleh ransum yang diberikan kepada ternak (Wiradisastra et al.1980; Davies 1982) menyatakan bahwa produksi VFA dipengaruhi oleh imbangan antara hijauaan dan konsentrat dalam ransum, semakin tinggi kandungan hijauan atau serat kasar akan menghasilkan asam asetat yang lebih tinggi dan sebaliknya jika kandungan konsentrat lebih tinggi dalam ransum, akan memproduksi asam propionat yang lebih tinggi daripada asam


(1)

Lampiran 48 Hasil sidik ragam dan uji Duncan proporsi molar asam asetat cairan

rumen sapi Bali

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: proporsi molar asam asetatmolar

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 54.271(a) 6 9.045 1.002 .484

Intercept 64170.481 1 64170.481 7109.457 .000

Perlakuan 47.158 4 11.789 1.306 .346

Kelompok 7.113 2 3.557 .394 .687

Error 72.209 8 9.026

Total 64296.960 15

Corrected Total 126.479 14

a R Squared = .429 (Adjusted R Squared = .001)

proporsi molar asam asetat Duncan

Subset

Perlakuan N 1

R4 3 63.8333

R3 3 64.2433

R0 3 64.8400

R1 3 65.3100

R2 3 68.8067

Sig. .097

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 9.026. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

b Alpha = .05.

proporsi molar asam asetat Duncan

Subset

Kelompok N 1

2 5 64.5180

1 5 65.5060

3 5 66.1960

Sig. .421

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 9.026. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.


(2)

Lampiran 49 Hasil sidik ragam dan uji Duncan proporsi molar asam propionat cairan

Rumen sapi Bali

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: proporsi molar asam propionat

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 21.063(a) 6 3.511 .720 .646

Intercept 6544.628 1 6544.628 1343.060 .000

Perlakuan 16.887 4 4.222 .866 .524

Kelompok 4.176 2 2.088 .429 .666

Error 38.983 8 4.873

Total 6604.675 15

Corrected Total 60.046 14

a R Squared = .351 (Adjusted R Squared = -.136)

proporsi molar asam propionat Duncan

Subset

Perlakuan N 1

R2 3 18.9600

R1 3 20.9367

R0 3 21.1100

R3 3 21.2233

R4 3 22.2100

Sig. .132

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 4.873. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

b Alpha = .05.

proporsi mola asam propionat Duncan

Subset

Kelompok N 1

3 5 20.3480

2 5 20.7120

1 5 21.6040

Sig. .413

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 4.873. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.


(3)

Lampiran 50 Hasil sidik ragam dan uji Duncan proporsi molar asam butirat cairan

rumen sapi Bali

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: proporsi molar butirat

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 15.303(a) 6 2.550 1.695 .239

Intercept 1644.942 1 1644.942 1093.296 .000

Perlakuan 6.438 4 1.609 1.070 .431

Kelompok 8.865 2 4.432 2.946 .110

Error 12.037 8 1.505

Total 1672.281 15

Corrected Total 27.339 14

a R Squared = .560 (Adjusted R Squared = .230)

proporsi molar butirat Duncan

Subset

Perlakuan N 1

R2 3 9.4500

R4 3 9.9667

R3 3 10.8200

R0 3 10.9400

R1 3 11.1833

Sig. .146

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 1.505. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

b Alpha = .05.

proporsi molar butirat Duncan

Subset

Kelompok N 1

3 5 9.8580

1 5 10.0020

2 5 11.5560

Sig. .069

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 1.505. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.


(4)

Lampiran 51 Hasil sidik ragam dan uji Duncan proporsi molar asam isobutirat cairan

rumen sapi Bali

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: proporsi molar isobutirat

Source

Type III Sum

of Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.025(a) 6 .171 1.664 .247

Intercept 30.588 1 30.588 297.759 .000

Perlakuan .612 4 .153 1.488 .293

Kelompok .414 2 .207 2.015 .196

Error .822 8 .103

Total 32.435 15

Corrected Total 1.847 14

a R Squared = .555 (Adjusted R Squared = .221) proporsi molar isobutirat Duncan

Subset

Perlakuan N 1

R1 3 1.1700

R0 3 1.2233

R3 3 1.5000

R2 3 1.5400

R4 3 1.7067

Sig. .093

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .103. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.

proporsi molar isobutirat Duncan

Subset

Kelompok N 1

2 5 1.2800

1 5 1.3440

3 5 1.6600

Sig. .110

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .103. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000. b Alpha = .05.


(5)

Lampiran 52 Hasil sidik ragam dan uji Duncan proporsi molar asam valerat cairan

rumen sapi Bali

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: proporsi molar valerat

Source

Type III Sum

of Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model .673(a) 6 .112 1.083 .445

Intercept 1.094 1 1.094 10.561 .012

Perlakuan .451 4 .113 1.088 .424

Kelompok .222 2 .111 1.072 .387

Error .828 8 .104

Total 2.595 15

Corrected Total 1.501 14

a R Squared = .448 (Adjusted R Squared = .034)

proporsi molar valerat Duncan

Subset

Perlakuan N 1

R4 3 .0000

R2 3 .1533

R0 3 .3267

R1 3 .3800

R3 3 .4900

Sig. .121

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .104. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.

proporsi molar valerat Duncan

Subset

Kelompok N 1

2 5 .1120

1 5 .2900

3 5 .4080

Sig. .200

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .104. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000. b Alpha = .05.


(6)

Lampiran 52 Hasil sidik ragam dan uji Duncan proporsi molar asam isovalerat cairan

rumen sapi Bali

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: proporsi molar isovalerat

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.830(a) 6 .305 2.735 .095

Intercept 30.388 1 30.388 272.511 .000

Perlakuan 1.428 4 .357 3.202 .076

Kelompok .402 2 .201 1.802 .226

Error .892 8 .112

Total 33.111 15

Corrected Total 2.722 14

a R Squared = .672 (Adjusted R Squared = .427)

proporsi molar isovalerat Duncan

Subset

Perlakuan N 1

R1 3 1.0167

R2 3 1.0900

R0 3 1.5633

R3 3 1.7233

R4 3 1.7233

Sig. .061

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .112. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.

proporsi molar isovalerat Duncan

Subset

Kelompok N 1

1 5 1.1980

3 5 1.4900

2 5 1.5820

Sig. .119

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .112. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000. b Alpha = .05.


Dokumen yang terkait

Respon Pertumbuhan Dan Produksi Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) Terhadap Berbagai Media Serbuk Kayu Dan Pemberian Pupuk NPK

5 81 121

Perencanaan usahatani karet dan kelapa sawit berkelanjutan di DAS batang pelepat kabupaten Bungo provinsi Jambi

0 9 337

PEMANFAATAN JAMUR TIRAM ( Pleurotus ostreatus ) DAN Pemanfaatan Jamur Tiram ( pleurotus ostreatus ) dan Ekstrak Daun Kelor sebagai Inovasi Bahan Tambahan Pembuatan Permen Jelly dengan Pewarna Alami Kulit Buah Naga.

0 3 9

PEMANFAATAN SERBUK KAYU DAN AMPAS TEBU SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN JAMUR TIRAM PEMANFAATAN SERBUK KAYU DAN AMPAS TEBU SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN JAMUR TIRAM PUTIH ( Pleurotus ostreatus.Jacq ).

0 1 13

PENDAHULUAN PEMANFAATAN SERBUK KAYU DAN AMPAS TEBU SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN JAMUR TIRAM PUTIH ( Pleurotus ostreatus.Jacq ).

0 1 5

PEMANFAATAN AMPAS TAHU SEBAGAI CAMPURAN MEDIA TANAM TERHADAP KECEPATAN WAKTU TUMBUH JAMUR TIRAM PUTIH Pemanfaatan Ampas Tahu Sebagai Campuran Media Tanam Terhadap Kecepatan Waktu Tumbuh Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus).

0 0 16

PENDAHULUAN Pemanfaatan Ampas Tahu Sebagai Campuran Media Tanam Terhadap Kecepatan Waktu Tumbuh Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus).

1 12 5

Efek Dosis dan Lama Biokonversi Ampas Tebu sebagai Pakan oleh Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) terhadap Kadar Protein dan Komponen Serat.

0 0 15

Peningkatan Kualitas Pakan Serat Ampas Tebu Melalui Fermentasi Dengan Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus).

0 1 9

Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus spp.)

0 1 5