Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi

Gambar 87 Peran masing-masing atribut dimensi sosial-budaya yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square RMS. Bagi masyarakat pesisir, tidak terlalu banyak pilihan pekerjaan yang bisa diperoleh untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecuali jika nelayan rumput laut mencari pekerjaan diluar wilayahnya sehingga tingkat ketergantungan terhadap kegiatan budidaya rumput laut cukup tinggi. Saat ini, pekerjaan yang paling memberikan harapan perbaikan tingkat kesejahteraan bagi masyarakat pesisir adalah kegiatan budidaya rumput laut. Kegiatan budidaya rumput laut mempunyai kelebihan-kelebihan yang tidak dipunyai oleh mata pencaharian lain antara lain, modal relatif kecil, teknologi yang digunakan sederhana dan pasarnya selalu tersedia. Karena itu jumlah rumah tangga nelayan rumput laut setiap tahun semakin bartambah banyak. Hasil penelitian menunjukkan populasi RTP nelayan rumput laut lebih 75 dari komunitas penduduk wilayah pesisir. Pertambahan RTP nelayan rumput laut ini harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari.

7.4 Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi

Hasil analisis Rap-RL dari enam atribut dimensi teknologi memberikan nilai indeks keberlanjutan sebesar 32.42 dengan status kurang berkelanjutan Gambar 88. Nilai indeks keberlanjutan yang rendah ini menunjukkan perlunya segera dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang berpengaruh negatif terhadap nilai indeks. Tanpa perbaikan yang signifikan maka kegiatan budidaya rumput laut di masa yang akan datang akan mengalami stagnasi dalam upaya memperbaiki tingkat kesejahteraan nelayan rumput laut. Gambar 88 Indeks keberlanjutan dimensi teknologi kegiatan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi teknologi, adalah 1 Tingkat penguasaan teknologi budidaya RL; 2 Ketersediaan teknologi informasi RL; 3 Ketersediaan industri pengolahan hasil RL; 4 Standarisasi mutu produk RL; 5 Standarisasi mutu produk RL; dan 6 Dukungan sarana dan prasarana. Analisis Leverage dilakukan untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi. Hasilnya diperoleh tiga atribut yang paling sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan sebagai berikut: 1 Dukungan sarana dan prasarana; 2 Ketersediaan teknologi informasi RL; dan 3 Ketersediaan industri pengolahan hasil RL. Kondisi sarana dan prasarana untuk menunjang perkembangan kegiatan budidaya rumput laut masih minim di Kabupaten Bantaeng. Namun satu keuntungan bagi wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng karena dilewati oleh sarana jalan antar kabupaten dan provinsi. Tetapi parasarana jalan ini hanya terbatas pada jalanan poros, tidak menjangkau sampai ke jalan-jalan desa sehingga tetap diperlukan prasarana jalan-jalan yang menjangkau sampai ke sentra produksi rumput laut untuk mempermudah transportasi produksi. Ketersediaan teknologi informasi khusus untuk kegiatan budidaya rumput laut, sampai saat ini belum tersedia. Nelayan rumput laut melakukan kegiatannya berdasarkan naluri, kebiasaan dan informasi sesama nelayan rumput laut yang belum tentu benar. Informasi tentang harga pasar terhadap komoditas yang mereka hasilkan tidak ada akibatnya, harga sangat ditentukan oleh pembeli. Nelayan hanya menerima harga tersebut tanpa berdaya untuk menegosiasikannya. Melihat perkembangan kegiatan budidaya rumput laut yang pesat dan produksi yang dihasilkan cukup lumayan maka pemerintah seharusnya membangun pabrik pengolahan rumput laut. Dengan adanya pabrik pengolahan rumput laut di Kabupaten Bantaeng maka akan ada nilai tambah untuk Pemerintah Daerah dan masyarakat di wilayah pesisir. Bagi nelayan rumput laut, harga komoditasnya bisa lebih tinggi dihargai oleh pedagang karena tidak lagi diperhitungkan ongkos transportasi. Di samping itu, produksi rumput laut dari kabupaten tetangga seperti dari Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Selayar dan Kabupaten Jeneponto, yang juga belum memiliki sarana pengolahan rumput laut, dan selama ini mengolahnya di Kabupaten Takalar atau di makassar bisa beralih mengolahnya di Kabupaten Bantaeng. Tingkat penguasaan nelayan rumput laut terhadap teknologi kegiatan budidaya rumput laut cukup memadai di Kabupaten Bantaeng. Menyiasati kondisi perairan yang tidak kondusif mereka telah memiliki pengetahuan sendiri, misalnya pada saat curah hujan tinggi sehingga kemungkinan salinitas akan turun ke level yang tidak aman bagi budidaya rumput laut, mereka akan mengisi air pada botol-botol pelampung sehingga bentangan yang berisi rumput laut tenggelam pada kedalaman yang tidak dipengaruhi air tawar air hujan. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa kedalaman air tawar berkisar 10-20 cm pada bagian permukaan. Mereka bisa membedakan antara lapisan air tawar dengan lapisan air laut dari perbedaan suhu kedua lapisan tersebut, suhu air tawar lebih rendah bila dibandingkan dengan suhu air asin. Standarisasi mutu rumput laut belum berjalan di Kabupaten Bantaeng. Nelayan rumput laut tidak mengetahui dengan pasti perbedaan penampilan fisik rumput laut yang bermutu baik atau yang bermutu jelek tetapi informasi yang mereka peroleh dari pemerintah mereka tahu bahwa rumput laut yang dipanen pada masa pemeliharaan 45 hari lebih bagus mutunya dibandingkan dengan yang dipanen pada masa pemeliharaan 40 hari atau kurang. Masalahnya bagaimanapun kondisikualitas rumput laut yang mereka hasilkan pedagang pengumpul tetap membelinya dengan harga yang sama, rumput laut yang dipanen tepat waktu atau 45 hari masa pemeliharaan dengan yang dipanen 40 hari masa pemeliharaan atau bahkan kurang dari itu harganya tetap sama demikian juga dengan rumput laut yang dijemur menggunakan para-para sehingga pengeringannya lebih baik dan lebih bersih dibandingkan dengan yang dijemur di atas pasir begitu saja tanpa alas, harganya juga tetap sama. Karena itu nelayan rumput laut akan memanen lebih awal apalagi kalau dipicu dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari yang mendesak. Akibatnya nelayan rumput laut tidak terlalu mementingkan masa pemeliharaan dan cara penjemuran sehingga mutu produk yang dihasilkanpun bermutu rendah. Fenomena ini terjadi sebab nelayan rumput laut masih fokus pada rumput laut sebagai komoditas belum melihat rumput laut sebagai bahan baku industri sehingga yang dipentingkan adalah bobot produksi bukan kualitasnya. Pada hal untuk prospek ke depan, budidaya rumput laut harus lebih berorientasi kepada kualitas karagenan yang dihasilkan untuk bahan baku industri agar bisa bersaing dengan produksi Filipina dan China. Pada saat ini karagenan produksi Filipina dan China yang dijual di Indonesia harganya lebih murah dibandingkan dengan karagenan produksi Indonesia, padahal bahan baku rumput lautnya berasal dari Indonesia. Hal ini bisa terjadi sebab kegiatan rumput laut dari hulu sampai ke hilir di Filipina dan China disuport secara total oleh semua lini dan sektor mulai dari unsur pemerintah dari berbagai departemen yang ada kaitannya dengan segala proses rumput laut menjadi karagenan sampai kepada pemasaran, perbankan dan swasta. Sehingga produksi karagenan dan produksi hilir rumput laut lainnya harganya bisa lebih murah. Sementara di Indonesia rumput laut hanya mendapat perhatian khusus dari kemeterian Dinas Kelautan dan Perikanan. Sektor lain seperti Kementerian perindustrian dan perdagangan, Perhubungan, Perbankan, swasta dan stakeholders lain saat ini belum betul-betul terlibat secara intensif. Apabila atribut-atribut tersebut dikelola dengan baik maka nilai indeks keberlanjutan bisa lebih meningkat dari status kurang berkelanjutan menjadi status berkelanjutan. Pengelolaan atribut dilakukan dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang memberikan dampak negatif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi. Hasil analisis Leverage untuk dimensi teknologi, dapat dilihat pada Gambar 89. Gambar 89 Peran masing-masing atribut dimensi teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square RMS.

7.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan