I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industri perbankan syariah di Indonesia berkembang sangat pesat dimulai dengan beroperasinya Bank Muamalat Indonesia BMI pada
tanggal 27 Syawal 1412 H atau 1 Mei 1992. Pertumbuhan volume usaha perbankan syariah dalam kurun waktu lima tahun secara rata-rata mencapai
lebih dari 60 persen per tahun Bank Indonesia, 2005. Sampai dengan bulan Juni 2006, total aset perbankan syariah nasional mencapai Rp 21,9 triliun,
yaitu sekitar 1,45 persen dari total aset perbankan nasional Tabel 1. Tabel
1. Pangsa Perbankan Syariah Terhadap Total Bank
Posisi Mei
2006
Islamic Banks Nominal
triliun Share
Total Banks
triliun Total Assets
21,90 1,45
1514,92
Deposit Fund 15,83
1,36 1160,61
CreditFinancing Extended 17,37
2,46 705,11
LDRFDR 109,68
60,75 NPL
4,19 8,1
LDR Credit Extended per Deposit Fund FDR Financing Extended per Deposit Fund
Sumber : Bank Indonesia BI, 2006
Perbankan syariah telah menampilkan kinerja pembiayaan yang cukup baik sebagai lembaga yang memiliki fungsi intermediasi. Hal itu dibuktikan
dengan kegiatan penyaluran dana melalui pembiayaan pada tahun 2005 yang menunjukkan peningkatan sebesar Rp 3,7 triliun 32,6 dari tahun
sebelumnya menjadi Rp 15,2 triliun. Peningkatan tersebut terutama dialami pada kelompok pembiayaan berbasis bagi hasil yang terdiri atas pembiayaan
mudharabah dan musyarakah yaitu masing-masing sebesar Rp 1,1 triliun
51,5 dan Rp 600 juta 49,4 . Peningkatan kelompok pembiayaan tersebut melebihi peningkatan kelompok pembiayaan berbasis jual beli dan
piutang seperti murabahah, istishna dan qard sehingga pangsa pembiayaan
berbasis bagi hasil meningkat dari 29 persen pada tahun 2004 menjadi 33 persen pada akhir tahun 2005 Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Pembiayaan yang Diberikan Posisi Desember 2005
Outstanding Pertumbuhan
y-o-y Pangsa
juta Jenis
Pembiayaan 2004
2005 2004
2005 2004
2005
Musyarakah 1.270.868 1.898.389
315,3 49,4
11,1 12,5
Mudharabah 2.062.202 3.123.759
159,6 51,5
17,9 20,5
Piutang Murabahah
7.640.299 9.487.318
93,1 24,2
66,5 62,3 Piutang
Istishna 312.962
281.676 5,7
-10 2,7 1,8
Qard 98.928 124.862
Na 26,2
0,9 0,8
Ijarah 104.674 315.938
Na 201,8
0,9 2,1
TOTAL 11.489.933
15.231.942 95,09 32,6
100 100
Year on Year Sumber: Bank Indonesia BI, 2005.
Produk pembiayaan dengan skema bagi hasil merupakan jenis produk pembiayaan yang cenderung memiliki return tingkat keuntungan yang
beresiko Risk-Return Mode. Hal ini disebabkan karena pembiayaan ini diberikan kepada usaha pada sektor riil yang cenderung memiliki return
yang bergantung pada kondisi internal seperti keuntungan atau kerugian bisnis dan eksternal seperti kondisi ekonomi dan politik negara dari usaha
atau proyek tersebut. PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk BMI merupakan salah satu bank
syariah yang memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan sektor riil di Indonesia. Komitmen tersebut dibuktikan dengan besarnya pembiayaan yang
disalurkan kepada sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah UMKM pada tahun 2005 yang mencapai 67,40 persen dari total pembiayaan. Berdasarkan
sektor ekonomi listrik, air, gas, perdagangan, transportasi, pertambangan, sosial, pertanian, dan jasa lainnya, total pembiayaan bagi hasil mudharabah
dan musyarakah BMI pada tahun 2005 masing-masing meningkat sebesar 35,2 persen dan 27,8 persen dari tahun sebelumnya BMI, 2005.
Pembiayaan mudharabah merupakan produk pembiayaan yang memiliki peranan penting dalam memajukan sektor riil. Hal itu tercermin
dari prinsipnya yaitu memfasilitasi seluruh kebutuhan modal mudharib debitur yang memiliki skill untuk mengelola usaha tertentu dalam rangka
memperoleh keuntungan. Artinya, masyarakat diberikan kemudahan untuk berusaha memenuhi kebutuhan perekonomiannya yang selanjutnya akan
berimbas pada peningkatan perekonomian negara. Keuntungan hasil usaha yang akan diperoleh bank dan mudharib pada
pembiayaan mudharabah tercermin dari besarnya nisbah bagi hasil yang disepakati pada awal kontrak. Kesepakatan ini diperkirakan akan terjadi jika
kriteria khusus yang telah ditetapkan bank syariah dalam menentukan besarnya nisbah bagi hasil mengakomodasi bersesuaian dengan
pertimbangan mudharib dalam menentukan besarnya nisbah bagi hasil tersebut.
Pertimbangan yang digunakan kedua pihak dalam menetapkan besarnya nisbah bagi hasil didasari oleh tingkat informasi yang dimiliki oleh
masing-masing pihak. Dengan kata lain, informasi yang simetris symetric information dibutuhkan pada proses ijab qabul serah terima dalam suatu
kontrak. Ketidaksimetrisan informasi asymetric information dalam hal ini mengakibatkan kontrak yang dilakukan menjadi “berat sebelah”, merugikan
salah satu pihak pada masa yang akan datang, atau bahkan dapat mengakibatkan batalnya kontrak tersebut secara syariah. Oleh karena itu,
kesesuaian pertimbangan antara bank dan mudharib ini diperkirakan akan menghasilkan besaran nisbah bagi hasil yang rasional bagi kedua belah
pihak. Besaran nisbah bagi hasil yang rasional hendaknya kompetitif dan
ditetapkan secara win-win solution, sehingga manfaatnya dapat dirasakan tidak hanya oleh nasabah pihak ketiga sebagai investor dan bank sebagai
mediator tetapi juga para mudharib sebagai pengelola dana. Sehingga, tingkat kepuasan mudharib terhadap produk pembiayaan mudharabah
sebagai core product perbankan syariah akan lebih meningkat.
1.2. Rumusan Masalah