Tema Aktif & Kreatif Berbahasa Indonesia SMA Kelas 12 Adi Abdul Somad Aminudin Yudi Irawan 2008
222
Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia untuk Kelas XII Program Bahasa itu menjalarinya. Getaran tangannya sudah seperti
tangan-tangan mayat yang membusuk. Kopag juga merasakan setiap mulut perempuan itu terbuka,
dia mencium bau darah. Anyir. Bau itu seolah ber- lomba-lomba meloncat dan bibirnya yang konon
sangat mungil, merah, dan sangat pas. Bahkan Gubreg, parekan, pelayan setia yang merawat Kopag
sejak kecil, selalu berkata bahwa beruntunglah kakaknva dapat mendapatkan perempuan tercantik
di desa.
Masih kata Gubreg, Ni Luh Putu Sari yang sejak menikah dan masuk menjadi keluarga Griya
bernama Jero Melati itu memiliki kulit yang sangat indah. Postur tubuhnya seperti putri-putri raja Bali.
Luar biasa kecantikan Jero Melati, Ratu. Seperti apa perempuan cantik itu, Gubreg?
Tolong kau katakan seluruhnya. Aku ingin tahu, aku juga ingin merasakan. Saat itu aku mencoba percaya
pada matamu. Laki-laki tua itu terdiam. Dipandangnya mata
Kopag dalam-dalam. Ada rasa sakit mengelus dada tuanya. Ida Bagus Made Kopag memiliki tubuh yang
sangat bagus. Tinggi, dan tangannya juga sangat cekatan memahat patung-patung. Sejak kecil
kakeknya hanya mengajari Kopag bersentuhan dengan kayu-kayu untuk berkenalan dengan kehi-
dupan. Atau sesekali mendatangkan guru yang mengajarinya membaca.
Anak itu buta, Gubreg. Menanggung dosa ayahnya. Pertumbuhannya selalu mengingatkanku
pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan anakku. Karmanya jatuh pada anaknya sendiri. Kegelapan
itu jadi milik cucuku yang paling abadi. Aku masih percaya kehidupan itu dapat diajak bicara. Kau
dapat lihat, kan? Kehidupan sendiri memberinya hadiah yang luar biasa. Cucuku memiliki seluruh
mata manusia yang ada di bumi im. Lihat, dia mampu membuat patung-patung dengan ukiran
sangat sempurna. Jaga dia baik-baik, Gubreg. Anggap dia anakmu Itu pesan Ida Bagus Rai, sebelum
berpulang.
Gubreg, kau belum jawab pertanyaanku. Seperti apa perempuan cantik itu? Apa seperti
bongkahan kayu beringin ini? Dingin, tapi mampu memikatku. Lihat, Gubreg, aku selalu tersentuh.
Gubreg, rasa apa yang sering membuatku meluap, apa ini rasa yang dimiliki laki-laki? Ini wujud
kelelakian itu? suara Kopag terdengar pelan.
Hyang Widhi Penguasa jagat Kopag memang sudah besar, sudah menjelang dua puluh lima tahun.
Dia juga rajin membaca buku-buku dengan huruf braille. Atau sesekali dia dikunjungi orang asing dari
Prancis, Frans Kafkasau.
Laki-laki setengah baya itulah yang membuat Gubreg, jengkel Ada-ada saja yang dibawanya.
Kadang-kadang dia bacakan buku-buku bahasa asing, yang diterjemahkannya, tentang Michelangelo
Buonorrty, yang konon, kata Frans, pematung jaman Renaisans.
Susah. Susah. Sejak bergaul dengan Frans ada- ada saja yang ditanyakan Kopag padanya.
Kau tidak ingin menjawabnya, Gubreg? Jangan bertanya yang aneh-aneh pada titiang,
Ratu. Titiang tidak dapat menjelaskan seperti Frans. Tanyakan pada laki-laki bule itu Suara Gubreg
terdengar penuh nada kecemburuan. Laki-laki tua itu sekarang ini jadi cepat marah.
Dadanya sering mendidih. Rasanya baru mendengar satu huruf keluar dari bibir laki-laki Prancis itu
seluruh isi perutnya seperti keluar. Jengkel Waktu Kopag sekarang habis untuk diskusi. Laki-laki bule
itu telah memberirlya didikan yang baru, perharian yang lain. Kopag tidak lagi membutuhkannya. Ada
yang hilang dalam tubuh laki-laki tua itu. Kehilangan yang dalam. Bagi Gubreg, Kopag sudah bagian dari
nafasnya. Sejak kecil, dialah yang mengajari Kopag mempelajari tekstur kayu. Seluruh ilmu memahat
dia alirkan dalam tubuh bocah kecil yang tidak berdaya itu. Dia juga yang mengajarinya bahwa
semua benda punya jiwa, termasuk rangkaian pisau-pisau pahatnya. Gubreg pun mengajari
Kopag menelanjangi tubuh pisau-pisau pahat, dan menikmati aroma ketajamannya yang luar biasa
indahnya. Dia ingat teriakan Kopag ketika pertama kali menyentuh tubuh-tubuh pisau yang telanjang
itu. Waktu itu umur Kopag tujuh tahun.
Gubreg, tubuhku gemetar setiap menyentuh pisau-pisau ini.
Keruncingannya, ketajamannya, begitu indah. Begitu penuh misteri. Luar biasa, Gubreg.
Kilatan matahari menjilati keruncingan pisau pahat itu. Gubreg menyaksikan, betapa sinar matahari
yang perkasa itu menjadi patah dan tak berdaya ketika menyentuh sedikit saja keruncingannya. Pisau
justru seperti menantang matahari untuk bersabung. Di tangan Kopag pisau itu jadi begitu dingin, angkuh
dan selalu lapar.
Sampai menjelang tengah malam, Gubreg belum juga dapat menjawab arti menjadi laki-laki. Perasaan
apa yang sedang bertarung dalam tubuh Kopag? Gubreg takut. Takut sekali menjawab pertanyaan
tentang esensi menjadi laki-laki.
Pagi-pagi sekali, Kopag sudah membuka jendela studionya.
Aku ingin bercerita padamu, suara Kopag terdengar penuh rasa ingin tahu.
Tentang apa lagi, Ratu? Kecantikan perempuan.
Titiang...titiang tidak dapat menceritakan ke- cantikan perempuan pada Ratu. Semua orang,
Ratu, memiliki penilaian khusus tentang hal itu. Perempuan itu....