Esai Aktif & Kreatif Berbahasa Indonesia SMA Kelas 12 Adi Abdul Somad Aminudin Yudi Irawan 2008
247
Menghayati Sastra
Setelah Anda mempelajari pelajaran ini dengan baik, kemampuan Anda dalam bersastra akan meningkat. Dalam
pelajaran ini, Anda telah berlatih menganalisis sikap dan penghayatan penyair yang ada dalam puisi. Di samping itu,
Anda telah mulai berlatih menulis kritik dan esai. Dalam pelajaran tersebut, Anda telah memahami prinsip-prinsip
penulisan kritik dan esai. Dengan demikian, Anda telah memiliki bekal untuk menulis puisi dan esai dalam pelajaran-
pelajaran selanjutnya. Selain itu, Anda dapat menjadi seorang penyair, kritikus, ataupun esais yang andal, tentunya
dengan mengirimkan tulisan Anda tersebut ke media massa.
Refleksi Pembelajaran
Bacakanlah puisi terjemahan karya Breyten Breytenbach berikut oleh salah seorang dari Anda, sementara yang lain
mendengarkannya dengan saksama.
Kehidupan di Tempat Lain
namun mengapa hati harus selalu terpaksa berpikir dengan sayapnya yang menggelap
dari mana berhembusnya angin di langit terang yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
membungkuk dan menyimpang? dan suara tangis tercekik itu
seperti burung hitam yang punggungnya berpita buluh dan segala rumah buta
dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita di daun jendela?
apapun warna mantel penjaga malam atau seberapa panjang bulu-bulunya berputar di halaman
apa gunanya mengingat lanturan tak masuk akal di senja hari
sekali lagi di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantungan? seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada misa
adakah yang masih tersisa untuk diketahui? darah yang mengering, abu bakaran
terlupakan di atas tanah dingin- dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
angin membuka sayap gelapnya tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma
Sumber: Majalah Horison, 2002
diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Nikmah Sarjono
Soal Pemahaman Pelajaran 13
248
Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia untuk Kelas XII Program Bahasa Tak lama kemudian Hyongnam dibebas-
kan. Dengan berpakaian seragam biru yang biasa dipakai orang yang baru saja dilepas dari dinas
militer, ia meluncur ke Seoul dengan naik truk mur. Sewaktu menginjakkan dirinya di trotoar yang
keras, kenangannya kembali muncul. Pertama-tama ia memutuskan untuk menengok bibinya yang
mungkin masih tinggal di Youngdungo, namun ia lupa alamatnya. Kemudian ia bermaksud menemui
teman sekolahnya dulu, tetapi ia tidak ingin tampil di depan temannya pada saat tampangnya seperti
pengemis begitu. Justru saat ia berpikir begitu, tiba- tiba ia bertenu dengan saat pertama kali bertemu.
Ayo mampir sekarang. Kau tidak usah cerita apa- apa. Dari penampilanmu itu, aku tahu kondisimu
sekarang. Hyongnam. hanya menjawab dengan senyum, tetapi air mata tak urung menetes dari
mukanya.
Rumah Sangdok jauh lebih besar dari yang dibayangkan Hyongnam. Walaupun beberapa
bagian ada yang sudah keropos, rumah itu masih menunjukkan keperkasaannya. Ada juga bagian atap
yang bocor dan belum dibetulkan. Lebih dari itu, yang paling menakjubkan, ternyata Sangdok hidup
dengan seorang wanita yang memperkenalkan diri sebagai Choe Yunju. Orang itu memperkenalkan
dirinya dengan nama Nyonya Choe. Lalu Sangdok bercerita bagaimana ia bertemu dengan perempuan
itu. Pada hari Minggu di musim dingin tahun yang
lalu, Sangdok menonton ilm. Di depan pintu gedung bioskop berdiri seorang gadis dengan sebuah
kopor. Itulah Yunju. Sangdok mengajaknya nonton ilm. Nonton, yuk Si gadis itu menjawab dengan
semangat seperti anak SD Asyiik Tampaknya ia baru berumur 21 atau 22 tahun. Bajunya yang
rapi menunjukkan bahwa ia berasal dari keluarga baik-baik. Justru karena terlalu baiknya, Sangdok
mengundang gadis itu ke rumahnya. Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya menggigit bibir saja.
Aku tahu, aku orangnya kasar, tetapi aku ingin mengajakmu.
Bukan itu maksudku. Jika kau mengajakku un- tuk hidup bersama selamanya mungkin aku akan
mempertimbangkannya ... ujarnya dengan muka memerah. Sebetulnya Sangdok bukan orang yang
gampang terkejut. Tetapi dengan ungkapan itu ia be- tul-betul terhempas.
Katanya ia telah diusir dari rumahnya. Ia mau pergi ke Pusan untuk mencari temannya,
namun pada saat lewat stasiun ia tertarik pada ilm Prancis.
Aku sendiri seorang yatim piatu, ujar Sangdok. Rumahku besar dan tak ada peng-
huninya kecuali aku. Rumah itulah satu-satunya milikku, sementara aku tak punya pekerjaan tetap.
Tapi kalau kau merasa cocok dengan hidup seperti ini, tidak ada alasan bagiku untuk menolakmu.
Sumber: Cerpen Tanah Tak Bertuan karya
So Kiwon
Kerjakan soal-soal berikut.
1. Setelah Anda mendengarkan pembacaan puisi tersebut, tentu- kanlah hal-hal berikut.
a. Berisi tentang apa puisi Kehidupan di Tempat Lain tersebut?
b. Kemukanlah tema dalam puisi tersebut dengan memebrikan alasanbukti yang mendukung.
c. Bagaimana sikap penyair terhadap objek yang sedang dibicarakannya?
d. Amanatpesan apa yang dapat dipetik bagi kehidupan Anda setelah mendengarkan pembacaan puisi terjemahan
tersebut? 2. Berikan penilaian Anda terhadap penghayatan penyair dalam puisi
tersebut. 3. Tuliskan
kritik sederhana terhadap cuplikan cerpen berikut.
Kata kritik berasal dari bahasa Yunani krinien yang berarti mengamati, membanding, dan menimbang.
Selanjutnya, bahsa Inggris menyebutnya criticism, dan dalam bahasa Prancis critique.
Sumber: Ensiklopedi Sastra Indonesia, 2004
Apresiasi karya sastra merupakan bentuk penghargaan terhadap sebuah karya sastra. Melalui apresiasi tersebut, Anda
dapat mengemukakan tanggapan, analisis, dan kritik berdasarkan karya sastra yang Anda baca. Dalam pelajaran ini, Anda akan
berlatih menganalisis unsur-unsur yang terkandung dalam prosa naratif. Hasil analisis Anda tersebut dapat dikembangkan untuk
menulis esai. Kegiatan ini pun merupakan salah satu bentuk apresiasi terhadap karya sastra. Menganalisis unsur-unsur dalam
prosa naratif ini jelas dapat dikembangkan dengan menulis esai karena dalam esai diuraikan tentang unsur-unsur karya sastra yang
dimaksud.
K Kata k i ik
kritik b l
berasal d i dari b h
bahasa Y i
Yunani k i i krinien
Mengapresiasi Sastra
14
Pe la ja r an
Su
mb
er
: D
o
ku
men
tas
i
p
r
i
bad
i
250
Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia untuk Kelas XII Program Bahasa
Peta Konsep
Alokasi waktu untuk Pelajaran 14 ini adalah 11 jam 1 jam pelajaran = 45 menit
Mengapresiasi sastra
Membahas prosa naratif cerpennovel
Menulis esai
Menyatakan penilaian terhadap karya sastra dalam bentuk esai
tema plot
tokoh dan penokohan
unsur-unsur cerpen
terdiri atas
berdasarkan
251
Mengapresiasi Sastra
Pernahkah Anda membaca cerpen atau novel? Tentunya Anda pernah membacanya. Kedua jenis karya sastra tersebut tergolong ke
dalam ragam sastra prosa naratif. Kali ini, Anda akan berlatih untuk menjelaskan unsur-unsur intrinsik yang ada dalam karya tersebut.
Sebuah karya prosa naratif tersusun atas unsur-unsur yang membentuk suatu kesatuan utuh. Setiap unsur-unsur tersebut
memiliki peranan masing-masing dalam terbentuknya sebuah karya sastra. Dalam Pelajaran kali ini, Anda akan berlatih mengidentifikasi
tema, plot, tokoh, dan perwatakan.
Sebelum melangkah lebih lanjut, terlebih dahulu bacalah sebuah karya naratif berupa cerpen berikut ini dengan saksama.
Siang bangkit dari kehangatan pagi seperti ular raksasa menggeliat dan beranjak untuk memburu
bayi-bayi domba. Matahari yang semula bersahabat mulai me-
manasi atap-atap rumah, jalanan, mematuki pori- pori. Membuat angkot dan bus kota yang sesak
kian sumpek dan bau apek. Mereka yang berada di perkantoran gedung-gedung bertingkat buru-buru
mengendorkan dasi sambil membesarkan volume pendingin ruangan. Tikus-tikus yang biasanya
merubungi tempat sampah menahan diri dan tetap mendekam di liang got. Dan rumah kardus serta
gubuk-gubuk rombeng di tepi kali serasa sesak napas. Di dalam rumah petak tiga kali tiga meter,
Mahmudin merasa tersiksa dan sangat celaka.
Sejak tiga bulan terakhir rumah petak itu tidak ubahnya neraka. Sumpek, menyebalkan,
penuh petaka. Beberapa kali Tuan Joher datang menagih uang kontrakan rumah yang udah telat
dua bulan. Awalnya Mahmudin masih bisa berdalih dengan alasan ini dan itu. Namun belakangan,
Joher sulit diajak kompromi. Bahkan, ketika Mah- mudin nenjelaskan kondisi pabrik yang tengah
seret sehingga buruh seperti dirinya cuma dibayar separuh, Joher tidak peduli. Saya nggak mau tahu,
pabrik lagi seret, gaji buruh, mampet atau tetek bengek alasan lain. Yang penting buat saya, Pak
Mahmudin harus bayar
Bulan di Atas Rumah Sakit
Oleh: Edi Warsidi
Tapi Pak Joher, keadaannya memang begitu. Saya benar-benar sedang susah. Jangankan buat
bayar kontrakan, untuk makan saja sudah megap- megap. Saya mohon sekali ini saja Pak Joher mau
mengerti. Kelak kalau keadaan membaik, semua pasti saya lunasi.
Nggak bisa Kalau saya turuti yang lain pasti ikut-ikutan bayar seenaknya. Bisa bangkrut saya.
Tolonglah, Pak Joher... Sudah, begini saja. Saya beri waktu sepuluh
hari lagi. Kalau belum dibayar juga, silakan Pak Mahmudin angkat kaki dari sini. Juragan Joher
bergegas meninggalkan Mahmudin yang kehabisan kata-kata.
Waktu seperti kuburan yang menggelisahkan. Bagai dengung lebah, ancaman Joher mengaduk-aduk
kepala Mahmudin. Tiga hari lewat, belum terbayang bagaimana dia bisa mendapatkan uang. Dari mana
bisa mendapatkan uang tiga ratus ribu dalam waktu sependek itu? Dari upah kerja di pabrik? Mana
mungkin. Sejak produksi seret, buruh hanya kerja paruh waktu. Sehari bekerja, sehari libur. Praktis, upah
yang diterima pun separuh. Sekadar untuk mengganjal perutnya, ditambah istri dan seorang anak, dan upah
itu pun hanya sanggup bertahan sampai pertengahan bulan. Selebihnya, Mahmudin mengandalkan upah
istrinya, yang sejak tiga bulan terakhir jadi buruh cuci dari rumah ke rumah.
Membahas Prosa Naratif
A
P hk h A d
b t
l? T t A d
Prosa naratif merupakan bagian dari karya sastra yang dapat Anda apresiasi. Hal tersebut dapat menambah kecintaan Anda
terhadap sastra. Dalam Pembelajaran kali ini, Anda akan berlatih mengidentiikasi tema, plot, tokoh, dan perwatakan dalam prosa
naratif secara berkelompok. Setelah itu, Anda akan mendiskusikan hasil pekerjaan tersebut.
252
Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia untuk Kelas XII Program Bahasa Lantas, kalau harus pindah? Masih gelap, mau
pindah ke mana? Rumah petak memang banyak. Tapi tanpa duit di tangan, sama saja mengigau di siang
belong. Pikiran Mahmudin mampet. Rumah petak
sempit itu terasa makin sumpek. Siang yang panas seperti rombongan semut api yang mengerati tiap
mili kulit kepalanya. Terlebih jika teringat istrinya, Tini, yang hamil tujuh bulan. Belakangan Tini sering
mengeluh kecapekan. Badannya ngilu dan pegal-pegal. Dia bayangkan istrinya dengan perut menggunung
bersimbah peluh mencuci tumpukan baju. Ah, alangkah biadabnya aku Mahmudin mengutuk dalam
hati. Tapi apa boleh buat, keadaan sama sekali tidak memberinya pilihan.
Mahmudin juga teringat Surindah. Sudah seminggu ini anaknya yang baru kelas satu SD
itu merengek minta mainan, baju seragam baru, dan buku cerita. O... alah Dah, Surindah. Makan
saja sudah susah, kok ribut minta macam-macam. Gimana sih cuma anaknya Mahmudin buruh kere,
kok ingin ikut-ikutan anak orang kaya, Mahmudin membatin.
Siang kian dalam menikamkan panasnya ke ubun-ubun. Mahmudin menghirup kopi pahit sisa
semalam, menyalakan rokok yang tinggal sebatang, menyandarkan kepalanya di pinggiran kursi bambu
panjang.
Konon, hidup manusia seperti roda. Kadang di atas, di tengah, sesekali tersuruk ke bawah. Tapi
apakah dia masih layak meyakini pepatah usang itu? Sampai umurnya sekarang hampir genap tiga puluh
tiga, Mahmudin merasa nasibnya belum pernah berada di atas, meski sekejap. Bapaknya cuma
petani gurem dengan sepetak sawah. Ibu berjualan kue serabi. Lalu malapetaka itu datang. Ibu menjual
sepetak tanah itu untuk mengongkosi bapaknya yang terserang paru-paru. Toh, nyawa bapaknya tidak
tertolong. Terpaksa Mahmudin berhenti sekolah sampai kelas dua SMP.
Ibu tetap berjualan kue serabi. Mahmudin sen- diri jadi buruh macul. Pas untuk makan ala kadarnya.
Namun itu pun tidak larna. Ibu terserang demam berdarah. Tidak sampai seminggu sakit, sang ibu
meninggal diiringi lolongan tangis I Mahmudin.
Ketika dia nekat menjual rumah gedek di atas tanah sembilan puluh meter peninggalan
orangtuanya untuk ongkos ke Bandung, Mahmudin sangat berharap nasibnya berubah. Dia ingin seperti
Kang Bani yang selalu pulang tiap Lebaran. Ada saja olehroleh Kang Bani dari Bandung. Radio, jam
tangan, baju baru, oleh-oleh, dan barang lainnya yang susah didapat di kampung. Toh, sampai di Bandung
Mahmudin merasa tidak ubahnya seekor coro. Nyungsep sana, nyungsep sini. Pertama datang jadi
kuli angkut di Pasar Kosambi, lalu pindah ke Stasiun Bandung, pindah lagi ke pasar hingga nasib kemudian
mengajaknya ke daerah industri di pinggir selatan Bandung. Jadi buruh di pabrik kaleng. Di sana, dia
bertemu Tini, yang setahun kemudian melahirkan Surindah.
Roda nasib ternyata tidak berubah. Jangankan berada di atas, roda itu tidak pernah membawanya
sekadar ke tengah. Bahkan, makin lama roda itu terus menyungsepkannya ke bawah, menggilasnya
sampai lumat.
Mahmudin menghela napas. Terbayang wajah Tuan Joher dengan mata melotot, Surindah yang merengek-
rengek, Tini yang meringis memegang perut. Betapa celakanya Mahmudin mengumpat dalam hati. Dia
jadi muak dengan dirinya sendiri. Makin muak lagi jika ingat orang-orang kaya bisa berseliweran naik
sedan mengilat, ke luar-masuk mal, restoran mewah, atau apalah yang mewah-mewah zaman sekarang.
Ingin rasanya Mahmudin menggedorkan kepalanya ke tembok. Sekeras-kerasnya. Biar remuk berantakan,
biar selesai semua urusan.
Pagi datang dengan wajah pucat. Seperti biasa rumah petak yang berdesakan mirip gerbong kereta
api ekonomi itu ramai oleh derit pompa air, tangisan bayi, sendok beradu, dan langkah kaki dalam irama
tergesa-gesa. Surindah berangkat ke sekolah seperempat jam lalu. Di kamar mandi, Mahmudin
bersiul mengikuti lagu dari radio Mas Sarjan yang disetel keras-keras. Bang SMS siapa ini bangBang,
pesannya pakai sayang, sayangBang, nampaknya dari pacar abangBang, hati ini mulai tak tenang....
Tumben, Kang, kayaknya gembira benar hari ini? Tini menyodorkan semangkuk mi rebus.
Buat apa susah terus-terusan. Toh, susah juga tidak bakal menyelesaikan masalah. Mahmudin
membetulkan kerah baju, sebelum menerima mangkuk yang disodorkan Tini.
Hari ini aku ke pabrik. Gimana, Kang? Sudah dapat gambaran buat
bayar kontrakan? Mi rebus di mulut tiba-tiba terasa hambar.
Mahmudin berhenti menyendok. Dia menatap wajah Tini. Cemas seperti mayat yang baru masuk ke liang
lahat, menunggu kedatangan malaikat. Sudahlah, Tin. Nggak usah cemas. Mudah-
mudahan semua beres. Mudah-mudahan sebentar lagi kamu tidak perlu jadi buruh cuci.
Apa pabrik sudah mulai lancar? Atau... jangan- jangan Kang Mahmudin mau ngerampok atau
nyolong? Jangan, Kang Ah, ada-ada saja kamu. Mana berani aku
melakukannya. Sudahlah, percaya saja sama aku. Berdoa
Tini tidak melanjutkan pertanyaannya. Dia harus bergegas ke rumah Bu Nuryadi. Kalau telat,
bisa gawat. Bisa-bisa dia dimaki-maki. Lagi pula dia yakin, Mahmudin sekadar berusaha menghibur
253
Mengapresiasi Sastra dirinya seperti kemarin-kemarin. Aku berangkat
dulu, Kang. Sepasrah atau seputus asa apa pun, Tini tidak
pernah membayangkan suaminya telah menemukan cara gila untuk mengakhiri penderitaan mereka.
Semalam, ketika listrik padam dan segerobak persoalan menjelma gurita yang mencekik lehernya,
Mahmudin tiba-tiba teringat Iwil, kawannya yang tiga tahun lalu mengalami kecelakaan. Dua jari tangan
kiri Iwil remuk digilas mesin pabrik. Masih terbayang Iwil meraung kesakitan.
Iwil masuk UGD. Selanjutnya, Mahmudin dan para buruh lainnya tidak tahu lagi. Para mandor
pabrik seolah-olah sengaja merahasiakan nasib Iwil. Namun menurut kabar yang beredar, Iwil mendapat
ganti rugi lima juta rupiah dari perusahaan tempatnya bekerja. Terakhir, Mahmudin mendengar kabar, Iwil
membuka usaha wartel di dekat terminal.
Tiga tahun lalu Iwil dapat lima juta, berarti sekarang ganti ruginya bisa dua kali lipat, bahkan
tiga kali lipat. Alangkah sedapnya. Mahmudin mengkhayal.
Tapi, edan, betapa sakitnya. Mau enak kok takut sakit. Mengubah nasib selalu
butuh kesakitan dan pengorbanan, pikirnya. Bagaimana kalau Gusti Allah marah karena
berkah-Nya sengaja aku hancurkan. Ah, biar saja. Aku sudah muak dengan
kemiskinan dan penderitaan. Muaaak Siang itu deru mesin pabrik laksana lolongan
anjing yang menggedor-gedor telinga Mahmudin. Tekadnya sudah bulat, menggilaskan jari-jari
tangannya ke gerigi mesin. Demi uang kontrakan, demi Surindah, demi Tini yang sebentar lagi
melahirkan jabang bayi.
Mahmudin menatap sejenak gerigi mesin yang bergerak mirip komidi putar di tanah lapang depan
kecamatan. Pandangannya pindah ke jari-jari tangan kanannya. Basah dan gemetar.
Apa boleh buat. Inilah saatnya mengubah nasib
Dia maju selangkah. Pelan-pelan dia katupkan mata, seperti terpidana mati di tiang eksekusi
menunggu aba-aba sehingga jari-jari itu kemudian masuk ke gerigi mesin yang berputar.
Langit koyak oleh lolongan Mahmudin. Darah muncrat ke baju, wajah, dan lantai. Dalam kesakitan
tiada terkira itu, Mahmudin sempat melihat serpihan tulang, daging yang sebagian terbawa putaran mesin.
Langit makin mendung. Gulita tiba-tiba.
Mahmudin mendapati dirinya terbaring di dipan berseprai. Sekujur badannya nyeri. Tulang-
tulang serasa remuk. Tidak ada siapa-siapa. Tapi Mahmudin tahu, dia berada di kamar rumah sakit.
Dia perhatikan telapak tangan kanannya terbungkus perban. Ngilu luar biasa.
Ah, hilang empat jari rupanya, Mahmudin mendesah.
Selamat malam, Pak Mahmudin. Seorang manajer perempuan masuk membawa seikat bunga
yang dibungkus plastik transparan. Ibu Suci . . . Selamat malam, Bu. Mahmudin
tergagap. Saya atas nama manajemen dan perusahaan
turut prihatin atas musibah ini. Saya berharap dan berdoa, Pak Mahmudin lekas sembuh dan tabah,
kata Ibu Suci setelah mengambil kursi dan duduk di tepi pembaringan.
Terima kasih, Bu. Tapi bagaimana nasib saya selanjutnya?
Maksud Pak Mahmudin? Ehm, itu Bu, soal ganti rugi empat jari
tangan kanan saya yang tergilas mesin, Mahmudin memberanikan diri.
Ibu Suci terdiam sejenak. Begini, sore tadi para manajer mengadakan
rapat sehubungan musibah ini. Keputusannya, dengan sangat menyesal perusahaan hanya bisa
menanggung biaya pengobatan sampai Pak Mahmudin sembuh. Tidak ada ganti rugi karena perusahaan
sedang kesulitan uang. Saya harap Pak Mahmudin mengerti.
Apa?
Mendengar kabar itu, pendengaran Mahmudin seperti ditusuk besi panas. Dia melompat. Ototnya
menegang, giginya gemeretak, dada terasa hendak meledak. Tangan kirinya menyambar bungkus bunga,
lalu dia lemparkan sekuat tenaga ke wajah Ibu Suci yang berteriak-teriak minta tolong. Perawat,
dokter, dan satpam berdatangan. Mereka berusaha menenangkan Mahmudin. Namun Mahmudin
meronta, meludah, dan memuntahkan segala sumpah serapah, sampai-sampai dia merasa tenaganya
terkuras habis. Pandangan berkunang-kunang, lalu gulita. Mahmudin pingsan.
Pada malam itu, bulan di atas rumah sakit tunduk menutup wajahnya. Mungkinkah dia sedang
menangis untuk Mahmudin?
Sumber: Kilau Sebuah Cincin, 2006
254
Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia untuk Kelas XII Program Bahasa
Dalam cerpen tersebut terdapat unsur-unsur yang dapat Anda jelaskan. Setiap unsur yang ada membentuk suatu kesatuan dalam
cerita tersebut. Berikut ini merupakan contoh penjelasan mengenai unsur-unsur yang ada dalam cerpen Bulan di Atas Rumah Sakit.