Perkembangan Penelitian Embriogenesis Somatik pada Dendrobium

26 malformasiabnormalitas; browning, dan vitrifikasi; 4 kemungkinan propagul mengendap di bawah jika tingkat aerasi terlalu rendah; dan 5 jika kepadatan inokulum terlalu tinggi, terjadi gesekan antar sel yang menyebabkan terjadinya browning Esyanti Muspiah 2006; Dewir et al. 2010. Yang et al. 2010 menemukan bahwa airlift bioreactor lebih efisien dalam proliferasi plbs Oncidium ‘Sugar Sweet’ dibandingkan kultur cair pada tabung erlenmeyer. Pada S. cannifolium sistem ini mampu menghasilkan multiplikasi tunas terbanyak dibandingkan temporary immersion system menggunakan media MS yang mengandung 13.32 μM BA and 4.9 μM IBA Dewir et al. 2006. Aplikasi bioreaktor dilakukan untuk meningkatkan kecepatan proliferasi sel melalui aplikasi aerasi udara yang berdampak positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel. Menurut Takayama Akita 2005 pertumbuhan dan kecepatan proliferasi eksplan lebih baik dalam bioreaktor dibandingkan sistem kultur yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh penyerapan nutrisi yang optimal, ketersediaan O 2 yang cukup dan pergerakan eksplanplb yang aktif berpengaruh optimal. Oleh karena itu, sistem bioreaktor mampu menghasilkan benih bermutu dalam jumlah yang sangat besar. Selain itu, perbanyakan embrio somatik dengan sistem bioreaktor dapat menurunkan biaya produksi hingga 24 Ziv 2000. Keberhasilan perbanyakan masal tanaman menggunakan bioreaktor sangat dipengaruhi oleh: 1 tingkat aerasi, yang berpengaruh terhadap pengadukan agitasi, sirkulasi udara, dan oksigen terlarut dissolved oxygen; 2 kepadatan kulturinokulum; 3 viskositaskekentalan media; 4 komposisi media sumber karbon, zpt, dll; 5 kondisi fisik kultur pH, cahaya, suhu, dll; 6 kondisi sel fase pertumbuhan sel umur sel sejarah sel; 7 morfologi dan jenis selkalus; dan 8 genotipe Ziv 2000; Celiktas et al. 2010; Esyanti Muspiah 2006. Keberhasilan aplikasi bioreaktor dalam perbanyakan plbs ternyata juga dilaporkan pada Phalaenopsis dengan media Hyponex Young et al. 2000 dan Oncidium ‘Sugar Sweet’ pada media MS Yang et al. 2010. Selain media, kepadatan eksplan dan aerasi oksigen juga berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan proliferasi plbs. Kepadatan eksplan 15 g L -1 plbs dengan tingkat aerasi 5 vvm atau 10 g L -1 plbs dengan 10 vvm ternyata mampu meningkatkan kecepatan pertumbuhan dan proliferasi plbs D. ‘Zahra FR-62’ dengan penampilan plbs yang hijau tua, segar dan remah Winarto et al. 2013a. Pada penelitian lain dilaporkan bahwa kepadatan 20 g L -1 plbs optimal untuk Oncidium ‘Sugar Sweet’ Yang et al. 2000 dan 20 g L -1 plbs dengan tingkat aerasi 2 vvm pada Phalaenopsis Young et al. 2000, sedangkan pada C. canephora 0.5-1.0 g L -1 embrio dengan 5 vvm Ducos et al. 2007.

2.8 Permasalahan Penggunaan Sistem Kultur Cair dalam Bioreaktor

Keberhasilan produksi masal benih menggunakan sistem bioreaktor juga tidak luput dari adanya masalah. Fenomena yang sering muncul adalah: 1 Pencoklatan Browning, pencoklatan kalus diduga karena adanya metabolit sekunder yang diproduksi oleh kalus. Selain itu pencoklatan juga diduga terjadi karena adanya sintesaoksidasi senyawa fenolik oleh aksi polifenol oksidase dan tirosinase yang disintesa akibat dari oksidasi jaringan akibat adanya cekaman berupa pelukaan, sebagai dampak benturan antar kaluskelompok kalus Pirttila et al. 2008; Rittirat et al. 2012 27 2 Vitrifikasi, yang dihasilkan sebagai bentuk morfogenesis tanaman yang abnormal malformasi morfogenesis. Kultur cair dapat menyebabkan stress yang terekspresi dengan munculnya penyimpangan pertumbuhan. Jaringanorgan tanaman yang terendam mengalami stress oksidatif dengan meningkatnya konsentrasi oksigen reaktif yang terasosiasi dengan perubahan aktivitas enzim antioksidan. Perubahan tersebut mempengaruhi anatomi dan fisiologi tanaman dan kemampuan hidupnya Ziv 2005; 3 Terbentuknya agregat sel kalus kompak, yang disebabkan oleh penggunaan zpt seperti NAA. Zpt ini tidak menginduksi sistem enzim selulase dan pektinase yang mempunyai aktivitas lisis terhadap lamella tengah, sehingga lisis lamela tengah tidak terjadi. Hal ini menyebabkan ikatan antar sel tidak renggang dan memberikan struktur yang kompak Morris 1986; Verpoorte et al. 1993; Zhao et al. 2001. Selain itu Fowler 1983 menyatakan tidak terpisahnya sel-sel agregat dapat disebabkan oleh adanya sekresi senyawa polisakarida yang melekat pada permukaan sel; 4 Terbentuknya busa, laju aerasi yang tinggi akan membentuk gelembung udara yang banyak dan menutupi permukaan kultur dalam bioreaktor. Jumlah gelembung busa yang banyak sering menghentikan sirkulasi udara di dalam bioreaktor dan mengakibatkan terjadinya kontaminasi pada kultur Taticek et al. 1991. Zhong 2001 menambahkan bahwa terbentuknya busa selain disebabkan oleh laju aerasi, juga disebabkan oleh komposisi media, viskositas kultur, struktur fisik bioreaktor dan kondisi sel. 5 Penurunan laju pertumbuhan dan kematian sel, agregat sel yang terlalu banyak dan laju aerasi yang terlalu rendah menyebabkan pengadukan media dan kultur tidak berjalan baik dan merata. Udara tidak mampu mengangkat agregat sel, sehingga sel mengendap pada permukaan bawah bioreaktor, akibatnya selkalus mengalami kekurangan oksigen karena tidak ada oksigen yang terlarut dan kondisi ini akan mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan dan kematian sel Taticek et al. 1991. Konsentrasi oksigen yang terlarut selama kultur cair memiliki pengaruh kuat dalam aktivitas mitosis. Menurut McHale et al. 1987 pertumbuhan kultur sel tidak membutuhkan oksigen tinggi. Konsentrasi oksigen yang terlalu tinggi ternyata juga menghambat pertumbuhan dan laju pembelahan sel. Oleh karena menyediakan konsentrasi oksigen yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan sel sangat diperlukan.

2.9 Pengaruh Cekaman Oksidatif terhadap Aktivitas Beberapa Enzim

Jaringanorgan tanaman yang terendam secara terus menerus pada jangka waktu yang lama umumnya akan mengalami cekaman oksidatif. Cekaman oksidatif adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan peningkatan kecepatan kerusakan sel akibat induksi oksigen dan turunannya reactive oxygen species ROS. Kerusakan sel terjadi akibat ketidakseimbangan antara pembentukan ROS dan aktivitas pertahanan enzim antioksidan yang disebabkan oleh toksin dari jaringan atau lingkungan Fujii et al. 2003; Lee et al. 2004. Ketidakseimbangan terjadi ketika pembentukan radikal bebas melebihi sistem pertahanan, sistem pertahanan tidak mampu mendetoksifikasi radikal bebas, atau ketika terjadi penurunan proses detoksifikasi Saleh Agarwal 2002. 28 Peningkatan produksi ROS menginduksi kerusakan jaringan melalui satu mekanisme yang mengaktifkan sejumlah jalur pensinyalan selular. Status cekaman oksidatif dinilai dengan mengukur tingkat kerusakan oksidatif pada lipid, protein dan DNA, yang dapat diukur dengan biomarkers yang spesifik, salah satunya dengan melakukan pengujian terhadap jumlah danatau aktivitas enzim antioksidan Mittler 2002; Sharma Dubey 2007. Salah satu kerusakan yang diakibatkan oleh kondisi cekaman oksidatif adalah peroksidasi lipid yang akan menghasilkan peroksida lipid. Cekaman oksidatif menyebabkan kerusakan oksidatif lipid yang dapat dideteksi dengan peningkatan aktivitas enzim lipid peroksidase LPOX dalam sel. Keadaan ini dapat menyebabkan cekaman oksidatif yang berakibat pada kerusakan oksidatif sel dalam berbagai jaringan. Enzim peroksidase berkaitan dengan sejumlah proses fisiologis yang meliputi lignifikasi, penyembuhan luka, oksidasi fenol, dan pertahanan terhadap penyakit. Ekspresi gen peroksidase ini diinduksi berbagai cekaman seperti patogen, garam, Al, dan pelukaan Ritter Dangl 1996; Cheong et al . 2002. Membran plasma umumnya bersifat sangat rentan terhadap oksidasi asam lemak tidak jenuh radikal bebas, karena sebagian besar komponen utama penyusun membran adalah Polyunsaturated fatty acids PUFAs. PUFAs bersifat paling rentanlabil terhadap peroksidasi lipid karena banyak mengandung ikatan rangkap. Terjadinya peroksidasi lipid akan menyebabkan hilangnya integritas dan permeabilitas membran Geva et al. 1998; Pokorny et al. 2001. Sel tanaman dalam keadaan normal dan secara alami memproduksi radikal bebas sebagai konsekuensi logis akibat reaksi biokimia dalam metabolisme sel aerob. Tanaman memiliki sistem pertahanan terhadap radikal bebas, yaitu antioksidan endogen intrasel yang terdiri atas enzim-enzim yang disintesis oleh tanaman seperti superoksida dismutase SOD, katalase CAT dan glutation peroksidase GPX, askorbate peroksidase APX, guaiacol peroxidise G-POD, monodehydro ascorbate reduktase MDHAR, dehydroascorbate reduktase DHAR, dan glutation reduktase GR, Sairam et al. 1998; Mittler 2002; Sharma Dubey 2007. Antioksidan yang terdapat dalam tanaman harus terdapat dalam jumlah yang sesuai dan memadai. Pada keadaan cekaman oksidatif, radikal bebas terbentuk dalam jumlah berlebihan dan kondisi ini dapat menyebabkan enzim- enzim yang berfungsi sebagai antioksidan endogen dapat menurun aktivitasnya. Beberapa hasil penelitian menginformasikan bahwa aktivitas enzim antioksidan seperti SOD, CAT, GPX cenderung menurun pada jaringan yang terpapar cekaman lingkunganAli et al. 2005; Aziz et al. 2012 Hasil penelitian Aziz et al. 2012 menginformasikan bahwa pada kultur Ananas comosus L. Merr. ‘N36’ perlakuan Al secara nyata menurunkan kandungan aktivitas GPX 3.39 unit mg -1 protein, dan peningkatan aktivitas APX 7.16 unit mg -1 protein . Hasil ini menunjukkan bahwa cekaman Al dalam jangka panjang mengubah aktivitas enzim oksidatif dan kandungan zat antioksidan dalam daun plantlet A. comosus L. Merr ‘N36’. Ali et al. 2005 menginformasikan bahwa aktivitas enzim CAT dan Ascorbate Oxydase AO pada daun, G-POD pada akar, dan glutathione-S-transferase GST pada daun dan akar plantlet Phalaenopsis meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya high lightHL. Aktivitas DHAR dan MDHAR meningkat pada intensitas cahaya rendah low light LL dan sedang intermediate lightIL dan menurun pada HL. Total kandungan protein daun plantlet meningkat dalam cekaman cahaya. 29 3 INISIASI KALUS EMBRIOGENIK DENDROBIUM Abstrak Induksi dan inisiasi kalus embriogenik KE, sebagai tahap kritikal perbanyakan benih secara in vitro dengan metode secara tak langsung, telah berhasil dikembangkan pada kultur in vitro Dendrobium melalui seleksi genotipe D. ‘Gradita 10’, D. Indonesia Raya ’Ina’, dan D. Sonia ’Earsakul’, jenis eksplan tunas pucuk,tunas lateral dan daun plantlet, media medium ½ MS ditambah dengan kombinasi 1.0 dan 1.5 mg L -1 TDZ dengan 0.5 dan 1.0 mg L -1 BA, medium VW dengan kombinasi 1.0 dan 2.0 mg L -1 TDZ dengan 0.5 dan 1.0 mg L -1 kinetin, sistem kultur padat dan cair dan kondisi inkubasi terang dan gelap. Penelitian ini disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok RAK pola faktorial dua faktor dengan tiga ulangan, yaitu faktor genotipe dikombinasikan dengan keempat faktor lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inisiasi KE teroptimal ditemukan pada eksplan tunas pucuk plantlet D. Indonesia Raya ‘Ina’ yang dikultur pada medium IM-3 medium ½ MS yang ditambah 1.5 mg L -1 TDZ, 0.5 L -1 BA, 20 g L -1 sukrosa dan 2 g L -1 gelrite, menggunakan sistem kultur padat dan diinkubasi pada kondisi terang dengan fotoperiode terang 12 jam di bawah lampu fluorescen dengan intensitas cahaya 13 µmol m -2 s -1 pada suhu 23.5 ± 1.1 ° C. KE terinisiasi ± 7.1 hari setelah kultur diinkubasi dengan 99.7 keberhasilan regenerasi eksplan dengan 98.7 pembentukan KE, 0.37 g bobot basah KE, dan 4.23 mm 3 ukuran KE. Metode dan KE yang berhasil diperoleh pada tahap ini memiliki potensi yang besar pada penyiapan galur sel unggul Dendrobium yang akan dijadikan sebagai kultur starter untuk tahap proliferasi KE. Kata kunci: eksplan, genotipe, media, kondisi inkubasi, sistem kultur Abstract Induction and initiation of embryogenic callus EC, as the most critical step in vitro propagation indirectly, was successfully established in in vitro culture of Dendrobium via selection of genotypes D. ‘Gradita 10’, D. Indonesia Raya ’Ina’, dan D. Sonia ’Earsakul’, explant types shoot tips, lateral shoots and young leaves, media half-strength MS supplemented with combination of 1.0 and 1.5 mg L -1 TDZ and 0.5 and 1.0 mg L -1 BA; VW medium in combination of 1.0 and 2.0 mg L -1 TDZ and of 0.5 and 1.0 mg L -1 kinetin, culture systems solid and liquid and incubation culture conditions light and dark. The factorial experiments were arranged using a randomized completely block design RCBD with three replications. The results showed that the optimal embryogenic callus initiation was established on shoot tips of D. Indonesia Raya ‘Ina’ as explant source cultured on IM-3 medium semi solid half-strength MS medium containing 1.5 mg L -1 TDZ and 0.5 mg L -1 BA under light incubation of 12 h photoperiod of cool fluorescent lamps with 13 µmol m -2 s -1 light intensity at 23.5 ± 1.1 ° C. The EC was successfully initiated in the shortest period as low as 7.1 day after culture with 99.7 explant regeneration, 98.7 EC formation, 0.37 g fresh weight of EC, and 4.23 mm 3 size of EC. The established-method and EC produced have high