Metode Penelitian Pembahasan Pengembangan perikanan giob yang berkelanjutan di Kayoa, Halmahera Selatan

Dengan informasi kondisi perikanan tangkap ini, maka kegiatan pemanfaatan dan upaya pengelolaannya setidaknya akan lebih memadai, tidak menimbulkan tekanan terhadap sumberdaya perikanan dan mampu menjadi referensi bagi stakeholders kelautan dan perikanan di daerah maupun nasional dalam mengetahui dan memahami pencapaian pembangunan secara kuantitatif yang telah dilakukan di sub-sektor kelautan dan perikanan khususnya di perairan Kayoa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kondisi umum Kabupaten Halmahera Selatan, kondisi perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Selatan, membandingkan kondisi perikanan pukat cincin di Halmahera Selatan dan perikanan giob di Kayoa. Gambaran umum yang mendukung kondisi perikanan giob meliputi: kapal penangkap, alat tangkap, nelayan giob, produksi, pengolahan dan pemasaran ikan julung-julung. Manfaat yang diharapkan adalah memberikan gambaran tentang kondisi perikanan giob saat ini sehingga dapat digunakan sebagai bahan kajian pada bab selanjutnya dalam menyusun strategi pengembangan perikanan giob yang berkelanjutan di Kayoa, Halmahera Selatan.

3.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif ini, bertujuan membuat deskripsi atau penggambaran secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat- sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki Nasir 1983. Deskripsi tersebut terdiri dari kondisi umum Kabupaten Halmahera Selatan, dan kondisi perikanan tangkap Kabupaten Halmahera Selatan. Pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran pustaka. Data mengenai kondisi umum Kabupaten Halmahera Selatan diperoleh dari BPS Kabupaten Halmahera Selatan 2011dan DPK Maluku Utara 2011. Data mengenai kondisi perikanan tangkap Kabupaten Halmahera Selatan bersumber dari DPK Maluku Utara tahun 2007-2011. Adapun data mengenai perkembangan perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Selatan terdiri dari: kapal penangkapan, alat penangkap ikan, rumah tangga perikanan, produksi, dan pengolahan terhadap produksi perikanan. Data tersebut diperoleh dari laporan statistik tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. Berdasarkan data yang dihimpun, pengolahan dan analisisnya dikerjakan dengan menggunakan analisis deskriptif kuantitatif yaitu teknik analisis yang dilakukan dalam bentuk dataangka yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan dalam bentuk uraian Nasir 1983. 3.3 Hasil Penelitian 3.3.1 Kondisi umum Kabupaten Halmahera Selatan Kabupaten Halmahera Selatan masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Maluku Utara, secara geografis berada pada posisi 126 45 BT - 129 30 BT dan 0 30 LU-2 00 LS. Sebagai bagian dari Wilayah Provinsi Maluku Utara, secara keseluruhan daerah ini memiliki luas 40.236,72 km 2 dan lebih didominasi oleh wilayah laut yaitu sebesar 31.484,40 km 2 78, sedangkan wilayah daratannya sebesar 8.779,32 km 2 22 BPS Kabupaten Halmahera Selatan 2011. Luasnya wilayah laut sehingga memiliki peranan utama dalam sektor perikanan dan kelautan bagi Provinsi Maluku Utara. Pada tahun 2011 tercatat produksi perikanan sebesar 44.334.90 ton dengan nilai sebesar Rp 771.662.501 miliar, atau kontribusi terhadap produksi perikanan Provinsi Maluku Utara sebesar 29,88 DPK Maluku Utara 2011. Daerah ini memiliki iklim tropis dengan suhu maksimum mencapai 33,8 C di bulan April 2010. Curah hujan di Kabupaten Halmahera Selatan cenderung tidak teratur di sepanjang tahun. Curah hujan tertinggi terjadi di bulan April 2010 376 mm, hari hujan terbanyak berada di bulan Desember 2010 26 hari. Sedangkan kecepatan angin tertinggi mencapai 2 knot bulan Februari, Oktober, November dan Desember. Kelembaban udara di Halmahera Selatan berkisar antara 81-87. Tingkat kelembaban udara paling tinggi terjadi di bulan Mei dan Juni yaitu sebesar 87 BPS Kabupaten Halmahera Selatan 2011. Kepulauan Kayoa merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang terletak di bagian Selatan Pulau Ternate. Secara geografis, di bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Makean, Selatan dengan Kasiruta, Timur dengan Selat Patinti, dan Barat Laut Maluku. Wilayah Kepulauan Kayoa secara administrasi terbagi menjadi 4 kecamatan dan 30 desa yaitu kecamatan Kayoa 14 desa, Kayoa Barat 4 desa, Kayoa Selatan 6 desa, Kayoa Utara 6 desa. Sebagai wilayah kepulauan, Kayoa merupakan sentra utama penghasil sumberdaya perikanan di Kabupaten Halmahera Selatan. 3.3.2 Kondisi perikanan tangkap 3.3.2.1 Kapal perikanan Perkembangan armada tangkap nelayan di Halmahera Selatan dari tahun 2007-2011 sesuai data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara dapat dilihat pada Tabel 2. Secara keseluruhan jumlah kapal penangkap ikan rata- rata per tahun telah mengalami penurunan yakni sebesar 4,39. Kapal perikanan yang mengalami penurunan adalah jenis motor tempel sebesar 15,43 dan perahu tanpa motor sebesar 9,74. Jenis kapal motor mengalami peningkatan rata-rata dalam periode 2007-2011. Peningkatan terbesar terjadi pada kapal motor berukuran 5-10 GT dan 10-20 GT. Tabel 2 Perkembangan jumlah kapal menurut ukuran kapal GT di Kabupaten Halmahera Selatan, 2007-2011 Jenis Kapal 2007 unit 2008 unit 2009 unit 2010 unit 2011 unit Rata-rata perubahan 2007-2011 2010-2011 Perahu tanpa motor 258 258 120 179 117 9,74 34,64 Motor tempel 317 317 172 162 152 14,43 6,17 Kapal motor 0-5 GT 70 70 53 54 72 2,73 33,33 5-10 GT 108 108 26 61 66 16,72 8,20 10-20 GT 13 13 17 42 51 49,81 21,43 20-30 GT 10 10 10 33 49 12,12 48,48 30-50 GT 8 9 3,13 12,50 Jumlah 776 776 388 539 516 4,39 4,27 Sumber: Data statistik perikanan Provinsi Maluku Utara 2007-2011 Perkembangan yang serupa juga terlihat pada tahun 2010-2011, yaitu mengalami penurunan sebesar 4,27. Jenis kapal motor berukuran 20-30 GT mengalami peningkatan sebesar 48,48, yaitu 33 unit pada tahun 2010 meningkat menjadi 49 unit pada tahun 2011. Peningkatan dan penurunan jumlah unit kapal penangkapan ikan tersebut pada dasarnya sejalan dengan program motorisasi dan pengadaan kapal penangkap ikan yang penangkapannya dapat menjangkau perairan yang lebih jauh baik dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara, maupun dari Dinas Kelautan dan Kabupaten Halmahera Selatan.

3.3.2.2 Alat penangkap ikan

Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara terdapat 13 jenis alat tangkap yang dioperasikan di wilayah Kabupaten Halmahera Selatan Tabel 3. Dilihat dari alat tangkap yang dioperasikan, terdapat 9 jenis alat tangkap yang memiliki jumlah unit yang banyak, sedangkan 4 jenis alat tangkap lainnya memiliki jumlah yang sedikit. Kesembilan jenis alat tangkap yang memiliki jumlah unit yang banyak yaitu pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, bagan perahu, rawai tuna, huhate, pancing tonda, pancing lainnya dan bubu. Tabel 3 Perkembangan jenis alat tangkap ikan tahun 2007-1011 No Jenis alat tangkap Tahun Rata-rata perubahan 2007 unit 2008 unit 2009 unit 2010 unit 2011 unit 2007- 2011 2010- 2011 1 Pukat Cincin 40 40 30 64 76 26,77 18,75 2 Jaring Insang Hanyut 26 26 26 30 29 3,01 3,33 3 Jaring Insang Tetap 30 30 30 35 35 4,17 4 Bagan Perahu 40 40 24 54 54 21,25 5 Bagan Tancap 8 8 2 9 11 74,31 22,22 6 Rawai Tuna 28 28 38 48 48 15,51 7 Rawai Hanyut 12 12 8 10 10 2,08 8 Rawai Tetap 10 10 6 8 8 1,67 9 Huhate 45 45 45 76 109 28,08 43,42 10 Pancing Tonda 45 45 44 54 70 12,53 29,63 11 Pancing Lainnya 75 75 32 32 20 23,71 37,50 12 Serok 3 3 3 2 2 8,33 13 Bubu 22 22 22 28 28 6,82 Sumber: Data statistik perikanan Provinsi Maluku Utara 2007-2011 Perkembangan rata-rata tahunan dari seluruh jenis alat tangkap yang ada, terdapat 6 jenis alat tangkap yang mengalami peningkatan yang relatif besar yaitu pukat cincin, bagan perahu, bagan tancap, rawai tuna, huhate dan pancing tonda, sedangkan 3 jenis alat tangkap mengalami kenaikan walaupun kecil yaitu jaring insang hanyut, jaring insang tetap dan bubu. Alat tangkap yang mengalami penurunan yaitu rawai hanyut, rawai tetap, pancing lainnya, dan serok. Peningkatan rata-rata per tahun jumlah alat tangkap terbesar terjadi pada alat tangkap bagan tancap yaitu sebesar 74,31 yaitu dari 8 unit pada tahun 2007 menjadi 11 unit pada tahun 2011, disusul kemudian oleh alat tangkap huhate 28,08. Selanjutnya pada tahun 2010 2011, sebagian besar alat tangkap tidak mengalami perkembangan baik peningkatan maupun penurunan. Perkembangan alat tangkap pada tahun 2010-2011, memperlihatkan bahwa alat tangkap yang mengalami peningkatan adalah pukat cincin yaitu sebesar 18,75, bagan tancap sebesar 22,22, huhate sebesar 43,42 dan pancing tonda yaitu sebesar 29,63, sedangkan alat tangkap yang mengalami penurunan adalah jaring insang hanyut yaitu sebesar 3,33 dan pancing lainnya sebesar 37,50. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Halmahera Selatan dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 2010- 2011, sebagian besar alat tangkap tidak mengalami perkembangan yang berarti kecuali jenis alat tangkap yang dominan yang mengalami peningkatan.

3.3.2.3 Rumah tangga perikanan

Rumah tangga perikanan RTP atau penduduk nelayan dapat dikategorikan berdasarkan ukuran perahukapal ikan yang digunakan. Perkembangan RTP di Halmahera Selatan dari tahun 2007-2011 sesuai data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara dapat dilihat pada Tabel 4. Secara keseluruhan jumlah RTP rata-rata per tahun menurun sebesar 39,91 dan didominasi oleh RTP kategori kapal motor berukuran 20-30 GT sebesar 54,55, disusul oleh RTP ketegori perahu tanpa motor sebesar 38,41 dan kategori tanpa perahu sebesar 32,65. Peningkatan rata-rata per tahun jumlah RTP terbesar terjadi pada kategori kapal motor yang berukuran antara 10-20 GT sebesar 64,73, disusul kemudian oleh kapal motor berukuran 30-50 GT sebesar 25. Perkembangan yang serupa juga terlihat pada tahun 2007-2011. Peningkatan jumlah RTP terbesar terjadi pada kategori kapal motor yang berukuran antara 30- 50 GT sebesar 25, disusul kemudian oleh kapal motor berukuran 5 GT sebesar 5,56. Penurunan jumlah RTP terjadi pada kategori kapal motor berukuran 20-30 GT sebesar 54,55 disusul kemudian oleh RTP kategori perahu tanpa motor sebesar 34,64. Tabel 4 Rumah tangga perikanan menurut kategori besarnya usaha Kabupaten Halmahera Selatan, 2007-2011 Kategori RTP Tahun Rata-rata perubahan 2007 2008 2009 2010 2011 2007-2011 2010-2011 Tanpa perahu 87 85 50 58 55 32,65 5,17 Perahu tanpa motor 255 255 120 179 117 38,41 34,64 Motor tempel 317 317 177 162 152 58,81 6,17 Kapal motor 0-5 70 70 54 54 57 17,30 5,56 5-10 108 100 33 61 50 7,59 18,03 10-20 13 13 17 22 23 64,73 4,55 20-30 10 10 10 33 15 54,55 54,55 30-50 4 5 25,00 25,00 Jumlah 860 850 461 573 474 39,91 17,28 Sumber: Data statistik perikanan Provinsi Maluku Utara 2007-2011

3.3.2.4 Produksi perikanan tangkap

Pada periode tahun 2007-2011, perkembangan produksi rata-rata tahunan perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Selatan meningkat sebesar 18,07, yaitu dari 28.338,24 ton pada tahun 2007 menjadi 45.492,20 ton pada tahun 2011 Tabel 5. Dalam periode ini juga terlihat terjadinya penurunan produksi yaitu pada tahun 2010 sebesar 20.59. Tabel 5 Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Selatan, 2007-2011 Tahun Jumlah produksi ton Perkembangan 2007 28.338,24 2008 30.495,42 7,61 2009 55.524,94 82,08 2010 44.094,90 20,59 2011 45.492,20 3,17 Rata-rata 40.789,14 18,07 Sumber: Data statistik perikanan Provinsi Maluku Utara 2007-2011 Perkembangan produksi hasil perikanan tersebut merupakan hasil produksi dari setiap alat tangkap yang beroperasi di Halmahera Selatan. Volume produksi dari 9 alat penangkapan ikan dominan yang dioperasikan di perairan Halmahera Selatan menunjukan bahwa pada tahun 2011 produksi alat tangkap huhate memiliki nilai tertinggi yaitu sebesar 20.199 ton, disusul kemudian oleh alat tangkap pukat cincin yaitu sebesar 11.040 ton. Berasal dari alat-alat tangkap tersebut, peningkatan produksi rata-rata per tahun terbesar terjadi pada jenis alat tangkap sero sebesar 89,11 yaitu sebesar 2,0 ton pada tahun 2007 menjadi 5,0 ton pada tahun 2011 disusul kemudian oleh alat tangkap rawai tuna dan bubu yang masing-masing perkembangannya sebesar 53,72 dan 40,07. Selanjutnya peningkatan produksi terbesar pada tahun 2010-2011 terjadi pada alat tangkap rawai hanyut yaitu 21,32, disusul kemudian oleh alat tangkap pukat cincin yaitu sebesar 19,27. Tabel 6 Perkembangan produksi tahunan menurut jenis alat tangkap Kabupaten Halmahera Selatan, 2007-2011 No Jenis alat tangkap Tahun Rata-rata perubahan 2007 ton 2008 ton 2009 ton 2010 ton 2011 ton 2007-2011 2010-2011 1 Pukat cincin 7.890 8.640 14.256 9.256 11.040 14,68 19,27 2 Jaring insang hanyut 235 188 624 574 254 37,15 55,76 3 Jaring insang tetap 224 259 720 550 455 38,12 17,29 4 Bagan perahurakit 3.112 3.360 3.648 2.848 2.730 2,39 4,14 5 Bagan tancap 90 115 67 60 45 12,26 24,43 6 Rawai tuna 1.327 1.361 4.560 3.460 3.507 53,72 1,37 7 Rawai hanyut 187 280 384 75 91 6,99 21,32 8 Rawai tetap 218 144 288 300 318 19,06 6,15 9 Huhate 9.745 9.720 20.434 19.557 20.199 27,24 3,28 10 Pancing tonda 2.736 3.326 5.016 4.016 4.140 13,88 3,08 11 Pancing lainnya 1.266 1.440 2.388 1.015 1.015 5,53 12 Sero 2 2 8 6 5 89,11 26,62 13 Bubu 49 49 139 101 105 40,07 3,70 Sumber: Data statistik perikanan Provinsi Maluku Utara 2007-2011 Penurunan produksi rata-rata per tahun terbesar terjadi pada alat tangkap bagan tancap sebesar 12,26 yaitu 90 ton pada tahun 2007 menjadi 45 ton pada tahun 2011. Pada tahun 2010-2011, penurunan produksi terbesar terjadi pada alat tangkap jaring insang hanyut sebesar 55,76 yaitu 574 ton pada tahun 2010 menjadi 254 ton pada tahun 2011, disusul kemudian oleh alat bagan tancap sebesar 24,43. Perkembangan produksi tahunan alat tangkap di Kabupaten Halmahera Selatan dapat dilihat pada Tabel 6.

3.3.2.5 Perlakuan terhadap hasil tangkapan

Perlakuan terhadap produk perikanan di Kabupaten Halmahera Selatan dikelompokkan ke dalam 5 perlakuan. Kelompok perlakuan terhadap produksi perikanan tangkap terbesar untuk produksi ikan pada tahun 2011 adalah konsumsi segar yaitu sebesar 30.000 ton, disusul kemudian dengan jenis perlakuan pengeringan sebesar 7.151 ton. Dalam periode 2007-2011 rata-rata jenis perlakuan terhadap produksi perikanan tangkap yang mengalami peningkatan adalah konsumsi segar dan produksi kering masing-masing sebesar 20,16 dan 89,74. Perlakuan terhadap produksi perikanan tangkap pada tahun 2010-2011 rata-rata mengalami penurunan kecuali perlakuan pengasapan mengalami peningkatan sebesar 8,3, yaitu dari 304 ton menjadi 328,6 ton. Perkembangan jumlah dan jenis perlakuan terhadap produksi ikan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Perkembangan jenis perlakuan terhadap produksi perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Selatan, 2007- 2011 N0 Jenis perlakuan Tahun Rata-rata perubahan 2007 ton 2008 ton 2009 ton 2010 ton 2011 ton 2007-2011 2010-2011 1 Konsumsi segar 17.855 18.821 36.211 36.211 30.000 20,16 17,1 2 KeringAsin 1.821 1.909 9.073 9.073 7.151 89,74 21,2 3 Asapan 1.965 2.182 304 304 328,6 16,69 8,3 4 Beku 5.541 6.539 5.373 5.373 4.554 3,77 15,2 5 Lainnya 1.091 997 672 672 500 16,71 25,6 Sumber: Data statistik perikanan Provinsi Maluku Utara 2007-2011

3.4 Pembahasan

Kondisi geografis Kabupaten Halmahera Selatan yang lebih didominasi oleh laut 78 menggambarkan bahwa wilayah ini memiliki potensi sumberdaya perikanan dan kelautan sangat besar dan berpeluang berkontribusi baik untuk peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat maupun berkontribusi terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Kegiatan perikanan tangkap di Halmahera Selatan lebih didominasi usaha perikanan tangkap skala kecil, karena teknologi penangkapan yang digunakan masih tergolong sederhana. Secara keseluruhan jenis kapal penangkap ikan didominasi oleh kapal motor berukuran 0-5 GT yang berjumlah 72 unit. Charles 2001 mengatakan bahwa skala usaha perikanan dapat dilihat dari berbagai aspek diantaranya berdasarkan ukuran kapal yang dioperasikan. Untuk itu, dengan armada penangkapan dengan jenis kapal penangkap ikan ini dapat dikatakan bahwa kegiatan perikanan tangkap Kabupaten Halmahera Selatan sampai saat ini adalah usaha perikanan tangkap skala kecil. Komposisi kapal perikanan di Kabupaten Halmahera Selatan tergolong sama dengan komposisi armada perikanan tangkap di Indonesia. Menurut KKP 2009 komposisi kapal perikanan di Indonesia sebagian besar masih didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil yaitu sekitar 97,11, dan hanya sekitar 2,89 dilakukan oleh usaha perikanan skala yang lebih besar. Struktur armada perikanan tangkap nasional didominasi oleh perahu motor tempel 233.530 buah 39,17, disusul kemudian oleh perahu tanpa motor sebanyak 205.460 buah 34,46, dan kapal motor 157.240 buah 26,37. Berasal dari 26,37 ini, kapal motor berukuran 5 GT yaitu sebesar 69,70, disusul kemudian oleh kapal motor berukuran 5-10 GT yaitu sebesar 19,33, dan selebihnya kapal motor dengan ukuran bervariasi dari 10 sampai dengan di atas 200 GT. Komposisi armada perikanan berukuran 5 GT dan 5-10 GT tersebut memberikan gambaran bahwa perikanan skala kecil berperan besar dalam perikanan nasional. Dengan melihat perkembangan komposisi kapal perikanan di Halmahera Selatan dalam tahun terakhir menunjukan bahwa telah terjadi perubahan yang signifikan yaitu dengan mulai berkurangnya perahu tanpa motor dan motor tempel dan selanjutnya bertambahnya pengoperasian kapal berukuran 5-10 GT dan 10-20 GT. Hal ini berarti bahwa perikatan tangkap di Halmahera Selatan sudah mengarah pada pengelolaan dalam rangka peningkatan produksi hasil tangkapan, walaupun secara umum komposisi kapal perikanan masih dominan tergolong pada skala kecil. Dominannya armada penangkapan berukuran kecil kapal motor 0-10 GT di Halmahera Selatan pada dasarnya disebabkan oleh rendahnya penguasaan modal capital oleh nelayan, sehingga kemampuan didalam melakukan investasi pada kapal yang ukurannya lebih besar dan alat tangkap yang lebih produktif menjadi rendah. Dengan komposisi armada penangkapan seperti disebutkan sebelumnya, maka Daerah Penangkapan Ikan DPI sebagian besar berada di sekitar perairan pantai. Dengan dominannya penangkapan yang dilakukan nelayan Halmahera Selatan yaitu pada jarak dari pantai ke lokasi penangkapan yang tergolong dekat. Menurut Charles 2001, kondisi seperti ini dapat digolongan ke dalam usaha perikanan tangkap skala kecil. Perairan Halmahera Selatan sebagai perpaduan Laut Maluku dan Samudera Pasifik merupakan daerah penangkapan ikan utama bagi nelayan yang ada di Provinsi Maluku Utara umumnya dan nelayan yang berasal dari Sulawesi Utara. FPIK Unkhair 2006, melaporkan bahwa perairan ini merupakan jalur migrasi ikan pelagis besar, dan memiliki pola arus utama yang berasal dari Samudera Pasifik yang masuk ke perairan laut Indonesia sehingga beberapa jenis ikan pelagis besar seperti tuna Thunnus albacares, cakalang Katsuwonus pelamis, tongkol Euthynnus spp, dan jenis-jenis ikan pelagis kecil seperti kembung Rastralliger sp., layang Decapterus lajang, tembang Sardinella spp, selar Selaroides spp dan beberapa jenis ikan pelagis lainnya dapat ditangkap oleh nelayan Maluku Utara. Keadaan ini yang membuat perairan Halmahera Selatan merupakan salah satu kawasan perikanan yang masih tergolong produktif di Indonesia. Rata-rata peningkatan produksi penangkapan ini pada hakekatnya tidak lepas dari produktivitas jenis alat tangkap yang dipergunakan untuk menangkap ikan. Berasal dari 13 alat tangkap yang ada di Halmahera Selatan terdapat dua alat tangkap yang tergolong paling dominan dalam menghasilkan produksi penangkapan yaitu huhate dan pukat cincin dengan jenis ikan calakang Katsuwonus pelamis dan layang Decapterus lajang. Dilihat dari faktor-faktor penunjang pengelolaan perikanan tangkap seperti jumlah nelayanRTP. Perkembangan jumlah RTP tahun 2007-2011 menunjukan penurunan rata-rata sekitar 39,91 per tahun. Salah satu penyebab menurunnya jumlah RTP ini adalah berkurangnya sarana penangkapan seperti jumlah kapal penangkap yang ada di Halmahera Selatan. Perbandingan jumlah RTP dan jumlah kapal atau perahu penangkap ikan dapat dikatakan mengalami penurunan. Selain itu, kurangnya jumlah nelayan RTP di Halmahera Selatan disebabkan karena ada beberapa RTP yang mengalihkan pekerjaan dari sebagai nelayan menjadi tenaga kuli bangunan akibat kapal dan alat tangkap yang mereka gunakan telah mengalami banyak kerusakan sehingga tidak dapat beroperasi. Keadaan ini berbeda dengan jumlah RTP sebagaimana dilaporkan dari studi lain di Indonesia. Jumlah RTP di Indramayu meningkat setiap tahun rata-rata sebesar 1,8 dari 30.256 RTP. Peningkatan ini disebabkan oleh dampak resesi ekonomi dimana banyak tenaga kerja perusahaan industri yang mengalami PHK hingga beralih ke industri perikanan baik sebagai buruh atau nelayan tangkap Hamdan et al. 2006. Begitu juga jumlah nelayan di pantai Utara Jawa yang meliputi 38 kabupatenkota, yang meliputi Provinsi Banten, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur menunjukan meningkat dengan rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar 15,87 Suyasa et al. 2007. Di sisi lain, penambahan jumlah kapal di Halmahera Selatan hanya ditopang oleh permodalan dari Pemerintah Daerah melalui bantuan pengadaan kapal dan alat tangkap, tanpa bantuan dari pihak swasta. Adapun peningkatan nilai produksi rata-rata dalam lima tahun terakhir yaitu sebesar 18,07 per tahun atau produksi rata-rata sebesar 40.789,14 ton. Dengan melihat produksi perikanan tangkap rata-rata kemudian dikaitkan dengan potensi perikanan tangkap yang dimiliki perairan Halmahera Selatan, maka pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap sangat berpeluang untuk dikembangkan. Hal ini sejalan dengan hasil evaluasi yang telah dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, BRKP 2007 menyimpulkan bahwa wilayah perairan Halmahera Selatan Laut Maluku, tergolong belum mengalami overfishing. Peluang pengembangan dapat dilihat dari hasil produksi yang dicapai hanya dengan jumlah RTP yang begitu kecil. Jika dibandingkan jumlah RTP tahun 2010 sebesar 573 dengan jumlah penduduk sebanyak 198.911orang. Di samping itu rendahnya penguasaan modal capital oleh nelayan, sehingga kemampuan di dalam melakukan investasi pada kapal yang ukurannya lebih besar dan alat tangkap yang lebih produktif menjadi rendah sehingga optimalisasi dan produktivitas usaha yang masih rendah dan lemahnya sumberdaya nelayan SDM untuk dapat menerapkan teknologi dan memanfaatkan serta mengelola potensi sumberdaya perikanan tangkap secara efisien Bapeda Maluku Utara 2007. Penanganan pasca panen juga belum dikelola dengan optimal. Sebagian besar hasil tangkapan nelayan di jual ke pembelipenampung dibo-dibo dibandingkan melalui proses pelelangan. Berkenan dengan ini, harga yang ada tidak dapat terkontrol, sehingga kadang-kadang jika hasil panen yang diperoleh melimpah, harga jual kadang-kadang menurun drastis dan akhirnya keuntungan yang diperoleh oleh nelayan cenderung sedikit. Sifat pemasaran seperti ini menyebabkan semakin sulitnya perpindahan hak penjualan dan berakibat semakin kecil keuntungan yang diperoleh oleh nelayan. Keadaan ini merupakan suatu permasalahan dalam pemasaran perikanan tangkap di Halmahera Selatan. Wiryawan et al. 2008 mengemukakan bahwa salah satu permasalahan pemasaran perikanan terkait dengan pasar domestik adalah rendahnya nilai tawar nelayan yang disebabkan oleh sifat alamiah usaha dan hasil perikanan yang mudah rusak, musiman, heterogen dalam ukuran dan mutu serta lemahnya kondisi sosial-ekonomi mereka sehingga memungkinkan terciptanya suatu transaksi yang adil. Pengolahan ikan pada industri tradisional di Halmahera Selatan dilakukan melalui proses pengeringanasing, pengasapan, beku dan olahan dalam bentuk lain. Sehubungan dengan pengolahan hasil tangkapan, peran pemerintah dalam pemasaran hasil perikanan tangkap belum bekerja efektif karena pengembangan industri perikanan tangkap di Halmahera Selatan baru sebatas pada industri kecil seperti pengasapan, penggaraman, dan pengeringan. Dengan kata lain, pemerintah daerah terkesan belum maksimal dalam memfasilitasi pembangunan fasilitas pengolahan hasil perikanan dalam bentuk industri menengah sampai besar, misalnya dengan menarik investor swasta baik PMD maupun PMA untuk membangun pabrik pengolahan ikan di Halmahera Selatan. Secara keseluruhan gambaran kondisi perikanan tangkap Halmahera Selatan dengan menggunakan data statistik perikanan tangkap, tidak menjelaskan secara khusus perikanan giob. Untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan giob maka digunakan data pembanding terhadap unit penangkapan ikan pukat cincin. Berdasarkan data statistik Kabupaten Halmahera Selatan pada tahun 2011, jumlah alat tangkap pukat cincin sebanyak 76 unit, sedangkan jumlah alat tangkap giob di Kayoa sebanyak 12 unit, yang berarti proporsi alat tangkap giob sebesar 16. Jika perkembangan jumlah alat tangkap pukat cincin mengalami peningkatan selama tahun 2007-2011, namun sebaliknya informasi yang diperoleh dari nelayan, alat tangkap giob di Kayoa cenderung mengalami penurunan yaitu pada tahun 20072008 jumlah giob di Kayoa berjumlah 30 unit menurun menjadi 12 unit pada tahun 2011.

3.5 Kesimpulan